HUKUM KOMUNIKASI KEHUMASAN
Seperti
dijelasnkan sebelumnya, Kode Etik Profesi Kehumasan yang berkaitan
dengan normatif etik pada prinsipnya mengandung ketentuan bersifat
mengikat, yaitu:
a. Kewajiban pada dirinya sendiri, menjaga kehormatan diri, disiplin dan etos kerja serta bertanggung jawab;
b. Kewajiban-kewajiban
kepada media massa atau publiknya untuk tidak merusak kepercayaan
saluran informasi umum demi kepentingan publik;
c. Kewajiban terhadap klien yang dilayani dan atasannya, menjaga kepercayaan dan kerahasiaan;
d. Ketentuan perilaku terhadap rekan seprofesi, bekerja sama dalam menegakkan Kode Etik dan Etika Profesi Humas/PR.
Oleh
karena itu, Kode Etik Profesi Kehumasan tersebut merupakan “self
imposed regulation” dan normatif Etik menjalankan fungsinya yang memilki
kekuatan (power) untuk mempengaruhi atau kemampuan merekayasa (social
engineering) opini publik secara simultan (simultaneity effect) melalui
kerja sama dengan pihak media massa seperti yang dikehendakinya, apakah
untuk tujuan baik atau sebaliknya untuk kepntingan sepihak yang tidak
dapat dipertanggung jawaban. Dalam hal ini, agar tujuan Humas/PR
melakukan kampanye, promosi, dan publikasi tersebut menguntungkan
(benefit) semua pihak, maka diperlukan suatu “aturan main” sebagai
rambu-rambu atau pedomannya baik Kode Etik, etika Profesi, maupun
aspek-aspek hukum yang berkaitan dengan Kehumasan yang profesional dan
dapat dipertanggaung jawaban.
Menurut
“Scott M. Cultip and Allen H. Center (1982 : 282-283), aspek-aspek
hokum komunikasi dalam kegiatan PR/Humas terkait erat dengan masalah
fitnah (libel) dalam bentuk pernyataan lisan dan tertulis atau tercetak
sebagai pelanggaran hak-hak kehormatan dan martabat pribadi sehingga
individual, kelompok, serta nama baik dan citra perusahaan untuk
keperluan pembuatan Press Release, News Letters, Corporate Publiction,
Company Profile, Annual Report, Internal Magazine, dan PR Statement.
Aspek-aspek
hukum komunikasi dalam kegiatan kehumasan, baik dilihat dari hukum
Internasional seperti; “Anglo Saxon System”maupun Eropa Kontinental
terkait dengan dua implikasi hukum penghinaan (Defamation) sebagai
berikut :
§ The
Law of Libel, yaitu pelanggaran penghinaan atau pelecehan yang bersifat
tertulis/tercetak (written defamation). Artinya, penghinaan bernbentuk “slip of pens”
melakukan fitnah atau kebohongan dengan menggunakan media cetak, gambar
dan bentuk tulisan (drukpers misdrijven) yang disebarluaskan publik.
§ The
Law of slander, yaitu pelanggaran penghinaan atau pelecehan yang
bersifat lisan, ucapan, atau pernyataan (defamatory statements).
Pelanggaran ini merupakan “slip of tongue” yang terjadi secara lisan
atau ucapan yang melecehkan, menghina, mengumpat, atau mencaci maki
orang lain di muka umum (Ruslan, 1955 : 111).
Hal
tersebut dapat terjadi misalnya seseorang atau pejabat PR/Humas (PR
Officer) kadang-kadang tidak senagaj melemparkan suatu “joke” atau ingin
bersenda gurau di hadapan khalayaknya agar suasana menjadi akrab dan
tidak kaku. Akan tetapi, tanpa disadari “lelucon” tersebut tidak lagi
lucu bahkan cencderung melecehkan seseorang. Misalnya; tentang cacat
tubuhnya, etnik atau suku, bahkan menyinggung nilai kesucian suatu agama
yang dijadikan objek leluconnya sehingga ada pihak lain tidak
menerimanya. Persoalan sepele dapat menjadi “lelucon bermasalah” yang
dapat dikategorikan untur penghinaan (delik pidana).
Pelanggaran
delik pidana dalam kegiatan komunikasi Humas/PR tersebut lebih delik
pengaduan (klacht delict) daripada delik biasa. Artinya, kalau terjadi
pelanggaran harus ada yang merasa dirugikan atau dilecehkan nama baik
dan kehormatan pribadinya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
, kejahatan terhadap kehormatan diatur dalam Titel XVI, Pasal 310
sampai dengan Pasal 321. Maksud kejahatan di sini menurut istilah hukum
AS adalah “defamation dan belediging” (hukum Belanda) yang artinya
penghinaan terhadap kehormatan (misdrijven tegen de eer) atas seseorang
atau suatu lembaga.
Lalu
orang barunya, apa itu kehormatan? Prof. Satochid Kartanegara, SH,
dalam bahan Kuliah Hukum Pidana menafsirkan bahwa kehormatan adalah
sesuatu yang disandarkan atas harga diri atau martabat manusia yang
bersandar pada tata susila karena kehormatan merupakan nilai susila
manusia.
Penghinaan
itu dapat terjadi terhadap orang yang telah meninggal dunia, seprti;
seorang artis sinetron, film, atau bintang iklan. Apabila ”tokohnya”
telah meninggal dunia, penayangan iklannya di berbagai media cetak dan
TV atau radio harus segera dihentikan walaupun kontrak penayangan masih
berlangsung. Sedangkan film atau sinetronnya boleh ditayangkan. Karena
penayangan iklan tersebut mengandung unsur ”eksploitasi komersial” dan
menjadi kurang etis terhadap produk yang diiklankannya, maka kalau tidak
dihentikan akan terjadi pelanggaran kehormatan nama baik atasbidang
atau tokoh yang telah meninggal dunia tersebut.
Menurut
Sistem KUH Pidana, terdapat empat klasifikasi jenis kejahatan yang
ditujukan terhadap kehormatan dalam bentuk murni, yaitu:
§ Menghina secara lisan (smaad);
§ Menghina secara tertulis (smaad schrift);
§ Menfitnah (laster);
§ Mengina secara ringan (eenvoudige belediging).
Jadi,
ditinjau dari Pasal 310 KUH Pidana tersebut, maka dapat dirumuskan
antara lain; menista (smaad) atau menghina secara lisan (slander), dan
menista (smaadschrift) atau menghina orang dengan surat, berita atau
barang cetakan (libel).
Perbuatan
yang dilarang pada dasarnya adalah “perbuatan yang dilakukan dengan
sengaja untuk melanggar kehormatan atau menyerang kehormatan dan nama
baik seseorang”(Satochid; 599). Kata “sengaja” artinya mengeluarkan
kata-kata dengansengaja untuk pelanggaran terhadap sutu kehormatan dan
nama baik seseorang atau suatu lembaga. Sedangkan “nama baik” (goede
naam) berarti kehormatan yang diberikan kepada seseorang oleh masyarakat
berhubungan dengan kedudukannya di dalam masyarakat. Dengan perkataan
lain, yang bersangkutan adalah orang yang terpandang di mata masyarakat
karena jabatan, status dan ketokohan yang dimilikinya.
Setelah
diterangkan di atas tentang pelanggaran atas kehormatan dan nama baik
seseorang, maka perumusan delik Pasal 319, KUHP memiliki unsur-unsur sebagai berikut :
§ Terdapat perbuatan dengan sengaja (opzet);
§ Menyerang atau melanggar kehormatan nama baik orang lain;
§ Menuduh melakukan suatu perbuatan tertentu dan sepihak;
§ Mempunyai maksud diketahui oleh umum (publik).
Penghinaan secara tertulis atau tercetak dalam bentuk gambar yang disebarluaskan kepada umum dapat melalui cara :
§ Menyebar atau menyiarkan dalam jumlah besar;
§ Menunjukkan (ten toon stellen) tidak dalam jumlah besar;
§ Menempelkan di berbagai tempat keramaian.
Lampiran 1
KODE ETIK PERHUMASAN INDONESIA
(Disahkan dalam Konvensi nasional Humas 1993, di Bandung)
Dijiwai oleh Pancasila maupun
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan tata kehidupan nasional.
Diilhami oleh Piagam perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai landasan tata
kehidupan Internasional. Dilandasi oleh Deklarasi ASEAN (8 Agustus 1967)
sebagai pemersatu bangsa-bangsa Asia Tenggara. Dan dipedomani oleh
cita-cita, keinginan, dan tekad untuk mengamalkan sikap dan perilaku
kehumasan secara profesional.
Kami
para anggota Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (PERHUMAS)
sepakat untuk mematuhi Kode Etik Kehumasan Indonesia, dan bila terdapat
bukti-bukti bahwa di antara kami dalam menjalankan profesi kehumasan
ternyata ada yang melanggarnya, maka hal itu sudah tentu mengakibatkan
diberlakukannya tindak organisasi terhadap pelanggarnya.
Pasal I
Komitmen Pribadi
Anggota PERHUMAS harus :
b. Memiliki dan menerapkan standar moral serta reputasi setinggi mungkin dalam menjalankan profesi kehumasan.
c. Berperan secara nyata dan sungguh-sungguh dalam upaya memasyarakatkan kepentingan Indonesia.
d. Menumbuhkan dan mengembangkan hubungan antara warga Negara Indonesia yang serasi dan selaras demi terwujudnya persatuan bangsa.
Pasal II
Perilaku Terhadap Klien atau atasan
a. Berlaku jujur dalam hubungan dengan klien atau atasan.
b. Tidak mewakili dua atau beberapa kepentingan yang berbeda atau yang bersaingan tanpa persetujuan semua pihak yang terkait.
c. Menjamin
rahasia serta kepercayaan yang diberikan oleh klien atau atasan, maupun
yang pernah diberikan oleh mantan klien atau mantan atasan.
d. Tidak
melakukan tindak atau mengeluarkan ucapan yang cenderung merendahkan
martabat, klien atau atasan, maupun mantan klien atau mantan atasan.
e. Dalam
memeberikan jasa-jasa kepada klien atau atasan, tidak akan menerima
pembayaran, komisi, atau imbalan dari pihak mana pun selain dari klien
atau atasannya yang telah memperoleh penjelasan lengkap.
f. Tidak
akan menyarankan kepada calon klien atau calon atasan bahwa pembayaran
atau imbalan jasa-jasanya harus didasarkan kepada hasil-hasil tertentu,
atau tidak menyetujui perjanjian apa pun yang mengarah kepada hal
serupa.
Pasal III
Perilaku Terhadap Masyarakat dan Media Massa
Anggota PERHUMAS harus :
c. Menjalankan kegiatan profesi kehumasan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat serta harga diri anggota masyarakat.
d. Tidak melibatkan diri dalam tindak untuk memanipulasi integritas sarana maupun jalur komunikasi massa.
e. Tidak menyebarluaakan informasi yang tidak benar atau yang menyesatkan sehingga dapat menodai profesi kehumasan.
f. Senantiasa membantu menyebarluaskan informasi maupun pengumpulan pendapat untuk kepentingan Indonesia.
Pasal IV
Perilaku Terhadap Sejawat
Praktisi Kehumasan Indonesia harus
a. Tidak dengan sengaja
dan mencemarkan reputasi atau tindakan profesional sejawatnya. Namun,
bila ada sejawat yang bersalah karena melakukan tindakan yang tidak
etis, yang melanggar hukum, atau yang tidak jujur, termasuk melanggar
Kode Etik Kehumasan Indonesia, maka bukti-bukti wajib disampaikan kepada
Dewan Kehormatan PERHUMAS.
b. Tidak menawarkan diri atau mendesak klien atau atasan untuk menggantikan kedudukan sejawatnya.
c. Membantu
dan bekerja sama dengan sejawat di seluruh Indonesia untuk menjunjung
tinggi dan mematuhi Kode Etik Kehumasan Indonesia ini.
Lampiran 2.
ASOSIASI PERUSAHAAN PUBLIC RELATIONS INDONESIA (APPRI)
Keterangan Singkat Tentang Organisasi APPRI
Asosiasi
Perusahaan Public Relations (APPRI) yang dibentuk pada 10 April 1987,
di Jakarta dan merupakan sebuah organisasi yang berbentuk asosiasi dari
perusahaan-perusahaan Public Relations Nasional yang independen.
Misi
utama APPRI adalah ingin mendarma-baktikan kemampuannya pada bangsa dan
negara, khususnya dalam profesionalisme di bidang Public Relations.
Ke
luar, ingin menanamkan makna kegiatan Public relations dalam arti
bagaimana memberikan kemampuan dalam pengelolaan program komunikasi yang
berkaitan dengan penciptaan,pengembangan dan pembinaan citra.
Ke dalam, melakukan koordinasi, peningkatan profesi, dan menjaga dinamika usaha melalui kerja sama dan persaingan yang sehat.
TUJUAN APPRI
Untuk menjelaskan misi utamanya, APPRI mempunyai beberapa tujuan yaitu sebagai berikut :
1. Menghimpun,membina
dan mengarahkan potensi perusahaan Public Relations nasional agar
secara aktif, positif dan kreatif turut serta dalam usaha mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
2. Mewujudkan
fungsi Public Relations yang sehat, jujur, dan bertanggung jawab sesuai
dengan kode praktik dan kode etik yang lazim berlaku secara nasional
dan internasional.
3. Mengembangkan
dan memajukan kepentingan asosiasi dengan memberikan kesempatan kepada
para anggota untuk konsultasi dan kerja sama serta memberikan siaran
bagi pemerintah, badan-badan kemasyarakatan, asosiasi yang mewakili
Dunia industri dan perdagangan, serta badan-badan lain untuk konsultasi
dengan APPRI sebagai suatu lembaga.
4. Memberi informasi kepada klien, bahwa anggota APPRI mematuhi syarat untuk memberikan nasihat dalam Public Relations dan akan bertindak untuk klien menurut kemampuan profesionalnya.
5. Merupakan
sarana untuk para anggotanya dalam soal-soal kepentingan usaha dan
profesi dan menjadi forum koordinasi praktik Public Relations.
6. Merupakan medium bagi masyarakat umum untuk mengetahui mengenai pengalaman dan kualifikasi para anggotanya.
7. Membantu mengembangkan kepercayaan umum atas jasa Public Relations.
KEANGGOTAAN
Sebagai
bentuk asosiasi perusahaan, keanggotaan APPRI adalah
perusahaan-perusahaan Public Relations yang didirikan berdasarkan Hukum
Negara republik Indonesia dan sepenuhnya dimiliki oleh warga negara
indonesia yang mempunyai kualifikasi sebagai Public Relations
profesional.
KEGIATAN
Di
dalam melaksanakan tujuannya, APPRI menyelenggarakan kegiatan-kegiatan,
baik yang bersifat ke dalam organisasi maupun ke masyarakat luas.
Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi, antara lain :
1. Membentuk dan melaksanakan prinsip-prinsip kegiatan dan kode etik dalam profesi public relations.
2. Menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan peningkatan profesi anggotanya melalui seminar,
lokakarya, diskusi, pendidikan, kunjungan dan sejenisnya.
3. Melakukan
penelitian, menghimpun dan menganalisa pekembangan dunia usaha umumnya
dan aktivitas usaha Public Realtions khususnya, dalam upaya pembinaan
dan pengembangan kegiatan usaha anggotanya.
4. Melakukan
koordinasi dengan pihak-pihak terkait, seperti dunia usaha, lembaga
pendidikan, institusi dan organisasi lainnya, serta masyarakat luas
umumnya, dalam rangka perluasan kegiatan usaha anggotanya maupun
penyebarluasan profesi Public Relations dan pengabdian pada masyarakat.
KODE ETIK PROFESI APPRI
Pasal 1
Norma-Norma Perilaku Profesional
Dalam
Menjalankan kegiatan profesionalnya, seorang anggota wajib menghargai
kepentingan umum dan menjaga harga diri setiap anggota masyarakat.
Menjadi tanggung jawab pribadinya untuk bersikap adil dan jujur terhadap
klien, baik yang mantan maupun sekarang, dan terhadap sesama anggota
asosiasi,anggota media komunikasi, serta masyarakat luas.
Pasal 2
Penyebarluasan Informasi
Seorang
anggota tidak akan menyebarluaskan, secara sengaja dan tidak sengaja
dan tidak bertanggung jawab, informasi yang palsu atau menyesatkan, dan
sebaliknya justru akan berusaha sekeras mungkin untuk mencegah
terjadinya hal tersebut. Ia berkewajiba untuk menjaga integritas dan
ketepatan informasi.
Pasal 3
Media Komunikasi
Seorang anggota tidak akan melaksanakan kegiatan yang dapat merugikan integritas media komunikasi.
Pasal 4
Kepentingan Yang Tersembunyi
Seorang
anggotanya tidak akan melibatkan dirinya dalam kegiatan apa pun yang
secara sengaja bermaksud memecah belah atau menyesatkan, dengan cara
seolah-olah ingin memajukan suatu kepentingan tertentu padahal sebaiknya
justru ingin memajukan kepentingan tersembunyi. Seorang anggota
berkewajiban untuk menjaga agar kepentingan sejati organisasi yang
menjadi mitra kerjanya benar-benar terlaksana secara baik.
Pasal 5
Informasi Rahasia
Seorang
anggota (kecuali apabila diperintahkan oleh aparat hukum yang
berwenang) tidak akan menyampaikan atau memanfaatkan informasi yang
diberikan kepadanya, atau yang diperolehnya, secara pribadi dan atas
dasar keprcayaan, atau yang bersifat rahasia dari kliennya, baik dimasa
lalu, kini atau masa depan, demi untuk memperoleh keuntungan pribadi
atau untuk keuntungan lain tanpa persetujuan jelas dari yang
bersangkutan.
Pasal 6
Pertentangan Kepentingan
Seorang
anggota tidak mewakili kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan
atau yang saling bersaing, tanpa persetujuan jelas dari pihak-pihak
yang bersangkutan dengan terlebih dahulu mengemukakan fakta-fakta yang
terkait.
Pasal 7
Sumber-Sumber Pembayaran
Dalam
memberikan jasa pelayanan kepada kliennya, seorang anggota tidak akan
menerima pembayaran, baik tunai atau dalam bentuk lain, yang diberikan
sehubungan dengan jasa-jasa ytersebut dari sumber mana pun, tanpa
persetujuan jelas dari kliennya.
Pasal 8
Memberitahukan Kepentingan Keuangan
Seorang
anggota, yang mempunyai kepentingan keuangan dalam suatu organisasi,
tidak akan menyarankan klien atau majikannya untuk memakai organisasi
tersebut atau memanfaatkan jasa-jasa organisasi tersebut, tanpa
memberitahukan terlebih dahulu kepentingan keuangan pribadinya yang
terdapat dalam organisasi tersebut.
Pasal 9
Pembayaran Berdasarkan Hasil Kerja
Seorang
anggota tidak akan mengadakan negosiasi atau menyetujui
persyaratan-persyaratan dengan calon majikan atau calon klien,
berdasarkan pembayaran yang tergantung pada hasil pekerjaan PR tertentu
di masa depan.
Pasal 10
Menumpang-tindih Pekerjaan Anggota Lain
Seorang
anggota yang mencari pekerjaan atau kegiatan baru dengan cara mendekati
langsung atau secara pribadi, calon majikan atau calon langganan yang
potensial, akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk
mengetahui apakah pekerjaan atau kegiatan tersebut sudah dilaksanakan
oleh anggota lain. Apabila demikian, maka menjadi kewajibannya untuk
memberitahukan anggota tersebut mengenai usaha dan pendekatan yang
dilakukannya terhadap klien tersebut. (Sebagian atau seluruh pasal ini
sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghalangi anggota mengiklankan
jasa-jasa secara umum).
Pasal 11
Imbalan Kepada Karyawan Kantor-Kantor Umum
Seorang
anggota tida akan menawarkan atau meberikan imbalan apapun, dengan
tujuan untuk memajukan kepentingan pribadinya (atau kepentingan klien),
kepada orang yang menduduki suatu jabatan umum, apabila hal tersebut
tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat luas.
Pasal 12
Mengkaryakan Angota Parlemen
Seorang
anggota mempekerjakan seorang anggota Parlemen, baik sebagai konsultan
maupun pelaksana akan memberitahukan kepada Ketua asosiasi tentang hal
tersebut maupun jenis pekerjaan yang bersangkutan.Ketua Asosiasi akan
mencatat hal tersebut. Seorang anggota asosiasi yang kebetulan juga
anggota parlemen, wajib memberitahukan atau memberikan peluang agar
terungkap, kepada Ketua semua keterangan apa pun mengenai dirinya.
Pasal 13
Mencemarkan Anggota-Anggota Lain
Seorang anggota tidak akan dengan itikad buruk mencemarkan nama baik atau praktik profesional lain.
Pasal 14
Instruksi/Perintah Pihak-Pihak Lain
Seorang
anggota yang secara sadar mengakibatkan atau memperbolehkan orang atau
organisasi lain untuk bertindak sedemikian rupa sehingga berlawanan
dengan kode etik ini, atau turut secara pribadi ambil bagian dalam
kegiatan semacam itu, akan dianggap telah melanggar kode etik ini.
Pasal 15
Nama Baik Profesi
Seorang anggota tidak akan berperilaku sedemikian rupa sehingga merugikan nama baik asosiasi, atau profesi Public Relations.
Pasal 16
Menjunjung Tinggi Kode Etik
Seorang
anggota wajib menjunjung tinggi Kode Etik ini, dan wajib bekerja sama
dengan anggota lain dalam menjunjung Kode Etik, serta dalam melaksanakan
keputusan-keputusan tentang hal apa pun yang timbul sebagai akibat dari
diterapkannya keputusan tersebut. Apabila seorang anggota mempunyai
alasan untuk berprasangka bahwa orang lain terlibat dalam
kegiatan-kegiatan yang dapat merusak kode Etik ini, maka ia berkewajiban
untuk memberitahukan hal tersebut kepada asosiasi. Semua anggota wajib
mendukung asosiasi dalam menerapkan dan melaksanakan Kode Etik ini, dan
asosiasi wajib mendukung setiap anggota yang menetapkan dan melaksanakan
Kode Etik ini.
Pasal 17
Profesi Lain
Dalam
bertindak untuk seorang klien atau majikan yang tergabung dalam suatu
profesi, seorang anggota akan menghargai kode etik dari profesi tersebut
dan secara sadar tidak akan turut dalam kegiatan apa pun yang dapat
mencemarkan Kode etik ini.
0 komentar:
Posting Komentar