–·•Ο•·–
العدد
Bab ‘Adad (Bilangan/Hitungan)
ثَلَاثَةً بِالتَّاءِ قُلْ لِلعشَرَهْ ¤ فِي عَدِّ مَا آحَادُهُ مُذَكّرَهْ
Ucapkan
angka Tsalatsatun (tiga) sampai ‘Asyarotun (sepuluh) dg menggunakan Ta’
didalam menghitung sesuatu yg mufrodnya Mudzakkar.
في الضِّدِّ جَرِّدْ وَالْمُمَيِّزَ اجْرُرِ ¤ جَمْعاً بِلَفْظِ قِلَّةٍ فِي الأكْثَرِ
Sebaliknya
buanglah Ta’nya (pada mufrod ma’dud muannats). Jarkanlah! Lafazh
Mumayyiz/Ma’dud yg jamak qillah pada kebanyakannya (daripada yg jamak
katsrohnya).
وَمِائَةً وَالأَلْفَ لِلْفَرْدِ أضِفْ ¤ وَمِائَةٌ بِالجَمْعِ نَزْراً قَدْ رُدِفْ
Terhadap
angka Mi’atun (seratus) dan Alfun (seribu) mudhafkan pada Isim Mufrod.
Dan angka Mi’atun (seratus) jarang diikuti oleh Jamak (jarang
dimudhafkan pada jamak).
–·•Ο•·–
Sebelumnya perlu diketahui, bahwa Isim Adad (kata bilangan/hitungan) menurut istilah Ulama’ Nahwu terbagi menjadi 4 bagian.
1. “Adad Mufrad”
Adalah Isim Adad yg kosong dari Tarkib dan ‘Athaf. Yaitu bilangan dari Wahidun (satu) sampai ‘Asyarotun (sepuluh), Bidh’un (sejumlah antara 3-9), Mi’atun (seratus), dan Alfun (seribu).
Sebagian Nuhat menyebutnya “Adad Mudhaf” karena dapat dimudhafkan pada Tamyiznya/Ma’dudnya, yang selain wahidun (satu) dan Itsnani (dua).
Adalah Isim Adad yg kosong dari Tarkib dan ‘Athaf. Yaitu bilangan dari Wahidun (satu) sampai ‘Asyarotun (sepuluh), Bidh’un (sejumlah antara 3-9), Mi’atun (seratus), dan Alfun (seribu).
Sebagian Nuhat menyebutnya “Adad Mudhaf” karena dapat dimudhafkan pada Tamyiznya/Ma’dudnya, yang selain wahidun (satu) dan Itsnani (dua).
2. “Adad Murakkab”
Adalah Isim Adad susunan dua bilangan menjadi satu dengan susunan Tarkib Mazji. Yaitu bilangan dari Ahada ‘Asyaro (sebelas) sampai Tis’ata ‘Asyaro (Sembilan belas).
Adalah Isim Adad susunan dua bilangan menjadi satu dengan susunan Tarkib Mazji. Yaitu bilangan dari Ahada ‘Asyaro (sebelas) sampai Tis’ata ‘Asyaro (Sembilan belas).
3. “Adad ‘Aqd”
Adalah Isim Adad puluhan/kelipatan sepuluh. Yaitu bilangan dari ‘Isyruuna (dua puluh) sampai Tis’uuna (sembilan puluh).
Sebagian Nuhat menyebutnya “Adad Mufrod” karena tidak Mudhaf juga tidak Murokkab.
Adalah Isim Adad puluhan/kelipatan sepuluh. Yaitu bilangan dari ‘Isyruuna (dua puluh) sampai Tis’uuna (sembilan puluh).
Sebagian Nuhat menyebutnya “Adad Mufrod” karena tidak Mudhaf juga tidak Murokkab.
4. “Adad Ma’thuf”
Adalah Isim Adad susunan Athaf. Yaitu bilangan yg ada diantara dua Adad Aqd (angka yg ada diantara 20>…<30, 30>…<40, dst.). Contoh Wahidun wa ‘Isyruuna (dua puluh satu), Itsnaani wa Isyruuna (dua puluh dua), dst. Hingga Tis’atun wa Tis’uuna (sebilan puluh Sembilan).
Adalah Isim Adad susunan Athaf. Yaitu bilangan yg ada diantara dua Adad Aqd (angka yg ada diantara 20>…<30, 30>…<40, dst.). Contoh Wahidun wa ‘Isyruuna (dua puluh satu), Itsnaani wa Isyruuna (dua puluh dua), dst. Hingga Tis’atun wa Tis’uuna (sebilan puluh Sembilan).
Insyaallah 4 bagian diatas akan diterangkan menurut penerangan Kitab Alfiyah pada tiga bahasan sebagai berikut:
- Hukum Mudzakkar&Muannatsnya
- Hukum Tamyiznya/Ma’dudnya
- Hukum I’robnya
I. ‘ADAD MUFROD
A. WAHIDUN (SATU) dan ITSNAANI (DUA)
I. Hukum Mudzakkar & Muannatsnya : harus mencocoki pada Ma’dudnya.
Contoh:
في القرية مسجد واحد
FIL-QORYATI MASJIDUN WAAHIDUN = Di desa itu hanya ada satu masjid.
في القرية مدرسة واحدة
FIL-QORYATI MADROSATUN WAAHIDATUN = Di desa itu hanya ada satu Madrasah.
اشتريت كتابين اثنين
ISYTAROITU KITAABAINI ITSNAINI = Aku telah membeli dua kitab.
اشتريت كراستين اثنتين
ISYTAROINI RURROOSATAINI ITSNAINI = Aku telah membeli dua buku tulis.
II. Hukum Tamyiznya/Ma’dudnya : harus
disebutkan setelah ma’dudnya seperti contoh-contoh diatas. Dan tidak
boleh menyebutkan ma’dud sebelumnya, maka tidak boleh mengatakan :
في القرية واحدُ مسجدٍ
FIL-QORYATI WAAHIDU MASJIDIN.
اشتريت اثني كتابين
ISYTAROITU ITSNAIY KITAABAINI.
Karena cukup penyebutan ma’dud secara
langsung sudah mencukupi jumlah yg dimaksud (mufrad/mutsanna =
satu/dua). Maka tidak perlu untuk menyebut ‘adad pada sebelum ma’dudnya.
III. Hukum I’robnya : disesuaikan menurut
posisinya pada susunan kalam. Sedangkan I’rob ma’dudnya mengikuti irob
‘adad sebelumnya yakni sebagai Tabi’ Taukid.
B. TSALATSATUN (TIGA) sampai ‘ASYAROTUN (SEPULUH) dan BIDH’UN/BIDH’ATUN (sejumlah 3-9)
I. Hukum Mudzakkar & Muannatsnya : kebalikan dari ma’dudnya, yakni dimudzakkarkan apabila ma’dudnya mu’annats, dan dimuannatskan apabila ma’dudnya mudzakkar,.
Contoh :
عندي سبعةُ رجال
INDIY SAB’ATU RIJAALIN = disisiku tujuh pria.
عندي ثلاثُ نسوةٍ
INDIY TSALAATSU NISWATIN = disisiku tiga wanita.
صافحت بضعة رجال
SHOOFAHTU BIDH’ATA RIJAALIN = aku berjabat tangan dengan beberapa pria.
نصحت بضع نساء
NASHOHTU BIDH’A NISAA’IN = aku menasehati beberapa wanita.
Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :
سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومًا
SAKHKHOROHAA
‘ALAIHIM SAB’A LAYAALIN WA TSAMAANIYATA AYYAAMIN HUSUUMAN = yang Allah
menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari
terus menerus (QS Al-Haaqqah : 7)
>> lafazh LAYAALIN = Ma’dud mu’annats karena mufrodnya LAILATIN, maka menggunakan ‘adad mudzakkar SAB’A.
>> lafazh AYYAAMIN = Ma’dud mudzakkar karena mufrodnya YAUMIN, maka menggunakan ‘adad muannats TSAMAANIYATA.
>> lafazh AYYAAMIN = Ma’dud mudzakkar karena mufrodnya YAUMIN, maka menggunakan ‘adad muannats TSAMAANIYATA.
فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ
FA SYAHAADATU AHADIHIM ARBA’U SYAHAADAATIN = maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah (QS. An-Nuur : 6)
ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ
TSUMMA LAM YA’TUU BI ARBA’ATI SYUHADAA’A = dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi (QS. An-Nuur : 4)
>> lafazh SYAHADAATIN = ma’dud mu’annats karena mufrodnya SAHAADATIN, maka menggunakan ‘adad mudzakkar ARBA’U.
>> lafazh SYUHADAA’A = ma’dud mudzakkar karena mufrodnya SYAAHIDUN/SYAHIIDUN, maka menggunakan ‘adad mu’annats ARBA’ATI.
>> lafazh SYUHADAA’A = ma’dud mudzakkar karena mufrodnya SYAAHIDUN/SYAHIIDUN, maka menggunakan ‘adad mu’annats ARBA’ATI.
Dengan demikian, yang dipandang mudzakkar
dan muannatsnya dalam hal ini bukan pada bentuk lafazh jamaknya, akan
tetapi yg dipandang adalah bentuk isim mufrodnya. contohnya lagi :
جاء خمسة فتية
JAA’A KHOMSATU FITYATIN = lima orang pemuda telah datang.
>> Lafazh “FITYATIN” mempunyai
bentuk mufrod “FATAA” adalah ma’dud mudzakkar, makanya menggunakan ‘adad
mu’annats (KHOMSATU). Tidaklah memandang bentuk lafazh jamaknya yg
mu’annats (FITYATIN).
Apabila terdapat dua ma’dud dalam satu
‘adad. Yang satu mudzakkar dan yg lain muannats, maka yg dipandang
muannats dan mudzakkarnya adalah pada ma’dud yg disebut pertama kali.
Contoh:
حضر سبعة رجال ونساء
HADHORO SAB’ATU RIJAALIN WA NISAA’IN = tujuh orang pria dan wanita telah hadir.
وأقبل خمس نساءٍ ورجال
AQBALA KHOMSATU NISAA’IN WA RIJAALIN = lima orang wanita dan pria telah menghadap.
Akan berbeda nanti hukum mudzakkar dan
mu’annatsnya apabila adad-adad mufrad tersebut diatas dibentuk menjadi
‘Adad Murokkab atau ‘Adad Ma’thuf yg insyaAllah akan dijelaskan pada
bait-bait selanjutnya.
II. Hukum I’robnya : disesuaikan menurut posisinya pada susunan kalam.
III. Hukum Tamyiznya/Ma’dudnya :
A. Dijadikan mudhaf ilaih dg susunan idhofah, yakni
memudhofkan adad kepada ma’dud yg dibutuhkan sebagai tamyiznya, seperti
pada contoh-contoh diatas. Dan terkadang tidak dimudhofkan kepada
tamyiznya tapi cukup dimudhofkan langsung kepada siempunya
tamyiz/ma’dud. Kerena dalam hal ini si pembicara sudah memaklumi akan
jenis/bentuk ma’dud. Sehingga tidak perlu ditamyizi. Semisal contoh:
هذه خمسةُ محمد
HADZIHI KHOMSATU MUHAMMADIN = ini adalah limanya Zaid (yakni, ini lima barang punya zaid)
خذ سبعتك
KHUDZ! SAB’ATAKA = ambillah! Tujuhmu. (yakni, ambilah tujuh barangmu)
B. Ma’dudnya berbentuk jamak, yg sering digunakan
adalah dalam bentuk Jamak Taksir Qillah. Dan diketahui juga bahwa maksud
jamak dalam ma’dud di sini tidak harus berupa bentuk jamak dalam
istilah, tapi juga bisa masuk kepada semua jenis isim yg menunjukkan
jamak, seperti Isim Jamak dan Isim Jinsi Jam’i, yg dalam penggunaannya
banyak menyertakan huruf jar MIN. contoh dalam Ayat Al-Qur’an :
فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ
FA KHUDZ! ARBA’ATAN MINATH-THOIRI = ambillah empat ekor burung (QS. Al-Baqoroh : 260)
جاء ثلاثة من القوم
JAA’A TSALAATSATUN MINAL QOUMI = telah datang tiga kaum.
في المزرعة سبع من النخل وتسع من الشجر
FIL MAZRO’ATI SAB’UN MINAN-NAKHLI WA TIS’UN MINAS-SYAJARI = di ladang itu ada tujuh pohon kurma dan Sembilan pepohonan.
Terkadang juga langsung disusun secara idhofah. Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :
وَكَانَ فِي الْمَدِينَةِ تِسْعَةُ رَهْطٍ
WA KAANA FIL-MADIINATI TIS’ATU ROHTHIN = Dan adalah di kota itu sembilan orang laki-laki (QS. An-naml:48).
Yang berbeda dengan tiga hal diatas dalam hukum penggunaan ma’dudnya yakni : 1. Jamak. 2. Jamak Taksir. 3. Jamak Taksir Qillah. Adalah :
1. Menggunakan bentuk isim mufrod, apabila adad-adad tersebut diatas bertamyiz pada lafazh MI’ATUN. Contoh :
في المعهد ثلثمائة طالب وأربعمائة مقعد
FIL-MA’HADI TSALATSUMI’ATI THOOLIBIN WA ARBA’UMI’ATI MAQ’ADIN = di lembaga itu ada 300 siswa dan 400 bangku.
2. Menggunakan bentuk jamak shohih, apabila tidak terdapat dalam bentuk jamak taksirnya. Contoh:
خمس صلوات
KHOMSU SHOLAWAATIN = lima sholat.
Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ
ALLAHUL-LADZII
KHOLAQO SAB’A SAMAAWAATIN WA MINAL-ARDHI MITSLAHUNNA = Allah-lah yang
menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi (QS. Ath-Tholaaq :
12)
>> Lafazh “SAMAWAATIN” =
menggunakan jamak shohih (jamak muannats salim) karena tidak mempunyai
bentuk jamak lain selain itu.
ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ لَّكُمْ
TSALAATU ‘AUROOTIN = tiga ‘aurat bagi kamu (QS. An-Nur : 58)
>> lafazh “‘AUROOTIN” = jamak shohih sebab juga tidak ada dalam bentuk jamak taksirnya.
Demikian juga menggunakan jamak shohih, apabila bentuk jamak taksirnya jarang digunakan. Semisal contoh dalam Ayat Al-Qur’an :
فِي تِسْعِ آيَاتٍ
FII TIS’I AAYAATIN = termasuk sembilan buah mukjizat (QS. An-Naml : 12)
>> lafazh “AAYAATIN” = jamak shohih
dari “AAYATIN” ditemukan dari bangsa arab menggunakan jamak taksirnya
yaitu AAYUN tapi tidak banyak digunakan (lihat Al-Mishbahul Munir hal.
23).
Demikian juga menggunakan bentuk jamak
shohih apabila digunakan bersamaan dengan jamak yg tidak ada bentuk
jamak taksirnya, seperti contoh:
يُوسُفُ أَيُّهَا الصِّدِّيقُ أَفْتِنَا فِي سَبْعِ بَقَرَاتٍ سِمَانٍ يَأْكُلُهُنَّ سَبْعٌ عِجَافٌ وَسَبْعِ سُنْبُلَاتٍ خُضْرٍ وَأُخَرَ يَابِسَاتٍ
YUUSUFU
AYYUHASH-SHIDDIIQU AFTINAA FII SAB’I BAQOROOTIN SIMAANIN YA’KULUHUNNA
SAB’UN ‘IJAAFUN WA SAB’I SUNBULAATIN KHUDHRIN WA UKHORU YAABISAATIN =
(Setelah pelayan itu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): “Yusuf, hai
orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor
sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina
yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya
yang kering (QS. Yusuf : 46)
>> lafazh SAB’I “SUNBULAATIN” =
menggunakan jamak shohih karena berdampingan dengan lafazh sebelumnya
yaitu SAB’I “BAQOROOTIN” yg tidak diketahui bentuk jamak taksirnya.
Sedangkan apabila tidak berdampingan
dengan jamak shohih yg tidak ada bentuk jamak taksirnya, maka
menggunakan bentuk jamak taksirnya yaitu “SANAABILA”, contoh dalam Ayat :
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ
MATSALUL-LADZIINA
YANFIQUUNA AMWAALAHUM FII SABIILILLAAHI KAMATSALI HUBBATIN ANBATAT
SAB’A SANAABILA FII KULLI SUNBULATIN MA’ATU HABBAH. = Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di
jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh
bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. (QS. Al-Baqoro : 261).
3. Tetap menggunakan bentuk Jamak Taksir Katsroh sekalipun ada dalam bentuk Jamak Taksi Qillahnya, contoh dalam Ayat Al-Qur’an :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
WAL-MUTHOLLAQOOTU
YATAROBBASHNA BI ANFUSIHINNA TSALAATSATA QURUU’IN = Wanita-wanita yang
ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ (QS.
Al-Baqoroh : 228)
>> ‘Adad TSALAATSATA dimudhofkan
kepada ma’dudnya lafazh “QURUU’IN” yg berupa Jamak Taksir Katsroh,
beserta ia mempunyai bentuk Jamak Taksir Qillah yaitu “AQROO’IN”.
C. MI’ATUN (SERATUS) dan ALFUN (SERIBU)
I. Hukum Mudzakkar & Muannatsnya : Tetap dalam bentuknya baik ma’dudnya Mudzakkar atau Mu’annats.
II. Hukum Tamyiznya/Ma’dudnya : Pada umumnya harus berupa Isim Mufrod yg dijarkan menjadi mudhaf ilaih.
Contoh :
قلَّ من يعيش مائة سنةٍ
QOLLA MA YA’IISYU MI’ATA SANATIN = Jarang orang yg hidup seratus tahun.
Contoh dalam Ayat Al-Qur’an :
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
AZZAANIYATU
WAZ-ZAANIY FAJLIDUU KULLA WAAHIDIN MINHUMAA M’ATA JALDATIN = Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang
dari keduanya seratus kali dera (QS. An Nuur : 2)
يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ
YAWADDU AHADUHUM LAW YU’AMMARU ALFA SANATIN = Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun (QS. Al-Baqarah : 96)
Terkadang menggunakan ma’dud/tamyiz bentuk jamak majrur dari ‘adad MI’ATUN, contoh dalam Ayat AL-Qur’an :
وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا
WA
LABITSUU FIY KAHFIHIM TSALAATSA MI’ATIN SINIINA WAZDAADUU TIS’AN = Dan
mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan
tahun (lagi). (QS. Al-Kahfi 25).
>> karena dalam ayat ini oleh
bacaan salah satu qiro’ah sab’ah (Hamzah dan Al-Kasa’iy) memudhofkan
lafazh MI’ATIN pada lafazh SINIINA menjadi “MI’ATI SINIINA”.