Kamis, 15 November 2012

cara gila jadi pengusaha

7 komentar


VIRUS ENTREPRENEUR
JADI PENGUSAHA SUKSES!



Saksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002
Tentang HAK CIPTA

  1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Ayat 91) atau pasal 49 Ayat 91) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan / atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

  1. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
 

CARA GILA JADI
PENGUSAHA


VIRUS ENTREPRENEUR
JADI PENGUSAHA SUKSES!



Penerbit PT Elex Media Komputindo
Kelompok Kompas – Gramedia, Jakarta

Cara Gila Jadi pengusaha
VIRUS ENTREPRENEUR JADI PENGUSAHA SUKSES!
Ditulis oleh: Purdi E. Chandra
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Elex Komputindo
Kelompok Gramedia-Jakarta
EMK235071487
ISBN: 978-979-27-1281-0
 
Anggota IKAPI, Jakarta 2007














Cetakan ke-1     : September 2007
Cetakan ke-7     : November 2008
Cetakan ke-8     : Maret 2009
Cetakan ke-9     : Juli 2009
Cetakan ke-10    : November 2009
Cetakan ke-11    : Februari 2010
Cetakan ke-12    : Maret 2010


Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagaian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit, kecuali kutipan kecil dengan menyebutkan sumbernya dengan layak.



Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan

DAFTAR ISI



BAGIAN 4 : Gaya memimpin Seorang Entrepreneur. 104
BAGIAN 5 : Jalur Cepat jadi Entrpreneur Sukses. 120
BAGIAN 6 : Hati Nurani dan Intusi sang entrepreneur. 131
BAGIAN 7 : Apa yang Kita Pelajari dari Mereka?. 143
BAGIAN 8 : entrepreneur adalah Soko Guru Perekonomian. 165
Entrepreneur: Virus Maut, Cepat Menular, Bikin Pengidapnya “Gila”. Waspadalah!
M
Enebar  virus. Niat simpel itu sengaja dan sangat serius ingin saya wujudkan melalui terbitnya buku simple dan smart ini. Virus ini, seperti juga penyakit lain yang biasa menyerang manusia, punya gejala­gejala cukup menakutkan yakni: cepat menular, penderita bisa mengala­mi beberapa stadium bertahap, mulai dari demam, demam parah bahkan kalau sudah akut bisa menjadi "gila"!
Sejak saya tebarkan virus maut dan menular ini selama lebih dari lima tahun terakhir di berbagai kota besar di Indonesia, semakin banyak penderita yang terjangkit penyakit akibat virus yang saya sebarkan, mereka tidak saja hanya menjadi "gila" tapi justru semakin tergila-gila. Tak sedikit yang kemudian mengajak rekan kerja, tetangga, teman kuliah, malah tak sedikit para purnawirawan dan pensiunan yang ikut menjangkiti sendiri dengan virus "maut dan berbahaya" ini. Anehnya, pemerintah tidak mencekal dan tidak melarang saya menebarkan virus aneh bin ajaib ini. Beberapa BUMN, bahkan Kementrian Negara Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah RI sering mengundang saya bicara dalam beberapa seminar yang mereka kelola.
Entrepreneur, nama virus maut itu. Kalau sudah dijangkiti virus ini seseorang akan punya pola pikir baru dan berani mengambil langkah yang selama hidupnya belum pernah dilakukan demi sebuah tantangan baru: menjadi entrepreneur sukses alias menjadi pengusaha. Memang, lewat buku "Cara Gila Jadi Pengusaha" ini saya ingin mendorong para pembaca untuk berani masuk ke "Jurang Tantangan Hidup Baru", orang Jawa sering menyebutnya, njorokke!
Memang, setelah membaca buku ini, pembaca diharapkan tak perlu ragu dan bimbang untuk secepatnya menentukan sikap dan langsung mengambil tindakan nyata untuk memulai usaha dan merintis bisnis. Saya sungguh sepakat dengan Bob Sadino, pengusaha nasional pemilik supermarket Kem Chicks & Kem Food yang mengatakan kunci sukses saya adalah, karena saya melangkah dan terus melangkah dalam berbisnis, bukan hanya mengangan-angankan langkah.
Dan, yang pasti, kalau kita memang sudah yakin menjadi pengusaha adalah pilihan hidup kita yang menantang, secepatnya lakukan hal-hal yang sifatnya membakar sikap optimisme itu. Saya sendiri, 25 tahun lalu nekat keluar dan meninggalkan kuliah saya di UGM dan melantik diri sebagai Presdir Primagarl3a Group meski berkantor hanya di sebuah ruko kecil di pinggir Jalan Piere Tendean di selatan perempatan Wirobrajan, Jogyakarta. Keluarga saya sudah pasti menilai sikap saya itu "gila". Tapi kini, Primagama telah berkembang menjadi "Raja Bimbingan Belajar", dan menjadi market leader dengan 600 cabang di seluruh tanah air dengan puluhan cabang usaha lain. Tak salah kalau "Tukul Arwana" lewat acaranya yang ditonton di 9 negara, "Empat Mata", pernah menjadikan saya sebagai tamu istimewanya. Majalah SWA, Tajuk, dan Ernest & Young juga pernah me-listing nama sang Presdir Primagama Group sebagai nominator Entrepreneur of The Years dalam beberapa versi mereka.
Lewat buku yang simpel tapi mudah dicerna dan aplikabel ini, pembaca diharapkan mendapatkan pola pikir baru (new mind set) tentang bagaimana mestinya memulai usaha, bukan dimulai dengan uang, bakat, keturunan atau keahlian, apalagi pengalaman. Hanya satu modal utamanya: berani mulai! Banyak sekali tip dan trik dalam buku ini yang bisa jadi panduan Anda memahami dengan mudah bagaimana "cara gila", tapi masuk akal untuk menjadi berani mulai menjadi pengusaha. Ibarat virus, buku ini memang mengandung virus maut yang berbahaya, sangat cepat menular, tapi sungguh tidak mematikan, setidaknya memberi jalan bagi Anda hidup lebih kaya, sejahtera bersama-sama, berkali-kali!
Salam Entrepreneur Indonesia!
Sukses berkali-kali!
Purdi E. Chandra
Motivasi Hati 1000/hari REG_PURDI Kirim ke 7475
HP: 081318800999

Text Box: BAGIAN 1: 

Modal Jadi Entrepreneur itu Cuma BERANI dan MIMPI!
..

S
alah satu pandangan keliru pada sebagian besar orang yang ingin memulai usaha tapi tak juga berani melakukan apa pun untuk mewujudkannya, adalah karena mereka meyakin kalau memulai usaha itu harus punya uang tunai sebagai modal awal usaha terlebih dulu. Itu keliru besar!
Sebenarnya yang paling dibutuhkan untuk memulai usaha bukan modal uang, tapi keberanian untuk terus mencoba, memulai usaha dengan langkah nyata. Kalau perlu dengan modal mimpi. Oleh karena itu, seorang entrepreneur jangan takut bermimpi, karena mimpi kita tidak lain adalah bagian dari visi yang akan menjadikan cetak biru (blue prin4 kenyataan. Oleh karena, rezeki yang kita inginkan bisa mengikuti mimpi kita, bahhan dalam banyak realitas, rezeki itu berbanding lurus dengan mimpi kita.
Jadi, bila kita sudah berani untuk memulai langkah, cobalah mewujudkan ide bisnis. Entrepreneur harus pantang berhenti. Yang harus dilakukan hanyalah mencoba dan terus mencoba. Untuk itu, logis kalau kita harus berani menghadapi kegagalan berulang-ulang dan anggaplah hal itu sebagai proses belajar menuju kesuksesan. Dengan demikiari yang namanya kegagalan tak pemah kita kenal dalam kehidupan kita. Oleh karena di dalam diri seorang entrepreneur tidak mengenal kamus gagal, yang ada hanyalah berhenti mencoba. Untuk meraih sukses seorang entrepreneur itu tak kenal istilah berhenti mencoba! Jadi, gagal itu biasa, terus mencoba dan berani gagal lagi itu baru luar biasa! Jangan patahkan semangat dengan mengukur kegagalan kita tapi lihatlah berapa kali kita berani bangkit dan mencoba lagi!



J
adi entrepreneur itu memang harus berani mimpi. Bagaimana dengan Anda? Bahkan saat krisis ekonomi pun, kita janganlah merasa takut bermimpi. Sebab, kita harus yakin bahwa mimpi atau visi itu sama dengan cetak biru (blue print) dari realita. Artinya, sesuatu yang akan menjadi kenyataan.
Saya punya keyakinan, kalau entrepreneur berani memiliki visi, ia pasti mampu menciptakan kekuatan positif di dalam pikirannya. Hasilnya adalah kemampuan kerja dan kualitas hidupnya yang meningkat. Oleh karena itu, saya sangat yakin dengan ungkapan berikut ini: "Hati-hatilah dengan angan-anganmu, karena angan-anganmu itu akan menjadi kenyataan."
Presiden pertama kita, Ir. Soekarno, pernah mengatakan, "Gantungkan cita-citamu setinggi langit." Visi memang bisa menyugesti orang. Dan, semua langkah kita akan kita arahkan ke sana. Apalagi entrepreneur itu biasanya seorang pemimpin. Maka mimpi tentang perusahaan, mimpi tentang masa depan, tentu akan dapat memengaruhi para pengikut yang dipimpinnya.
Sebagai pemimpin, entrepreneur harus punya ilmu "obor". Artinya harus dapat menerangi sekelilingnya. Entrepreneur dengan visi besar adalah obor bagi para bawahannya. Entrepreneur dengan visi besar akan dapat menciptakan lingkungan kerja yang dinamis dan penuh motivasi.
Entrepreneur merupakan sosok yang seharusnya tidak takut bermimpi. Apalagi mimpi itu tidak perlu biaya. Tetapi, masalahnya adalah belum tentu semua orang punya keberanian untuk bermimpi. Sehingga tidak berlebihan kalau bermimpi pun membutuhkan sebuah keberanian.
Hal itu bisa terjadi karena kita terkadang masih terpaku pada mitos­mitos, yang telah mentradisi di kalangan masyarakat luas. Misalnya, ada mitos yang mengatakan, bahwa kalau kita mau sukses, kita harus punya gelar sarjana. Padahal kenyataannya, cukup banyak orang yang sukses tanpa menyandang gelar sarjana. Banyak pengusaha yang memulai usahanya dengan mengembangkan mimpi-mimpinya dari modal nol.
Kita lihat saja bagaimana Bill Gates yang bermimpi, bahwa personal computer akan tersedia di rumah setiap orang. Untuk merealisasikan mimpinya, ia rela drop out dari studinya, dan lebih memilih menekuni Microsoft-nya. Ternyata ia berhasil. Sehingga ia kini menjadi salah satu orang terkaya di dunia.
Begitu pula Michael Dell. Impiannya juga menakjubkan, ia ingin mengalahkan perusahaan komputer raksasa IBM. Akhirnya, ia juga berhasil jadi orang pertama memasarkan komputer pribadi dengan strategi direct marketihg. Usahanya yang dirintis tahun 1984 berhasil, buktinya penjualan Dell Computer sangat laris. Bahkan, Dell dalam usia 34 tahun berhasil menjadi salah satu orang terkaya di Amerika Serikat.
Contoh lainnya adalah Jeff Bezos. Mimpinya ingin jadi pengusaha sukses di dunia perdagangan melalui internet. Meski baru tahun 1995, yaitu di saat usianya 30 tahun, ia memberanikan diri masuk ke dunia maya. la mendirikan Amazon.com yang merupakan salah satu situs paling banyak dikunjungi orang, untuk mendapatkan informasi atau membeli buku-buku bermutu dari seluruh dunia. Mimpimya akhirnya terwujud juga. Dan kini ia juga tercatat sebagai miliarder di negeri Paman Sam itu.
Dalam konteks inilah, kita sebagai entrepreneur harus memiliki keberanian bermimpi. Kita harus punya keyakinan, bahwa rezeki itu akhirnya mengikuti mimpi kita. Dan, sebetulnya rezeki itu bisa direncanakan menurut mimpi kita. Rezeki itu berbanding lurus dengan mimpi kita.


O
rang bukannya gagal, tetapi berhenti mencoba. Ungkapan ini sengaja saya ke depankan. Mengapa? Karena sesungguhnya untuk dapat meraih kesuksesan dalam karier atau bisnis, setiap orang harus punya keberanian mencoba.
Seorang entrepreneur dalam situasi sesulit apa pun akan semakin tertantang untuk tidak berhenti mencoba. Dengan kata lain "berani mencoba", dan orang yang selalu berani mencoba itulah yang pada akhirnya justru akan meraih kemenangan atau kesuksesan.
Dalam bisnis, tampaknya kita perlu mengedepankan sikap seperti itu, dan saya kira tidak ada salahnya bila kita bersikap positif semacam itu. Berdasarkan pengalaman, saya melihat, bahwa seorang entrepreneur adalah orang yang tidak mudah percaya sebelum mencobanya. Meskipun ketika mencobanya, keyakinan kita hampir padam karena pasti akan diterpa "angin". Dan ternyata, terpaan "angin" tersebut justru dapat membakar semangat kewirausahaan (the spirit of entrepreneur­shl,o) kita. Nalar bisnis (sense of business) kita semakin optimal, dan pada akhirnya, sebagai entrepreneur, kita semakin yakin akan kesuk­sesan yang akan kita raih.
Tegasnya, keberhasilan dalam bisnis memang sangat ditentukan oleh semangat kewirausahaan kita yang tinggi. Dengan demikian sikap mencoba dan mencoba terus-menerus sebaiknya dimiliki oleh seorang entrepreneur. Pada akhirnya dengan sikap kita yang "berani mencoba" itu, menghindarkan kita untuk tidak terpuruk dalam keputusasaan. Apalagi sampai menghancurkan hidup dan bisnis yang telah kita rintis lama.
Selain itu, pikiran kita juga harus tetap diformulasikan ke arah positif. Bukan sebaliknya, suka berpikir negatif, apalagi sampai putus asa. Sikap semacam ini harus kita buang jauh-jauh.
Jika pikiran kita tidak melihat hasil akhir, bahwa bisnis kita bakal sukses, tentu kita akan kehilangan semangat kewirausahaan. Sebab, dengan kita memiliki bayangan kesuksesan di masa depan, tentu akan dapat memotivasi kita untuk bekerja lebih giat. Bahkan, menjadikan diri kita bersikap tidak mudah putus asa.
Dalam bisnis modern, kita tidak akan dapat hidup tanpa memiliki sikap berani mencoba. Kita lihat saja, masih banyak orang gagal dalam usahanya, yang akhirnya putus asa tanpa mampu lagi berbuat sesuatu, tanpa berani mencoba lagi. Sikap semacam ini jelas akan merugikan kita, bukan saja dari aspek materi atau finansial saja, tapi juga dari aspek psikologis. Oleh karena itu, walaupun di masa krisis, sebaiknya kita harus tetap menjadi entrepreneur yang memiliki semangat kewira­usahaan yang tinggi.
Kita juga harus punya keyakinan, bahwa sesungguhnya seseorang itu tidak ada yang gagal dalam bisnisnya. Mereka yang gagal hanyalah karena dia berhenti mencoba, berhenti berusaha. Seandainya kita berani mencoba, dan kita lebih tekun dan ulet, maka pasti yang namanya kegagalan itu tidak akan pernah ada. Artinya, kita mau berjerih payah dalam berusaha, tentu kita akan menuai keberhasilan.
Untuk itu, kita harus berani mencoba. Sebab, tidak satu pun di dunia ini, termasuk di dalam dunia entrepreneur yang dapat menggantikan keberanian mencoba. Dengan bakat bisnis? Tidak bisa. Sebab orang berbakat yang tidak berhasil meraih sukses banyak kita jumpai. Bagaimana dengan kejeniusan seseorang? Juga tidak. Sebab keje­niusan yang hanya dipendam saja, itu sama saja dengan omong kosong. Tergantung pendidikannya juga tidak. Sebab di dunia ini sudah penuh dengan pengangguran yang berijazah sarjana. Dan ternyata ... hanya dengan keberanian mencoba dan mencoba itulah yang dapat menentukan kesuksesan bisnis kita.


B
anyak entrepreneur yang sukses karena ia merantau. Orang Tegal sukses dengan wartegnya di Jakarta. Begitu juga orang Wonogiri sukses menekuni usaha sebagai penjual bakso. Orang Wonosari suk­ses sebagai penjual bakmi dan minuman. Sementara orang Padang, sukses dengan bisnis masakan padang-nya.
Bahkan, orang China pun banyak yang sukses ketika ia merantau ke luar negeri. Dan, tidak sedikit pula, orang Jawa yang sukses sebagai transmigran di Sumatera. Juga banyak orang dari luar Jawa yang sukses bisnisnya ketika merantau di Yogyakarta. Hal itu wajar terjadi, karena orang-orang tersebut memang punya keberanian merantau.
Sebenarnya, apa yang diungkapkan di atas hanyalah sekadar contoh, bahwa orang yang bisa sukses sebagai entrepreneur, kalau orang tersebut memiliki keberanian merantau. Mengapa demikian?
Menurut saya, keberanian merantau itu perlu kita miliki, karena dengan merantau berarti kita berani meninggalkan lingkungan keluarga, meski­pun kita sudah tumbuh besar atau dewasa, namun tetap dianggap sebagai anak kecil. Sehingga, hal itu akan membuat kita tergantung dan tidak mandiri. Akibat dari itu jelas, kita mudah patah semangat atau putus asa. Tidak berani menghadapi tantangan atau risiko bisnis. Kita pun akan mudah tergantung pada orang lain.
Tapi beda halnya, kalau kita berani merantau. Hal itu berarti siap menjadi "manusia baru". Kita harus siap menghadapi lingkungan baru, yang barangkali tak sedikit tantangan yang harus dihadapi. Jika dulu kita belum tahu apa sebenarnya kelemahan kita, dengan merantau hall tersebut bisa diketahui. Sedikit demi sedikit kelemahan tersebut akan kita perbaiki di tanah perantauan. Itulah sebabnya mengapa saya yakin, keberanian merantau yang membuat kita punya jiwa kemandirian itu, akan membuat kita lebih percaya diri dalam setiap langkah dalam bisnis maupun karier.
Jadi singkatnya, merantau itu akan membuat kita berjiwa "tahan banting". Katakanlah, kalau usaha kita ternyata jatuh dan gagal, kita tidak terlalu malu, toh itu terjadi di kota lain. Dengan kata lain, berusaha di kota lain akan mengurangi beban berat, bila dibandingkan dengan merintis bisnis di kota kita sendiri.
Selain itu, keberanian merantau ke daerah lain, akan membuat kita dapat menyelesaikan persoalan sendiri. Bahkan, kita akan merasa tabu terhadap bantuan orang lain. Kita ada rasa untuk tidak mau punya utang budi pada orang lain.
Oleh karena itu, saya berpendapat, bahwa sesungguhnya keman-dirian itu adalah semangat paling dasar dari kita untuk bisa meraih kesuksesan. Dan, alangkah baiknya jika sikap mandiri semacam itu bisa kita bentuk sejak kita masih sekolah.
Maka, jika kita ingin menjadi entrepreneur yang mampu meraih sukses dan "tahan banting", salah satu kuncinya adalah keman-dirian itu sendiri. Dan, kemandirian akan muncul jika kita berani merantau. Buktikan sendiri!


“Hanya orang yang berani gagal total, akan meraih keberhasilan .)tltotal." Pernyataan John F. Kennedy ini saya yakini kebenaran­nya. Itu bukan sekadar retorika, tetapi sudah terbukti dalam perjalanan hidup saya. Gagal total itulah awal karier bisnis saya.
Pada akhir 1981, saya merasa talk puas dengan pola kuliah yang membosankan. Saya nekad meninggalkan kehidupan kampus. Saat itu saya berpikir, bahwa gagal meraih gelar sarjana bukan berarti gagal dalam mengejar cita-cita lain. Di tahun 1982, saya kemudian mulai merintis bisnis bimbingan tes Primagama, yang belakangan berubah menjadi Lembaga Bimbingan Belajar Primagama.
Bisnis tersebut saya jalankan dengan jatuh bangun. Dari awalnya yang sangat sepi peminat hanya 2 orang, sampai akhirnya peminatnya mem­bludak, sampai akhirnya Primagama dapat buka cabang di ratusan kota, dan menjadi lembaga bimbingan belajar terbesar di Indonesia.
Dalam kehidupan sosial, kegagalan itu memang sebuah kata yang tidak begitu enak didengar. Kegagalan bukan sesuatu yang disukai, dan merupakan kejadian yang dihindari oleh setiap orang. Kita tidak bisa memungkiri diri kita, yang nyata-nyata masih lebih suka melihat orang yang sukses daripada melihat orang yang gagal, bahkan tidak menyukai orang yang gagal.
Jadi, ketika Anda seorang entrepreneur yang menemui kegagalan dalam usaha, maka jangan berharap orang akan memuji Anda. Jangan berha­rap pula orang di sekitar Anda maupun relasi Anda akan memahami mengapa Anda gagal.
Jangan berharap Anda tidak disalahkan. Jangan berharap juga semua sahabat masih tetap berada di sekeliling Anda. Jangan berharap Anda akan mendapat dukungan moral dari teman yang lain. Jangan berharap pula ada orang yang akan meminjami uang sebagai bantuan sementara. Jangan berharap bank akan memberikan pinjaman selanjutnya.
Mengapa saya melukiskan gambaran yang begitu buruk bagi seorang entrepreneur yang gagal? Begitulah masyarakat kita, cenderung memuji yang sukses dan menang. Sebaliknya, menghujat yang kalah dan gagal. Kita sebaiknya mengubah budaya seperti itu, dan memberikan kesem­patan kepada setiap orang pada peluang yang kedua.
Menurut pengalaman saya, apabila orang gagal, maka tidak ada guna­nya murung dan memikirkan kegagalannya. Tetapi perlu mencari penye­babnya. Dan justru kita harus lebih tertantang lagi dengan usaha yang sedang kita jalani yang mengalami kegagalan itu. Saya sendiri lebih suka mempergunakan kegagalan atau pengalaman negatif itu untuk menemu­kan kekuatan-kekuatan baru agar bisa meraih kesuksesan kembali.
Sudah tentu, kasus kegagalan dalam bisnis maupun dunia kerja, saat krisis ekonomi kian merebak dan bertambah. Ribuan orang terkena Pemutusan Tenaga Kerja (PHK) dan kehilangan mata pencahariannya. Sungguh ironis, seperti halnya kita, suka atau tidak suka, setiap manusia akan mengalami berbagai masalah, bahkan mungkin penderitaan.
Bagi seorang entrepreneur, sebaiknya jangan sampai terpuruk dengan kondisi dan suasana seperti itu. Kita harus berani menghadapi kegagalan, dan ambil saja hikmahnya (kejadian di balik itu). Mungkin saja kegagalan itu datang untuk memuliakan hati kita, membersihkan pikiran kita dari keangkuhan dan kepicikan, memperluas wawasan kita, serta untuk lebih mendekatkan diri kita kepada Tuhan. Untuk mengajarkan kita menjadi gagah, tatkala lemah. Menjadi berani ketika kita takut. Itu sebabnya mengapa saya juga sepakat dengan pendapat Richard Gere, aktor terkemuka Hollywood, yang mengatakan bahwa kegagalan itu penting bagi karier siapa pun.
Mengapa demikian? Karena selama ini banyak orang membuat kesa­lahan sama, dengan menganggap kegagalan sebagai musuh kesuk­sesan. Justru sebaliknya, kita seharusnya menganggap kegagalan itu dapat mendatangkan hasil. Ingat, kita harus yakin akan menemukan kesuksesan di penghujung kegagalan.
Ada beberapa sebab dari kegagalan itu sendiri. Pertama, kita ini sering menilai kemampuan diri kita tidak terlalu rendah. Kedua, setiap bertindak, kita sering terpengaruh oleh mitos yang muncul di masyarakat sekitar kita. Ketiga, biasanya kita terlalu "melankolis" dan suka memvonis diri terlebih dahulu, bahwa kita ini dilahirkan dengan nasib buruk. Keempat, kita cenderung masih memiliki sikap, tidak mau atau tidak mau tahu dari mana kita harus memulai kembali suatu usaha.
Dengan mengetahui sebab kegagalan itu, tentunya akan membuat kita yakin untuk bisa mengatasinya. Bila kita mengalami sembilan dari sepuluh kali lebih giat. Maka sebaiknya kita bekerja sepuluh kali lebih giat. Dengan memiliki sikap dan pemikiran semacam itu, maka akan menjadikan kita tetap sebagai sosok entrepreneur yang selalu optimis akanmasa depan. Maka, sebaiknya janganlah kita suka mengukur seorang entrepreneur dengan menghitung berapa kali dia jatuh. Tapi ukurlah, berapa kali bangkit kembali.


Hanya segelintir entrepreneur yang dapat mencapai tangga sukses teratas tanpa perjuangan dan pengorbanan. Resepnya, antara lain, kalau melakukan kesalahan, mereka melupakannya dan terus bekerja, hingga akhirnya mencapai kesuksesan. Menurut saya, kita sebagai entrepreneur harus selalu berani berpikiran sukses dan berani mengem­bangkan kepercayaan diri.
Harus selalu ingat, bahwa kita adalah orang yang berpotensi dalam bisnis, yang setiap saat harus selalu melipatgandakan kepercayaan diri dan menghilangkan penyakit exucitis, penyakit mencari alasan. Apakah itu alasan berkaitan dengan kesehatan, inteligensia atau kecerdasan, usia, dan nasib. Kita pun harus berani mengubah kegagalan menjadi kemenangan atau kesuksesan.
Untuk sebuah kesuksesan, dibutuhkan keberanian secara terus­menerus untuk mempelajari kemunduran bisnis kita menuju kesuksesan. Dalam bisnis, sangat wajar kalau kita belajar dari kesuksesan yang dicapai pesaing kita. Namun yang penting, bagaimana kita harus menghindari kesalahan-kesalahan yang pernah diperbuat oleh pesaing kita itu. Kita juga harus selalu siap menghadapi perubahan-perubahan yang selalu ada dalam kehidupan bisnis.
Upaya-upaya mencipta ide-ide terbaik yang bersifat competitive advantage saya kira menjadi sangat penting, dan kalau perlu kita gabung-gabung­kan ide-ide terbaik dari para pesaing kita.
Dengan kata lain, sebagai orang entrepreneur, kita pun harus senan­tiasa setiap saat selalu membuka mata dan telinga terhadap suatu kesempatan atau peluang. Sebab, di samping faktor rezeki, maka peluang itu juga menyangkut dengan faktor kita. Bila kita mampu melakukan hal itu, tidak mustahil kesuksesan akan dapat kita raih.
Saya yakin, kita semua mendambakan kesuksesan. Ingin memper-oleh yang sebaik-baiknya dari perjalanan hidupnya. Tidak ada orang yang bisa mendapatkan kenikmatan dari hidup yang terus merangkak­rangkak, kehidupan setengah-setengah. Sukses ber-arti banyak hal mengagumkan yang positif. Sukses berarti kesejahteraan pribadi; rumah bagus, keamanan di bidang keuangan dan kesempatan maju yang maksimal, serta berguna bagi masyarakat. Sukses juga berarti memper­oleh kehormatan, kepemimpinan, dan disegani.
Dengan demikian sukses berarti self respect, merasa terhormat, terus­menerus merasa bahagia, dan merasakan kepuasan dari kehidupannya. Itu artinya, kita berhasil berbuat lebih banyak yang bermanfaat. Dengan kata lain, sukses berarti menang! Namun sayangnya di era globalisasi seperti sekarang ini, tidak semua entrepreneur berani menyebutkan, bahwa dirinya telah mencapai kesuksesan.
Sebaliknya, saya justru berpendapat bahwa kita sebagai entre-preneur harus berani menyatakan dirinya sukses. Karena dengan keberanian kita menyatakan sukses, akan membangkitkan kepercayaan diri. Dengan kepercayaan diri yang besar itu, kita akan lebih bersemangat untuk meraih kesuksesan. Dan saya tetap yakin, betapa pun sibuknya entrepreneur-entrepreneur yang sukses, ia akan tetap siap membantu teman-teman yang memerlukannya. Dan mereka semakin percaya pada Tuhan sebagai suatu kekuatan yang besar.


Banyak di antara kita yang ingin bekerja pada perusahaan orang lain, sebagai karyawan. Apakah itu karyawan perusahaan swasta mau­pun pegawai negeri. Saya kira alasannya, kita tentu sudah tahu semua, yaitu sebagai karyawan yang dibutuhkan adalah keamanan. Setiap bulan ada kepastian terima gaji. Setelah tua dapat pensiun.
Mengapa tidak tertarik untuk menjadi entrepreneur. Saya kira, hal itu karena di antara kita banyak yang tidak siap menghadapi risiko atau lebih tepat disebut suka menjauh dari risiko. Sehingga, tidak menghe­rankan, banyak di antara kita yang kemudian takut untuk menjadi entrepreneur.
Oleh karena inginnya aman-aman saja, saya kira itu sebabnya mengapa yang sudah jadi karyawan pun sulit untuk berubah menjadi entrepre­neur. Oleh karena itu, saya mengajak bagaimana kalau kita menjadi entrepreneur. Menurut saya, jika kita punya tekad besar, tak mustahil hal itu akan terwujud. Saya yakin, kita akan lebih bangga, karena kita akhirnya punya banyak karyawan, dan bisa menggaji mereka. Cobalah kita jalani.
Pemikiran saya ini memang beda dengan saat kita sekolah dulu. Di mana setelah kita lulus nanti, mencari kerja, lalu bekerja keras, dan terus mendapatkan uang. Setelah uang itu kita raih, uang itu kita tabung.
Jadinya, kita tak pernah belajar bagaimana untuk berani membuka usaha. Tapi sebaliknya, kita justru lebih diajarkan bagaimana kita bisa mencari pekerjaan pada perusahaan orang lain atau istilah lain, meng­gantungkan nasib kita pada orang lain. Akhirnya apa yang terjadi, kalau dia terkena PHK. Akibatnya, mereka pun menganggur.
Saya justru berpendapat, bahwa sistem pendidikan kita semestinya tidak seperti itu. Tapi sebaliknya, sistem pendidikan kita seharusnya mengajarkan bagaimana kita bisa mandiri. Oleh karena itulah, menurut saya, di era otonomi sekarang ini tak ada salahnya kalau kita memba­ngun mental dan emosi kita. Kita harus pula selalu punya keberanian mengambil risiko. Kita tidak seharusnya takut membuat kesalahan, dan kita tidak seharusnya takut untuk gagal. Saya yakin, dengan begitu kita akan lebih punya keberanian membuka usaha.
Bahkan, menurut Robert Kiyosaki, penulis best seller "Rlch Dad Poor Dad', agar kita bisa menjadi pengusaha, maka kita harus punya mimpi. Kita harus punya tekad besar, kemauan untuk belajar, dan punya kemampuan menggunakan dengan benar aset kita yang tak lain merupakan pemberian Tuhan.
Itu sebabnya, mengapa banyak orang di sekitar kita yang tidak tertarik untuk memiliki bisnis sendiri. Jawabannya, dapat disimpulkan dalam satu kata: Risiko. Yah, takut menghadapi risiko. Sehingga, mental dan emosi kita hanya ingin aman-aman saja.
Oleh karena itu, kenapa kita tidak mau mencoba menjadi pengusaha. Kalau kita punya mimpi dan tekad besar, saya berkeyakinan, kita bisa menjadi entrepreneur. Apalagi, kalau kita mau mengubah mental dan emosi kita yang selama ini inginnya selalu menjadi karyawan. Mental dan emosi untuk selalu aman menerima gaji, seharusnya kita ubah menjadi mental dan emosi untuk bisa memberi gaji. Anda berani mencoba?

7


M
 enjadi  karyawan (employee), bisnis sendiri (self-employeo), menjadi pengusaha (business owner, dan sekaligus sebagai investor, itu memang bisa menjadi pekerjaan kita. Contohnya, dokter. Selain dia sudah tercatat sebagai pegawai negri atau sebagai karyawan, dia pada saat praktik di rumah atau di tempat praktiknya, maka sang dokter itu sudah mengelola bisnis sendiri.
Nah, apabila dokter itu punya klinik atau laboratorium, maka dia sebagai layaknya pengusaha. Sedangkan, kalau dia membeli aset dalam bentuk real estate atau rumah, atau membeli saham, maka dokter tersebut sebagai investor atau penanam modal. Tapi yang jelas, jika kita ingin mendapatkan kekayaan atau aset untuk masa depan, saya kira lebih pas atau cocok kalau kita bisa menjadi pengusaha atau investor. Biasahya, kalau kita sudah menjadi pengusaha, maka tidak sulit untuk menjadi investor.
Kalau kita sebagai karyawan, maka kita bekerja untuk orang lain. Sementara, kalau kita mengelola bisnis sendiri, maka kita bekerja untuk diri kita sendiri, sehingga kalau kita libur tentu tidak akan dapat duit. Karena apa? Itu karena, dengan mengelola bisnis sendiri kita bekerja belum menggunakan sistem. Sehingga, tanpa kita terlibat langsung dalam bisnis itu, maka bisnis tidak bisa jalan.
Jika kita sebagai pengusaha, maka orang bekerja untuk kita. Artinya, kita sudah menggunakan sistem. Katakanlah, kalau kita sebagai pengusaha sedang cuti atau libur satu tahun, bahkan waktunya cukup lama sekalipun, maka bisnis itu tetap jalan. Bahkan, tak menutup kemungkinan bisnis kita justru lebih maju. Dan, saya kerap kali melihat, bahwa mereka yang sekarang telah menjadi pengusaha, bisa juga sekaligus sebagai investor. Kalau kita sebagai pengusaha kecil yang ke semuanya dari yang kecil sampai yang besar kita urus sendiri, maka begitu kita libur, uangnya juga libur.
Jika kita sebagai karyawan di perusahaan yang memberikan gaji besar, dan kita bisa menabung, maka setelah pensiun kita bisa jadi investor. Kalau kita sebagai karyawan dengan penghasilan pas-pasan, itu bisa dengan memulai usaha atau bisnis kecil-kecilan atau mengelola bisnis sendiri yang masih kecil. Oleh karena itu, saya berpendapat kalau sekarang ini posisi kita sebagai karyawan, maka kita sebaiknya berusaha keras, bagaimana bisa punya bisnis sendiri. Setelah bisnis itu jalan, maka bagaimana kita berusaha mengembangkan sistem, di mana bisnis kita menjadi besar. Sampai akhirnya kita bisa menjadi pengusaha.
Dan, setelah itu bukan hal yang tak mungkin, kalau kemudian kita bisa menjadi investor. Menjadi investor berarti uang bekerja untuk kita. Maka, kalau kita mau kaya mestinya tidak cukup kita menjadi karyawan atau sekadar punya bisnis kecil-kecilan, sebaiknya kita harus berani menjadi pengusaha atau investor, sekalipun menuju arah ke sana bukan hal yang mudah. Tak sekalipun tantangan yang harus kita hadapi. Tapi yakinlah, dengan kita memiliki jiwa entrepreneur, mimpi jadi investor akan menjadi kenyataan.


Text Box: BAGIAN 2: 
Ini CARANYA Jadi entrepreneur!
.


M
asalah klasik yang sering kali jadi ganjalan dalam memulai usaha yakni, kaya ide tapi miskin keberanian. Ide bisnis memang berjuta pilihan dan bisa muncul kapan saja, oleh siapa saja. Namun, yang tidak mudah dimiliki orang adalah keberanian untuk memulai membuat tindakan nyata untuk mewujudkan ide bisnis yang cerdas itu, menjadi sebuah peluang dan kegiatan yang menantang: memulai usaha. Tak jarang, ketika ide bisnis tak juga dimulai, keburu diserobot orang lain dan sukses besar!
Supaya tidak menggerutu dan sewot, pada bagian ini ditawarkan bagaimana usaha dengan metode BODOL, BOTOL, dan BOBOL. Ketiga pilihan tip dan trik jitu dalam memulai bisnis ini bisa dengan mudah Anda aplikasikan dengan kondisi Anda saat ingin memulai usaha. Tapi yang jadi kunci suksesnya tetaplah keberanian Anda me­mulai dan bertindak nyata. Tip dan trik BODOL, BOTOL, dan BOBOL hanyalah pembuka jalan dan pemacu semangat Anda untuk semakin cepat mewujudkan ide bisnis menjadi nyata, dan menjadikan Anda sebagai pemilik dan akhirnya berhasil menggenggam kesuksesan bisnis.
Yang pasti, memulai bisnis atau mengisi lowongan menjadi pengusaha itu bisa dimulai kapan pun. Di saat Anda gagal menjadi mahasiswa alias drop out, di PHK dan tak lagi menjadi karyawan atau di saat habis pensiun di hari tua justru menjadi waktu yang paling tepat untuk memulai bisnis baru. Justru di saat kita tak punya apa-apa dan hanya dengan optimisme semangat kita plus ide bisnis yang cemerlang akan menjadi jalan mulus meraih sukses memulai binis.
Bagian ini juga akan mengubah pola pikir Anda tentang utang untuk mengembangkan usaha. Utang bukanlah suatu yang tabu atau bahkan haram dalam mengembangkan usaha, justru dengan utang atau modal orang lain membuat kita semakin terpacu untuk lebih cepat memper­besar bisnis kita. Jika bisnis semakin besar akan ada banyak tenaga kerja yang bisa kita rekrut, dari doa dan rasa terima kasih mereka, membuat bisnis kita semakin berkembang dan bahkan akan lebih menggurita, walaupun kita menggunakan uang orang lain.


Menjadi entrepreneur, saya yakin siapa pun bisa. Hal ini, sengaja 11.~saya ungkap dalam tulisan ini, mengingat di lapangan kita masih sering melihat bahwa kebanyakan orang Padang, Bugis, atau keturunan China itu lebih berhasil di bidang bisnis dibanding lainnya. Sehingga disimpulkan, bahwa hal itu karena sifat keturunan atau bakat.
Saya kira itu bukan satu-satunya. Justru yang benar, menurut saya, anak­anak mereka sejak kecilnya memang telah belajar secara informal tentang bisnis (yang menjadi dunia orang tuanya) dari lingkungan keluarganya terus menerus, dan kemudian merekamnya dalam memori otaknya, yang selanjutnya membentuk pola berpikir dan cara berperilaku.
Dalam konteks ini, saya justru berpendapat, meski kita tak dapat bakat dagang, bisa saja jadi pedagang atau wirausahawan. Karena itu, janganlah kita merendah diri hanya karena persoalan berbakat atau tidak. Menurut saya, untuk menjadi pengusaha itu juga tak mengenal usia tua atau muda. Kaya atau miskin. Jenius atau tidak. Mahasiswa atau bukan. Sudah sarjana atau belum. Dan, getar formal seseorang itu, saya kira, bukanlah jaminan atau faktor penentu satu-satunya untuk berhasil menjadi pengusaha.
Bahkan, AI Ries, seorang penulis buku: "Positioning: The Battle of Your Mind, ini pernah mengungkapkan, bahwa lebih dari lima puluh persenanggota eksekutif puncak di McDonald's Corporation, ternyata juga Jak bergelar akademis. Namun, mereka mampu meraih kesuksesan yang luar biasa.
-lain itu, untuk menjadi pengusaha, juga tidak mengenal etnis. Artinya, nis apa pun bisa jadi pengusaha yang sukses. Maka, sebaik-nya iganlah ada kekhawatiran lainnya yang mungkin masih terbayang di mak kita atau intinya kita "alergi" dengan dunia usaha.
)bab, sesungguhnya keberhasilan seseorang menjadi peng-usaha .ngat tergantung pada kemampuan kita untuk merekayasa diri melalui mgalaman hidup di luar keluarga. Misalnya, bisa melalui pendidikan au pelatihan atau mentoring. Atau bisa juga kita belajar dari mgalaman di lapangan atau istilahnya "universitas kehidupan".
)alagi, kalau kita juga mampu melaksanakan empat tugas pokok 7orang wirausahawan yaitu: tugas kreatif, tugas manajerial, tugas erpersonal, dan tugas kepemimpinan. Hal tersebut akan lebih me­ingkinkan lagi bagi kita, untuk lebih bisa meraih keberhasilan dalam rier sebagai pengusaha yang sukses.
Maka, sekali lagi, percayalah pada kemampuan kita. Pemikiran pesi­istis yang membuat kita merasa tidak mampu menjadi pengusaha, itu irus kita buang jauh-jauh. Sebaliknya, kita tidak hanya yakin sekadar sa menjadi pengusaha, tapi kita pun akan semakin yakin dan mampu enjadi pengusaha yang sukses.
Saya yakin, dengan kita bersikap begitu, pasti selalu ada jalan untuk enjadi pengusaha yang sukses. Itu ibarat air yang tak akan mulai engalir kalau krannya belum diputar. Anda berani mencoba?


W
aktu saya kuliah dulu saya punya teman yang pandai dan memiliki wawasan dunia bisnis yang lumayan. Ide-ide rencana usaha yang muncul dari pemikirannya sangat cemerlang. Selalu saja, ide-ide itu adalah ide bisnis yang menarik, prospektif, dan berpeluang besar untuk digarap. Semua teman kuliah berdecak kagum dengan lontaran ide-idenya.
Tetapi ide itu tinggal ide saja. Sampai hari ini belum ada satu pun bisnis yang pernah dijalankannya. Malahan, terakhir saya ketemu dia, berstatus karyawan sebuah perusahaan publik di Jakarta. Dia memang terlalu pandai untuk merencanakan sebuah usaha sekaligus terlalu takut untuk memulai.
Ada juga mahasiswa yang pernah datang pada saya. Dia menyatakan ingin berwirausaha, kemudian dia mengatakan, bahwa dirinya belum punya modal dan tidak begitu pandai. Saya katakan pada dia: "Kebetulan!" Kemudian saya katakan lagi: "Jangan takut, karena modal utama untuk berbisnis adalah keberanian."
Mengapa saya katakan seperti itu? Sebab, biasanya kalau terlalu pinter itu malah terlalu berhitung. Orang yang tahu banyak hal, maka dia akan tahu banyak risiko dan halangan di depannya. Hal itu menurut saya justru akan menciutkan nyalinya.
Saya malah pernah bilang pada seorang sarjana yang ingin berwira­isaha. Saya katakan: "Sekarang, abaikan ijazahmu. Buatlah dirimu seolah-olah tidak punya apa-apa, kecuali semangat dan keinginan yang kuat."
Saya teruskan: "Mulailah berwirausaha justru pada saat Anda tidak iunya apa-apa. Saat Anda merasa tertekan. Saat Anda tidak dapat ierbuat apa-apa dengan ijazah Anda. Saat Anda kebingungan harus ,ayar kredit rumah. Atau pada saat Anda merasa terhina."
Memang nasihat saya ini agak berbeda dengan kebanyakan orang. siasanya orang menyarankan, kalau mau usaha sebaiknya iengumpulkan modal dulu, kemudian cari tempat dan seterusnya. etapi, banyak orang sukses sebagai wirausahawan justru dimulai dari ebaliknya, hanya punya semangat dan tidak punya apa-apa. Kondisi ang memaksa mereka harus "bermimpi" tentang masa depannya, amudian tertantang untuk menggapainya, dan berusaha keras untuk iewujudkannya.
Anda tentu tahu atau paling tidak pernah mendengar nama Steve Jobs. -ebelumnya dia bukan siapa-siapa. Jobs hanyalah anak muda yang emar bercelana jeans belel dan berkantong kempes. Belakangan, dia iembuat Apple Computer di garasi rumahnya, dan mendirikan perusa­aan yang masuk Fortune 500 lebih cepat dari siapa pun sepanjang sejarah.
Jobs adalah contoh orang yang berhasil dalam berwirausaha, justru ukan karena kepandaiannya di bangku kuliah. Tapi, karena ia memiliki aberanian dan keyakinan akan usaha yang digelutinya. Dia mampu ertindak merealisasi gagasannya dengan meninggalkan lingkungan aliah dan teman-temannya yang suka berhura-hura.
Tapi, saya tidak menyarankan Anda untuk mengabaikan pendi-dikan. Hanya saja, saya ingin mengatakan, bahwa untuk menjadi wirausa­hawan terlebih dahulu dibutuhkan keberanian memulai (bertindak), untuk memanfaatkan peluang bisnis yang ada. Hal tersebut harus segera dilakukan, sebelum orang lain mendahuluinya. Kepandaian akan diperlukan bila usaha kita sudah berjalan, dan itu bisa kita dapatkan dengan mengikuti kuliah lagi, atau kita bisa membayar orang-orang pandai sebagai karyawan atau konsultan.


S
aat saya berbicara pada kuliah kewirausahaan di Fakultas Ekonomi sebuah universitas swasta di Yogyakarta, saya sempat ditanya para iahasiswa: "Apakah seorang untuk menjadi pengusaha itu harus iemiliki keterampilan dulu?"
Saya rasa, ini pertanyaan bagus. Pertanyaan yang sama pernah juga inggap di benak saya, yaitu saat saya baru memulai menjadi peng­saha. Saat pertanyaan ini saya balikkan pada mereka, ternyata seba­ian besar mahasiswa mengatakan: "Perlu terampil dulu, baru berani iemulai usaha."
Saya rasa jawaban mereka tidak bisa disalahkan. Mereka cenderung enggunakan otak rasional. Padahal menurut saya, untuk menjadi angusaha, kita harus berani dulu memulai usaha, baru setelah itu emiliki keterampilan. Bukan sebaliknya, terampil dulu, baru berani memulai usaha.
Sebab, saya melihat di Indonesia, ini sebenarnya banyak sekali ingangguran yang tidak sedikit memiliki keterampilan tertentu. Namun, keterampilan atau bekerjakan sayang mereka tidak punya keberanian memulai usaha. Akibatnya, ng dimiliki apakah itu yang diperolehnya saat sekolah !belumnya, akhirnya banyak yang tidak dimanfaatkan. Itu ‘kan saying sekali.
Seperti yang saya alami sendiri, saat membuka usaha restoran Padang Sari Raja. Saya katakan pada mereka, bahwa terus terang tidak bisa membuat masakan padang yang enak. Saya penikmat masakan padang. Tapi saya tidak tahu bumbunya apa saja yang membuat masakan tersebut enak. Saya katakan pada mereka: "Saya bisanya hanya nggodhog wedang atau merebus air." Itu artinya apa? Saya bisa punya usaha restoran, karena saya punya keberanian.
Begitu juga, saat saya dulu membuka usaha Bimbingan Belajar Primagama. Saya belum pernah mengajar atau menjadi tentor di tempat lain. Bahkan saya belum pernah menjadi karyawan di perusahaan orang lain. Namun, saya memberanikan diri untuk membuka usaha tersebut. Sebab, saya berpendapat, kalau kita tidak punya keterampilan, maka banyak orang lain yang terampil di bidangnya bisa menjadi mitra usaha kita.
Oleh karena itu bagi saya, yang terpenting adalah keberanian dulu membuka usaha. Apa pun jenisnya, apa pun namanya. Sebab, sesung­guhnya, untuk menjadi pengusaha, keterampilan bukan segala-galanya. Tetapi keberanian memulai usaha itulah yang harus kita miliki terlebih dahulu.
Banyak contoh, orang yang sukses menjadi manajer, tapi ternyata belum tentu sukses sebagai entrepreneur. Sebaliknya, seseorang yang di awal memulai usaha dengan tidak memiliki keterampilan manajerial, tetapi ia memiliki keberanian memulai usaha, banyak yang ternyata berhasil. Orang jenis terakhir ini selain memiliki keberanian, juga mengembang­kan jiwa entrepreneur. Oleh karena itulah saya kira, jiwa entrepreneur harus kita bangun atau kita bentuk sejak awal.


Ada sebuah pertanyaan menarik dari seorang peserta "Enterpreneur University" angkatan ketiga saat mengikuti kuliah perdana. "Saya ~gitu banyak sekali ide bisnis, tapi nyatanya tak ada satu pun ide bisnis realisir. Akibatnya, saya hanya sekadar kaya ide, tapi bisnis tak ada?" nya peserta yang kebetulan ibu rumah tangga itu.
Saya kira, pertanyaan atau kejadian seperti itu tak hanya dialami oleh ibu Ji, tapi juga cukup banyak dialami oleh kita semua, bahwa yang .manya ide bisnis itu ada saja. Tapi, yah hanya sekadar ide bisnis, mentara bisnisnya nol atau tidak terwujud sama sekali. Terkadang ide yang tidak kita realisir justru sudah dicoba lebih dulu oleh orang lain. dam konteks ini, saya berpendapat, sebenarnya untuk membuat bisnis memang dibutuhkan ide. Hanya saja, karena kita hanya kaya ide, namun skin keberanian untuk mencobanya, maka yang berkembang adalah idenya, sedang bisnisnya nol.
Menurut saya, miskinnya keberanian itu bermula ketika kita mendapat ndidikan di sekolah atau di bangku kuliah, yang kita dapat hanyalah teori semata. Jadi, kita terlalu banyak berteori, tapi miskin praktik. ibatnya, ketika kita kaya ide, miskin keberanian. Artinya, kalau kita iya menguasai teori, namun kalau tidak bisa dipriktekkan, maka ide nis sehebat apa pun akan sulit menjadi kenyataan. Yah, seperti halnya kita belajar setir mobil. Kalau kita hanya teorinya, tapi tak pernah mencoba atau mempraktikkannya, tentu tetap tidak bisa setir mobil.
Jadi, saya kira, persoalannya terletak pada, bagaimana kita yang semula hanya kaya teori atau hanya sekadar bermain logika atau istilah lainnya hanya mengandalkan otak kiri, kemudian bisa berpikir atau bertindak dengan otak kanan. Saya yakin, jika kita mampu juga menggunakan otak kanan, maka seperti pada saat setir mobil. Serba otomatis, tidak lagi harus dipikir, semua sudah di bawah sadar kita.
Kalaupun, di saat kita praktik setir mobil atau mempraktikkan teori kita itu, terjadi berbagai kendala, seperti di saat kita memasukkan mobil ke garasi, mobil kita sedikit rusak karena nyenggol pagar misalnya, saya kira nggak masalah. Begitu juga, ketika kita kecil belajar bersepeda, mengalami jatuh beberapa kali, itu sudah biasa. Tapi, akhirnya, bisa juga kita naik sepeda. Artinya, kita baru bisa naik sepeda setelah pernah mengalami jatuh beberapa kali.
Di bisnis, saya kira itu juga sama. Kita harus ada keberanian untuk jatuh dan bangun. Sebaliknya, kalau tidak ada keberanian seperti itu, bisnis sekecil apa pun tak akan ada. Dan, kalau kita biarkan ide bisnis itu, akibatnya kita hanya kaya ide bisnis, tapi miskin duitnya. Saya yakin, dengan keberanian itulah akan mendatangkan duit. Oleh karena itulah, menurut hemat saya, lebih baik kita berani mencoba dan gagal dari pada gagal mencoba. Anda berani mencoba?


Dalam buku ini, saya juga ingin mengungkapkan di mana sebenarnya kita bisa menangkap peluang bisnis di sekitar kita. Istilah populer­iya Economic Orbit of Opportunlty (E00). Saya kira ini penting. Oleh (arena, peluang bisnis itu sebenarnya ada di sekitar kita. Referensinya juga bisa didapat dari lingkungan kita juga dari membaca, mendengar ;erita orang lain, seminar, jalan-jalan, atau wisata. Ini dapat membang­(itkan inspirasi dan ide-ide bisnis serta pengembangannya. Namun intuk menangkap peluang itu dibutuhkan keberanian, kejelian, dan creativitas bisnis.
Bebenarnya di sekitar kita ini banyak sekali macam bisnis yang bisa jiraih. Hanya saja, kita harus betul-betul memahami kebutuhan masya­-akat konsumen. Sebagai contoh, di beberapa kota di Amerika Serikat, ,udah banyak bisnis yang dikembangkan dari ide-ide sederhana seperti )isnis membangunkan orang tidur (morning calh. Aneh, tapi itu nyata. tentu, pengguna jasa ini harus menjadi member terlebih dahulu dengan nembayar annual fee dalam jumlah tertentu. Ada juga bisnis yang di sini masih langka dan belum memasyarakat yakni menyewakan pakaian dan perlengkapan bayi.
Barangkali sekarang ini belum banyak yang kita temukan. Namun, saya yakin jika kreatif, akan mampu melihat peluang bisnis sebanyak-banyakniya dan mampu menangkap satu atau dua di antaranya. Pendek kata, peluang bisnis tidak akan pernah ada habisnya, selama minat manusia masih menjalankan hajat hidupnya di dunia ini.
Di mana saja sebenarnya peluang bisnis ada di sekitar kita? Misalnya, saat Idul Fitri yang membawa tradisi kirim mengirim parcel dan buah tangan lainnya, walau itu sifatnya musiman, namun saya melihat itu adalah peluang bisnis. Awalnya musiman, tetapi bila dikembangkan dan ditekuni dapat dijadikan bisnis permanen bersama berkembangnya kehidupan sosial masyarakat.
Keterampilan tertentu juga bisa dijadikan peluang bisnis. Terampil di bidang elektronika misalnya, bisa membuka bisnis reparasi dan maintenance alat-alat elektronik. AN di bidang komputer bisa membuka bisnis software dan hardware. Terampil di mesin, bisa memulai bisnis dari servis motor atau mobil. Atau barangkali, punya kreativitas yang berciri khas dan unik, kita bisa merintis bisnis kreatif, seperti kaos Dagadu itu.


Bahwa produk ini akhirnya jadi souvenir khas Yogya, itu sebagai bukti bahwa kreativitas bisa jadi peluang bisnis yang menarik untuk digeluti. Maka, tidak ada salahnya, jika kita juga mencoba mengembangkan kreativitas yang tidak lazim dan unik, agar bisa dijadikan peluang bisnis.
Tingkat pendidikan kita juga bisa menjadi peluang bisnis dengan pengembangan profesi. Misalnya sarjana matematika membuka kursus matematika. Sarjana Sastra Inggris memulai usaha dengan membuka kursus bahasa Inggris. Peluang bisnis ini juga ada di lingkungan keluarga. Bisa dimulai dengan berbisnis makanan atau katering dan keluarga bisa diajak serta, dan bisnis ini bisa dikelola dari rumah.
Peluang itu juga terdapat di lingkungan pekerja, organisasi, dan tetangga. Tentu saja, di lingkungan itu kita banyak teman. Maka, jika punya produk tertentu, kita bisa jual produk tersebut kepada mereka. Bahkan, relasi kita pun bisa jadi peluang bisnis. Misalnya, bisa pinjam uang pada relasi untuk modal usaha. Produk yang dihasilkan, selain bisa dijual pada orang lain, juga pada relasi kita itu. Dengan begitu, kita tak hanya jeli iencari peluang bisnis, tapi juga mampu menciptakan pasar.
Begitu pula, jika punya hobi. Misalnya melukis, bisa jadi pelukis dan ikisan itu bisa kita jual di galeri. Bagi yang hobi senam aerobic atau Pody language, bisa berwirausaha buka studio senam. Bahkan, peluang isnis itu juga bisa diraih saat kita melakukan perjalanan ke luar kota. Ide isnis bisa muncul setelah kita melihat bisnis di kota lain, dan itu bisa dikembangkan di kota sendiri. Hanya saja, agar bisnis yang akan lijalankan tidak sia-sia, ada baiknya pastikan dulu pasarnya.
Tapi, tentu, peluang bisnis itu hanya bisa diraih, jika kita jeli dan gigih. igat pepatah yang mengatakan; Tidak ada usaha, tidak ada hasil". oleh karena itu, sebaiknya jangan ragu di dalam setiap meraih peluang bisnis yang ada di sekitar kita. Soal besar kecilnya peluang jangan jadi nasalah. Tangkap dulu peluang yang ada. Dan, jangan khawatir, peluang bisnis yang berikutnya pasti akan mengikuti. Bisnis itu selalu nengalir, seperti bola salju, dimulai dari yang kecil lalu menggumpal nenjadi besar.


Saya kira, tidak sedikit obsesi entrepreneur dalam menekuni bisnisnya, bukan semata karena uang. Banyak dari mereka yang maju karena visi, yaitu ingin menciptakan lapangan pekerjaan, dan dari usaha itu mempunyai dampak sosial bagi kesejahteraan masyarakat. Dan, karena visinya seperti itu, maka dengan berhasil menciptakan lapangan kerja, atau usahanya memiliki dampak sosial yang positif, maka hal itu pun sudah merupakan sesuatu yang sangat memuaskan dirinya.
Bahkan, saya merasakan, bahwa dengan memiliki visi itu, maka kalaupun usaha yang kita jalankan tidak untung, tetapi tetap jalan, maka hal tersebut bukanlah merupakan permasalahan yang amat penting.
Selama ini saya jarang melihat, adanya entrepreneur yang mencapai puncak prestasinya, dengan cara lebih menempatkan uang sebagai penggerak utamanya. Tapi saya berpendapat, keberhasilannya karena dia memang lebih punya kemampuan menggerakkan visinya. Sehingga, sosok entrepreneur seperti ini, selalu saja punya keinginan mengubah cara kerja dunia.
Mereka selalu kreatif dan inovatif. Mereka menikmati apa yang dilakukannya. Pendeknya, visi itulah yang sebenarnya menggerak-kan entrepreneur melakukan sesuatu yang akhimya usahanya meraih kesuksesan.
Hanya saja, untuk bisa menjadi entrepreneur yang baik, maka perlu jemiliki kebebasan untuk mengejar visi-visi tersebut. Sebaliknya, jika tak apat melakukannya, maka kita tidak akan pernah memperoleh ,tuntungan dari hal tersebut.
Pengusaha yang bisa kita jadikan contoh memiliki visi luar biasa adalah ill Gates pendiri perusahaan komputer perangkat lunak tersebut di ania, Microsoft Corp, yang baru-baru ini meraih gelar Doctor (HC) di ;buah universitas di Jepang. Pengusaha ini termasuk orang tersukses ada akhir abad ke-20 dalam kategori bisnis. Namun, dari apa yang iya pahami, keberhasilannya itu karena ia memiliki visi dan komitmen ituk sukses, dan ternyata Bill Gates sangat menikmatinya. Jelas, ahwa kesuksesannya nyata-nyata bukan semata-mata karena soal 3ng, tetapi karena memiliki komitmen yang luar biasa pada visinya. esuatu yang mungkin sulit kita bayangkan sebelumnya.
Dalam konteks ini, saya sependapat dengan Frend Smith, pendiri dan EO Federal Express Corporation, bahwa untuk bisa menjadi entre­-eneur sukses, semestinya kita juga memiliki kemampuan melihat )suatu yang tidak bisa dilihat orang lain. Atau minimal melihat sesuatu alam cara yang berbeda dari orang lain yang melihatnya secara adisional.
Jadi menurut saya, sebaiknya kita sebagai seorang entrepreneur, iemiliki kemampuan membuat visi masa depan. Di samping juga, kita arus mampu menggunakan intuisi, bahkan kalau perlu kita pun sering iembuat perubahan "revolusioner". Dengan begitu, setidaknya kita iemiliki kemampuan melihat masa depan dengan lebih baik. Kita harus akin, bahwa tahun-tahun ke depan akan menjadi masa terbaik,bagi ara entrepreneur. Maka tak ada salahnya kalau kita berani meraihnya.



Saya percaya, bahwa setiap tahun telah cukup banyak orang yang masuk dunia bisnis. Mereka umumnya melakukan tiga cara. Yakni, membeli bisnis yang sudah ada, menjadi partner dalam sebuah franchise, atau dengan memiliki bisnis baru.
Jika ingin memulai bisnis baru, tentu kita harus bisa menjawab empat pertanyaan ini. Pertama, produk atau layanan apakah yang akan kita buat, dan itu untuk siapa? Kedua, mengapa harus usaha itu? Mengapa calon pelanggan harus membeli dari kita? Apa yang akan kita berikan jika ternyata produk itu belum ada? Bagaimana kompetisinya? Apa keuntungan yang kita peroleh dari kompetisi itu? Ketiga, apakah kita mempunyai sumbernya? Apakah kita akan mendapat order? Apakah order itu datang segera? Keempat, siapa pasar kita? Lantas dari manakah ide untuk mulai bisnis baru itu berasal?
Hasil sebuah survei di AS, yang tertuang dalam buku The Origins of Entrepreneurship, memang disebutkan, bahwa 43% pengusaha itu dapat ide dari pengalaman yang diperoleh saat dia bekerja di industri yang sama. Mereka tahu operasional suatu usaha dan umumnya punya jaringan kerja sama. Sebanyak 15% pengusaha dapat ide bisnis saat melihat orang lain mencoba suatu usaha. Sebanyak 11 % pengusaha dapat ide saat melihat peluang pasar yang tidak atau belum terpenuhi, 7% pengusaha dapat ide karena telah meneliti secara sistematik kesempatan berbisnis, dan 3% pengusaha dapai ide karena hobi atau tertarik akan kegemaran tertentu. Di Indonesia sendiri bagaimana?
Saya kira dalam konteks ini, kita tidak harus sependapat dengan hasil data tersebut. Data 43% pengusaha itu dapat ide dari pengalaman yang diperoleh ketika bekerja di industri yang sama, itu menunjukkan bahwa dia tipe pengusaha yang hanya berani memulai bisnis baru karena hanya semata melihat sisi terangnya saja. Menurut saya, jika kita memang benar-benar ingin memulai bisnis baru, semestinya peluang pasarlah yang lebih kita jadikan pijakan.
Untuk itulah langkah yang kita gunakan pun bukannya i~side out approach melainkan outside in approach, yaitu pendekatan dari luar ke dalam. Cara ini cenderung melihat dahulu, apakah ada pelung bisnis atau tidak. Sebab, sesungguhnya ide dasar bisnis itu sukses adalah jika kita mampu merespons dan mengkreasikan kebutuhan pasar. Cara ini biasanya disebut opportunity recognition.
Oleh karena itulah, saya berpendapat, sebagai pengusaha kita semesti­nya harus berani memulai bisnis baru. Hal itu memang bukan hal mudah, karena membutuhkan analisis dan perencanaan yang serius.
Namun, percayalah bahwa ide memulai bisnis baru tak terlalu Wit. Ide itu bisa berasal dari mana saja dalam berbagai cara. Yang pasti, sekali ide bisnis itu dikembangkan dengan jelas, maka bisnis baru itu niscaya akan berkembang. Apalagi, setelah terlebih dahulu kita adakan evaluasi dengan teliti, baik itu berkaitan dengar. pelanggan dan kompetisinya.



Mungkinkah kita memulai bisnis tanpa memiliki uang tunai? Saya kira itu mungkin saja. Mengapa tidak! Jika kita mampu meng­optimalkan pemikiran kita, maka banyak jalan yang bisa ditempuh dalam menghadapi masalah permodalan untuk kita bisa memulai bisnis. Cuma masalahnya, dari mana duit itu berasal? Logikanya, semua bisnis itu membutuhkan modal uang.
Memang, kebanyakan kita selalu mengeluhkan ketiadaan modal uang sebagai alasan mengapa kita "enggan" berwirausaha. Padahal, modal yang paling vital sebenarnya bukanlah uang, tetapi modal non-fisik, yakni berupa motivasi dan keberanian memulai yang menggebu-gebu.
Saya yakin, jika hal itu bisa dipenuhi, maka mencari modal uang bukanlah persoalan yang tidak mungkin, meski secara pribadi kita tidak memiliki uang. Sementara kita telah tahu, bahwa peluang bisnis telah ada di depan mata. Tentu, alangkah baiknya jika kita tidak menundanya untuk memulai berbisnis.
Toh kita tahu, bahwa sebenarnya banyak sumber permodalan. Seperti uang tabungan, uang pesangon, pinjam di bank, dan di koperasi atau dari lembaga keuangan, atau dari pihak lainnya. Namun, jika kita ternyata tidak memiliki uang tabungan, uang pesangon atau katakanlah belum ada keberanian untuk meminjam uang ke bank atau koperasi, saya kira kita juga tidak perlu risau. Karena ada cara untuk kita memulai bisnis, meski kita tidak memiliki uang tunai sekalipun.
Contohnya, kita bisa menjadi seorang perantara. Misalnya, menjadi perantara jual beli rumah, jual beli motor dan lain-lain. Keuntungan yang kita dapat bisa dari komisi penjualan atau dari cara lain atas kesepakat­i kita dengan pemilik produk. Saya yakin, kita pasti bisa melakukannya.
Kita bisa juga membuat usaha dengan cara konsumen melakukan )mbayaran di muka. Dalam hal ini, kita bisa mencari bisnis di mana )nsumen yang jadi sasaran bisnis kita itu mau membayar atau engeluarkan uang dulu sebelum proses bisnis, baik jasa maupun Produk, itu terjadi. Misalnya bisa dilakukan pada bisnis jasa, seperti dustri jasa pendidikan. Di mana, siswa diwajibkan membayar dulu di depan sebelum proses pendidikannya itu terjadi.

Bisa juga misalnya, ada orang yang memesan barang pada kita, namun sebelum barang yang dipesan itu jadi, pihak konsumen sudah iemberikan uang muka dulu. Artinya, ini sama saja kita telah diberi iodal oleh konsumen.
Masih ada cara lain memulai bisnis tanpa kita memiliki uang tunai. contohnya, menggunakan sistem bagi hasil. Biasanya, cara bisnis model ini banyak diterapkan pada Rumah Makan Padang. Di mana kita sebagai orang yang memiliki keahlian memasak, sementara patner bisnis kita sebagai pemilik modal uang.
Kita bekerja sama dan keuntungan yang didapat pun dibagi sesuai kesepakatan bersama. Atau kita mungkin ingin cara lain? Tentu masih .da. Contohnya, kita bisa melakukannya dengan sistem barter dengan iemasok, dan kita pun jika memiliki keahlian tertentu, mengapa tidak saja menjadi seorang konsultan. Selain itu, bisa saja dengan cara kita mengambil dulu produk yang akan diperdagangkan, hanya untuk pembayarannya bisa kita lakukan setelah produk tersebut terjual pada konsumen. Tentu, masih banyak cara lain untuk kita memulai bisnis tanpa uang tunai.
Oleh karena itu, menurut saya, sebaiknya kita tidak perlu berkecil hati atau takut dipandang rendah, bila ternyata kita memang tidak memiliki uang tunai namun berhasrat untuk memulai bisnis. Saya yakin dengan kita memiliki kemauan besar menjadi seorang wirausahawan atau entre­preneur, maka setidaknya akan selalu ada jalan untuk memulai bisnis. Nyatanya, tidak sedikit pengusaha yang telah meraih keberhasilan meski saat memulai bisnisnya dulu tanpa memiliki uang tunai.
Itu menunjukkan bahwa tidak benar kalau ada yang mengatakan: "Tak mungkin kita memulai bisnis tanpa memiliki uang tunai." Kuncinya sebetulnya terletak pada motivasi dan keberanian kita memulai bisnis yang menggebu-gebu. Hanya saja, untuk cepat meraih sukses, apalagi tanpa memiliki uang tunai, itu tidak semudah seperti kita membalikkan telapak tangan. Semuanya membutuhkan perjuangan.


Mitos atau anggapan "Utang ini Buruk", bisa benar bisa salah.  Benar utang itu buruk, apabila kita berutang terlalu banyak, hanya antuk keperluan konsumtif. Tetapi apabila utang itu kita manfaatkan intuk melakukan bisnis atau usaha, maka anggapan utang itu buruk adalah salah. Saya sepakat, kalau kita mempunyai utang pribadi, sebaik­iya disesuaikan dengan kemampuan. Jangan banyak-banyak. Dan pastikan utang kita itu ada yang membayar.
Dalam berbisnis, kalau bisnis kita mulai berkembang, pasti sangat nembutuhkan tambahan modal kerja maupun investasi. Kalau kita mau naju, maka utang untuk bisnis bukan suatu masalah, justru sangat perlu. 4sal kita bisa menggunakannya secara tepat, hal itu justru akan nembuat bisnis kita lebih berkembang. Sebagai contoh, kita punya modal Rp10 juta. Dari modal itu kita untung 20%, maka keuntungan tang kita peroleh Rp2 juta. Namun kalau dari Rp10 juta kita bisa nendatangkan tambahan modal Rp90 juta dari utang, sehingga modal nenjadi Rp100 juta, maka keuntungan kita yang 20% menjadi Rp20 uta. Dari sini kita bisa membandingkan berapa keuntungan kita sebelum dan sesudah mendapat modal dari luar. Itu hitungan sederhana.
Banyak cara untuk mendapatkan utang. Misalnya melalui bank. Tetapi bank dalam memberikan pinjaman pasti melihat kredibilitas kita. Kalau bisnis kita baik, mengapa kita takut utang. Karena dengan tambahnya modal, maka bisnis kita akan menjadi lebih baik. Sehingga dengan berkembangnya bisnis kita, dampak positifnya dapat membuka lapangan kerja baru.
Kredit modal kerja adalah salah satu bentuk utang yang bisa kita manfaatkan. Dan modal itu bisa kita pakai terus, karena sistemnya rekening koran, di mana kita membayar bunga dari saldo pinjaman yang kita pakai. Setiap jatuh tempo bisa diperpanjang. Bahkan kalau bisnis kita semakin maju, maka kita dapat mengajukan tambahan kredit lagi sesuai kebutuhan. Yang penting dalam berutang tidak ada sedikit pun pikiran atau niat untuk ngemplang atau tidak membayar. Kita harus punya niat baik menepati kesepakatan perjanjian kredit dengan bank.
Perlu kita ketahui, pihak bank sendiri dalam operasionalnya selalu menghimpun dana. Kedua fungsi ini harus seimbang. Dalam penyaluran kredit, pihak bank sendiri mengharapkan adanya keuntungan demi kelancaran operasional dan peningkatan

kesejahteraan karyawan, serta perkembangan bank itu sendiri. Sedang bagi kita yang memanfaatkan kredit sehingga bisnisnya berkembang, maka dampak positifnya, kese­jahteraan karyawan akan meningkat. Di sinilah perlunya, pihak bank dan pengusaha saling kerja sama, saling memberikan dukungan.
Sebenarnya, seorang yang mempunyai citra buruk dalam ber-utang, pada dasarnya disebabkan orang tersebut ingkar janji, tidak bisa mem­bayar atau bahkan ngemplang tidak mau membayar. Tetapi ada pula citra buruk diciptakan oleh mereka yang tidak percaya untuk menda­patkan utang. Sehingga sebagai kompensasi kejengkelannya, mereka menyebarkan isu, bahwa utang itu buruk. Anggapan seperti itu seharus­nya tidak perlu terjadi, karena apa yang kita lakukan itu demi kemajuan bisnis kita. Sayangnya, sebagian besar masyarakat percaya tentang hal itu. Padahal kalau kita mau eksis dan maju dalam berbisnis, salah satu jurus yang jitu adalah harus mau dan mampu memanfaatkan dana dari pihak lain. Untuk melakukan ini memang dituntut keberanian dan rasa optimis. Bisa saja kita punya rasa optimis justru dengan modal sendiri, walaupun ada yang mengatakan, bisnis dengan modal sendiri berarti kita egois, tidak sosial, tidak mau bagi-bagi keuntungan. Dan dari aspek spiritual, menurut saya, semakin banyak kita melibatkan dana orang lain untuk mengembangkan bisnis, maka semakin banyak pula arang ikut mendoakan bisnis kita. Sebaliknya, kalau bisnis kita menggunakan modal sendiri, maka yang mendoakan bisnis kita hanya kita sendiri. Berani mencoba?


Dalam sebuah program pelatihan entrepreneur yang diadakan Entrepreneur University, berapa waktu lalu, saya ditanya peserta, "Bagaimana cara kita berwiraswasta namun tidak punya modal?" Saya jawab, "Kuncinya, BODOL!" Itu singkatan: berani, optimis, duit, orang lain.
Maksudnya, bila kita berani menjadi wirausahawan atau entrepreneur, tentunya kita harus punya keberanian. Tak hanya berani mimpi, tapi juga berani mencoba, berani gagal, dan berani sukses. Saya kira hal ini penting dan harus kita miliki. Selain itu, kita juga harus optimis. Sebab dengan kita tetap optimis, maka kita akan selalu yakin akan masa depan, yakin pada kemampuan, dan juga menghentikan alur pemikiran yang negatif.
Dan, kita janganlah mudah percaya pada mitos yang mengatakan, bahwa usaha ini tak mungkin dimulai dengan modal dengkul. Begitu pula mitos yang juga mengatakan, bahwa modal dengkul berarti mulai kecil-kecilan. Saya percaya, bahwa kalau kita yakin akan bisnis yang kita lakukan, pastilah bisa jalan. Kalaupun nanti di tengah jalan kesulitan modal, anggaplah itu wajar saja dalam bisnis. Sebab, sesungguhnya salah satu ciri usaha atau bisnis kita berkembang adalah selalu saja kekurangan modal. Bila bisnis kita bertambah maju dan omzet naik, maka tentu dituntut pula menyediakan modal tambahan.
Singkatnya, dengan omzet naik, kita dihadapkan pada kesulitan modal. Kita butuh duit. Duit itu dapat dari mana? Jika punya warisan dan simpanan banyak tak masalah. Jika tidak ada? Duit itu bisa saja kita dapat dari duit orang lain atau utang. Apalagi yang namanya modalnya entrepreneur adalah dengkulnya. Maka tak punya dengkul pun, bisa meminjam dengkulnya orang lain. Atau katakanlah, akhirnya utang di bank, atau kita dapat utang berarti itu membuktikan bahwa kita memang dipercaya. Credible.
Sehingga, semakin besar utang kita pada bank dan tidak macet, maka semakin besar pula kepercayaan bank pada kita. Sehingga bonafiditas seorang entrepreneur diukur dari seberapa besar utang yang didapatnya, dan kita semakin dihormati. Sebab, bunga utang kita itu pun digunakan untuk membiayai operasional bank tersebut, termasuk membayar gaji karyawannya dan bunga para penabung.
Ingat, bisnis bank salah satu sumber pendapatannya dari bunga pin­jaman. Bahwa dengan kita berutang yang digunakan untuk mengem­bangkan usaha, maka tentu saja hal itu tak

mustahil akan menciptakan lapangan kerja baru. Itu sangat bermanfaat. Apakah itu, namanya tidak mulia?
Bicara soal utang, saya jadi teringat pada metabolisme tubuh manusia. Agar metabolisme tubuh kita berjalan baik, tentu saja aliran darahnya juga harus baik dan stabil sesuai kebutuhan organ-organ tubuh kita. Kalau kurang darah tentu saja perlu diatasi dengan cara tambahan darah. Nah, utang itulah saya ibaratkan darahnya.
Memang yang namanya utang di bank ini ada risikonya. Tapi semuanya itu dianggapnya perjuangan. Perjuangan adalah hari-hari yang dijalani oleh seorang entrepreneur. Saya sendiri sangat merasakan hal itu. Tapi anggaplah, risiko itu sesuatu yang harus senantiasa diperhitungkan, namun tidak perlu kita takuti. Asal saja, utang atau tambahan modal usaha itu betul-betul digunakan untuk kepentingan bisnis dan bukan untuk kepentingan konsumtif. Memang, kita dituntut pintar dan seefektif mungkin menggunakannya. Sehingga kita dapat membayar utang tepat waktu.
Saya dan Anda, mungkin sama-sama yakin betul, bahwa seorang entrepreneur yang cerdas pasti bisa memanfaatkan utang itu sebaik mungkin. Alasannya adalah dia seorang pekerja keras, tekun, tak mudah puas, berani bersaing, gerak langkahnya cenderung mengejar prestasi terbaik, dan berani mengambil risiko, termasuk berutang tadi.
Itu sebabnya, mengapa dia lebih mampu menangkap dan memanfaat­kan peluang apa pun dengan baik, termasuk tentunya kejeliannya dalam berutang. Maka tak mustahil, kalau seorang entrepreneur tidak berutang hidupnya pun terasa hampa. Karena baginya, berutang pun tetap mulia. Ya, itulah entrepreneur.



Selama ini kita masih sering kali melihat, adanya pengusaha yang selalu "repot-repot" mengundang pejabat tertentu untuk meresmikan pembukaan usahanya. Sementara, istri pejabat itu sambil tersenyum seraya menggunting pita. Hadirin tepuk tangan. Itu semua, tentu saja, selalu ada pamrihnya. Setidaknya, pengaruh pejabat itu akan memulus­kan usahanya kelak.
Namun, di era milenium ketiga ini, tampaknya hal-hal seperti itu tidak perlu terjadi lagi. Artinya, kita tidak usah repot-repot seperti itu. Sebaik­iya, kita harus bebas dari pengaruh kekuasaan politik dan pemerintah, apalagi pejabat tertentu. Menurut saya, justru yang sangat diperlukan Dalam suatu sistem perekonomian terbuka sekarang ini, adalah penguisaha yang kompetitif dan otonom. Pengusaha semacam inilah adalah oengusaha yang tidak tergantung pemerintah, tapi lebih tergantung -nekanisme pasar.
Saya yakin, kehadiran pengusaha yang kompetitif dan otonom akan merupakan satu elemen yang sangat penting artinya bagi pertumbuhan Jan perkembangan ekonomi. Sosok seperti ini, cenderung akan lebih mampu berperan sebagai kekuatan utama yang mendorong pertum­buhan ekonomi.
Tapi sayangnya, di negara kita ini, golongan pengusaha yang kompetitif dan otonom semacam ini, ternyata belum berkembang secara maksimal. Justru, yang saya lihat selama ini, yakni masih banyak munculnya kelompok-kelompok pengusaha swasta jenis lain yang biasa kita namakan pengusaha klien (client businessman). Dalam aktivitas bisnis­nya, mereka memang banyak tergantung, dan menjadi kroni pejabat, atau tergantung pada pengaruh penguasa politik atau pemerintah.
Dalam konteks inilah, saya kira sebaiknya peranan pemerintah tidak diperbesar. Oleh karena, inefisiensi dalam birokrasi jelas sudah usang. Hal itu sudah tak cocok lagi dengan kecepatan bisnis, apalagi di era milenium ketiga ini. Dan, kita sendiri sebagai pengusaha atau wira­usahawan juga perlu banyak belajar dari pengalaman, bahwa sesung­guhnya menjadi pengusaha klien nyata-nyata tidak membuat kita mandiri dalam bisnis.
Sebab, bagaimanapun, kalau kita menjadi pengusaha yang otonom, akan lebih mampu memperbaiki kredibilitas negara kita. Bahkan, saya optimis, kita juga akan mampu mengembalikan kepercayaan para investor asing. Saya yakin, kalau pengusaha yang

kompetitif dan otonom ini berkembang dengan baik di negara kita, maka tak mustahil pada tahun 2001 mendatang, perekonomian Indonesia diharapkan bisa pilih kembali. Agaknya, semua harapan ini masih termasuk wajar. Hanya, bagaimana pemerintah kita menyikapinya.
Kita sebagai pengusaha, memang dituntut untuk terus berusaha menjadi pengusaha yang otonom. Dengan demikian, kita akan lebih mampu menjadi pengusaha yang kompetitif. Karena itu, menurut saya, sekarang ini bukan waktunya lagi bagi kita untuk mengembangkan bisnis klien, yang juga dikenal sebagai bisnis lobi. Bisnis lobi karena faktor kedekatan dengan politikus maupun pemerintahan semacam itu, dulu memang banyak berkembang di negara kita. Sehingga, tak mengherankan kalau lantas banyak bermunculan kasus KKN. Sementara, kita lihat pengusaha yang benar-benar otonom menjadi sulit berkembang.
Pengertian otonom yang saya maksud di sini, bukan lantas hubungan antarperusahaan, itu tidak penting. Hubungan sinergi dalam bisnis itu, tentu saja tetap diperlukan. Begitu pula hubungan kita dengan pemerintah, juga tetap harmonis dan transparan. Hanya saja, jangan lantas bisnis yang kita jalankan sekarang ini semata-semata hanya tergantung pada pemerintah atau berlindung pada pejabat. Sebab, jika suatu saat pejabat atau pemerintah itu ganti atau partainya tidak lagi memerintah, akibatnya bisnis bisa bangkrut atau hancur.
Oleh karena itulah, ada baiknya kita menjauhi saja bisnis lobi. Dan, lebih baik kita menggalakkan bisnis yang berhubungan langsung dengan pasar. Sebab, bagaimanapun kita harus tetap berusaha, bahwa dengan kondisi pasar yang terus bergerak, ternyata pasar tetap membutuhkan produk kita. Itu lebih penting. Sebab, kalau seorang pengusaha berhasil menjalankan bisnis pasar, tentu dia akan memiliki kredibilitas yang tinggi sebagai pengusaha otonom yang sukses.  


Saya sependapat kalau ada yang mengatakan, bahwa untuk meraih sukses bisnis, kita bisa meniru sukses orang lain, apakah itu strateginya, atau pilihan usaha yang dilakukannya. Selain itu, saya ingin menambahkan, bahwa untuk kita bisa menjadi pengusaha, sesungguh­nya tidak harus punya pengalaman bisnis yang mumpuni dulu. Logikanya adalah, kalau kita menunggu sampai punya pengalaman bisnis yang mumpuni, lantas kapan kita akan memulai usaha?
Dari pengalaman saya sendiri, maupun pengalaman pengusaha Bob Sadino, juga pengalaman pengusaha-pengusaha lain, bahwa sesung­guhnya pengalaman bisnis yang mumpuni itu bisa kita raih sambil menjalankan bisnis kita. Maka, jika kita ingin memulai usaha, ada baiknya jangan banyak dipikir atau pakai rencana yang muluk-muluk. Yakinlah, bahwa dalam bisnis bisa saja berubah, dan itu bisa kita tangani sambil jalan.
Hanya saja, mungkin ketakutan kita sementara ini justru karena kita terlalu siap, terlalu banyak yang dipikir, bahkan terlalu takut pada risiko bisnis. Padahal, menurut saya, dalam praktik bisnis, yang terjadi sesung­guhnya banyak berbeda dengan apa yang pernah dipikirkan. Sehingga tak mengherankan kalau kita kemudian banyak menemukan jalan keluar untuk mengatasi semua kesulitan bisnis yang kita alami.
Jadi, sesungguhnya tidak ada alasan bagi kita untuk memulai usaha, karena alasan pengalaman bisnis kita terbatas. Katakanlah, dengan kita piawai menarik pelajaran dari setiap kejadian, saya yakin hal itu justru membuat kita tambah piawai dalam bisnis.
Dan, kalau kita lihat di lapangan, banyak usaha yang ternyata dimulai dengan nol. Misalnya, uang tidak punya, itu bisa diatasi dengan pinjam orang lain. Kemudian pengalaman bisnis tidak punya bisa ditanya pada orang lain. Bahkan ide pun tak punya, bisa pakai ide orang lain. Begitu juga tempat usaha yang tak ada, dan masih banyak lagi.
Apa artinya semua itu? Artinya, kita bisa menggunakan "kepunyaan" orang lain. Justru dari keadaan semacam inilah, akan membuat kita mendapat banyak pelajaran dalam berbisnis. Pemikiran itu menurut saya hal yang paling penting untuk memulai bisnis.
Oleh karena itu, menurut saya, sesungguhnya belajar bisnis sambil jalan atau jalan sambil belajar, di dunia usaha itu sama saja, yang penting kita telah berusaha dengan memulai

usaha. Menurut Bob Sadino dengan melangkah seperti itu, paling tidak kita sudah selangkah lebih maju dalam berbisnis. Kita tidak lagi hanya berjalan di tempat, yang berarti tidak ke mana-mana atau tidak melakukan bisnis apa pun.
"Saya sukses karena saya melangkah. Bukan mengangan-angankan langkah," kata Bob Sadino yang juga memulai usaha dari nol. Tentu saya sependapat dengan Bob, yang kini memiliki banyak supermarket dalam grup Kem Chick's itu. Artinya, dengan melangkah, maka ada kemungkinan kita sukses, di samping ada pula kemungkinan gagal. Namun dengan tidak melangkah, maka kita tidak pernah akan sukses. Maka tak ada salahnya kita belajar bisnis sambil jalan.


Salah satu tugas kita sebagai pengusaha, selain memiliki keterampilan interpersonal, leadership, dan managerlal, juga harus mampu melakukan tugas kreatif. Saya yakin, selama pengusaha itu kreatif, maka usahanya akan tetap eksis dan berkembang maju.
Jadi intinya, menjadi pengusaha itu memang harus kreatif. Seolah tiada hari tanpa kreativitas. Karena itulah, kini saatnya kita untuk terus kreatif. Ini mengingat macamnya usaha di Indonesia belum sebanyak di Amerika Serikat ataupun di negara lain. Di Amerika Serikat misalnya, ada bisnis yang masih langka dan belum memasyarakat di Indonesia, yakni bisnis menyewakan pakaian dan perlengkapan bayi. Jadi sebenarnya banyak macam usaha yang bisa kita kerjakan, asal kita mau kreatif.
Di dalam kita memilih usaha juga harus kreatif. Begitu juga sewaktu kita menjalankan usaha itu pun harus kreatif. Maka, tak ada salahnya kalau suasana di perusahaan itu harus diciptakan iklim yang kondusif untuk kita kreatif. Ide-ide kreatif yang semula tak pernah kita pikirkan, akan cenderung muncul.
Hanya saja memang kreatif itu memerlukan proses, yakni proses kreatif. Jadi pada awalnya, untuk kreatif itu perlu persiapan, meski secara tidak formal. Tinggal, bagaimana kita sendiri membuat suasana kerja itu kreatif.
Dalam prosesnya, ternyata itu juga membutuhkan konsentrasi kita. 'adahal, yang mungkin terjadi pada saat kita melakukan konsen-trasi idalah menemui hambatan atau jalan buntu. Sehingga akibatriya, kita ak bisa berbuat apa-apa, atau mengalami frustasi. Dan, sebenarnya rustasi itu merupakan bagian dari proses kreatif itu sendiri.
Dalam kondisi inilah, menurut saya sebaiknya kita tidak menyerah atau ~utus asa. Jangan berhenti sampai di situ. Tapi, kita harus yakin, bahwa )ada saatnya nanti wawasan atau iluminasi akan muncul. Kemudian, kita ielewati proses kreatif berikutnya, yaitu inkubasi atau pengendapan iasuk ke dalam alam bawah sadar. Pada saatnya, yaitu pada kondisi ang tidak disengaja, bisa saja muncul iluminasi. Itu artinya ide kreatif -lah kita temukan.
Lantas yang perlu kita jalankan adalah mengolah atau menjalan-kan ide reatif itu menjadi nyata, demi kemajuan bisnis kita. Bahkan menurut aya, untuk memberikan kepuasan pada pelanggan, kita pun harus ienggunakan pendekatan yang kreatif. Termasuk juga bagaimana kita iencari modal atau dana untuk pengembangan usaha, peningkatan egiatan produksi, perbaikan desain, pemasaran, dan lain sebagainya.
Oleh karena itulah, orang kreatif itu sebenarnya adalah sama dengan rang yang berani mengambil risiko. Hanya tinggal seberapa besar ebenarnya kualitas kreativitas itu akan memengaruhi risiko usaha yang ijalankan.
Bahkan, saya berpendapat, bahwa seseorang yang berani berpikir reatif, berarti dia sudah berani mengambil risiko. Dan saya yakin, tianya engusaha yang berani mengambil risiko itulah yang usahanya dapat erkembang maju, baik untuk saat ini ataupun untuk masa depan.


Sebagai pengusaha, saya banyak bertemu teman-teman pengusaha yang menjalankan bisnis dengan gaya yang berbeda-beda. Ada teman pengusaha yang menggunakan manajemen atau yang kita sebut sebagai gaya berwirausaha "manajerial", tetapi ada juga yang menjalan­kan bisnisnya dengan menggunakan gaya "kejuraganan".
Saya kira, dengan gaya berwirausaha apa pun yang kita terapkan dalam bisnis kita, yang penting bisnis kita tetap bisa dijalankan dan maju. Itu semua memang tergantung pada diri kita masing-masing. Asal kita mantap dengan gaya tersebut, ya lakukan saja. Sebab, kalau kita sudah mantap, maka bisnis yang kita jalankan sekarang ini tentu akan semakin mantap meraih kesuksesan.
Sudah banyak terbukti, bahwa pengusaha yang menggunakan gaya berwirausaha "kejuraganan" terbukti usahanya sukses. Gaya ini menem­patkan 4 fungsi manajemen, yakni produksi, pemasaran, sumber daya manusia, dan keuangan, terpusat pada pengusahanya. Teman saya sendiri sukses luar biasa dengan gaya tersebut.
Para juragan biasanya lebih suka bekerja seperti karyawan saja, dan jangan heran kalau kita kemudian menjadi sulit untuk membedakan perannya. Bisa sewaktu-waktu menjadi pengusaha atau pemilik bisnis, bisa juga sebagai karyawan, sebagai keuangan, dan lain sebagainya. Itu sekali lagi karena ke-4 fungsi manajemen dilakukannya sendiri. Sementara karyawannya yang bekerja di perusahaannya, hanya ber­fungsi melaksanakan tugas atau delegasi teknis saja.
Sementara itu, ada teman saya yang lain asyik menjalankan bisnisnya dengan begitu gigih menggunakan gaya berwirausaha "manajerial". Artinya ke-4 fungsi manajemen didelegasikan kepada para manajer di perusahaannya. Dan, ternyata gaya "manajerial" ini pun sama-sama bisa berhasil meraih sukses.
Gaya manajerial ini kalau kita amati memang cenderung membuat kita lebih berani mendelegasikan wewenang dan tanggung jawab pada manajer atau karyawan kita. Kita juga lebih mendorong mereka untuk memberikan peluang meningkatkan prestasi. Pemberdayaan seperti ini memang tak ada pada gaya "kejuraganan".
Menghadapi 2 pilihan itu, akhirnya memang tergantung kita sendiri. Kita mau pilih gaya berwirausaha yang mana yang kita suka. Apakah kita akan memilih yang "manajerial", ataupun yang "kejuraganan"? Yang penting semua itu tergantung kemantapan kita.


Peluang bisnis bagi wanita, sebenarnya sangat besar. Bukan hanya untuk saat ini, tapi juga untuk saat yang akan datang. Bahkan, peluang bisnis bagi entrepreneur wanita itu sebenarnya lebih besar dari­pada entrepreneur laki-laki.
Itu karena dia punya kelebihan. Kelebihannya adalah terletak justru pada "kewanitaannya". Di mana, sosok entrepreneur wanita itu lebih unggul dalam negosiasi. Itu mungkin karena keluwesan atau fleksibilitasnya. Atau istilah Candida G. Brush, professor assistant dari Management Pollce of Boston University, entrepreneur wanita lebih kooperatif, informal, dan lebih mudah membangun kesepakatan dengan pihak lain. Sebaliknya, entrepreneur laki-laki cenderung lebih kompetitif, lebih terkesan formal, dan lebih suka berpikir sistematik.
Selain itu, menurut saya, entrepreneur wanita juga cenderung lebih peka intuisi bisnisnya. Sehingga saya yakin, jika memang mampu mengem­bangkan kelebihannya itu, tentu bisnisnya juga akan berkembang luar biasa. Seperti kalau kita lihat, keberhasilan entrepreneur wanita seperti Dr. Martha Tilaar, Moeryati Soedibyo, Poppy Dharsono, Dewi Motik, dan Nyonya Suharti.
Hanya saja, sayangnya saya melihat entrepreneur wanita umumnya dikenal terlalu hati-hati dalam berbisnis, dan bahkan terlalu takut untuk mengambil risiko. Sehingga, jika kelemahan itu tidak berhasil dikelola dengan baik, maka jelas akan mengakibatkan jumlah entrepreneur wanita yang terjun ke dunia usaha saat sekarang ini, relatif kecil.
Contohnya, anggota IWAPI (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia) yang jumlahnya relatif lebih sedikit daripada kalau kita bandingkan dengan anggota KADIN atau HIM atau organisasi serupa yang "laki-laki". Mungkin hal itu bisa saja karena kebanyakkan bisnis yang dimiliki entrepreneur wanita, lebih sedikit daripada jika mereka bekerja pada suatu perusahaan. Seperti yang diungkapkan oleh sebuah riset dari Institute for Women's Policy Research di Washington DC.
Sementara, Marger Lovero, direktur dari Entrepreneurial Center at Manattanvile College mengatakan, bahwa entrepreneur wanita itu sulit berkembang maju, juga karena mereka cenderung mempertahankan bisnis kecilnya. Sebab, baginya selama ini yang terpenting bukan pada usaha bagaimana membuat bisnisnya menjadi besar, tapi lebih pada keinginan untuk mencoba men-support dirinya sendiri atau mandiri, membawa keseimbangan dan fleksibilitas dalam mengatur waktu kesehariannya. Tapi kalau dia bekerja di perusahaan lain, fleksibilitas itu tak didapatkannya.
Dalam konteks inilah, barangkali ada baiknya sekarang ini bisnis di kalangan entrepreneur wanita, perlu untuk terus didorong pada kegiatan bisnis industri rumah tangga, yang lebih memungkinkan bisnis atau jiwa entrepreneur bisa terus berkembang. Oleh karena itulah, saya kira meski keberanian wanita di dalam menekuni dunia usaha tidak sebesar kebe­ranian yang dilakukan entrepreneur laki-laki, namun jika entrepreneur wanita ingin berkembang bisnisnya, dia semestinya berani mengambil risiko, dan lebih berani membentuk jaringan bisnis yang lebih luas lagi.


Dalam dialog bisnis yang diadakan oleh Assosiasi Manager Indonesia (AMA) Yogyakarta beberapa waktu lalu, ada seorang peserta dialog yang menanyakan kepada saya, tentang bagaimana faktor keberun­tungan dan faktor timing menentukan keberhasilan dalam bisnis?
Seberapa penting faktor keberuntungan itu bagi pengusaha? Orang­orang China punya kebiasaan, jika ingin terjun ke dalam bisnis, maka kita harus punya hoki atau keberuntungan yang besar. Kalau tidak punya, maka bisnis kita akan bangkrut.
Kalau ternyata kita tidak punya keberuntungan, maka disarankan kita jangan mendirikan bisnis. Padahal, menurut saya, yang namanya keberuntungan atau hoki itu sebenarnya adalah bagian dari hidup yang tidak dapat kita kontrol. Tidak dapat kita duga. Dan, sesungguhnya itulah hidup. Bagaimana kita tahu, bahwa kita punya keberuntungan, kalau kita belum pernah mencobanya. Keberuntungan harus dibuktikan, bukan hanya diangan-angankan.
Saya berpendapat, bahwa bisa saja kita punya keberuntungan. Hanya saja, oleh satu keadaan tertentu, keberuntungan itu bisa saja lantas pergi. Berbeda dengan timing, dalam setiap kegiatan bisnis yang kita lakukan, maka kita bisa mengontrolnya. Artinya, timihg lebih sedikit bisa dikendalikan daripada keberuntungan.
Oleh karena itulah, menurut saya, memang mungkin saja bisnis itu bisa kita mulai atau kita ambil saat ini. Tetapi bisa saja, kalau kita mulai sejak lima tahun lalu. Sehingga timihg ini sedikit bisa kita kontrol. Jelas, hal itu menunjukkan, bahwa peluang bisnis itu sesungguhnya datangnya tidak mengenal waktu.
Hari ini bisa saja saatnya kita mengambil peluang bisnis itu. Dan kalau ditunda, tak mustahil akan diambil orang lain dan kita kehilangan peluang bisnis itu. Saya kira, orang pertama yang menjual minuman Aqua di Indonesia, yakni Tirto Utomo, juga membutuhkan perjuangan sekitar 8 tahun untuk bisa eksis seperti sekarang ini.
Mungkin saja, waktu produk itu pertama kali dimunculkan, belum saatnya atau tlmh7g-nya kurang tepat. Sebab, sebagian besar yang membeli produk Aqua tersebut adalah orang asing. Tapi ternyata, dari waktu ke waktu, orang Indonesia mulai menggemari minuman Aqua itu. Sehingga, orang kemudian mengenal air putih dengan menyebut "aqua".
Begitu juga pada teh botol, yang pertama kali diperkenalkan oleh Pak Sosro. Di mana, pada saat itu Teh Sosro masuk di pasar, juga bukan pada timing yang tepat. Sehingga, produk itu untuk bisa sampai dikenal dan digemari masyarakat, membutuhkan perjuangan yang keras,.
Jadi saya kira, ada atau tidaknya keberuntungan di dalam kita berbisnis, sebaiknya tidak terlalu kita pikirkan hal itu, karena memang tidak bisa kita kontrol. Tapi sebaiknya dengan tbning. Hal tersebut bisa kita kontrol sebaik mungkin. Tinggal bagaimana timing itu tepat, dan mudah­mudahan itu sesuai dengan keberuntungan kita.


Lowongan untuk jadi pengusaha, saya kira sampai kapan pun masih terbuka luas, tidak terbatas. Artinya, kapan saja, sekarang atau besok, kita bisa saja menjadi pengusaha. Bahkan, kalau kita ingin cepat menjadi pengusaha, bisa juga kita lakukan hari ini. Misalnya, cukup kita datang ke notaris, buat CV atau PT, maka jadilah kita pengusaha sekaligus direktur di perusahaan kita sendiri. Dan, tak perlu ada upacara pengangkatan segala, sebab siapa lagi yang mengangkat kita kalau bukan kita sendiri.
Namun, coba saja kalau kita bekerja pada perusahaan milik orang lain, maka untuk bisa menjadi direktur membutuhkan waktu lama. Itu pun masih sangat tergantung pada keputusan atasan kita. Padahal, menurut saya, untuk menjadi pengusaha sekaligus direktur, tidak harus membu­tuhkan pengalaman kerja. Oleh karena, pada dasarnya, lowongan untuk kita menjadi pengusaha itu tidak terbatas.
Maka, semestinya kita harus "jadi" dulu. Itu setidaknya, dengan kita sudah menjadi direktur di perusahaan kita sendiri, merupakan langkah awal memulai bisnis. Dan, ternyata membuat bisnis itu lebih mudah daripada kita mencari pekerjaan. Sehingga, dari "sukses" itulah menjadikan diri kita tumbuh rasa percaya diri. Dan, setelah kita percaya diri, maka kita akan bisa melakukan sesuatu.
Banyak contoh di masyarakat, bahwa seseorang mendapatkan jabatan, baik itu di pemerintahan ataupun swasta, padahal dia tidak punya pengalaman sebelumnya. Dan ternyata, dia bisa juga melaksanakan pekerjaan itu dengan baik. Artinya, kepercayaan diri atau "pede" kita bertambah saat kita mendapat kesuksesan. Meski, katakanlah bisnis ,rang kita dirikan itu hanya meraih sukses-sukses kecil. Namun, itu bukanlah suatu masalah. Justru, hal itu akan membuat kita lebih :ermotivasi untuk bisa meraih sukses bisnis yang lebih besar.
Saya kira, kita memang sebaiknya tidak mengabaikan sukses-sukses (ecil itu. Percayalah, bahwa sesungguhnya dari sukses-sukses kecil itu ikan menjadi kesuksesan yang luar biasa pada bisnis kita di masa Jepan.
Memang, bagi kita yang terbiasa berpikir linier, pasti akan mengatakan, )ahwa percaya diri dulu baru kita sukses. Kalau kita setuju dengan )endapat, percaya diri dulu baru seseorang meraih sukses, lantas kapan ;ita bisa jadi pengusaha?


Robert T. Kiyosaki dalam bukunya "Cash Flow Quadrant' berpen­dapat, bahwa sebenarnya sukses itu guru yang buruk. Tapi itu berlaku untuk diri kita sendiri. Artinya, sebagai entrepreneur, kita memang sebaiknya tidak berguru pada kesuksesan kita sendiri. Sebab, hal itu akan membuat kita menjadi kurang bersemangat, menjadi tidak kreatif, menjadikan kita lengah atau sombong, menjadikan kita lupa diri, bahkan tak menutup kemungkinan kesuksesan yang kita raih akan menjadi bumerang bagi diri kita sendiri. Sukses itu, menurut saya, bukan berarti "waktunya untuk menikmati".
Memang, kesuksesan kita itu bisa menjerumuskan kita. Apalagi, kalau kita terlalu membanggakan kesuksesan itu, akan membuat kita lupa diri. Oleh karena itu, agar kesuksesan itu tidak menjadi bumerang bagi kita sendiri, maka kita memang harus pandai-pandai mengelola kesuksesan itu. Namun, tentu saja, orang lain bisa saja belajar dari kesuksesan kita. Itu boleh. Bahkan, itu bisa menjadikan kesuksesan bisnis seseorang. Sebab, pada dasarnya belajar dari kesuksesan orang lain itu sah-sah saja. Pendeknya, kalau seseorang belajar kesuksesan orang lain, itu memang bisa menjadi guru yang baik. Meski kita sebetulnya juga bisa belajar banyak pada orang yang gagal.
Dalam konteks inilah, menurut saya, agar bisnis kita tetap langgeng bahkan bisa berkembang lebih baik di masa mendatang, ada kalanya kita harus menyadari hal ini. Atau lebih tepatnya, sebagai entrepreneur seharusnya lebih menilai, bahwa kegagalan itu sebetulnya sebagai pelajaran yang terbaik. Oleh karena itulah, saya kira kita sebaiknya janganlah terlalu takut dengan kegagalan. Kita belajar paling banyak tentang diri kita ketika kita gagal, jadi jangan takut gagal. Sebab, kegagalan itu sebenarnya adalah proses kita untuk menjadi sukses. Saya yakin, yang namanya entrepreneur itu sebetulnya tidak bisa sukses tanpa mengalami kegagalan.
Untuk itu, pada saat kita ingin memulai bisnis atau di saat bisnis kita mulai berkembang, tapi kemudian tiba-tiba bangkrut atau mengalami kegagalan, saya kira hal itu janganlah membuat kita patah semangat. Justru, saat itulah jiwa entrepreneur kita harus bangkit kembali. Sebab, menurut pengalaman saya dan rekan pengusaha lainnya, merek baru sukses, setelah mereka pernah mengalami kegagalan paling tidak sampai tujuh kali. Kalau kita baru gagal dua atau tiga kali, saya kira itu wajar-wajar saja bagi seorang entrepreneur.


Mestinya, entrepreneur tidak akan pernah mendapatkan pelajaran tanpa melakukan langkah-langkah yang berarti. Baik itu langkah yang gagal maupun itu yang sukses. Langkah- langkahnya dimulai dari langkah kecil sampai langkah besar. Dengan perkataan lain, saya mengatakan, sebuah perjalanan 1.000 km itu sebenarnya dimulai dari langkah kecil. Kalau kita tidak berani memulai atau mengembangkan bisnis, kapan kita akan punya bisnis, atau kapan bisnis kita berkembang. Saya menemu­kan kata-kata menarik buat kita renungkan bersama yaitu, "Memulai itu mengalahkan tidak memulai." Artinya, orang yang berani memulai atau mengembangkan bisnis, itu lebih baik daripada orang yang sama sekali tidak berani memulai atau mengembangkan bisnis.


Rezeki itu sebenarnya sudah ada yang mengatur-Nya. Saya kira, itu memang benar. Dan, sebagian besar kita berpendapat demikian. Oleh karena sejak lahir setiap orang itu membawa rezeki sendiri-sendiri. Tapi, apakah kita itu bisa meningkatkan rezeki kita sendiri? Dan, apakah kita tak bisa merencanakannya? Saya berpendapat, meski rezeki itu sudah ada yang mengatur-Nya, namun kita harus tetap aktif merencana­kannya. Tanpa direncanakan, rezeki itu akan sulit kita raih. Saya kira, rezeki itu membutuhkan peluang untuk mendatanginya.
Menurut saya, mana mungkin rezeki itu datang kalau setiap harinya kita tak punya aktivitas apa-apa. Hanya pasrah saja. Dan, kita terlalu yakin, bahwa rezeki itu tak perlu dikejar, pasti akan datang sendiri. Saya tak sependapat dengan prinsip ini. Sebab, bagaimanapun kalau pada diri kita tak ada kegairahan bekerja, dan hanya selalu memimpikan rezeki itu datang, maka rezeki itu pun akan sulit datang atau justru malah menjauh. Tapi sebaliknya, jika tekun bekerja, dan kreatif berwirausaha, saya yakin, pasti rezeki akan datang. Bisnis kita pun akan lebih cepat berkembang.
Apalagi, kalau kita berani memilih profesi seperti pengusaha, dokter, notaris, pengacara, pelukis, seniman, dan lain-lain. Profesi ini saya lihat sangat berpeluang mendatangkan rezeki yang relatif besar atau tidak linier. Sebab, profesi ini berbeda dengan orang yang digaji atau seperti karyawan. Artinya, jika saat ini kita misalnya, sedang menekuni dunia usaha atau sebagai pengusaha, maka jelas sangat memungkinkan sekali bagi kita untuk mendatangkan rezeki yang relatif besar. Sementara, kalau saja kita sekarang ini bekerja ikut orang lain atau setiap bulannya digaji tetap, maka jelas peluang akan datangnya rezeki yang relatif besar, menjadi kecil. Oleh karena itu, rezeki besar itu datangnya mencari tempat yang pas, dan ini bisa kita rencanakan. Tinggal, kita berani atau tidak.
Bicara soal rezeki, saya jadi teringat pengalaman rekan saya. Dia seorang notaris, saya lihat, dalam menjalankan profesinya, dia hanya menggunakan motor. Lantas, ganti mobil. Itu pun mobil lama. Namun, ketika saya sarankan agar dia "berani" ambil mobil baru secara kredit, dia terkejut. Apalagi, ketika saya sarankan mobil lamanya dijual saja, untuk bayar uang muka.
Setiap bulannya `kan harus bayar angsuran? Itu pertanyaannya. Saya jawab, "Nah itulah rezeki akan mengikuti rencana Anda. Kalau Anda menggunakan mobil bagus pasti klien Anda lebih percaya. Oleh karena performance atau penampilan dibutuhkan dalam bisnis Anda. Apalagi Anda mau bekerja keras dan kreatif menjaring klien, saya yakin Anda pasti mampu membayar angsurannya." Rupanya, dia mengikuti saran saya. Apa yang yang terjadi selanjutnya? Rezeki notaris itu ternyata mengalir deras. Kliennya kian bertambah. Selain bisa membayar ang­suran, dia pun masih punya kelebihan rezeki itu. Dan, kepercayaan dirinya akan profesinya semakin mantap.
Kejadian ini, di antaranya yang membuat saya percaya, bahwa rezeki itu sesungguhnya akan datang mengikuti rencana utang kita. Rezeki itu juga akan datang sesuai pengambilan risiko bisnis kita. Sehingga, pada saat kita ambil risiko bisnis yang kecil, rezeki yang mengalir pun kecil.
Sebaliknya, bila kita berani ambil risiko yang besar, maka rezeki yang mengalir pun akan besar.


Peter F. Drucker berpendapat, bahwa setiap orang dapat saja berkarier menjadi entrepreneur. "Tidak ada yang misterius," begitu katanya. Meski, menjadi entrepreneur sekarang lain dengan entrepre­neur dulu. Mungkin saja, kehidupan entrepreneur itu lebih mudah beberapa tahun yang lalu. Di mana, membuat tetangga sebagai pelang­gan begitu mudah. Begitu juga, saat kita mau mengembangkan produk lokal. Tapi saya rasa, sekarang sudah beda. Tuntutan pasar semakin banyak, dan kualitas pun harus kita tingkatkan. Begitulah jika kita ingin hidup.
Tapi saya yakin, jika saat ini kita mau menekuni karier sebagai entre­preneur prospeknya sangat bagus dan sangatlah luas. Artinya, kita bisa kapan saja memulai bisnis. Dan, kita bisa jual produk atau jasa apa pun. Sedang, berapa jenis usaha yang bisa kita lakukan, tentu saja juga tergantung kemampuan kita.
Namun, dari sebuah survei mengungkapkan, bahwa rata-rata sekitar 44% entrepreneur yang terjun dalam dunia bisnis selama lebih dari 6 tahun, telah memiliki beberapa jenis bisnis yang tidak saling berhu­bungan atau tumpang tindih. Sementara 35% lagi entrepreneur hanya memiliki satu jenis bisnis, dan 21 % lagi memiliki beberapa jenis bisnis yang masih ada hubungan atau rangkaian.
Lantas bagaimanakah agar kita bisa menjadi entrepreneur yang sukses? Dari berbagai pengalaman, saya melihat, bahwa ada 4 karakter sese­orang bisa menjadi entrepreneur sukses, yaitu Pertama, adanya keinginan. Di mana, dia menggunakan keinginannya untuk membuat sesuatu yang besar dari hal yang kecil. Selain itu juga ada keinginan membuat sesuatu yang belum ada sebelumnya, dan melakukan keinginan sesuai dengan cara yang ingin mereka lakukan.
Kedua, adanya intuisi. Kesempatan jadi entrepreneur adalah sama untuk semua orang. Tidak ada tes IQ. Bahkan, jika kita tidak pintar pun tak menghalangi untuk jadi entrepreneur. Artinya, setiap entrepreneur yang sukses adalah mereka yang telah belajar mengembangkan intuisinya.
Ketiga, dia punya kemampuan untuk terus hidup walau punya utang. Jadi, semua entrepreneur telah bertahan melewati kariernya yang naik turun. Mereka pernah sukses, pernah gagal. Pernah menghasilkan uang, atau kehilangan uang, dan lain-lain. Bahkan, utang pun selalu ada di setiap bisnisnya. Saya rasa, ini adalah kenyataannya. Sebab, bagaima­napun seorang entrepreneur harus belajar beradaptasi dengan utang.
Keempat, Selalu optimis. Misalnya saja, ada peluang bisnis, namun karena ada alasan yang lebih logis, peluang itu tidak dikejarnya. Sebab, ia telah mempertimbangkan dengan intuisinya, dan menutupinya dengan optimisme. Jadi, menurut saya, entrepreneur itu adalah pencipta seka­ligus pelaku bisnis. Dia membuat hidupnya dengan mengatasi berbagai alasan untuk tidak mengejar peluang bisnis, dan kemudian meyakinkan orang lain untuk mengikuti caranya.
Oleh karena itu, menurut saya, kalau kita memang ingin sukses berkarier sebagai entrepreneur, maka pastikan saja kita memiliki ke-4 karakter tersebut. Dan, sebaiknya jangan pernah kita merasa ragu untuk melangkah. Anda berani mencoba?



Ada satu pertanyaan yang menarik untuk kita simak dari seorang 17.peserta Entrepreneur University angkatan ketiga di Jakarta beberapa waktu lalu. "Kenapa sih Pak, saya ini kok tak ada keberanian dalam berbisnis. Rasanya sulit sekali. Apalagi saya cukup punya duit, keahlian dan ide bisnis. Apa mungkin saya bisa berbisnis?" ujarnya. Saya yang ditanya soal masalah yang satu ini, sambil bercanda balik bertanya. "Apakah Bapak ketika masuk kamar mandi juga harus berpikir lebih dahulu satu atau dua jam sebelumnya?" tanya saya. Dia agak terkejut mendengarnya, Pikirnya kok aneh pertanyaan saya ini. "Ah ... nggak perlu saya pikir dong, Pak. Masak masuk kamar mandi saya harus pikir dulu satu atau dua jam sebelumnya. Wah, Bapak ini gimana sih," jawabnya bersemangat. Mendengar jawaban spontan itu, serentak peserta yang sebagian besar ibu rumah tangga, karyawan, pensiunan, dosen, dan bahkan ada yang bergelar master serta doktor itu tertawa lepas. "Yah, seperti itulah, kalau kita mau bisnis," jawab saya singkat. "Nggak usah terlalu dipikir-pikir."
Saya berpendapat, kenapa energi kita habis hanya untuk berpikir dan berpikir terus mau bisnis apa, tapi tidak ada wujudnya. Saya kira, kalau kita mau bisnis saja sudah terlalu banyak dipikir, bisa saja bisnis itu tidak akan terwujud. Padahal mungkin kita ada keinginan jadi pengusaha. Oleh karena itulah, kita harus memiliki keberanian memulai bisnis apa pun yang kita inginkan. Misalnya saja, ketika kita mau memulai bisnis tapi menghadapi kendala tak punya modal, Nggak usah bingung pakai saja jurus BODOL. Apa itu Bodol? Saya singkat dari kata "Berani, Optimis, Duit, Orang, Lain?" Maksud saya, dalam bisnis kita harus punya keberanian. Kita harus optimis. Nah, kalau nggak punya duit, kita bisa `pakai' atau pinjam duitnya orang lain. Saya yakin, asal bisnis kita jelas, dan punya prospek bagus, pasti ada saja orang yang meminjam­kan duit atau modal pada kita. Pinjam duit pada orang lain untuk bisnis, saya kira sah-sah saja. Bahkan sering saya menyarankan, walaupun punya duit sebaiknya jangan dipakai duit sendiri untuk bisnis.
Kalau kita punya duit atau modal, tapi kita tidak ahli di bidang bisnis yang akan kita jalankan, saya rasa kita bisa saja pakai jurus BOTOL. Singkatan apa pula ini? Berani, Optimis, Tenaga, Orang, Lain. Artinya, selain kita tetap memiliki keberanian dan optimis, kita pun bisa memakai tenaga orang lain atau kita bisa mencari orang yang ahli di bidangnya, sehingga bisnis kita bisa jalan. Pendeknya tak harus bisnis itu kita jalankan dengan tenaga sendiri. Kalau ide bisnis pun ternyata tidak punya, maka jurus BOBOL bisa kita lakukan. Singkatan Berani, Optimis, Bisnis, Orang, Lain. Jadi, kita harus berani dan optimis dalam melalui bisnis dengan meniru bisnis orang lain.
Nah, kenapa kita merasa sulit dan tak berani memulai bisnis, padahal setiap saat kita memiliki keberanian masuk kamar mandi. Kita masuk kamar mandi tanpa banyak pikir. Kalau lantas airnya kurang hangat atau terlalu dingin, kita juga bisa mengaturnya. Seperti halnya bisnis. Kalau bisnis yang kita jalankan kurang berkembang, kita bisa atur. Bisa kita perbaiki mana yang kurang. Dan kalaupun kita tak punya modal, tak punya keahlian atau tak punya ide, maka bisa saja memanfatkan kepunyaan orang lain. Tapi yang penting, bisnis kita tetap jalan. Justru kekurangan bisnis kita di sana sini akan membuat kita dewasa dalam berbisnis. Jiwa entrepreneur kita pun akan semakin berkembang.
Oleh karena itu, bagi kita yang mau memulai bisnis tapi tak punya keahlian, atau mungkin juga tak punya ide bisnis, saya sarankan coba saja kita menerapkan jurus Bodol, Botol, dan Bobol. Anda berani mencoba?


Bisnis supermarket atau swalayan, memang saat ini sedang tren. JJBanyak pihak yang mencobanya. Barangkali bisnis ini menjanjikan untung besar. Tapi yang jelas, permintaan konsumen akan kebutuhan pangan dan sandang terus meningkat dan belum bisa dipenuhi oleh swalayan yang ada.
Sebagai entrepreneur, saya ikut mencobanya. Saya beri nama Pro Market Swalayan. Saya gulirkan awal Desember 2001 lalu. Sebenarnya, tujuan saya mendirikan Pro Market Swalayan bukan semata-mata mencari untung atau membuat diri saya 'kaya' secara pribadi. Bukan itu. Tapi, saya berharap kehadiran Pro Market Swalayan akan menciptakan 'kekayaan' baru, yaitu akan banyak menciptakan lapangan kerja baru. Pertimbangan lain adalah Pro Market Swalayan bukan semata-mata hanya sebagai bisnis ritel saja, tapi juga bisnis properti. Adanya Pro Market Swalayan juga akan menaikan harga properti di sekitarnya. Jadi ada dampak positif pada lingkungannya. Lihat saja, ketika pagi hari di sekitar jalan Diponegoro sibuk dengan kegiatan perkantoran, perbankan, dan bisnis lainnya, tapi begitu malam tiba, suasana jalan di pusat kota Yogyakarta ini terlihat sepi, seolah tak ada kegiatan bisnis sekalipun masih terlihat sejumfah pedagang kaki lima.
Atas pertimbangan itulah, yang menguatkan tekad saya dan membe­rikan keyakinan bahwa saat sekarang inilah saya perlu mencoba bisnis ritel ini. Apalagi, saya melihat, belum ada Swalayan besar di sekitar jalan P. Diponegoro Yogyakarta. Nah begitu, saya buka Pro Market, ternyata suasana jalan ini di malam hari menjadi `hidup'. Jalan menjadi lebih ramai, dan saya yakin akan memancing pengusaha lain untuk ikut meramaikan dengan bisnis-bisnis lainnya.
Peluang bisnis ritel ini memang masih menganga. Keuntungannya sangat menantang, tak kalah dibandingkan dengan bisnis lainnya. Tapi, lantaran bisnis ini bagi saya masih relatif baru, maka ketimbang buntung, saya lebih baik mencari mitra bisnis yang profesional di bidangnya. Sebab, bagaimanpun, kalau bisnis ini dikelola secara profesional tak mustahil akan menjadi core business baru dalam kelompok bisnis grup Primagama. Sekalipun sesungguhnya bisnis ini tak mudah, namun berbekal optimisme saya yakin, Pro Market Swalayan akan berkembang.
Terus terang, optimisme itulah yang membuat saya yakin semakin percaya diri. Semula saya tak yakin bisnis baru ini muncul, karena saya tak punya pengalaman. Tapi berbekal pengalaman saya membuka restoran Padang Prima Raja, yang juga sama sekali tak ada pengalaman tapi akhirnya berhasil saya wujudkan, maka jiwa entrepreneur saya pun bergerak juga untuk mewujudkan swalayan ini. Dan, akhirnya terwujud juga. Sekalipun untuk suksesnya bisnis ini, waktu jualah yang akan membuktikannya.
Memang, seusai membuka bisnis ritel pertama ini saya sempat diledek oleh teman-teman pengusaha maupun relasi lainnya. "Mau bikin apa lagi?" tanya mereka. Mendengar pertanyaan itu, saya tersenyum. Tapi yang jelas, dalam benak saya sesungguhnya masih banyak mimpi lain yang belum terwujud sampai sekarang ini. Misalnya, ingin punya hotel. Tapi terkadang muncul keinginan lain yaitu punya stasiun televisi swasta. Dan tiba-tiba ada keinginan lain lagi, yaitu punya lapangan golf.
Tapi itu semua merriang baru mimpi, boleh, 'kan? Saya kira, begitu juga Anda pasti punya mimpi yang tinggi. Namun yang terpenting dari semua ini adalah sebagai pengusaha kita ingin menciptakan banyak lapangan kerja dengan kita mengembangkan bisnis.


Ada satu petuah bisnis menarik yang diajarkan Robert T. Kiyosaki, penulis buku "Rich Dad, Poor Dad", yang jadi best seller. Petuah itu bunyinya, "Setelah kita sukses membangun bisnis maka jangan lupa beli properti. Selain kita punya penghasilan dari bisnis yang kita jalan­kan, kita juga akan mendapat untung dari gain kenaikan nilai properti itu." Saya kira, Kiyosaki benar. Petuah itu sebenarnya merupakan kata kunci yang menjadi sebab, mengapa orang kaya makin kaya. Oleh karena orang kaya yang cerdas selalu membeli properti yang setiap waktu akan terus berlipat nilainya, itulah yang membuatnya semakin kaya.
Namun, jauh sebelum membaca buku itu, sebagai entrepreneur saya sudah mempraktikkan ajaran itu sejak dulu. Oleh karena itu, ada petuah tambahan yang bisa saya berikan untuk Anda dalam membeli properti, dari hasil keuntungan dari sukses bisnis yang Anda bangun. Dalil bisnisnya berbunyi, "Kalau Anda berniat membeli properti, janganlah sesuai kemampuan dana yang tersedia. Bahkan lebih baik belilah properti dengan utang bank. Oleh karena semakin sedikit uang yang Anda keluarkan untuk membeli properti, semakin besar keuntungan Anda."
Jelasnya, kalau kita punya dana Rp400 juta janganlah membeli properti pas senilai dana yang kita punya. Bukankah membeli properti tidak harus tunai. Bisa dengan cara kredit. Jadi sebaiknya pecahlah Rp400 juta Anda untuk 4 properti, misalnya masing-masing cukup Anda bayar uang muka pembeliannya besar Rp100 juta, sisanya Rp300 juta dari bank. Nah, kalau Anda hanya membeli satu properti senilai Rp400 juta, maka lima tahun kemudian Anda hanya akan menerima keuntungan berlipat-nya harga dari satu properti saja. Tapi kalau empat properti, lima tahun kemudian satu properti Anda yang semula Rp400 juta telah berlipat menjadi Rp2 miliar. Sehingga 4 properti menjadi 8 miliar.
Barangkali Anda bertanya, mengapa membeli properti dengan utang lebih menguntungkan? Ada baiknya kita simak saran bisnis dari Dolf De Roos, konsultan ayah kaya Robert T. Kiyosaki. Dalam bukunya, "Real Estate Riches" Dolf menulis, "Saya tidak membeli properti untuk membeli tanahnya, karena itu tidak produktif. Saya tidak membeli properti untuk membangun gedung karena butuh maintenance. Dan, saya tidak membeli properti untuk disewakan karena butuh manajemen. Alasan terkuat saya membeli properti adalah untuk mendapatkan utang. Alasanya sederhana, "Jumlah utang selalu sama, tapi nilai aset terus melambung."
Dengan memetik petuah bisnis tersebut, saran saya, kita sebaiknya jangan takut berutang ke bank kalau untuk membeli properti. Ubahlah mindset, bahwa utang akan mengundang masalah bagi Anda. Memang untuk belajar memupuk rasa percaya diri dalam berutang bolehlah memulai dengan nilai kecil. Tapi, sekali Anda berhasil bukan Anda yang mencari utang ke bank, tapi sebaliknya bank yang justru akan mencari Anda supaya mengambil utang.
Tak salah kalau lantas muncul canda di kalangan entrepreneur bahwa, "Kalau Anda hanya berani utang Rp50 juta, Andalah yang punya masalah. Tapi kalau Anda sudah berani utang Rp50 miliar, bank yang akan punya masalah. Percayalah, semakin sering kita berani utang, maka bank akan semakin percaya pada bisnis kita." Anda berani mencoba?


Ada sebuah referensi menarik yang pernah saya baca, bahwa I-ikebanyakan bisnis di negara barat, khususnya Amerika, adalah bisnis keluarga. Hanya saja, bisnis semacam itu bisa jadi besar atau jadi satu kekuatan ekonomi, asal saja ada kekompakkan dalam keluarga.
Selain itu, mereka juga harus memiliki jiwa entrepreneur. Memang tujuan paling urgent bagi bisnis keluarga adalah dapat menghasilk'an keun­tungan, dan memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya.
Saya akui, memang ada kekuatan dan kelemahan dari bisnis keluarga. Kekuatannya, yaitu ada suatu kepercayaan lebih pada keluarga itu sendiri dibandingkan pada orang lain. Dan, jika pemilik atau anggota keluarga bisa melayani langsung pada pelanggan atau konsumen tentu mereka akan merasakan pelayanan khusus.
Sementara, kelemahannya adalah bisnisnya akan terganggu jika ada masalah keluarga masuk dalam operasional bisnis. Sebab, bagaimana­pun yang namanya bisnis keluarga, tentu banyak berkaitan dengan emosi, perlakuan, keamanan, di samping soal produktivitas, keuntungan dan pencapaian tujuan bisnis itu sendiri.
Contohnya, ada pasangan suami istri jadi pengusaha. Maka, bisnis mereka akan berhasil jika mereka bisa jadi partner bisnis yang baik. Tapi jika tidak, pengalaman yang menyakitkan akan mereka alami.
Menurut pakar entrepreneurship, Charles Kuehl, kelemahan suami istri yang sama-sama pengusaha itu, yaitu mereka akan terlalu sering bersama-sama. Perbincangan di rumah kerap kali didominasi masalah bisnis. Jika terjadi perceraian, mengakibatkan suramnya bisnis mereka.
Sedangkan keuntungannya adalah pasangan keluarga ini biasa-nya dapat bekerja lebih lama untuk bisa membuat bisnisnya sukses. Dan mereka juga dapat berganti shift berjaga di rumah dan di kantor.
Lantas bagaimana jika dalam bisnis tersebut anak-anak mereka juga ikut serta? Saya rasa, hal ini sah-sah saja. Oleh karena hal itu sudah merupakan bagian dari hidup mereka. Meski ada juga pakar yang berpendapat, bahwa bisnis seperti itu kerap kali tak bisa berkembang dengan baik bila telah dimiliki oleh generasi kedua.
Menurut saya, kemungkinan itu terjadi kalau generasi kedua tadi memang tak memiliki jiwa entrepreneur. Atau karena mereka memang tak ingin berada di bawah bayang-bayang kesuksesan orang tuanya.
Oleh karena itu, menurut saya, tidak ada masalah jika kita ingin mengembangkan bisnis keluarga, asal saja tetap ada kekompakkan dan jiwa entrepreneur yang terus dikembangkan. Apalagi, bisnis keluarga ini mempunyai fleksibilitas tinggi, terutama dalam operasional bisnisnya.
Namun, bagaimanapun kita harus menyadari, bahwa bisnis keluarga itu ada kelemahannya, dan bagaimana kita bisa menutupinya. Tapi saya yakin, jika kita menjadi entrepreneur sejati pasti akan mampu memper­timbangkan, mana yang terbaik untuk dipilih demi masa depan bisnis keluarga.


Jika anak kita ingin bisnis seperti profesi yang digeluti orang tuanya, bagaimana sebaiknya sikap kita sebagai orang tua menghadapi hal itu. Apakah kita apriori atau ingin ikuti saja keinginannya. Saya rasa, kasus ini tak sedikit dialami kalangan pengusaha, termasuk saya sendiri, yaitu ketika anak saya yang masih duduk di bangku SMP juga punya keinginan jadi pengusaha Warnet.
Menurut saya, hal itu wajar terjadi, karena barangkali anak kita sudah terbiasa dengan atmosfer bisnis. Meski, tak sedikit pula anak pengusaha yang sama sekali tidak ingin bercita-cita jadi pengusaha, karena dia tahu ayahnya sangat sibuk. Sedangkan, untuk mendidik sendiri pun tidak mudah. Masalahnya, adalah faktor kedekatan emosional sangat besar, dan itu terkadang menjadi kendala perkembangan anak itu sendiri.
Sementara itu, saya melihat belum adanya sekolah yang bisa menyiap­kan seseorang jadi pengusaha. Sehingga, jika anak kita ingin jadi peng­usaha, maka dirasa perlu ada orang lain yang kita percaya untuk menjadi pembimbingnya atau mentornya.
Hanya, di dalam kita melibatkan mentor dari keluarga, tetap harus direncanakan dengan baik. Dan, agar berhasil, menurut Patricia Schiff, kolumnis di "Entrepreneur Magazine", kita harus memperhatikan faktor­faktor di bawah ini.
Faktor pertama, kita harus tahu siapa orang yang menjadi mentornya. Memiliki keterampilan dan dapat memberikan bimbingan, memang merupakan syarat utama. Dan kita sebagai orang tua, semestinya harus lebih dulu percaya sebelum mentor tersebut kita libatkan di dalam membimbing anak kita.
Faktor kedua, apa yang harus kita ketahui pada mentor. Artinya sebelum mentor dari luar keluarga itu menentukan aturan-aturan dalam memberi­kan bimbingan, sebaiknya kita perlu menjelaskan pada mentor tersebut, apa saja yang menjadi ruang geraknya, dan apa saja yang menjadi tanggung jawabnya. Misalnya saja, dia harus dapat mendidik sikap disiplin pada anak kita.
Faktor ketiga, adalah apa saja yang tidak boleh dilakukan mentor, Misalnya, dia tidak semestinya mencoba melakukan "sabotase" pada proses mentoring itu sendiri. Sebab, sebenarnya inti dari mentoring adalah bagaimana memberikan masukan bagi kemampuan anak kita di bidang bisnis. Sehingga proses tersebut nantinya, akan menjadikan anak kita lebih matang dalam bisnis.
Oleh karena itulah, saya kira, program mentoring semacam itu sebaiknya kita rencanakan untuk jangka waktu terbatas, 5 atau sampai 10 tahun. Sebab, saat inilah, kita sebagai pengusaha akan pensiun atau istirahat. Sementara, anak kita di saat itu telah siap menjadi pengusaha.

33
Setelah Pensi
un, Mau Apa?


Rasanya memang bahagia, setelah kita sudah tahu bahwa kita pensiun dengan dapat uang pensiunan. Apalagi kalau uang pensiunan kita itu gede jumlahnya. Singkatnya, tidak berkerja pun kita dapat duit. Kita tinggal ambil bunga dari deposito yang kita miliki di bank.
Tapi berdasarkan pengalaman teman-teman yang baru pensiun dan kini mengikuti pendidikan entrepreneurship, Entrepreneur University, kata­nya pensiun itu enaknya hanya tiga bulan. Mengapa? Yah, karena kegiatan kita setiap hari banyak dihabis-kan dengan bangun-tidur, nonton N, bercanda dengan cucu, dan lain-lain. Habis mau apa lagi, karena memang tak ada kegiatan. Tanpa kerja pun kita nggak pusing, sementara duit masih cukup di bank. Semula pikirnya, duit adalah segala-galanya. Namun ter-nyata yang banyak kita jumpai di lapangan, mereka merasakan enaknya masa pensiun itu hanya tiga bulan. Setelah itu menurut pengakuannya, mereka menjadi stres. Oleh karena nggak ada kegiatan dan waktunya habis di rumah untuk bersantai ria. Padahal, sebelumnya mereka terbiasa bekerja. Akibatnya setelah pensiun pikirannya jadi sumpek, jenuh, dan stres.
Menurut saya, sebaiknya jika kita sudah pensiun, tak ada salahnya kita punya berbagai kegiatan. Di antaranya, kita bisa aktif di organisasi sosial, aktif di organisasi keagamaan, terjun dalam dunia bisnis. Dan, mungkin justru di saat itulah kita belajar memulai usaha. Kita bisa meniru semangat wirausaha Kolonel Sanders, yang di saat di usia 62 tahun dia nekad buka usaha Kentucky Fried Chicken. Artinya, faktor usia itu bukanlah menjadikan masalah bagi kita untuk belajar memulai usaha. Usia bukanlah menjadi penghalang untuk menjadi lebih sukses, sekalipun sebelumnya kita sudah banyak pengalaman menjadi karyawan atau sebagai profesional. Pendeknya, para pensiun belum terlambat untuk memulai usaha.
Memang ada pensiunan yang bercerita pada saya, bahwa seusai ia menjalankan pensiun, yang muncul dalam benaknya hanyalah memikir­kan akhirat saja. Saya kira wajar. Tapi, setelah mengikuti pendidikan Entrepreneur University (EU) atau setelah terkena virus entrepreneur, dia tidak hanya berpikir akhirat saja, tapi kepentingan dunia pun juga ikut dipikirkan, yaitu misalnya dengan jalan berwirausaha.
"Saya ikut kuliah sebenarnya juga untuk memberikan contoh pada anak saya, ini Iho walaupun bapak sudah pensiun tapi tetap mau belajar berwirausaha," katanya. Bahkan tak hanya itu saja, menurut pengakuan­nya, setelah kuliah lagi di EU semangat hidupnya berani bergairah. Apalagi masuk EU tak ada tes, dan tak ada ujian. "Hidup saya ini betul­betul bergairah. Itu karena sentuhan jiwa entrepreneur pada diri saya," tambahnya. Padahal ketika pertama kali masuk EU tidak punya usaha sama sekali, tapi kini setelah terkena virus entrepreneur, dia sudah punya tiga unit usaha.
Saya kira, masih banyak contoh para pensiunan yang semula tak bersemangat lagi beraktivitas, kini saya melihat mereka sudah ada yang mulai aktif berwirausaha dengan membuka rumah makan, bisnis warnet, bisnis jasa pendidikan, percetakan buka bisnis design grafis, dan lain­lain. Oleh karena itulah, saya mengajak para pensiunan, yuk kita mencoba berani berwirausaha. "Usia boleh tua, tapi semangat berwira­usaha tetap muda." Anda berani mencoba?







Text Box: BAGIAN 1: 

Kecerdasan Emosional Penting Bagi entrepreneur!
 .


O
rang Jawa punya idiom tepat untuk melukiskan pentingnya kecer­dasan emosional dalam melakukan sesuatu untuk mewujudkan sebuah keinginan atau impian. Ngundung, artinya melakukan suatu tindakan dengan keteguhan hati. Jadi, kalau kita sudah ngundung, sesuatu yang kita yakini bakal tercapai dengan mengedepankan intuisi atau optimisme dalam bertindak akan membuat sesuatu yang semula kita angankan benar-benar menjadi kenyataan atau cepat terwujud.
Kebiasaan untuk selalu ngundung sangat penting bagi seorang entre­preneur dalam memulai atau mengembangkan bisnis. Oleh karena dengan demikian seorang entrepreneur akan lebih sering memaksimal­kan peran otak kanannya ketimbang hitungan-hitungan rasional yang hanya membuat kita mandeg dan takut melangkah. Kembali dalam budaya Jawa ada pepatah, rawe-rawe rantas, malang-malang tuntas, yang boleh ditafsirkan bahwa jika kita sudah yakin pada pilihan dan langkah kita dalam hidup, apa pun yang terjadi untuk mencapainya kita harus bersikap optimis maju terus pantang mundur.
Dengan mengedepankan kecerdasan emosi kita dan lebih meng­gunakan otak kanan, kita akan menjadi orang yang pemberani, karena memang hanya orang pemberani ayng sukses menjadi entrepreneur. Sejak kita sekolah, kita cenderung diarahkan selalu menggunakan otak kiri dan kita pun terbentuk menjadi pribadi yang selalu berpikir lurus dan serba linear, urut. Sehingga, meskipun pandai, kita tidak akan pernah jadi orang yang berani, selalu berhitung dan selalu takut melangkah.
Yang pasti, keberanian seorang entrepreneur untuk membuka usaha itu sama dengan keberanian menghadapi risiko. Kalau kita selalu berhitung dan mengedepankan otak kiri, risiko akan selalu dilihat sebagai bahaya, karena itu harus dijauhi, tapi kalau dengan pandangan otak kahan, maka risiko justru sebuah peluang meraih rezeki. Oleh karena itu harus didekati. Risiko besar maka peluang rezekinya pun besar, tapi kalau risikonya kecil jelas rezekinya pun kecil, itu hal yang pasti.


M
engapa kecerdasan emosional seorang entrepreneur juga saya ungkap dalam buku ini? Itu karena, saya sendiri ikut merasakan, bahwa kesuksesan bisnis memang sangat berkaitan langsung dengan kecerdasan emosi entrepreneurnya. Maka, tak ada salahnya kalau faktor kecerdasan emosional itu perlu kita ke depankan. Bahkan, itu mutlak kita miliki. Hal itu, saya pikir juga merupakan langkah tepat di dalam setiap kita ingin meraih keberhasilan bisnis, juga dalam kehidupan sehari-hari.
Orang yang pertama mengenalkan kecerdasan emosional adalah Daniel Goleman. Dalam bukunya "Emotional Intelligence" atau EQ, ia meng­ungkapkan, bahwa ada 5 wilayah kecerdasan emosi yaitu: mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenal emosi orang lain, dan membina hubungan. Artinya, jika kita memang mampu memahami, dan melaksanakan kelima wilayah utama kecerdasan emosi tersebut, maka semua perjalanan bisnis apa pun yang kita lakukan akan lebih berpeluang berjalan mulus.
Harus dipahami, bahwa ada perbedaan antara kecerdasan emosional dengan kecerdasan intelektual (IQ). Goleman mengungkapkan, bahwa kecerdasan intelektual itu sesungguhnya merupakan keturunan sese­orang yang tidak dapat diubah, karena pembawaan sejak lahir. Sedang
kecerdasan emosional tidak demikian. Saya sendiri sependapat dengan Goleman, yang akhirnya menyimpulkan, bahwa kecerdasan emosional adalah merupakan jembatan antara apa yang kita ketahui, dan apa yang kita lakukan. Dengan semakin tinggi kecerdasan emosional, kita akan semakin terampil melakukan apa pun yang kita ketahui benar.
Saya yakin, entrepreneur yang memiliki kecerdasan emosional optimal, akan lebih berpeluang mencapai puncak keberhasilannya. Sosok sema­cam ini sangat kita perlukan guna membangun masyarakat entrepreneur Indonesia. Entrepreneur yang memiliki kecerdasan emosional optimal, akan tetap menganggap, bahwa krisis itu adalah sebuah peluang.
Itulah sebabnya mengapa entrepreneur itu harus tetap jeli dalam memanfaatkan emosinya. Sebaliknya, jika seseorang secara intelektual cerdas, kerapkali justru bukanlah seorang entrepreneur yang berhasil dalam bisnis dan kehidupan pribadinya. Dia harus yakin, bahwa di dalam dunia bisnis saat ini maupun di masa mendatang, kecerdasan emosional akan lebih tetap berperan.
Maka dengan memiliki kecerdasan emosional yang optimal, akan lebih bisa mentransformasikan situasi sulit. Bahkan, kita juga semakin peka akan adanya peluang entrepreneur dalam situasi apa pun. Kalau kita memiliki kecerdasan emosional yang optimal, saya yakin akan mampu mengatasi berbagai konflik.
Orang yang benar-benar mengoptimalkan EQ, akan lebih jeli dalam melihat sebuah peluang. la akan lebih cekatan dalam bertindak dan lebih punya inisiatif. Atau, ia pun akan lebih siap dalam melakukan negosiasi bisnis. Lebih mampu melakukan langkah strategi bisnisnya, memiliki kepekaan, daya cipta, dan komitmen yang tinggi. Bahkan, ada pakar yang mengungkapkan, bahwa keberhasilan seseorang dalam bidang bisnis, 80% ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya.
Banyak orang yang sukses menjadi entrepreneur meski nilai akademik­nya sedang-sedang saja. Hal ini disebabkan, mereka yang lulus dengan nilai sedang itu sebagian besar memiliki kecerdasan emosional optimal. Lantaran kecerdasan emosional yang optimal inilah yang justru men­dorongnya untuk menjadi entrepreneur yang kreatif. Contohnya adalah Bill Gates, seorang supermiliader di Amerika Serikat. Dia adalah pemilik perusahaan perangkat lunak Microsoft. Saat Bill Gates kuliah di Harvard Business School, ia merasa tidak mendapat pengetahuan apa-apa. Akhirnya ia putuskan berhenti kuliah. Namun meski drop-out dari Harvard, Bill dikenal sebagai penyumbang dana terbesar bagi universitasnya.
Hal yang sama juga terjadi pada Steven K. Scout. Saat ini dia dikenal sebagai miliader di Amerika Serikat. Ketika masih di sekolah, Steven tidak pintar. Dia tidak populer di sekolahnya. Namun, sekarang Steven berhasil menjadi pengusaha yang bergerak di bidang bisnis pemasaran nomor satu di Amerika Serikat.
Saya yakin, entrepreneur itu memang perlu kecerdasan emosional yang optimal. Nilai akademis saat studi tidak harus tinggi. Sulit bagi sese­orang untuk menjadi entrepreneur, meski memiliki kecerdasan intelek­tual tinggi, tetapi kecerdasan emosionalnya rendah. Lantas, apakah Anda ingin memiliki kecerdasan emosional yang optimal? Itu bisa dipelajari, dilatih, dan bisa dikembangkan. Oleh karena semuanya itu proses yang membutuhkan waktu, ketekunan, dan semangat tinggi. Berani mencoba? Silakan.

E
mosi bisnis bagi entrepreneur sangat penting perannya. Apalagi, dalam mengatasi tantangan persaingan bisnis di Milenium ketiga ini. Oleh karena, emosi memicu kreativitas inovasi kita. Emosi juga meng-aktifkan nilai-nilai etika, mendorong atau mempercepat penalaran kita dalam berbisnis. Bahkan tak hanya itu, emosi juga akan memotivasi kita, dan membuat kita nyata dan hidup.
Saya setuju dengan pendapat Josh Hammond, bahwa emosi adalah sesuatu yang punya makna penting bagi perusahaan. Menurutnya, emosi adalah pengorganisasi yang hebat dalam bidang pikiran dan perbuatan. Dan meskipun demikian, emosi tidak dapat dipisahkan dari penalaran dan rasionalitas.
Pendapat hampir serupa diungkapkan Robert K. Cooper yang menga­takan, bahwa pada umumnya, emosi lebih jujur dari pada pikiran atau nalar. Menurutnya, emosi juga memiliki kedalaman dan kekuatan, sehingga dengan bahasa Latin, misalnya, emosi dikatakan sebagai motus anima, yang artinya "jiwa yang menggerakkan kita".
Mengapa saya melukiskan gambaran begitu, terutama bagi seorang entrepreneur yang setiap harinya selalu menghadapi tantangan di dalam menggeluti bisnisnya? Itu karena, selama ini kita mungkin belum menyadari atau menghargai secara sebenarnya makna penting emosi itu sendiri.
Kita lebih menangkap pengertian emosi dari makna konvensional. Sehingga, emosi dianggap sebagai lambang kelemahan, bahkan tak boleh ada dalam bisnis, harus dihindari, dan membingungkan. Kita juga cenderung suka menghindari orang yang emosional, hanya pikiran yang diperhatikan dan suka menggunakan kata-kata tanpa emosi.
Tidak hanya itu, emosi juga dikatakan mengganggu penilaian yang baik, mengalihkan perhatian kita, tanda kerentanan, menghalangi mekanisme kontrol, memperlemah sikap-sikap yang sudah baku, menghambat aliran data objektif, merumitkan perencanaan manajemen, dan mengurangi otoritas.
Padahal, emosi itu sendiri menurut Cooper adalah sumber energi. Sementara rekannya, Voltaire berpendapat emosi adalah "bahan bakar". Sehingga, berbisnis tanpa disertai dengan emosi, seolah tanpa ada gairah. Saya sendiri juga merasakan hal yang seperti itu.
Hal itu juga akan membuat kita tak lagi memiliki keberanian berwira­usaha, apalagi bersaing, Padahal, dunia bisnis penuh persaingan. Mereka yang bisa eksis usahanya adalah mereka yang menang dalam persaingan. Maka tak ada salahnya, kita harus pandai-pandai menge­rahkan sumber energi ini dalam kehidupan, termasuk di dalam bisnis kita.
Sebenarnya, telah banyak studi yang mengungkapkan, bahwa emosi penting sebagai "energi pengaktif" untuk nilai-nilai etika, misalnya keper­cayaan, integritas, empati, keuletan, dan kredibilitas serta untuk modal sosial. Hal tersebut dapat berupa kemampuan membangun dan mempertahankan hubungan-hubungan bisnis yang menguntungkan, serta didasarkan pada saling percaya.
Saya yakin, wirausahawan atau entrepreneur akan lebih minat ke sesuatu yang punya makna penting daripada makna konvensionl. Oleh karena, seorang wirausahawan adalah seseorang yang memiliki visi bisnis, dan selalu ingin mengubahnya menjadi realita bisnis.
Dia tahu, bahwa mengubah visi menjadi realita lebih berupa kerja keras daripada nasib baik. Begitu juga halnya dengan emosi. Bukan lambang kelemahan, tapi dianggapnya sebagai lambang kekuatan dalam bisnis­nya. Sehingga, meski persaingan bisnis di era milenium ketiga bakal ketat, namun dia akan tetap terus bergerak maju.


H
asil penelitian Daniel Goleman, pengarang "Emotional Intelligence", itentang otak dan ilmu perilaku yang dimuat "The New York Times", menarik untuk dikaji. Dikatakannya, sesungguhnya kita memiliki 2 otak, satu yang berpikir (otak berpikir) dan satu yang merasakan (otak emosional). Biasanya, otak berpikir itu kita sebut otak kiri, dan otak emosional kita sebut otak kanan. Maksudnya, apa-apa yang kita ketahui ada di otak berpikir, dan apa-apa yang kita rasakan ada di otak emosional. Saya kira, dikotomi emosional dengan berpikir kurang lebih sama dengan istilah "hati" dengan "kepala".
Sebenarnya mana yang lebih dulu terjadi? Menurut penelitiannya itu, Goleman menyebutkan, bahwa otak emosional ternyata terjadi lebih dulu sebelum otak berpikir. Lantas, sebenarnya apa segi manfaat yang bisa kita petik dari penelitiannya itu, khususnya bagi kita yang bergerak di dunia usaha?
Saya kira, penelitian ini mengingatkan kita, bahwa di dalam kita menggeluti dunia usaha, sebaiknya bisa menyelaraskan antara otak berpikir dengan otak emosional. Keselarasan kedua otak itu bagi kita sangat dibutuhkan, terutama di dalam kita mengambil keputusan penting dalam bisnis. Keselarasan itu akan membuat kita lebih tepat dan bijaksana dalam mengambil keputusan bisnis terlebih di saat persaingan bisnis seperti sekarang ini yang kerap kali menghadapkan kita kepada rentetan pilihan-pilihan cukup banyak.
Apalagi, kedua otak tersebut, yang emosional dan yang berpikir, pada umumnya bekerja pada keselarasan yang erat, saling melengkapi, saling terkait di dalam otak. Di mana, emosi memberi masukan dan informasi kepada proses berpikir atau pilciran rasional. Sementara pikiran rasional memperbaiki dan terkadang memveto masukan emosi tersebut.
Tapi sebaliknya, jika saja keduanya tak ada keselarasan atau katakanlah otak emosionallah yang dominan serta menguasai otak berpikir, maka keseimbangan kedua otak itu akan goyah. Kita akan cenderung tidak bisa berpikir jernih, suka bertindak gegabah dan sering melakukan kesalahan fatal dalam setiap mengambil keputusan penting dalam bisnis. Kalau dominan otak berpikir, maka kita hanya sekadar bersikap analitis, dan mengambil tindakan tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain. Akibatnya menimbulkan hilangnya kegairahan dan antusiasme bisnis.
Oleh karena itu, kita jangan sampai kehilangan keselarasan kedua otak tersebut. Sebab, seperti juga yang ditegaskan oleh Dr. Damasio, seorang ahli neurologi, bahwa perasaan atau emosi biasanya sangat dibutuhkan untuk keputusan rasional. Otak emosional kita akan menunjukkan pada arah yang tepat. Maka, adalah tindakan yang tepat, jika mulai sekarang kita bisa mengatur emosi kita sendiri.
Dalam konteks ini, saya berpendapat dengan pakar manajemen, Dr. Patricia Patton. Yang mengatakan, bahwa untuk mengatur emosi, kita bisa melakukan dengan cara belajar, yaitu: Pertama, belajar mengiden­tifikasi apa yang biasanya memicu emosi kita dan respons apa yang bisa kita berikan. Kedua, belajar dari kesalahan, belajar membedakan dalam segala hal di sekitar kita yang dapat memberikan pengaruh dan yang tidak memberikan pengaruh pada diri kita. Ketiga, belajar selalu bertang­gung jawab terhadap setiap tindakan kita. Keempat, belajar mencari kebenaran, belajar memanfaatkan waktu secara maksimal untuk menye­lesaikan masalah, dan kelima, belajar menggunakan kekuatan sekaligus kerendahan hati.
Saya sendiri juga merasakan, bahwa dampak positif dari terciptanya keselarasan kedua otak itu juga akan memunculkan tindakan-tindakan produktif, membuat kita semakin mantap dalam berbisnis, dan pada akhirnya akan berdampak positif bagi kemajuan bisnis kita.
Singkatnya, keselarasan itu sangat berkaitan dengan pemberdayaan diri kita. Di mana, kita mesti bisa mengontrol diri, dan menggunakan akal sehat. Dan, tentu saja, keselarasan itu tidak akan berwujud kalau kita masih juga memegang teguh sifat mementingkan diri sendiri. Sehingga, seorang wirausahawan yang bisa menyelaraskan otak berpikir dan otak emosional, akan sangat mungkin lebih berhasil dalam bisnisnya. Boleh jadi peluang menjadi wirausahawan yang kompeten, bernilai, profe­sional, dan bahagia akan lebih bisa dicapai. Meski tak mudah kita menyelaraskan kedua otak tersebut, tapi saya yakin, kita harus berani mencobanya.



U
paya mencerdaskan atau memberdayakan otak kanan itu saya i,Arasakan semakin hari semakin penting. Baik itu untuk kepentingan kehidupan kita sehari-hari, maupun kegiatan bisnis. Hanya saja, bagai­mana sebaiknya cara kita mencerdaskan otak kanan itu? Serta, latihan apa yang perlu kita lakukan?
Saya kira, sebaiknya kita bisa melakukan hal-hal berikut. Pertama, kita harus lebih banyak menyukai kegiatan atau hobi di alam terbuka. Misalnya: berenang, memancing, bersepeda, berjalan-jalan, lari-lari, berkemah, atau hiking. Kegiatan ini dapat mencerdaskan otak kana.n. Kedua, melatih diri untuk berpikir divergen atau menyebar, loncat-loncat, bukan linier, berpikir yang aneh-aneh, dan suka humor. Sehingga, kita akan lebih mudah menemukan ide-ide kreatif.
Ketiga, mengaktifkan kemampuan bawah sadar kita. Latihan sederhana, misalnya bisa kita lakukan yaitu: di saat kita menerima pelajaran, mata dalam keadaan terpejam, atau mendengarkan radio sambil memejamkan mata tetapi tidak tidur.
Keempat, bisa lewat pendekatan religius, misalnya yang saya alami sendiri, yakin melakukan dzikir dalam hati. Dzikir dalam hati dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja. Dzikir itu akan membuat sesuatu itu terjadi. Sementara, intuisi yang tajam akan menunjukkan sesuatu itu terjadi. Cara lain yaitu dengan melakukan sholat malam, atau Tahajjud, dan shalat minta petunjuk atau Istikharah. Puasa juga dapat mencerdaskan otak kanan.
Berdasarkan pengalaman di dalam pelatihan kewirausahawan, saya berkal-kali mencoba melakukan tes indikator minat otak pada peserta pelatihan. Ternyata mereka umumnya lebih dominarl otak kiri. Itu karena, selama mereka menuntut ilmu sejak masuk SD sampai perguruan tinggi, yang dicerdaskan hanya otak kiri.
Dalam konteks ini, jika kita ingin mencerdaskan otak kanan, maka otak kiri otomatis semakin cerdas. Sebaliknya, jika otak kiri yang dicerdaskan, otak kanan tidak otomatis tambah cerdasnya. Sebab, otak kanan berkaitan dengan munculnya gagasan-gagasan baru, gairah, dan emosi.
Sementara, otak kiri sangatlah berkaitan dengan hal-hal yang logis, linier, dan rasional. Namun, itu bukan berarti peran otak kiri diabaikan begitu saja. Otak kiri, saya kira tetap penting. Memang, ada saatnya seorang entrepreneur itu harus bisa menyeimbangkan pemanfaatan otak kanan dan otak kirinya.
Oleh karena itu, sebagai seorang entrepreneur, maka kita harus terus berusaha mencerdaskan otak kanan, selain bermanfaat mempertajam intuisi kita, juga akan meningkatkan daya kreativitas kita. Kita lebih percaya diri, dan optimis dapat memenangkan persaingan bisnis.
Saya kira tidak hanya itu saja. Kita pun akan lebih jadi sabar dan tabah di dalam setiap menghadapi berbagai cobaan hidup maupun bisnis. Kita akan merasa lebih nyaman dengan hal-hal yang kita lakukan, dan tak mustahil laju keberhasilan bisnis kita bakal meningkat.



O
tak kanan memang makin menjadi penting saat ini. Bukan karena kita "sirik" otak kiri, tetapi karena betul-betul dirasakan kebu­tuhannya, khususnya oleh entrepreneur. Terlebih lagi, karena ilmu manajemen yang selama ini ada, yang lebih didasarkan logika dan rasional, ternyata tidak selamanya mampu mengatasi setiap persoalan bisnis.
Dan, mengapa harus otak kanan? Oleh karena, di otak kanan itulah sarat dengan hal-hal yang sifatnya eksperimental, divergen, bukan penilaian, metaforikal, subjektif, nonverbal, intuitif, diffuse, hollstic, dan reseptif. Sementara kita sadar, otak kiri cenderung bersikap objektif, presisi, aktif, logioal, verbal, penilaian, linier, konvergen, dan numerical. Padahal, jika kita mampu memberdayakan otak kanan, maka ada kecenderungan akan mampu menyelesaikan setiap masalah dalam bisnis, bila dibandingkan kalau kita dengan hanya mengandalkan otak kiri.
Dengan kita mampu memberdayakan otak kanan. Maka setiap meme­cahkan persoalan dalam bisnis, kita pun akan dapat melihat secara keseluruhan, dan kemudian memecahkan berdasarkan firasat, dugaan, atau intuisi. Intuisi ini adalah kemampuan untuk menerima atau menyadari informasi yang tidak dapat diterima oleh kelima indra kita.
Tampaknya ada yang khawatir dengan intuisi, karena mereka pikir intuisi bisa menghalangi pemikiran rasional. Sebenarnya intuisi justru berdasar­kan pada pemikiran yang rasional dan tidak dapat berfungsi tanpanya. Saya sependapat dengan Robert Bernstrin, yang menyatakan, bahwa hanya intuisi yang dapat melindungi kita dari orang-orang paling berbahaya, orang-orang yang tidak mampu bekerja dan cuma pinter ngomong.
Lalu? Seorang entrepreneur yang mampu memberdayakan otak kanannya, biasanya juga cenderung memilih manajemen yang berstruk­tur luwes dan spontan, serta pada struktur yang sifatnya sama.
Lain halnya bila dia lebih mengandalkan otak kirinya. Maka dia akan lebih cenderung pada struktur hierarki dan pada kondisi manajemen yang berstruktur. Mengandalkan otak kiri juga cenderung membuat penyele­saian masalah dipecahkan satu per satu berdasarkan logika.
Kenyataan ini pernah kita alami saat studi dulu. Kita lebih banyak diajarkan atau dilatih oleh guru kita untuk selalu berpikir dengan otak kiri. Misalnya kita selalu dituntut berpikiran logis, analistik, dan berdasarkan pemikiran edukatif. Padahal hal tersebut ada kelemahannya. Kita tak dapat menggunakannya, bila data tak tersedia, data tak lengkap, atau sukar diperoleh data.
Maka, jika kita termasuk kategori otak kiri dan tidak melakukan upaya tertentu untuk memasukkan beberapa aktivitas otak kanan, maka akan menimbulkan ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan tersebut dapat mengakibatkan kesehatan mental dan fisik yang buruk, seperti mudah stres, mudah putus asa atau patah semangat.
Tapi dengan kita mampu memberdayakan otak kanan kita, maka kita juga akan lebih intuitif dalam menghadapi setiap masalah yang muncul.
Tentu saja hal tersebut berbeda dengan mereka yang hanya mengandalkan otak kiri, yang cenderung bersifat analistis. Yang jelas, kedua belahan otak tersebut sama pentingnya. Jika kita mampu meman­faatkan kedua otak ini, maka kita akan cenderung "seimbang" dalam setiap aspek kehidupan, termasuk urusan bisnis.
Bagaimana kalau kenyataannya dalam bisnis kita sehari-hari, kerap kali masih diharuskan untuk memutuskan, memilih, dan mengambil kepu­tusan, dari beberapa alternatif yang faktor-faktornya tidak diketahui? Tentu saja, jika proses berpikir kita masih dominan ke otak kiri yang cenderung bersifat logis, linier, dan rasional, tentu kita akan menyo­dorkan berpuluh-puluh pilihan.
Sebaliknya jika proses berpikir kita dominan ke otak kanan yang cenderung acak, tidak teratur, dan intuitif, saya yakin kita dengan antusias yang kuat akan memilih satu pilihan dan berhasil. PAaka, tak ada salahnya jika kita mau memberdayakan otak kanan.


S
ungguh saya sempat tertegun, ketika membaca pidato pengukuhan Prof Dr. dr. Hari K. Lasmono, MS, Guru Besar Ilmu Pisikologi Fakultas Psikologi Universitas Surabaya beberapa waktu lalu. la meng­ungkapkan, bahwa untuk kita bisa sukses dalam bisnis maupun karier, tak cukup hanya mengandalkan IQ (Intelligence Quotien6 dan EQ (Emotional Quotien4, tapi juga AQ (Adversity Quotient).
Mengapa AQ penting? Menurut pakar SDM, Paul G. Stoltz, Phd, AQ merupakan perpaduan antara IQ dan EQ. Jadi AQ bisa saja kita artikan sebagai keandalan mental. Sementara, Daniel Goleman pernah menga­takan, banyak pengusaha ber-IQ tinggi, namun usahanya cepat jatuh. Sedang, yang ber-IQ biasa-biasa saja justru berkembang. Lantas, ia mengenalkan kecerdasan Emosi (EQ). Di mana EQ merefleksikan kemampuan kita berempati pada orang lain, mengontrol kemampuan hati, dan kesadaran diri. Sehingga Goleman yakin EQ lebih penting dari IQ.
Tapi kenyataannya, seperti IQ, tak semua orang mengambil keuntungan dari EQ. Karena kurangnya ukuran valid dan metode definitif untuk mempelajarinya, membuat EQ sukar dipahami. Bahkan beberapa orang ber-IQ, tinggi dan punya semua aspek EQ, ternyata akan jatuh pula. Itu sebabnya mengapa Stoltz, berani mengatakan, bahwa IQ dan EQ tidak menentukan kesuksesan seseorang, meskipun keduanya memainkan 109
Carat Gilct 'Tudi Pen9usaha
peranannya. Lantas, mengapa pengusaha bisa bertahan, meski di saat krisis ekonomi sekali pun, sedang pengusaha lain yang rata-rata pintar menyerah akibat badai krisis? AQ itulah kuncinya.
Untuk memahami AQ, kita menggambarkannya dengan - pendaki gunung. Ada 3 katagori, yang pertama adalah "Clunbe?'. Tipe orang ini, akan terus mendaki sampai puncak tanpa mempertimbangkan lebih jauh keuntungan atau kerugian, ketidak-beruntungan atau keberuntungan. Tipe pengusaha "Climbe? ini, juga cenderung tak pernah memper­masalahkan usia, gender, ras, ketidakmampuan fisik atau mental, atau berbagai rintangan lain mencapai puncak kesuksesannya.
Tipe yang kedua adalah pengusaha "Campe?. Dia mengompromikan hidupnya. Dia bekerja keras tapi hanya sebatas yang mampu dia lakukan. Sebenarnya kesuksesan bisa diraih lebih baik lagi, tapi dia cenderung untuk tidak mau mencapainya. Dia sudah cukup puas dengan apa yang sudah diraihnya.
Terakhir tipe ketiga, pengusaha "Qultte?juga mengompromikan hidup­nya, namun tidak berusaha sekeras "Camper". Dia lebih memilih bisnis yang mudah, tanpa gejolak. Tapi, jika dalam bisnis menghadapi kesukaran, ia cenderung lebih mudah terkena depresi, atau frustasi. Pendeknya, disadari atau tidak, pengusaha "Qultte? lebih memilih melarikan diri dari pendakiannya. Padahal, sebetulnya dia punya potensi untuk mencapai sukses.
Dengan melihat 3 tipe pengusaha di atas, saya berpendapat bahwa jika kita ingin eksis sebagai pengusaha, maka sebaiknya kita harus berusaha menjadi pengusaha "Climber', dan bukan "Campe? maupun "Quitte?. Sebab, hanya tipe "Cllmbe? yang benar-benar bisa mengisi hidupnya. Sebab, mereka mempunyai perasaan yang kuat mencapai tujuan dan semangat untuk melakukannya. Baginya, tak ada kata menyerah dalam kamusnya. Dia punya kebijaksanaan dan kedewasaan untuk memahami kapan harus maju dan kapan harus mundur.
Namun demikian, "Climbe? itu juga manusia. Kadang mereka punya keraguan, kesepian dan pertanyaan dalam perjuangannya. Karena itu, tak mengherankan terkadang pengusaha tipe "Cllmbe? bergabung juga dengan "Camper' untuk merenung kembali, mengisi ulang energi untuk berjuang lagi. Sedangkan pengusaha tipe "Quitte? memilih untuk tidak melakukan apa-apa. Nah, bagaimana Anda sendiri, mau pilih tipe yang mana?


R
upanya kita tak cukup hanya berbekal kecerdasan intelektual (IO) dan kecerdasan emosional (EQ), untuk bisa meraih sukses, baik dalam bisnis maupun karier. Kita juga harus punya kecerdasan adversity (AO). Sebab, hal itu akan memungkinkan kita lebih mampu mengatasi tantangan dalam bisnis, sekalipun itu perlu banyak energi, dedikasi, dan pengorbanan.
Senapas dengan perkembangan bisnis itu sendiri, ternyata belakangan itu bergulir pendapat yang menyatakan, kesuksesan karier maupun bisnis itu, masih perlu lagi dilengkapi dengan kecerdasan spiritual atau spiritual intelligence (SO). Mengapa demikian? Oleh karena, di dalam kecerdasan spiritual inilah terkandung banyak aspek, seperti aspek keberanian, optimisme, kreativitas, fleksibel, dan visioner.
Menurut saya, seharusnya memang demikian. Dengan kita juga memiliki kecerdasan spiritual, maka kita cenderung lebih berani "ngundung" (bahasa Jawa: berjalan dengan keteguhan hati) dalam setiap menggeluti bisnis apa pun. Kita juga tidak mudah ragu pada setiap keputusan bisnis yang kita buat. Bahkan, saya berani mengatakan, bahwa jika kita ingin sebagai pengusaha sekaligus pemimpin, maka seharusnya memang memiliki kecerdasan spiritual yang baik.
Berani "ngundung", yang saya maksudkan di atas, bisa mengandung pengertian bahwa beraninya itu karena kita punya kecerdasan spiritual. Sementara, "ngundung"-nya, karena kita memiliki kecerclasan adversity (AQ). Dengan begitu, kita akan lebih berani jalan terus. Tidak mudah terombang-ambing oleh isu-isu negatif di kanan kiri. Sehingga, saya berani menyimpulkan, berani "ngundun#' itu merupakan gabungan antara aspek kecerdasan adversltydan kecerdasan spiritual.
Saya percaya, hal itu akan membuat kita semakin bersemangat di dalam berbisnis. Tidak ada kata yang lebih tepat, kecuali: "Saya akan melang­kah terus ke depan". Dengan kita berani "ngundung'` akan membuat kita tidak mudah menyerah. Karena kita telah percaya atas diri kita sendiri dan tidak terlalu ambil pusing pendapat orang lain pada bisnis yang kita pilih dan jalani.
Dengan berani "ngundung”' akan membuat kita kreatif, dan tidak takut gagal. Bahkan, kita rela mencoba lagi dan pantang putus asa. Pokoknya, "ngundung'' jalan terus. Dengan begitu, kita akan memiliki daya lentur. Bahkan, terkadang kita tidak melihat kegagalan, tapi hanya kita anggap sekadar rintangan kecil yang tak mengenakkan kita di dalam meraih sukses bisnis.
Untuk mewujudkan keberanian "ngundungr' itu, kita sebaiknya mau melakukan pendekatan spiritual. Saya yakin, di sinilah ada suara hati yang merupakan kebenaran sejati. Sehingga, kalau hati nurani kita benar-benar ingin melakukan sesuatu, maka kita pun harus yakin, bahwa bisnis yang akan dan sedang kita jalankan saat ini, bukanlah untuk menipu. Bisnis yang kita jalankan, sebenarnya juga bukanlah hanya sekadar untuk kepentingan diri sendiri, tapi juga punya makna sosial karena pekerjaan bisnis kita begitu banyak menyejahterakan orang lain.


D
unia entrepreneur merupakan dunia tersendiri yang unik. Itu sebab­nya, mengapa entrepreneur atau wirausahawan dituntut selalu kreatif setiap waktu. Dengan kreativitasnya, tidak mustahil akan terbukti bahwa ia betul-betul memiliki citra kemandirian yang memukau banyak orang karena mengaguminya, dan selanjutnya akan mengikutinya.
Memang, kita akui bahwa menjadi entrepreneur kreatif di saat krisis ekonomi merupakan suatu tantangan yang sangat berat. Digambarkan seseorang yang akan terjun menjadi entrepreneur kreatif, ia harus bekerja 24 jam sehari, dan 7 hari dalam seminggu. Hal semacam itu masih harus ia lakukan paling sedikit untuk kurun waktu kurang lebih 2 tahun pertama. Berjuang tanpa henti dengan berbagai tekanan fisik maupun psikis.
Apalagi dalam melakukan bisnis modern, tidak mungkin dapat hidup dan berkembang tanpa kemampuan menciptakan sesuatu yang baru pada setiap harinya. Walaupun itu hanya merupakan gabungan dari berbagai unsur yang telah ada, ke dalam bentuk baru yang berbeda. Dari kreativitas akan muncul barang, jasa atau ide baru sebagai inovasi baru, untuk memenuhi kebutuhan pasar yang terus berkembang. Dan dari kreativitas itu pula akan muncul cara-cara baru, mekanisme kerja atau operasi kerja untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas.
Pada dasarnya, kita semua kreatif. Tentu saja, dengan kualitas dan kuantitas yang berbeda-beda. Saya sependapat dengan Raudsepp, seorang peneliti dari Princeton Research Inc, yang mengatakan, bahwa kernampuan kreatif itu terdistribusi hampir secara universal kepada  seluruh umat di muka bumi ini. Kreativitas bak sebuah sumber mata air, yang tentunya jangan sampai kita biarkan sumber mata air itu mengering. Kita harus tetap belajar dan menggali terus kreativitas tersebut.
Oleh karena itu, jika Anda termasuk dalam golongan orang yang selalu ingin tahu, kemudian dapat melihat suatu peristiwa dan pengalaman untuk dijadikan sebuah peluang, di mana orang lain tidak melihatnya, kemudian memiliki keberanian berpikir kreatif dan inovatif, maka saya rasa lebih baik bersiaplah Anda untuk menjadi entrepreneur. Itu sebab­nya, mengapa ada yang menyebut wirausahawan itu sama dengan orang aneh. Namun, kita jangan berprasangka buruk dengan perkataan tersebut. Sebab, di balik kata itu tersembunyi kekuatan yang dimiliki seorang entrepreneur dari kebanyakan orang.
Banyak contoh yang dapat memberikan gambaran kepada kita, bahwa tidak ada sesuatu yang tidak mungkin dilakukan wirausahawan. Keluarkan semua ide atau gagasan Anda. Anda tidak perlu takut diremehkan atau dihina orang lain. "Ide gila" yang Anda sampaikan itu boleh jadi suatu waktu akan mengundang kekaguman banyak orang. Orang lain akan gigit jari ketika melihat keberhasilan Anda, dan mungkin saja mereka akan berguman: "Mengapa hal seperti itu dulunya tidak terpikirkan oleh saya?"
Kalau Anda berani tampil beda. Itu berarti, Anda akan memiliki jiwa entrepreneur. Saya setuju pendapat yang mengatakan, bahwa keber­hasilan entrepreneur itu diibaratkan seperti kesabaran dan ketenangan seorang aktor akrobatik dalam meniti tambang tipis hingga sampai ke tujuan, ia bukannya menghabiskan waktu dengan perasaan khawatir, tapi konsentrasinya tertuju pada tujuannya. Dan, yang lebih penting bagi kita adalah sebaiknya kita jangan malu akan kesalahan yang kita buat. Seorang entrepreneur memang tidak menyukai kesalahan, tapi ia tetap akan menerimanya sepanjang hal itu dapat memberikan pelajaran berharga.
la harus mampu meloloskan diri dari situasi-situasi yang hampir tidak mungkin diatasi. Sebab dalam era global sekarang ini, kegiatan usaha yang kita jalankan hampir 90% justru tidak sesuai rencana. Oleh karena itu, kita harus luwes dengan rencana yang telah kita buat. Bisa berpindah dari satu rencana ke rencana lainnya. Dan, saya berpendapat bahwa seorang entrepreneur juga tidak boleh gampang berputus asa. la harus yakin dengan kreativitasnya, pasti ada jalan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.


B
agaimana sebaiknya sikap yang diambil seorang entrepreneur, apabila kegiatan bisnisnya terkena dampak krisis ekonomi?
Sebagai pimpinan perusahaan, dalam menghadapi masalah ini, saya kira kita harus menjadi entrepreneur sejati atau seorang entrepreneur yang cerdas emosinya. Entrepreneur yang saya maksud di sini adalah entrepreneur yang tidak mudah panik. Sebab, kalau panik, justru akan mengakibatkan sesuatu hal yang lebih parah lagi. Misalnya, kalau pimpinannya panik, maka karyawannya pun ikut panik. Itu ibarat sebuah bandul, jika titik pusat bandul itu bergerak, akibat bola yang berada di bawahnya akan ikut bergerak lebih lebar.
Berpikir optimistis seperti seorang akrobatik yang tengah meniti tambang itulah barangkali sikap yang tepat bagi seorang entrepreneur, terutama dalam menghadapi krisis ekonomi. Saya kira, kita pun cerdik sebagaimana seorang pesulap yang melepaskan diri dari ikatan.
Dalam kaitan ini, saya juga sependapat dengan entrepreneur dari Negara Paman Sam, Don L. Gevirts, bahwa entrepreneur itu harus secara terus menerus dapat melihat peluang yang tidak dapat dilihat oleh orang lain, tidak pernah merasa puas, dan bisa mengeksploitasi sekecil apa pun perubahan yang ada.
Sebagai seorang entrepreneur, saya sendiri lebih memandang krisis ekonomi itu bukan sebagai krisis. Tapi sebaliknya, saya pandang sebagai siklus? Mengapa? Ibarat sebuah roda, sekali waktu tiba di bawah, dan suatu saat akan kembali ke atas. Saya yakin hal itu.
Saya sendiri sangat merasakan, bahwa entrepreneur itu ibarat menjadi kapten kesebelasan dalam pertandingan sepak bola. Saya harus menjadi inspirator tim sekaligus menjadi playmakel-yang handal.
Saya harus tahu, kapan harus menjemput bola, dan kapan harus melepas bola. Bahkan, saya pun harus tahu bagaimana cara meman­faatkan bola liar atau bola muntah di depan gawang. Oleh karena itu, saya menyadari, bahwa saya pun harus selalu memiliki winnihg commitment atau komitmen untuk menang, atau komitmen untuk berhasil secara tepat dan memadai.
Dengan cara ini, saya akan tetap optimis dalam menerjuni bisnis. Saya tidak boleh mudah terkejut oleh kesulitan. Bahkan dengan adanya kesulitan itu, seharusnya saya semakin optimis untuk mencari peme­cahannya, dan semakin menumpuk sifat ketabahan. Artinya, dengan memiliki sifat tabah, kita akan tetap siap menghadapi segala kemungkinannya, terutama manakala orang lain mudah putus asa saat menghadapi krisis.
Memang saya akui, dalam kondisi seperti itu, ada kelompok yang pesimis, loyo, atau tidak bergairah dan bersikap menyerah pada nasib. Selain itu, ada juga kelompok yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Dalam kondisi krisis, saya yakin, bahwa saya sendiri maupun para entrepreneur yang lain, masih tetap merasa yakin ada prospek bisnisnya di masa depan. Dengan kata lain, entrepreneur memang dituntut tetap tangguh yang didukung oleh spirit, wawasan, pengetahuan, dan keterampilan manajerial yang handal, serta mampu menyesuaikan dengan perubahan yang sangat cepat.
Selain itu juga, seorang entrepreneur harus bisa lebih jeli memanfaatkan situasi. Bagaimana dengan adanya krisis ekonomi ini bisa dimanfaatkan untuk selalu mencari peluang.
Oleh karena itulah, saya yakin, bahwa bermacam-macam peluang muncul pada saat kita sedang krisis. Saat dalam kondisi normal dan baik, itu memang bagus, akan tetapi pada saat dilanda krisis kalau dapat kita harus lebih bagus lagi. Kita semua harus meyakini hal itu.


P
ada masa krisis ekonomi, entrepreneur atau wirausahawan perlu mengembangkan kecerdasan emosional. Dengan begitu, la akan mampu melihat peluang bisnis yang ada di sekitarnya. Entrepreneur yang cerdas emosinya tentu juga memiliki "intuisi" yang tajam. la dapat menangkap sesuatu yang tidak dapat dilihat orang lain. Walaupun data tidak lengkap, ia biasanya dapat mengambil konklusi yang pas.
Dalam kondisi apa pun, entrepreneur juga harus merupakan orang yang action oriented, bukan no action, dream only. Untuk itu diperlukan kesanggupan berpikir secara detail terhadap hal-hal yang penting. Bila kemudian muncul risiko, dia siap menanggung risiko apa pun atas aktivitas bisnisnya. Namun secepat itu pula, dia akan berbenah diri dan melangkah maju untuk lebih balk.
Entrepreneur semacam itu sangat kita butuhkan. Entrepreneur yang cerdas emosinya. Dengan kita berani mengambil risiko, maka akan lebih terbuka dalam mengambil peluang. Sebab, kalau kita baru berusaha setelah "pasarnya" diamankan, itu bukanlah seorang entrepreneur.
Entrepreneur harus punya "keberanian" yang menakjubkan untuk menjadi untung. Harus berani memanfaatkan setiap "ancaman" menjadi "peluang". Bukan sekadar berusaha menghindar dari "ancaman". Dalam kasus ini saya banyak belajar dari entrepreneur cerdas bernama
Konosuke Matsushita dari negeri Sakura, pendiri Matsushita Electric. Ltd, Jepang.
Dalam biografinya, ia menceritakan, bahwa pada saat Jepang dilanda krisis ekonomi, Matsushita tetap optimis dan berpikir positif. Dia tetap saja melakukan kegiatan yang dilakukannya seperti sebelum krisis ekonomi terjadi. Dia bersikap biasa-biasa saja. Dan dia juga tidak mudah terpengaruh oleh isu. Sebab hal-hal semacam itu akan dapat memperparah keadaan, karena proses bisnisnya menjadi tidak lancar lagi.
Sebagai entrepreneur ketika menghadapi krisis, Matsushita tidak pernah panik. Sikapnya biasa-biasa saja. Seolah-olah seperti tidak ada krisis. Matsushita tetap optimis terhadap kegiatan bisnisnya. Sikap seperti itu biasa saja kita tiru, dan masih relevan dengan kondisi saat ini.
Krisis ekonomi jangan kita jadikan alasan untuk tidak memulai atau mengembangkan bisnis. Bila krisis berakhir, apa yang Anda lakukan. Tetap menjadi pemain atau sekadar penonton? Sebab, ada masa pasca­krisis yang diyakini pertumbuhannya akan cepat sekali. Oleh karena itu, sebaiknya kita mencuri start sejak sekarang, untuk memulai atau mengembangkan bisnis yang prospektif di masa depan. Anggap saja sekarang ini tidak ada krisis.


P
erubahan serba cepat dan kacau sungguh kita rasakan sekarang ini, dan kita melihatnya, bahwa perubahan tersebut hampir terjadi dari segala aspek. Sebagai manajer maupun entrepreneur, kita akhirnya tidak hanya sekadar pandai menendang bola saja, yang bisa diposi­sikan seperti apa pun sekehendak kita dengan begitu mudah. Namun juga kita harus bisa seperti menendang kucing. Sedang kucing itu dapat meloncat dan lari. Sehingga, tidak mengherankan kalau lantas i!mu manajemen yang masih aktual pun tidak mampu lagi mengatasi kekacauan tersebut.
Kekecewaan itu berarti banyak ketidakpastian. Hari ini tidak ada hubungannya dengan hari kemarin. Hari depan menjadi tidak pasti, tidak bisa diramalkan. Kondisi semacam ini menjadikan kita hidup dalam era lonjakan kurva, tidak linier dan tidak karuan. Sehingga, pengetahuan dan juga pengalaman akhirnya tidak dapat menjamin keberhasilan bisnis kita di masa depan.
Kalau sudah begitu keadaannya, saya berani mengatakan, bahwa kita tidak perlu lagi menghafal ilmu-ilmu manajemen yang hanya sekadar teoritis. Kita justru harus lebih kreatif bertanya. Karena bertanya itu tidak akan pernah usang. Sementara, yang namanya sebuah jawaban penge­tahuan itu mudah ketinggalan zaman.
Begitu juga pengalaman. Keadaan yang serba cepat dan kacau itu akhirnya membuat pengalaman itu bukan lagi menjadi guru yang baik. Padahal, selama ini kita lebih percaya pada mitos, bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Oleh karena itu, dalam kondisi semacam ini, bagaimana kalau kita bebas saja dari ilmu pengetahuan dan pengalaman. Mungkin saja, ide saya ini Anda anggap aneh. Tapi itulah yang namanya entrepreneur identik dengan orang aneh.
Tom Peter, mengatakan bahwa perubahan serba cepat dan kacau itu pertanda zaman edan. Sehingga di era global sekarang ini, suka atau tidak suka, kita harus berani berakrab-akraban dengan kekacauan. Apalagi kita juga sedang menuju milenium ketiga. Sebab tidak mustahil pendekatan yang tidak sistematis atau tidak akademis, justru yang nantinya bisa menyelesaikan kekacauan.
Contohnya, Lembah Silikon di Amerika Serikat. Dahulu kawasan itu berkembang pesat dan sangat membanggakan banyak orang. Hal itu karena, Lembah Silikon telah menjadi besi sembrani yang menarik begitu banyak perusahaan yang berkecimpung dalam bisnis komputer dan elektronik. Tapi sekarang yang terjadi adalah sebaliknya. Banyak perusahaan di sana menjadi bangkrut. Lembah ini berubah menjadi kuburan masal perusahan besar. Kejadian tragis ini ternyata juga dialami oleh negara kita. Dulu, banyak pengusaha dan bank yang sangat berjaya, kini pada kelimpungan dan akhirnya bangkrut.
Sementara itu, dengan semakin banyak belajar ilmu manajemen, kerap kali membuat kita justru semakin bertindak hati-hati dalam segala urusan bisnis. Kita tidak punya keberanian untuk bertindak. Dalam pikiran kita yang ada hanyalah ketakutan dan ketakutan. Kalau sudah begitu, mana mungkin kita punya semangat kerja yang tinggi dan kompetitif.
Pengalaman bisnis pun semakin sulit diterapkan, bahkan kerap kali tidak jalan lagi. Perubahan serba cepat dan kacau itu membuat kita sadar, bahwa saat sekarang ini bukan lagi kita hanya bermodalkan pengeta­huan yang sarat dengan teori semata.
Tetapi, saat ini justru dibutuhkan orang yang buta teori atau jauh dari mental sekolahan. Nyatanya, orang yang jauh dari mental sekolahan itulah yang justru bisa meraih sukses. Hal itu karena, mereka tidak hanya semata-mata mengandalkan pada teori, namun mereka lebih memen­tingkan ketangguhan, keuletan, dan tahan banting. Sehingga, semua perubahan yang serba kacau dan cepat justru dianggapnya sebagai tantangan. Tantangan itulah yang dapat membangkitkan motivasinya.


D
alam situasi ekonomi sesulit apa pun, saya rasa seorang entre­preneur atau wirausahawan harus tetap optimis dalam menggeluti bisnisnya. Sebab, sesungguhnya keberanian seseorang entrepreneur dalam menggeluti bisnisnya adalah terletak pada optimisme. Dengan tetap optimis, kita akan tetap termotivasi dan cemerlang dalam meman­faatkan setiap peluang bisnis.
Bukan sebaliknya, pesimis. Sebab, sikap pesimis itu akan membuat semangat berwirausaha kita menjadi runtuh. Hal semacam itu jelas kalau bakal merugikan kita. Saya rasa wajar manakala dalam menggeluti bisnis kita, ada saja masalah yang timbul pada setiap harinya. Tinggal bagaimana sikap kita masing-masing.
Bila kita menghadapinya tidak dengan pikiran yang segar, dengan tidak optimis, maka tentu saja kita akan dihadapkan pada situasi pikiran yang rumit, terlalu tegang dan akhirnya bisa stres sendiri. Bahkan, ide atau gagasan kita yang cemerlang tiba-tiba berhenti, dan pada akhirnya merembet pada sikap kurang percaya diri. Sehingga dalam setiap kita melakukan negosiasi bisnis akan selalu grogi.
Tetapi coba bandingkan, bila kita tetap punya optimisme yang tinggi, meski diterpa "angin keras" apa pun kita tetap optimis, baik dalam bisnis maupun kehidupan sehari-hari, maka kita akan menjadi seorang yang selalu optimis dalam mengarungi masa depan. Kita pun menjadi tidak mudah terkejut oleh berbagai kesulitan apa pun. Bahkan kita akan tertantang dan selalu berusaha mencari jalan pemecahannya yang terbaik.
Dengan pemikiran yang optimis itu, kita juga akan lebih bisa meng¬gunakan imajinasi untuk meraih kesuksesan atau keberhasilan. Dengan demikian, optimisme akan meningkatkan kekuatan atau kemampuan kita dalam berusaha dan akan menghentikan alur pemikiran yang negatif. Namun kalau kita cenderung suka berpikir negatif, maka pasti akan memenuhi banyak kesukaran. Justru dengan optimisme, kita selalu akan terdorong untuk berpikir positif. Saya rasa berpikir positif adalah suatu cara yang terbaik untuk mempromosikan percaya diri, dan menghimpun energi positif. Sebab pikiran kita merupakan sumber-sumber ide atau gagasan yang paling berharga jika kita mau berpikir secara positif. Itu sebabnya, mengapa sikap mental positif (positive mental attitude) seorang entrepreneur itu menjadi penting.


D
alam acara pemberian penghargaan terhadap Lembaga Bimbingan Belajar Primagama oleh Museum Rekor Indonesia (MURI), saya benar-benar "dianggap" oleh rekan saya yang juga direktur MURI, Jaya Suprana.
Dalam acara yang diselenggarakan pada hari jumat 2 Juli 1999 yang lalu, saya dicap sebagai "orang gila" oleh Jaya Suprana. "Betapa tidak", kata Pak Jaya, "Usaha yang dibuka Pak Purdi saya nilai sebagai usaha edan-edanan. Pak Purdi memang demikian "gila" berani membuka usaha yang saya nilai sebagai industri bimbingan belajar terbesar di Indonesia," tutur pakar kelirumologi tersebut. Lebih lanjut dikatakannya "Karena itulah, saya rela menyerahkan sendiri sertifikat MURI ini kepada Pak Purdi. Padahal, saya sebenarnya sudah janjian dengan Presiden Habibie. Tapi karena ada acara ini, acara di Bina Graha saya batalkan," demikian kelakar Bos Jamu Jago itu.
Yah begitulah Pak Jaya. Bahkan, saya juga dibilang "gila", karena begitu cepat dalam mengembangkan bisnis pendidikan ini. Dan memang, pada usia 18 tahun pada 10 Maret 2000 yang lalu, Primagama telah berkembang lagi, dengan memiliki 181 cabang di 96 kota yang tersebar di 16 provinsi.
"Saya salut sama Pak Purdi. Sebagai seorang wirausahawan, ia selalu melakukan hal-hal yang tidak rasional dan terlalu berani. Tidak punya modal cukup, berani buka usaha. Terlalu optimis terhadap ide-ide rencana usahanya, dan mengambil risiko adalah pekerjaan biasa," demikian kata Pak Jaya lagi dalam kesempatan pidatonya.
Entrepreneur lain yang disebut Pak Jaya adalah Tirto Utomo, yang rupanya lebih gila lagi. Tirto Utomo bisa menjual air (aqua) lebih mahal dari bensin. Dan bisnis Tirto saat ini pun berkembang sangat pesat.
Jaya Suprana mengatakan begitu, karena memang faktanya demikian. Banyak usaha yang dimulai dari ide-ide gila, dan keberanian yang luar biasa. Bagi orang awam, perilaku wirausaha memang terasa aneh dan sulit dicerna. Tetapi bila dilihat dari sisi motivasi, mereka memang orang¬orang yang memiliki motivasi yang tinggi (high achieve dalam meraih sesuatu. Tak lekang karena panas, tak lapuk karena "hujatan". Padahal, belum tentu memiliki kepandaian dan keterampilan yang memadai untuk memulai usahanya.
Entrepreneur itu adalah pemberani, walaupun belum tentu ia orang pandai. Orang pandai justru belum tentu berani. Hal ini mungkin karena terlalu berhitung. Banyak wirausaha yang lahir bukan karena pandai, tetapi karena berani. Berani memulai usahanya. Berani meraih peluang. Tidak pernah takut.
Menurut Marianne Williamson, ketakutan kita yang paling mendalam bukan karena kurang memadai. Ketakutan yang paling mendalam adalah karena kita terlalu kuat. Sisi terang, bukan sisi gelap yang membuat kita takut. Dari kalimat tersebut dapatlah diambil kesimpulan, bahwa makin tahu banyak hal, maka makin membuat orang takut mencoba. Sehingga teman saya yang seorang akuntan, dan ingin berwirausaha, ia akan selalu menghitung feasibilitynya dan tidak pernah memulai usahanya. Sementara, peluang yang sama telah direbut orang lain.
Saya tidak menyarankan untuk tidak menghitung rencana usaha Anda. Tetapi, keberanian untuk memulai nampaknya harus didahulukan. Ada teman saya yang ingin membuka usaha retail atau warung kelontong. Yang dia hitung dan bayangkan, adalah akan membutuhkan modal yang banyak, tempat yang bagus, dan bayangan yang serba menakutkan. Dan, pada saat bertemu dengan saya, dia saya sarankan membuka retaifnya dulu baru berpikir kemudian. Ternyata betul juga, begitu retaif nya dibuka, banyak orang yang menitipkan barang (konsinyasi), di mana hal tersebut tak pernah dipikirkan. Kemudian ada petugas bank yang menawarkan pinjaman uang untuk meningkatkan modal. Dan, banyak kesempatan yang datang silih berganti, yang tidak pernah diduga sebelumnya.
Keberanian seorang entrepreneur untuk berwirausaha itu sama dengan keberanian menghadapi risiko. Kalau dengan negative thinking, risiko sama dengan bahaya. Tetapi kalau positive thinking, maka risiko itu sama dengan rezeki. Risiko yang didapat pun kecil. Contohnya, tukang cuci piring, risikonya hanya memecahkan piring, maka penghasilan pun kecil. Yang berisiko besar, penghasilannya pun akan besar. Sehingga, seberapa besar rezeki yang dinginkan, sama dengan seberapa besar Anda mengambil risiko.



S
aya sependapat dengan Gerry Robert, penulis buku "The Millionaire Mindset", bahwa kita sebaiknya setiap saat untuk selalu berpikir kemungkinan sukses atau successibility thinking. Jadi, kita tidak hanya cukup berpikiran positif saja seperti dikatakan Norman Vincent Peale. Dan, saya kira kita pun tidak hanya cukup sekadar possibility thinking seperti yang disarankan Robert Schuller.
Mengapa demikian? Sebab, dengan selalu berpikir kemungkinan sukses kita akan lebih bersikap mawas diri. Tindakan-tindakan yang kita bangun cenderung penuh dengan kepercayaan dan keyakinan diri. Bahkan, kita akan lebih memiliki perspektif jauh ke depan. Tegasnya, berpikir kemungkinan sukses itu sama halnya dengan sukses (success) ditambah kemungkinan (possibility).
Bill Gates (44 tahun) tanpa dia terbiasa succesibility thinking, tentu tidak mungkin berani mendirikan perusahaan Microsoft. Padahal saat itu, dia masih berusia 19 tahun.
Di perusahaan komputer itu, dia angkat dirinya bukan hanya sebagai direktur, atau manajer, tapi lebih dari itu, sebagai Presiden Direktur. Jabatan itu dipegangnya selama 25 tahun. Dan memang, pada akhirnya, ia membuktikan, bahwa bisnisnya mampu meraih sukses yang luar biasa, dan banyak dikagumi orang. Kini, namanya tercatat orang terkaya di dunia.
Dalam kaitan inilah, mungkin saja Anda akan bertanya. Sesungguhnya, seseorang itu, apakah untuk mendirikan perusahaan juga harus succesibillty thinking? Ataukah kita harus memiliki rasa percaya diri dulu atau sebaliknya? Kalau saya pribadi berpendapat, seseorang itu harus berpikir kemungkinan sukses dulu atau succesibility thihkihg, untuk mendirikan perusahaan, barulah kita memiliki rasa percaya diri.
Katakanlah, jika ada peluang bisnis, dengan kita berpikir kemungkinan sukses dulu, akan membuat kita memiliki keberanian membuat perusahaan berupa CV, PT, atau Lembaga. Kita tinggal datang ke notaris, kita bisa mengangkat diri kita menjadi direktur pada perusahaan yang kita dirikan. Itu sama saja kita sudah berpikir kemungkinan sukses.
Di dalam melakukan kegiatan bisnis, kita dapat mendeklarasikan berpikir kemungkinan sukses setiap hari, dengan sesuatu yang diyakini, yang kita anggap dapat mengubah kita. Misalnya hari ini, kita mendeklarasi¬kan bahwa kata favorit saya adalah "mungkin".
Saya percaya, pada apa yang mungkin. Saya melihat kemungkinan-kemungkinan di mana-mana. Saya memfokuskan pada apa yang benar, terang, dan indah. Saya melihat yang terbaik dalam setiap situasi, dan dalam setiap orang.
Dan, pada hari berikutnya, kita bisa saja mendeklarasikan, bahwa "saya orang yang bersemangat". Saya percaya, saya sukses karena saya ditakdirkan untuk sukses. Saya menolak hal-hal yang tidak baik. Saya bersemangat tentang diri saya dan potensi saya. Deklarasi semacam ini setiap harinya bisa berganti-ganti sesuai dengan yang kita kehendaki.
Selain kita menggunakan model pendekatan deklarasi berpikir kemungkinan sukses di dalam bisnis setiap hari, kita juga dapat melakukan model pendekatan religius, misalnya dengan melakukan dzikir dalam hati, yang juga bisa kita lakukan kapan saja, dan di mana saja. Saya yakin, hal itu semua akan menjadikan kita lebih mudah meraih sukses. Bahkan, bisnis yang kita jalankan juga akan lebih berpeluang berkembang.
Memang, semua itu membutuhkan kemauan keras. Maka, bila kita berkeinginan menjadikan diri kita untuk selalu berpikir kemungkinan sukses, bisa saja kita memprogram ulang diri kita sendiri, dengan jalan kita menyediakan waktu untuk selalu berpikir kemungkinan sukses. Mau dicoba?


B
anyak orang berpendapat bahwa, sudah seharusnya sistem pendidikan kita direvisi kembali. Sebab, selama ini sistem tersebut cenderung mengajarkan kita untuk takut berbuat sesuatu. Kita jadi takut berbuat salah. Sebagai contoh, ketika kita sekolah dulu, selalu kita diharuskan oleh guru kita untuk mengerjakan segala sesuatu tidak boleh salah. Padahal, semakin banyak kita membuat kesalahan, maka kita akan banyak belajar dari kesalahan itu.
Begitu juga saat sekolah dulu kita selalu diharuskan menghafal pelajaran dan menghitung angka, dan bukan bagaimana berkomunikasi dengan baik, bagaimana praktik memimpin, dan bagaimana praktik bekerja sama. Sehingga ada yang berpendapat bahwa sistem pendidikan kita di sekolah selama ini sebetulnya 'memiskinkan kecerdasan enterpreneur' kita sendiri.
Apalagi bagi kita yang ingin menggeluti dunia bisnis, maka akan selalu dihantui perasaan takut untuk berbuat sesuatu dalam bisnis. Padahal di dalam kita menjalankan bisnis, tak ada salahnya kita belajar dari kesalahan-kesalahan yang pernah kita perbuat. Artinya, kita harus berani berbuat sesuatu. Kita jangan takut memulai atau mengembangkan bisnis kita. Itulah sebenarnya manfaat kalau kita benar-benar memitiki kecerdasan entrepreneur, saya singkat Entre-Q.
Jika kita memliki Entre-Q biasanya cenderung memiliki perilaku atau kepribadian yang aneh-aneh. Itu menurut ukuran orang pada umumnya. Sebab yang membedakan seseorang itu entrepreneur atau bukan antara lain terletak pada Entre-Q. Misalnya dia akan menjadi seorang entrepreneur yang cenderung memiliki keberanian, dan itu sangat `menonjol' dibandingkan orang pada umumnya.
Saya juga melihat, bahwa sebagian besar entrepreneur yang memiliki Entre-Q mempunyai prinsip bahwa, setiap menghadapi tantangan bisnis dan kehidupan selalu dengan mengedepankan semangat dan spritualnya. Itu biasanya dia bangun sendiri dari pemikiran-pemikirannya, yang itu bisa dia pelajari dari orang lain, atau dia temukan sendiri. Entrepreneur yang memiliki Entre-Q biasanya juga selalu komit atau konsisten dengan apa yang dia lakukan. Dan, dia akan selalu punya keinginan untuk terus belajar dari pengalaman bisnisnya baik pahit maupun manis.
Sehingga tak mengherankan, kalau sosok pengusaha seperti ini biasanya punya kelebihan berpikir yang tidak linier atau tidak teratur. Dia juga cenderung tak hanya cerdas dalam emosi atau keberaniannya, tapi dia juga cerdas dalam kreativitasnya, intuisinya dan spiritualnya.
Apakah Entre-Q itu bisa kita kembangkan? Saya kira bisa saja. Caranya, dengan memperbanyak pengalaman secara langsung. Maksud saya, kita harus banyak praktik, banyak mencoba. Begitu juga halnya dalam bisnis. Kalau Robert Kiyosaki dalam bukunya "Rich Dad's Guide to Investing", lebih suka menyebut bahwa kita tidak hanya cukup memilki School Smart, tapi kita juga harus memilki Street Smart.
Menurut saya, "School Smart itu penting, Academic Smartjuga penting. Tapi untuk mengembangkan jiwa entrepreneur, Street Smart dan Entre-Q lebih penting."

Text Box: Bagian 4
Gaya Memimpin Seorang Entrepreneur
.



Dalam mengembangkan usaha, kta harus lihai menempatkan posisi kita sebagai pemimpin sebuah usaha. Kata kunci yang terpenting yang harus dikembangkan adalah bagaimana menjadi pemimpin yang bisa bersinergi, bisa bekerja sama dengan pihak lain. Pihak lain itu bisa mitra bisnis-bisnis maupun bawahan. Jika sebagai usaha dan pernimpin kita bisa menjadi sinergi dan kerja sama, maka bisnis kita akan lebih maju dan berkembang.
Memang dengan menempatkan karyawan atau mitra bisnis sebagai bagian dari sinergi bisnis kita secara egaliter, maka konsep dan maju mundurnya usaha yang kita bangun bisa dikembangkan dengan sinergi pikiran yang lebih brilian. Untuk itu, jelas dibutuhkan peran para manajer yang berjiwa entrepreneur.
Manajer berjiwa entrepreneur? Benar, yakni mereka yang suka tantangan dan selalu berpikir kreatif dan mau bekerja serta berpikir keras menciptakan pengembangan ide-ide bisnis baru. Meskipun kondisi perusahaan sudah pada posisi optimum, tapi dengan adanya manajer-manajer yang berjiwa entrepreneur bukan sekadar bersikap yesman pada atasan maka kondisi perusahaan tak bisa dijaga kestabilan kondisinya.
Bukan suatu hall yang mustahil, justru di masa depan para manajer itu mampu mengembangkan bisnis sendiri dan akan menjadi pesaing usaha kita. Buat saya itu no problem, ndak masalah. Justru dengan berhasilnya para karyawan bekas anak buah menjadi pengusaha merupakan bukti, bahwa kita sebagai mantan bosnya adalah pemimpin atau pengusaha yang berhasil menghasilkan pengusaha baru. Bagi saya itu suatu kebanggaan tak temilai dalam hidup.


M
ensyukuri apa yang kita peroleh dari hasil bisnis, walau tak sebesar seperti yang kita harapkan semula, saya kira, itu penting. Setidaknya, ini merupakan langkah kita pertama menjadi entrepreneur yang bijak. Namun, tentunya kita tetap memiliki kemauan untuk mengembangkan bisnis kita seoptimal mungkin. Sehingga, hasil yang kita peroleh juga akan bisa lebih maksimal, meskipun persaingan di dunia bisnis makin kompleks.
Untuk mewujudkannya, kita mungkin tak hanya cukup memanfaatkan otak kita sendiri, tapi ada baiknya juga memanfaatkan otak orang lain. Sebab, kita harus menyadari benar, bahwa setelah bisnis yang kita rasakan berkembang cukup pesat, dan kita menjadi orang nomor satu di perusahaan yang kita dirikan, tentu saja tak bisa semua kegiatan bisnis bisa kita jalankan dengan otak kita sendiri.
Maka, sudah sewajarnya kalau kita memanfaatkan otak orang lain, yang oleh William E. Heinecke, penulis buku "The Enterpreneur 21 Golden Rules for the Global Business Manage?, disebut "work with other People's Brain". Menurut, entrepreneur terkemuka yang sukses mengembangkan bisnis Pizza Hut tersebut, seorang entrepreneur yang bersedia bekerja dengan memanfaatkan otak orang lain, sesungguhnya adalah entrepreneur sejati.
Saya sendiri juga merasakan, bahwa memanfaatkan otak orang lain dalam bisnis, khususnya di era milenium ketiga ini, merupakan hal yang sangat penting. Acapkali itu lebih baik ketimbang harus semuanya kita jalankan sendiri. Katakanlah, kita akan mudah menangkap peluang bisnis dengan bantuan otak orang lain. Oleh karena itu, jangan apa-apa dikerjakan sendiri. Akibatnya, kita bisa jadi pemurung, kebanyakan kerja, dan sulit bagi kita bisa menikmati penghidupan yang layak sebagai seorang entrepreneur.
Saya yakin, jika kita berhasil memanfaatkan otak orang lain dengan baik, sebenarnya juga sebagai upaya positif kita menghindari sikap keras kepala kita sendiri. Dan, itu akan lebih mudah membuat kita mau mendengarkan dengan hati yang terbuka apa yang dikatakan orang lain. Pada akhirnya, sikap ini pulalah yang akan menciptakan hubungan kerja harmonis. Maka kita sebagai entrepreneur yang memiliki perusahaan, alangkah bijaknya kalau kita juga jangan mudah "alergi" dengan apa yang dikatakan orang lain.
Selain itu, jika kita bisa memanfaatkan otak orang lain dengan baik, sesungguhnya juga kemajuan yang positif bagi bisnis kita sendiri. Bahwa, kita pun ternyata mampu mengangkat diri kita sebagai pemimpin perusahaan yang benar-benar memiliki kemampuan profesional dan kecerdasan emosional. Niscaya, bisnis kita akan tetap eksis dan lebih berkembang pesat di saat ini maupun di masa mendatang.
Dan, perlu diingat bahwa memanfaatkan otak orang lain, itu bukan merupakan kelemahan kita sebagai entrepreneur. Tapi sebaliknya, hal itu justru menunjukkan, bahwa kita benar-benar telah memiliki intelektualitas, kecerdasan emosional, kecintaan pada diri sendiri, maupun perusahaan.


P
anggilan boss itu memang sudah biasa di dalam dunia usaha walaupun mungkin maksudnya untuk menghormati. Namun, menurut saya, sebetulnya panggilan boss itu lebih terkesan ada maunya, ada pamrihnya. Saya sendiri tidak bangga dengan panggilan itu. Risih rasanya. Saya tidak ingin jadi boss. Saya ingin menjadi entrepreneur leader, seorang entrepreneur yang juga seorang pemimpin.
Dalam hal ini, John C. Maxwell, yang menyoroti perbedaan antara boss dan pemimpin mengatakan, seorang pemimpin lebih punya itikad baik, lebih bijak, baik dalam sikap dan tingkah lakunya. Dia lebih bisa melatih atau mendidik pengikutnya. Dia juga bisa sebagai teladan bagi pengikutnya. Katakanlah, seorang karyawan yang baru masuk menjadi cepat berkembang, karena pemimpin mampu menimbulkan rasa antusiasme pada karyawannya.
Tetapi lain halnya, dengan seorang boss. Boss lebih mirip dengan juragan. Seorang boss itu lebih banyak maunya sendiri, egoismenya tinggi, dan sikap atau tingkah lakunya lebih terkesan menggiring pekerjanya dan kerap menimbulkan rasa takut pada anak buahnya. Karena sikap itu menyangkut pola rasa dan pola pikir, sehingga pengaruh sikap boss semacam itu, menurut seorang pakar kepribadian, Dale E. Galloway, akan membuat anak buahnya menjadi gelisah, menderita, melukai hati, dan bahkan bisa mendatangkan musuh.
Seorang boss juga lebih tergantung pada wewenang, terutama wewenang struktural. Kalau tidak memiliki lagi wewenang, maka pengaruhnya tidak ada. Bahkan orang lain tidak lagi respek pada dia, manakala sudah tidak menjadi boss lagi. Itulah memang konsekuensinya kalau seseorang lebih menggunakan wewenang struktual. Jadi orang lebih terpengaruh pada boss yang punya wewenang tersebut, dan bukan pada hubungan moral seperti yang lebih baik dilakukan seorang pemimpin.
Dan, saya kerap melihat, bahwa seorang boss cenderung suka menyalahkan anak buahnya, karena dia memang lebih suka menetapkan kesalahan tanpa menunjukkan jalan keluar, dan boss itu tahu bagaimana itu dilakukan. Tapi lain halnya dengan seorang pemimpin, dia lebih suka memperbaiki kemacetan yang dilakukan bawahannya atau pengikutnya dan bisa menunjukkan cara mengatasinya.
Boss juga lebih suka mengatakan "Aku", sementara pemimpin lebih suka mengatakan "Kita". Perbedaannya tak hanya itu. Boss juga lebih suka mengatakan "Jalan!" jadi lebih bersikap otoriter. Sangat berbeda dengan cara pemimpin dalam menggerakkan karyawannya lebih bersikap egaliter, maka tak mengherankan lebih cenderung mengatakan "Mari kita jalan!"
Oleh karena itulah, dalam mengembangkan bisnis kita dan dalam menghadapi persaingan bisnis yang semakin keras saat sekarang ini, saya kira memang dibutuhkan entrepreneur-entrepreneur leader. Keberhasilan bisnis kita akan lebih sukses karena tinclakan dan keputusan strategis yang diambil oleh entrepreneur leader
Sebab, dalam kepemimpinannya mereka lebih menekankan pada hubungan manusiawi, sehingga orang-orang di bawahnya termotivasi dan lebih mampu menggunakan pemikiran dan wawasan kreatifnya. Sebaliknya, boss tidak mampu menumbuhkan sikap semacam itu. Maka, jadilah entrepreneur leader.


M
elakukan hal-hal yang benar (doing the right things), berani menghadapi risiko dan memiliki motivasi untuk selalu nomor satu. Ide-ide bisnisnya orisinal, dan menaruh mata ke masa depan serta memiliki perspektif jauh ke depan penuh kepercayaan diri. Itu salah satu profil seorang pemimpin.
Walaupun banyak yang menganggap pemimpin itu menyukai segala bentuk macam tantangan, karena rasa optimis yang selalu dimilikinya. Cukup menarik buat saya. Sebab yang saya amati dan rasakan, pemimpin bukan hanya mampu menggerakkan orang lain, melainkan juga berani mengambil pola pikir yang tidak populer sekalipun, mampu memberikan solusi, dan memiliki semangat untuk menjadi selalu yang terdepan.
Setelah diteliti, ternyata dalam menjalankan bisnis saat ini maupun masa datang, memang seharusnya kita tak hanya memiliki manajer biasa-biasa saja, tapi sudah seharusnya memiliki manager leader, manajer yang punya jiwa pemimpin. Mengapa? Sebabnya adalah persaingan yang serba kompetitif, situasi bisnis yang kompleks dan sulit diramalkan keberlangsungannya, sehingga sangat dibutuhkan sosok manajer seperti itu. Kalau tidak, kita akan kalah bersaing. Akibatnya, bisnis yang kita jalankan akan sulit maju.
Saya setuju pendapat pakar manajemen yang mengatakan, kalau pemimpin itu selalu melakukan hal-hal yang benar, sementara manajer hanya mampu melakukan hal-hal dengan benar (doihg the thihgs ngh4. Di mana, seorang pemimpin dalam melakukan hal-hal yang benar tidak terlalu mempedulikan caranya. Itu tak terlalu penting baginya. Sebab, bagi seorang pemimpin, hal-hal yang menyangkut urusan pelaksanaan idenya itu adalah tugas manajer. Pemimpin selalu berpikir loncat-loncat, dan jangkauannya sering kali panjang, bisa membingungkan bawahan untuk mengikutinya.
Lain halnya dengan manajer. Jangkauan ide atau gagasannya pendek, dan wawasannya relatif kering. Kewajibannya adalah bagaimana melakukan tugasnya dengan benar. Manajer baru jalan setelah ada planning dulu, sudah ada program kerja atau prototypenya. Wajar kalau ada yang berpendapat bahwa pada dasarnya manajer itu tiruan, sementara pemimpin itu adalah orisinal.
Itu mengingat, ide atau gagasan seorang pemimpin tidak pakai planning. Responsibilitasnya memang tidak setiap saat muncul. Bila ternyata ide-ide bisnis yang dijalankannya itu nanti benar atau salah, urusan belakang. Baginya yang terpenting telah menemukan ide bisnis yang cemerlang.
Kita bisa juga lihat, bahwa manajer dalam rangka mempertahankan proses atau kontinuitas kerjanya cenderung menerima status quo. Statusnya ingin aman-aman saja. Bahkan, kalau perlu menghindar dari risiko. Tapi, sebaliknya dengan pemimpin. la justru menentang status quo, dan lebih berani menghadapi risiko. Perbedaan lainnya, adalah seorang manager itu suka bertanya, bagaimana dan kapan terhadap sesuatu hal. Sedang pimpinan lebih suka bertanya apa dan mengapa. Selain itu, pimpinan lebih terkesan ingin menjadi pribadinya sendiri, dan menguasai lingkungannya. Sementara, manager adalah "tentara baik" yang klasik, dan menyerah kepada lingkungan.
Manajer dalam menjalankan aktivitasnya juga sangat bergantung pada pengawasan. Di ingin selalu mengelola dan mempertahankan bisnis yang sudah ada, serta lebih berfokus kepada sistem dan struktur. Sementara, pemimpin lebih merupakan sosok yang justru mampu membangkitkan kepercayaan bawahannya atau relasinya. Itu sebabnya, mengapa fokus seorang pemimpin lebih kepada orang, dan bukan pada sistem dan struktur.
Oleh karena itu, jika kita sekarang berada pada posisi manajer, sebaik¬nya tidak menafikan atau menghilangkan nuansa-nuansa atau jiwa kemimpinan. Agar segala keputusan yang diambil tidak kering, lebih tenang dalam menjalankan bisnis, mampu mengantisipasi hal-hal yang tak pasti, enerjik, antusias, memiliki integritas, tegas tapi adil, visi bisnisnya lebih jelas, dan mampu memproyeksikan bisnis ke masa depan.



S
iapa yang tak kenal dengan kelompok musik anak muda dari Yogja, Sheila on 7? Tentu, Anda semua pernah mendengarkan lagu hitsnya yang berjudul "DAN". Konon, album pertamanya itu terjual lebih dari 1 juta keping. Kita tentu bangga dengan kesuksesan mereka.
Judul lagu "Dan" itu cukup menarik buat saya. Namun, "Dan" dalam tulisan saya ini artinya sinergi. Sebab, yang saya ungkap kali ini bukanlah asyiknya mendengarkan lagu "Dan", namun bagaimana pentingnya sebuah sinergi dalam dunia bisnis. Saya yakin, kita bisa menjadi entre¬preneur tangguh atau terdepan, bila kita bisa bersinergi. Bekerja sama dengan pihak lain, demi kesuksesan bisnis kita.
Mungkin Anda bertanya, apa benar bersinergi itu menguntungkan kita? Sebab, tak sedikit kasus yang menunjukkan bahwa bersinergi dengan orang lain justru membuat bisnis kita sulit berkembang. Saya sudah menduga, pasti pertanyaan Anda seperti itu. Memang, tak selamanya bersinergi itu negatif. Tapi bisa sebaliknya, bersinergi membuat bisnis kita maju dan kita mampu memanfaatkan peluang bisnis. Konsep bisnis kita menjadi brilian, selama sinergi yang saya maksud itu positif.
Setelah diteliti, ternyata memang sinergi itu bisa negatif dan bisa positif. Untuk kita menjadi terbaik, tentu kita harus mencari rekan bisnis yang positif. Ini menunjukkan, bahwa kita akan memiliki kekuatan, potensi kuat dan mampu meyakinkan prospek bisnis kita. Dengan sinergi positif, saya yakin kita akan memiliki pemikiran jauh ke depan penuh kepercayaan diri, sehingga mampu mengantisipasi hal-hal yang tidak pasti.
Apalagi, dalam era global, dunia bisnis berputar cepat, terkadang tidak rasional, tidak pasti, sehingga menghadapi hal itu kita memang harus memiliki sinergi atau kekuatan kerja sama yang sangat tinggi. Saya yakin, hal itu akan menjadikan kita menjadi entrepreneur yang selalu optimis atau memiliki sense of optimism yang tinggi. Tapi juga bisa sebaliknya, bila sinergi itu negatif, maka bisnis apa pun yang kita jalankan tidak akan berhasil.
Keyakinan saya pun bertambah dengan pengalaman ini. Saya pernah diajak bisnis pom bensin dengan teman pengusaha. Tap setelah lewat proses panjang, ternyata sulit juga terealisir. Saat itu saya belum yakin, apakah karena itu sinerginya negatif? Empat tahun kemudian saya ketemu lagi sama teman pengusaha tadi, yang kini buka bisnis komputer. Dia mengajak saya lagi bisnis showroom atau jual beli komputer.
Rupanya, saya dan teman saya itu sama-sama belum percaya bahwa sinergi kami negatif. Kami coba lagi, tapi gagal. Bisnis itu sampai kini belum terealisir juga. Contoh lain, artis Camelia Malik. Saat dia bersuamikan Reynold, pasangan ini tidak cocok dan tidak dikaruniai anak. Tapi, setelah berpisah dan mereka menemukan pasangan masing¬masing, ternyata cocok dan dikaruniai anak. Jadi tak ada sinergi positif.
Begitu juga hubungan sinergi antara owner dengan eksekutif. Bisa positif, bisa juga negatif. Namun, bagi kita yang percaya pada sinergi, jumlah satu ditambah satu bukan hanya dua. Bisa sepuluh, seratus, bahkan seribu. Saya sendiri tidak meragukan hal ini. Tapi setidaknya, dengan kita memiliki kecerdasan emosi optimal dan intuisi yang tajam, saya yakin, kita akan semakin pintar memilih rekan bisnis yang bersinergi positif. Dan tidak mustahil, entrepreneur yang memiliki kemampuan tersebut akan sangat menguntungkan bagi bisnis maupun kehidupannya.


T
eori kepemimpinan berdasarkan gen mengungkapkan, bahwa pada, dasarnya setiap orang itu sama. Begitu pula halnya, di dalam mendambakan perhatian positif. Saya melihat salah satu upaya untuk mewujudkan hal itu adalah jika kita berhasil menerapkan hubungan yang lebih mengedepankan aspek humanis dan harmonis dalam komunikasi antara level struktural atau yang lebih dikenal dengan hubungan egaliter. Saya merasa yakin, bahwa hubungan semacam ini segi manfaatnya sangat besar, bila kita benar-benar berhasil menerapkannya di perusahaan kita masing-masing.
Hanya saja, hubungan ini akan berjalan bila diawali oleh pimpinannya. Kita sebagai seorang wirausahawan atau entrepreneur yang juga adalah seorang pemimpin, memang perlu memberikan suri teladan terlebih dahulu akan pentingnya hubungan egaliter ini pada lingkungan kerja kita, pada staf kita. Sebab, hubungan egaliter itu akan membuat kita semakin paham pada suatu bentuk komunikasi yang transparan dan jujur. Begitu halnya dalam hubungan intrapersonal. Di mana, hubungan antara pimpinan dengan staf tak ada lagi jarak yang tajam. Namun, sikap saling menghormati tetap terjaga.
Menurut saya, dampak positif lain dalam hubungan egaliter itu adalah kita akan lebih dapat meningkatkan kecerdasan emosional kita. Terutama pada hal yang berkaitan dengan soal membina hubungan  dengan orang lain, dan mengenali emosi orang lain. Dengan begitu, kita akan lebih mudah menyelaraskan diri (harmonizihg) dengan orang lain.
Itu penting kaitannya dengan bisnis. Sebab, hubungan semacam ini akan memungkinkan kita lebih memiliki rasa percaya diri yang kuat. Segala ide, pemikiran dan gagasan bisnis kita juga akan semakin baik. Sehingga hal itu, tidak mustahil akan membuat kita cenderung lebih kreatif, dan akhirnya kita akan lebih produktif. Begitu pula halnya dengan semangat kita dalam berwirausaha juga akan semakin bergairah. Dan, sukses akan mudah tercapai.
Dengan begitu, saya rasa hubungan pimpinan dengan staf tidak harus melewati dulu birokrasi yang berbelit-belit. Ruang kerja bisa kita buat sekedemikian rupa, kalau perlu terbuka, sehingga komunikasi dua arah (two way traffic communioation) antara pimpinan dengan staf akan lebih mudah tercipta.
Kita tentu mengerti, bahwa pimpinan dalam mengembangkan bisnisnya tak bisa sendiri. Membutuhkan bantuan staf. Maka, sebaiknya, kita seba¬gai seorang entrepreneur tak perlu ragu lagi menerapkan hubungan harmonis semacam itu.
Apalagi di saat sekarang ini, jelas tak hanya menuntut kita piawai atau jeli di dalam melihat dan meraih peluang bisnis, tapi kita juga harus pintar pula menerapkan bentuk hubungan kerja yang harmonis. Tim kerja di perusahaan kita akan semakin kompak dan solid.
Hubungan egaliter itu, saya rasa perlu karena hubungan ini akan lebih mengondisikan kita untuk mau mendengarkan pendapat orang lain. Kepercayaan diri kita maupun staf juga akan tumbuh. Padahal kita tahu bahwa kepercayaan itu adalah faktor paling penting di balik setiap tindakan kreatif.
Namun, kultur ini tak ada kolerasinya bahwa yang pantas menerapkan¬nya adalah harus mereka yang memiliki intelektualitas tinggi. Justru yang terpenting adalah bagaimana kita bisa memimpin. Memimpin adalah suatu yang berkaitan dengan mengelola orang-orang yang pintar. Namun, itu bukan berarti kita harus menjadi orang paling pintar atau profesional.
Memang, entrepreneur itu harus didampingi profesional, agar bisnisnya lebih berkembang. Sebab cara berpikirnya sering kali meloncat-loncat. Sementara, seorang profesional pemikirannya cenderung yang lurus¬lurus atau yang aman-aman. Maka cukup riskan, bila dia lantas mencoba menjalankan bisnisnya seorang diri alias one man show. Kualitas manajemennya akan kurang baik. Maka, seorang entrepreneur dan profesional harus memiliki hubungan yang harmonis.
Apalagi dalam waktu dekat ini kita akan memasuki milenium ketiga yang kemungkinan besar dunia bisnis kita cenderung akan penuh dengan hyper-competition, suatu persaingan yang sangat ketat. Maka, tanpa ada hubungan seperti itu di lingkungan kerja atau perusahaan kita, maka tentu saja target bisnis kita akan sulit tercapai.
Oleh karena itu, tak ada salahnya bila kita berani mencoba menerapkan hubungan egaliter ketimbang hubungan yang terlalu mengedepankan jarak atau gap antara pimpinan dengan staf. Sebab, hubungan seperti ini akan membuat suasana kerja menjadi tidak kondusif atau,tidak enjoy. Kreativitas juga bisa mandeg dan prestasi kerja pun akan menurun. Itu sebabnya, mengapa hubungan egaliter itu perlu.


J
ika setiap saat kita selalu menanyakan, "Apa hak-hak saya?" itu artinya kita termasuk golongan bawahan. Sedang, jika kita lebih suka bertanya "Apa tanggung jawab saya?" itu berarti termasuk golongan pemimpin. Wajar saja, mestinya memang demikian. Selain itu, seorang bawahan biasanya orang yang bekerja lebih terdorong oleh emosinya. Sementara, seorang pemimpin, bekerja, atau berbisnis lebih karena terdorong oleh karakternya.
Saya juga melihat, jika seorang bawahan merasa senang, biasanya ia melakukan pekerjaan atau tugasnya dengan benar. Itu lain dengan pemimpin. Dia akan selalu berusaha melakukan segala pekerjaannya dengan benar, kemudian dia akan merasa senang dengan prestasi kerjanya itu. Pendeknya, bawahan itu bekerja atau melaksanakan tugas karena terdorong oleh kesenangan, dan bukan terdorong oleh komitmen seperti biasa dilakukan oleh seorang pemimpin.
Perbedaan lain yang cukup menonjol antarkeduanya, menurut pakar leadership, John C. Maxwell, yaitu seorang bawahan itu sukanya selalu menunggu momentum, barulah dia mau bergerak. Sikapnya lebih mengendalikan tindakan, dan berhenti ketika masalah timbul. Sementara, kalau kita sebagai pemimpin, maka kita akan lebih cenderung menciptakan momentum. Sedang, tindakannya lebih mengendalikan sikapnya, dan seorang pemimpin justru akan meneruskan usahanya ketika masalah timbul.
Saya juga melihat, memang benar seorang bawahan itu jika membuat keputusan apa pun selalu berdasarkan popularitas. Berbeda dengan pemimpin yang setiap membuat keputusan apa pun, termasuk dalam bisnisnya, adalah lebih berdasarkan ada prinsip dan bukan popularitas. Sehingga, tidak mengherankan kalau seorang pemimpin itu tidak suka bersikap murung dalam menggeluti bisnisnya. Sebaliknya, dia akan selalu mantap menekuni bisnisnya.
Karena itu, saya berpendapat, sekarang ini kita lebih baik menjadi ikan besar di kolam kecil daripada harus menjadi ikan kecil di kofam besar. Artinya, kita lebih baik menjadi pemimpin, walau bisnis kita kecil dan anak buah kita sedikit, daripada kita harus ikut orang lain sekalipun bisnisnya sudah besar. Memang, menjadi seorang pemimpin tidaklah mudah. Tapi yakin saja, sebab kita masing-masing memiliki kapasitas kepemimpinan.
Saya yakin, jika bekerja pada perusahaan besar sebagai bawahan, tentu kita tidak bisa berbuat banyak, atau tidak bisa memengaruhi kebijakan perusahaan. Naiknya karier kita pun jelas membutuhkan waktu yang lama. Tapi lain halnya, kalau kita bekerja pada perusahaan yang masih kecil, maka peluang untuk mengembangkan bisnis lebih besar. Sehingga karier kita pun akan cepat berkembang pula. Kita jadi punya andil untuk mengembangkan usaha menjadi besar, dan akhirnya kita akan lebih cepat jadi pemimpin perusahaan.
Kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak akan membuat kita berhenti bekerja, kalau kita mempunyai jiwa kepemimpinan. Tapi sebaliknya, kalau kita terus menerus menjadi bawahan, akibatnya kita tidak punya keberanian menjadi pemimpin. Kita juga tidak akan memiliki keberanian untuk mencoba punya bisnis sendiri. Akhirnya sekarang, kita hanya memiliki dua pilihan: kita menyerah saja menjadi bawahan atau kita tetap berusaha untuk menjadi seorang pemimpin.
Saya rasa, kita sendirilah yang bisa "memotret diri" kita sendiri, dan bukan orang lain. Dan, kita memang harus bisa tumbuh sendiri, tidak soal seberapa besar perusahaan atau bisnis yang dipimpin. Tapi yang penting, kita dengan sadar telah membangun diri kita menjadi pemimpin. Anda berani memimpin?


M
emajukan perusahaan, saya kira, itu bukan hal yang mustahil. Asal kita mau berusaha mewujudkan keinginan tersebut. Di antaranya, perusahaan yang kita geluti sekarang ini harus diusahakan memiliki manajer yang benar-benar berjiwa entrepreneur.
Itu sangat penting. Sebab, jika tidak, akan berakibat pada perusahaan atau bisnis kita sendiri, yakni akan berada pada posisi stabil atau status quo. Kondisinya hanya begitu-begitu saja.
Tapi lain halnya, kalau perusahaan kita itu memiliki manajer yang berjiwa entrepreneur, maka saya yakin bisnis yang kita jalankan akan lebih berpeluang cepat berkembang. Dan, kita juga akan lebih siap meng¬hadapi persaingan bisnis yang ketat di era globalisasi.
Selain itu, manajer berjiwa entrepreneur akan membuat perusahaan kita lebih kreatif dan inovatif. Sebab, bisnis yang sudah mencapai titik optimum itu biasanya jika tidak disentuh dengan manajer berjiwa entre¬preneur, akan mengalami kondisi yang menurun.
Saya sendiri merasakan bahwa, jika suatu perusahaan itu memiliki manajer yang berjiwa entrepreneur, juga akan selalu siap menghadapi setiap perubahan dalam bisnis.
Dan, perubahan tersebut bagi manajer berjiwa entrepreneur, adalah bagian dari pekerjaannya. Sedangkan, risiko yang timbul pun bagian dari pekerjaannya, Persis seperti yang dikatakan oleh Willim Ahmanson, bahwa dalam bisnis itu, tidak ada jalan lurus yang dapat ditempuh dari tempat satu ke tempat lain.
Maka, dalam konteks inilah, saya melihat bahwa bisnis itu memang ada tiga komponen, yakni meliputi: investor (orang yang mencari risiko), entrepreneur (orang yang mengambil risiko), dan manajer (orang yang menghindar dari risiko). Dan, dalam keadaan kondisi bisnis yang baik, jiwa entrepreneur menjadi hal penting. Apalagi di saat kita harus menghadapi krisis ekonomi, tentu saja akan lebih penting lagi.
Karena itu, kita bisa melihat, bagaimana orang-orang Barat yang bergerak di dunia usaha juga terus melakukan pengembangan bentuk¬bentuk intuisi, yang saya tahu itu sangat banyak membantu dalam pengembangan usahanya. Itu juga pertanda, bahwa dia memiliki jiwa entrepreneur.
Adapun ciri-ciri manajer yang berjiwa entrepreneur memang tidak hanya itu. Menurut J. A. Schumpeter dalam bukunya "The Entrepreneur as lnnovato?, manajer yang berjiwa entrepreneur juga merupakan sosok yang berambisi tinggi di dalam mengembangkan bisnisnya, enerjik, percaya diri, kreatif dan inovatif, senang dan pandai bergaul, berpan¬dangan ke depan, bersifat fleksibel, berani terhadap risiko, senang mandiri dan bebas, banyak inisiatif dan bertanggung jawab, optimistik, memandang kegagalan sebagai pengalaman yang berharga (positif), selalu berorientasi pada keuntungan, dan gemar berkompetisi.
Berbeda dan manajer yang tidak berjiwa entrepreneur. Maka, dia akan cenderung berpikir sangat rasional, suka kemapanan, dan tidak menginginkan adanya perubahan. Kerap kali terjadi seorang manajer akan mengalami kesulitan dalam mengikuti gaya berpikir seorang entrepreneur. Dia juga akan kesulitan mengikuti setiap langkalrlangkah bisnis entrepreneur.
Hanya saja, seorang manajer yang memiliki jiwa entrepreneur itu bisa jadi akan menjadi entrepreneur sejati. Dan, sebaiknya manajer perusahaan kita yang berjiwa entrepreneur itu, kita beri lagi sebuah tantangan yang lebih besar, misalnya mengelola unit usaha kita yang lain. Atau, bisa juga dia keluar dari perusahaan kita.
Lantas berbekal jiwa entrepreneur yang dimilikinya, dia memberanikan diri mendirikan perusahaan sendiri. Itu lebih baik. Sebab tindakannya akan membantu menciptakan lapangan kerja. Entrepreneur-entrepreneur baru juga akan semakin sering bermunculan.
Memang, pada akhirnya bisa saja dia akan menjadi pesaing kita sendiri, pesaing perusahaan kita, jika ternyata bisnis yang digelutinya sama dengan kita. Anggap saja, itu sebagai "bumbu penyedap" dalam kita menggeluti bisnis.

Text Box: Bagian 5
Jalur Cepat Jadi Entrepreneur Sukses
.


J
anganlah Anda menaruh telur dalam satu keranjang, kalau ter¬gunjang dan jika semua telur pecah, hilang semua harapan tanpa sisa. Dalam konteks entrepreneur, petuah itu bisa dijabarkan menjadi janganlah menaruh harapan pada satu usaha. Seorang pengusaha akan semakin diakui kepiawaiannya bila sudah berhasil membuka usaha dan berjalan mulus, pikiran untuk merintis usaha kedua, ketiga dan keempat. Janganlah puas untuk mempunyai satu perusahaan sebagai satu-satunya sumber penghasilan saja.
Bisnis itu seperti roda, kadang di atas, kadang pula di bawah. Seiring berjalannya waktu, tak semua jenis usaha bisa bertahan dan langgeng. Untuk itu, sebagai back up sangat dianjurkan seorang pengusaha merintis usaha tanpa harus memikirkan, ada kaitannya antara usaha baru dengan usaha sebelumnya. Sebagai business owner, sebaiknya pengusaha itu tidak perlu fokus pada usahanya. Memang saat perintisan usaha, fokus memang perlu, tapi setelah usaha berjalan dan para staf atau manajer bisa menjalankannya, pemilik tak perlu fokus memikirkan masa depan usaha itu, lebih baik memikirkan ide untuk membuka usaha baru lainnya. Semakin banyak usaha baru yang bisa dibuka semakin banyak lapangan kerja bisa tersedia dan tenaga yang bisa ditampung pun semakin banyak.
Yang tak kalah penting, apa pun dalam bisnis hendaknya terus mengembangkan konsep melayani lebih banyak orang. Oleh karena dengan semakin banyaknya orang yang bisa dilayani, bisa ditebak, akan semakin banyak rezeki yang bisa kita petik. Kalau kita melayani ratusan maka kita bisa berharap jutaan rupiah bisa kita dapat, kalau jutaan orang yang bisa kita layani lewat usaha kita, maka miliaran rupiah bisa kita peroleh, begitu seterusnya, jadi jangan lelah melayani karena itu akan berbanding lurus dengan rezeki.
Jangan lupa, kalau sudah banyak rezeki banyak pulalah beramal. Janganlah berpikir negatif pada para peminta sumbangan yang datang, justru kita diingatkan untuk menyumbang. Bahkan boleh ditafsirkan, menyumbang itu ibarat seorang pengusaha yang sedang belajar berinvestasi, memberikan dana tanpa berpikir kepastian. Itu tanda kita berani menghadapi risiko, itulah yang menjadi ciri entrepreneur sejati.


B
arangkali kita semua tahu, bahwa salah satu tugas seorang entrepreneur adalah tugas kepemimpinan. Memang idealnya, entrepreneur adalah sekaligus seorang pemimpin. Paradigma baru, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu memberikan pelayanan pada orang yang dipimpinnya atau bawahannya. Maksud saya, entrepreneur sebagai pemimpin, juga sekaligus sebagai orang yang mau melayani. Jangan sampai kemudian terbalik, bahwa pemimpin itu justru rninta dilayani.
Dalam konteks inilah, barangkali kita perlu kembali menyadari, bahwa sebagai entrepreneur, apalagi yang baru saja membuka bisnis, maka sesungguhnya sangatlah perlu mengutamakan pelayanan. Misalnya, bagaimana kita melayani konsumen. Bagaimana konsumen puas dengan layanan kita. Dan, bagi kita yang memiliki perusahaan sudah relatif maju, maka konsumen biasanya diberikan pelayanan oleh karyawan kita. Sedang karyawan dilayani oleh manajernya, dan para manajer semestinya dilayani oleh direksi. Sedangkan, direksi dilayani oleh pemilik bisnisnya.
Tentu kita akan bertanya, lantas siapa yang melayani si pemilik bisnis? Jawabannya bisa sangat banyak. Tapi yang jelas, menurut saya konsep melayani memang mudah diucapkan, tapi sangat berat untuk dilaksanakan.
Sebagai entrepreneur yang sudah cukup lama menggeluti dunia bisnis, pasti akan selalu berhubungan dengan banyak orang. Apalagi kita sebagai seorang pemimpin perusahaan, tentunya melayani banyak orang adalah pekerjaan yang harus dilakukan. Melayani banyak orang artinya bisnis kita jalan. Saya kira, melayani itu harus mengalahkan diri kita dulu sebelum memberikan pelayanan kepada orang lain. Melayani berarti tidak boleh pilih kasih. Pelayanan bisa berarti kita melayani orang-orang di lingkungan bisnis kita. Dan, kita tak mungkin bekerja tanpa harus saling melayani.
Melayani bawahan berarti memberikan perhatian pada bawahan kita. Melayani manajer berarti memberikan penghargaan pada mereka. Dan, melayani konsumen adalah pekerjaan kita yang utama. Perusahaan yang ingin berkembang, maka pelayanan adalah segala-galanya. Bisnis melayani banyak orang akan mendatangkan banyak omzet.
Saya sependapat dengan Robert T. Kiyosaki, dalam bukunya yang ke-4 berjudul "Rich Kid, Smart Kid. Dalam buku tersebut dikatakan, bahwa jika kita membangun sebuah bisnis yang melayani ribuan orang, sebagai timbal balik dari bisnis kita, maka kita akan menjadi jutawan. Nah, kalau kita melayani jutaan orang, maka kita pun akan menjadi miliarder. Oleh karena itu, kita sebagai entrepreneur harus selalu siap melayani banyak orang, dan jangan alergi melakukannya. Percayalah, dengan kita semakin melayani banyak orang, maka rezeki yang datang pun semakin banyak pula.



B
isnis, biasanya dimulai dengan coba-coba, kadang malah asalan-asalan. Dimulai dengan modal seadanya, tempat seadanya, dengan orang yang sama-sama belajar dari nol. Saya kira, dari memulai yang serba kekurangan inilah yang akan membuat kita semakin cerdas dalam berbisnis. Proses bisnis ini akan memberikan pengalaman bisnis yang semakin hari mencerdaskan kita.
Belajar dari pengalaman bisnis setiap hari dan kebutuhan akan kemajuan bisnis kita, mulailah kita memberikan sentuhan manajemen, walaupun itu masih sangat sederhana. Sudah ada bagi-bagi pekerjaan atau bagi-bagi fungsi. Ada yang pegang keuangan, ada yang sudah mulai jadi bagian pemasaran. Ada yang bagian produksi, ada juga yang ngurusi karyawan. Malah terkadang ada beberapa pekerjaan masih dirangkap satu orang. Ini adalah proses menuju bisnis yang sesungguhnya. Artinya, bisnis yang memiliki sistem yang baik. Dengan sudah adanya sistem, kita sebagai pengusaha memiliki banyak waktu luang. Oleh karena, sistem sudah berjalan dengan baik. Ketika sebelum ada sistem, pengusaha cenderung mengelola perusahaan dengan full time. Kini, setelah ada sistem, cukup dengan part time.
Oleh karena itu, menurut saya, jika perusahaan kita sudah memiliki sistem yang baik, dan bisnis kita relatif berkembang, maka kesempatan kita untuk mengembangkan bisnis sangat terbuka luas, termasuk membuka bisnis baru. Berdasarkan pengalaman saya, lebih mudah membangun bisnis yang ke-2, ke-3, dan seterusnya, daripada ketika memulai bisnis yang pertama. Karena, di saat memulai bisnis yang pertama kita belum punya apa-apa. Sementara, membangun bisnis yang ke-2, ke-3, dan seterusnya lebih mudah karena bisnis kita yang pertama sudah memiliki sistem yang baik. Saya kira, perlu dipertimbangkan matang-matang jika kita ingin mencoba membangun bisnis yang ke-2, seharusnya bisnis kita yang pertama sudah memiliki sistem yang baik.
Dengan aktivitas kita yang sebelumnya full time, dan sebagai entrepreneur menjadi part time, dimungkinkan kita memiliki banyak waktu luang. Banyaknya waktu luang itu, membuat kita sebagai entrepreneur akan lebih fokus dalam menciptakan bisnis-bisnis baru. Menciptakan bisnis baru itu berarti kita telah menciptakan sumber penghasilan baru. Jika perusahaan kita memiliki sistem yang baik, maka manajer dan karyawan akan bekerja sesuai dengan apa yang kita inginkan. Sehingga, banyak pekerjaan yang sudah terbagi habis oleh para profesional di lingkungan bisnis kita. Dalam konteks inilah, entrepreneur tidak harus fokus. Justru yang harus fokus adalah orang¬orang yang mengelola bisnis kita. Hanya mungkin, kita harus ikut fokus di awal berdirinya bisnis tersebut. Setelah bisnis kita kelihatan jalan, yah cari fokus yang lain.
Sebagai entrepreneur, sebaiknya kita tidak hanya memiliki satu sumber penghasilan saja. Tetapi bagaimana, kita dapat menciptakan banyak sumber penghasilan. Ibarat kita punya telur sepuluh menetas sembilan, itu lebih baik daripada hanya mempunyai satu telur yang menetas. Dengan kita membuat bisnis yang ke-2, ke-3, dan seterusnya, kita berharap mendapatkan penghasilan yang ke-2, ke-3, dan seterusnya. Sehingga, dengan kita memiliki banyak sumber penghasilan, maka kita sebagai pengusaha mempunyai peluang untuk memiliki kebebasan finansial.
Semangat kita menciptakan bisnis ke-2, ke-3, dan seterusnya akan punya dampak sosial, yaitu menciptakan lapangan kerja, membagi-bagi keuntungan, dan lain-lain. Artinya, kita sebagai entrepreneur memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Silakan mencoba!


S
aya berpendapat bahwa sebenarnya keberanian kita memberikan , sumbangan pada orang lain atau pihak lain yang kita berikan secara ulus ikhlas adalah sama halnya dengan kita telah memiliki jiwa mtrepreneur atau jiwa wirausaha. Saya yakin, pasti Anda bertanya, :enapa demikian? Padahal kita tahu bahwa sebagian uang yang kita niliki telah kita sumbangkan pada orang lain. Tapi, saya melihat, sikap virausahawan yang seperti itu pertanda bahwa dia telah memiliki suatu :eberanian mengambil risiko yang harus selalu dimiliki oleh seorang virausahawan. Dan, sebagai wirausahawan kita tetap memiliki cepedulian sosial.
Hanya saja, masing-masing wirausahawan di dalam memberikan 3umbangan tentu saja besarnya berbeda-beda. Tergantung keikhlasan -nasing-masing. Barangkali sudah selayaknya kalau cukup berhasil 9alam bisnis kita lantas memberikan sumbangan yang cukup berarti, itu wajar saja. Berbeda halnya dengan mereka yang pendapatannya masih reelatif kecil. Namun sekali pun pendapatan kecil sebaiknya kita juga membiasakan untuk menyumbang.
Oleh karena itu, saya kira, kita tak perlu berpikir negatif kalau tiba-tiba di kantor kita kedatangan tamu yang minta sumbangan. Berpikir positif saja. Justru kita seharusnya berterima kasih pada sang tamu yang minta sumbangan pada kita, bahwa di tengah kesibukan kita sehari-hari dalam menjalankan bisnis, ternyata masih ada orang yang mengingatkan kita atau yang mengetuk hati kita untuk ikhlas memberikan sumbangan.
Dalam konteks inilah, mengapa saya menganggap bahwa sesungguhnya pemberian sumbangan ini adalah langkah positif dan langkah maju. Bahkan, bisa saya artikan kalau kita berani menyumbang, maka kita tidak akan takut lagi berinvestasi. Kita juga tidak akan takut lagi memulai atau mengembangkan bisnis. Karena, kita sudah terbiasa terlatih dengan ketidaktakutan memberikan sumbangan. Berani menyumbang dan berinvestasi merupakan keberanian kita untuk menghadapi risiko dan ketidakpastian.
Singkatnya kalau kita berani menyumbang pasti kita telah memiliki keberanian memulai bisnis atau mengembangkan bisnis, dan memiliki keberanian berinvestasi. Sesungguhnya keberanian kita memberikan sumbangan mudah-mudahan akan membantu melancarkan bisnis yang kita jalani saat ini. Percayalah, banyak menyumbang banyak rezeki.


H
aruskah saya membuka rumah makan padang?" Itulah pertanyaan yang sempat muncul dalam benak saya saat itu. Ketika ide semacam ini saya coba lontarkan pada orang lain, mereka malah pesimis dan menanyakan: "Mengapa Anda harus membuka bisnis rumah makan padang, padahal bisnis seperti itu 'kan sudah menjamur. Apakah punya prospek bagus?"
Dengan adanya berbagi komentar tersebut, membuat saya semakin tertantang untuk membuktikannya. Padahal, sebelumnya saya sama sekali belum pernah terjun ke bisnis rumah makan, tetapi hal itu saya anggap saja sebagai peluang bisnis.
Sebagai entrepreneur, saya harus berani mencoba untuk membuktikan¬nya, dan sanggup mengambil keputusan yang tepat. Namun saat ini saya tetap optimis, bahwa ide tersebut bisa terealisir. Pada akhirnya saya mengambil keputusan, bahwa saya harus berani mencoba bisnis ini. Saya yakin peluang pasar tetap ada, khususnya untuk kalangan masyarakat menengah ke atas.
Ternyata, bisnis ini berwujud dan jalan, bahkan di masa krisis pun, saya optimis bisnis rumah makan tetap prospektif. Kenyataannya, tamu semakin banyak, ada menteri, tokoh masyarakat, artis, dan kalangan pengusaha.
Di dalam mengambil keputusan, pertimbangan intuisi saya rupanya lebih peka dari pertimbangan rasional. Memang sebagai entrepreneur kita harus berani menggunakan intuisi secara efektif, baik untuk mengambil keputusan dalam bisnis maupun dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun kemungkinan kita tidak menya-dari prosesnya, bahwa setiap keputusan yang kita buat dengan menggunakan intuisi ini hanya salah satu contoh dari sekian banyak pengalaman yang saya alami.
Saya merasakan betul, betapa tajamnya sentuhan intuisi itu. Hal itulah yang barangkali memungkinkan saya membiarkan data intuisi itu melengkapi data lain, yang akhirnya saya gunakan dalam membuat keputusan. Sehingga, saya semakin yakin, bahwa dalam menggeluti bisnis maupun kehidupan ini, sebaiknya kita tetap menggunakan intuisi. Sebab, intuisi akan ikut membuka pikiran dan memberikan nilai tambah bagi emosi kita, dan intuisi memberdayakan kita agar semakin produktif dan aktif dalam setiap situasi.
Intuisi menjadi sangat penting, tidak hanya untuk kepentingan sekarang, namun juga untuk kepentingan masa depan. Sebab, diperkirakan tantangan bisnis di masa mendatang, relatif berbeda dengan sekarang. Perubahannya sangat cepat dan serba kacau, tidak menentu, sehingga sulit bagi kita untuk memprediksikannya.
Suatu tantangan dengan tingkat turbulensi yang tidak menentu semacam ini, jelas akan membuat intuisi kita semakin berperan dalam setiap mengambil keputusan. Kemungkinan ilmu manajemen yang sekarang kita geluti, masih sulit untuk bisa memecahkan berbagai tantangan yng akan terjadi di masa mendatang. Padahal, kita tentunya tetap berharap, bahwa bisnis yang kita jalani sekarang ini harus tetap terus berkembang.
Kita sebagai entrepreneur, disukai atau tidak, harus tajam dalam intuisi. Kita harus mampu berpikir cepat, dan akhirnya mampu mengambil keputusan yang tepat. Saya melihat ada sesuatu yang unik pada intuisi, yakni berlawanan dengan proses nalar. Proses intuisi itu tidak linier (bermacam-macam pola), sedang proses rasional adalah linier. Itu sebabnya, mengapa kebanyakan entrepreneur dalam setiap mengambil keputusan atau langkah dalam bisnisnya, sering membuat kejutan, tidak rasional, dan berani menghadapi risiko.
Oleh karena itu, saya setuju pendapat yang mengatakan, bahwa antara intuisi dan irasionalitas, saling berkaitan. Sebagian keputusan yang kita ambil merupakan campuran berbagai macam ingatan, gagasan, perasaan, dan fakta yang kadang-kadang saling bertentangan. Sehingga, "sen¬tuhan" intuitif itu memungkinkan kita membiarkan data intuisi itu melengkapi data lain yang akan kita gunakan untuk mengambil keputusan.
Menurut Quin Spitser dan Ron Evans, intuisi adalah analisa kilat dari fakta menggunakan pengetahuan dan pengalaman sebagai filter. Dalam bisnis, memang dikenal adanya intuisi bisnis. Di dalamnya ada wawasan, pengalaman, mental, dan perasaan, tapi ada juga wawasan yang luas, pengalaman banyak, dan mental yang dalam. Intuisi ada empat tingkatan, yaitu bisa muncul melalui fisik, emosi, mental, dan spiritual.
Banyak cara mengembangkan intuisi, di antaranya seperti yang dikembangkan oleh Robert K. Cooper, PhD, yaitu: terjun ke dalam pengalaman, kerahkan kemampuan sedikit lebih banyak, tetap terbuka terhadap segala kemungkinan, atasi rasa takut, kenali dan cari cara untuk mengatasi apa pun yang menghalanginya. Selain itu Cooper juga menyarankan, supaya peluang pengindraan harus keluar dunia bisnis, berikan perhatian ekstra kepada tanggapan pertama terhadap pertanyaan-pertanyaan, perhatikan bagaimana intuisi berkomunikasi dengan diri kita, luangkan waktu beberapa menit saja dalam sehari untuk catatan kecerdasan emosional, dan jangan lupa memperluas rasa percaya diri. Anda berani mencoba?

Text Box: Bagian 6
Hati Nurani dan Intuisi sang Entrepreneur
.

D
alam     bisnis,  intuisi atau mengedepankan peran otak kanan ketimbang hitungan rasional adalah penting. Untuk itu, ketajaman intuisi seorang entrepreneur mestinya terus diasah. Kadang dalam menjalankan usaha apalagi yang sudah berjalan lama akan terjadi status quo atau kejenuhan. Bagian ini akan memberi solusi bagaimana mengatasi kejenuhan dalam usaha, selain memikirkan ide usaha baru, tak ada salahnya seorang pengusaha bisa melakukan jamming. Seperti dalam musik jazz, musisi bisa melakukan jams session alias melakukan improvisasi bunyi dan nada musik yang berbeda.
Seperti dalam musik jazz, dalam bisnis juga perlu adanya harmoni dalam melakukan improvisasi. Untuk itu, sebaiknya antara pemilik usaha dan para manajer dan staf harus ada kesamaan harmoni dan simponi, agar ide-ide bisnis yang hendak diciptakan selaras dan 'enak dinikmati' serta tidak terkesan main send iri-sendiri. Kalau antara pemilik usaha, para manajer dan para staf terjadi harmoni dan kompak dalam melakukan jammihg atau improvisasi, pasti akan muncul gagasan-gagasan baru yang segar, sehingga membuat bisnis terus maju dan penuh gairah. Bisnis menjadi arena kehidupan yang menyenangkan dan menantang untuk diarungi. Itulah dunia entrepreneur.
Tolok-ukur kesuksesan sebuah usaha adalah terus bergerak maju dan berkembang mengikuti perubahan zaman. Dengan terus menggunakan kepekaan kita terhadap kondisi dan tuntutan pasar yang berubah, kita juga harus bersikap terbuka menerima ide-ide baru, dengan begitu kita semakin tangkas menangkap ide-ide bisnis baru dan tampil sebagai pelopor atau trendsetter dalam bisnis itu. Menjadi yang pertama dan utama, di situlah sukses awal bisnis bisa dipetik!


D
alam menghadapi dan menjawab kondisi ekonomi yang terus berkembang, cenderung berfluktuatif, dan tidak menentu sekarang ini, maka saya pikir sebaiknya kita melakukan jamming. Tom Peter, mengungkapkan bahwa perubahan yang serba cepat dan cenderung kacau itu pertanda zaman edan.
Sehingga, disukai atau tidak disukai, kita harus berani akrab dengan kekacauan. Saya yakin, jika kita punya keberanian yang besar untuk melakukan jammihg akan sangat mungkin membantu bisnis kita untuk terus berkembang.
Menurut John Kao, pakar kewirausahaan terkemuka yang pernah mengajar di Harvard Business School dan Stanford University, jamming itu identik dengan improvisasi inilah akan memunculkan banyak ide-ide bisnis yang kreatif dan inovatif. Dan hal ini akan sangat menguntungkan bagi kemajuan bisnis kita.
Hanya masalahnya sekarang adalah, apakah "pemain lain" atau katakanlah manajer dan karyawan kita itu bisa kompak atau tidak dalam melakukan jamming. Saya berpendapat bahwa jamming akan berhasil, jika di bawahnya kompak. Ini penting. Mengingat, bahwa setiap manajer maupun karyawan adalah mitra kreatif dalam bisnis kita. Dengan begitu, kita sebagai entrepreneur akan lebih siap menghadapi setiap perubahan, dan akan lebih siap lagi mengatasi krisis, jika kita berhasil melakukan jamming.
Memang, tidak setiap perusahaan itu berani melakukannya. Antara lain, karena masih adanya perasaan takut dengan munculnya perubahan. Masih adanya keinginan untuk mempertahankan status quo. Tapi, saya pikir, jika sesuatunya tidak jelas ke depan, maka lebih baik jamming. Sehingga, kita akan lebih bisa leluasa untuk bertindak luwes dalam berbisnis pada situasi apa pun.
Jamming atau improvisasi menurut saya, bukanlah seni yang hanya dimiliki musisi jazz. Tapi jamming juga harus dimiliki oleh entrepreneur yang memiliki intuisi yang tajam. Dan, kalaupun misalnya, manajer atau karyawan kita juga melakukan jamming dengan melontarkan ide-ide kreatif yang dapat dilaksanakan, itu juga positif.
Anggap saja, ide-ide kreatif yang berbeda-beda dalam perusahaan kita seperti bunga yang berwarna-warni yang semerbak harum. baunya. Namun, tentu saja semua ide-ide bisnis kreatif itu harus tetap terkoordinasi dengan baik. Pendeknya, kita sebagai entrepreneur harus bisa memimpin atau mengkoordinasikan semua itu.
Kita lihat saja, bagaimana para musisi jazz itu mampu bermain dalam sebuah struktur. Mereka bersepakat tentang siapa yang akan bermain, dan kapan memulainya. Karena ada yang memimpin, maka mereka menjadi kompak, sehingga melahirkan irama-irama musik yang terdengar merdu. Sebaliknya, jika terjadi ketidakkompakan itu justru akan menimbulkan kebisingan. Sebab, musik jazz sebagaimana halnya bisnis memang menggambarkan serangkaian perilaku kita yang seimbang. Artinya, setiap permainan walaupun eksperimental, namun kesemuanya tetap masih bisa diatur sedemikian rupa. Begitu juga dalam bisnis.
Saya rasa, "permainan-permainan" semacam ini akan sangat mungkin terjadi. Ada baiknya, hal itu janganlah sebagai hambatan di dalam kita menggeluti bisnis. Tapi, justru hal itu akan lebih membuat kita dinamis, penuh semangat, dan tekun dalam berbisnis. Oleh karena itu, di era global yang terus menerus menuntut kita untuk melakukan hal-hal baru secara lebih cepat seperti sekarang ini, ada baiknya selalu melakukan jamming. Anda berani mencoba?



Z
 aman semakin maju, dan waktu terasa cepat. Itu barangkali, yang kita rasakan saat ini. Maka, agar kita tidak ketinggalan, zaman, sebaiknya entrepreneur harus lebih mampu bergerak cepat, lebih proaktif, dan berani mengambil risiko. Dengan demikian, kita akan lebih mudah mengantisipasi kemungkinan munculnya berbagai kendala bisnis yang mungkin terjadi. Bukan bersikap seperti dulu, yang hanya reaktif dan menghindari risiko.
Saya jadi teringat dengan Rupert Murdoch, yang melangkah cepat dalam bisnisnya. Pada saat bos perusahaan lainnya masih terlelap tidur, ia selalu menjadi penelepon pertama untuk melakukan negosiasi bisnis. Dengan bergerak cepat, ia mampu mengambil keputusan lebih cepat dari pesaingnya. Bagi Murdoch, bergerak lamban adalah milik mereka yang kalah. Langkah semacam ini, saya kira menunjukkan, jika kita tidak bertindak dan bergerak, maka bisnis yang kita geluti sekarang akan sulit bergerak maju. Karena, pada dasarnya, bergerak adalah awal kesuksesan bisnis kita.
Dalam konteks ini, saya sependapat dengan Matthew J. Kiernan, penulis The Commandements or the 21st Century Management' yang mengatakan, bahwa dalam bisnis telah terjadi pergeseran paradigma. Jika, di abad ke-20, bisnis kita lebih terkesan stabil dan bisa diprediksi, namun di abad ke-21 atau di era milenium ketiga ini, perubahannya cenderung terputus-putus.
Begitu pula, bisnis kita yang dulu lebih didasarkan ukuran dan skala, tapi kini lebih pada kecepatan dan responsif. Kepemimpinan, kalau dulu banyak dilakukan dari atas, kini dilakukan semua orang. Maka, tak mengherankan bila dalam menjalankan bisnis di era milenium ketiga ini, memang dituntut untuk lebih luwes, tidak kaku. Sebab, perjalanan bisnis lebih dikendalikan oleh visi dan nilai-nilai. Dibandingkan sebelumnya yang semata-mata hanya dikendalikan peraturan dan hierarki.
Selain itu, kalau kita dulu di dalam menjalankan bisnis selalu membu¬tuhkan kepastian, tapi kini harus lebih toleran terhadap ambiguitas atau memiliki sikap mendua. Soal informasi bisnis demikian juga, yang sebelumnya hanya untuk pucuk pemimpin, tapi kini disebarkan ke semua orang. Sehingga, saat ini bisnis tak tagi mengandalkan pada analisis kuantitatif, namun lebih pada kreativitas dan intuisi.
Tanpa itu, saya kira bisnis yang kita jalankan sekarang ini akan banyak tersendat atau sulit untuk maju. Bahkan kalau dulunya kita berkeyakinan, bahwa masing-masing perusahaan bisa mandiri, tapi sekarang terasa sulit. Oleh karena pada dasarnya, perusahaan-perusahaan akan saling tergantung satu dengan yang lainnya.
Pergeseran paradigma bisnis di era milenium ini, juga akan mengajak kita kalau dulu hanya berfokus pada organisasi intemal, tapi kini kita harus lebih fokus pada lingkungan yang kompetitif. Juga dari integrasi vertikal ke integrasi maya. Seperti Amazon.com, toko buku virtual pertama dan terakbar di dunia maya. Bahkan kalau dulu kita hanya bersaing untuk pasar masa kini, tapi sekarang kita justru lebih tertantang untuk menciptakan pasar masa depan. Oleh karena itu, kita jangan lagi hanya mengandalkan pada keunggulan kompetitif yang berkesinambungan tapi justru harus terus-menerus mencari keunggulan.
Saya yakin, dengan kepekaan kita terhadap kondisi tersebut, maka kita akan lebih siap menghadapi kondisi yang berubah-ubah, lebih terbuka menerima ide-ide baru. Bahkan, kita akan lebih piawai dalam mengambil kesempatan bisnis, lebih berani mengambil risiko, dan tentu saja akan lebih siap meraih keberhasilan. Anda berani mencoba?


G
olf sebagai olah raga atau sport yang tak hanya untuk kesehatan saja, tapi secara psikologis kita juga akan mendapatkan suasana yang hampir sama dengan kegiatan bisnis. Misalnya, ketika kita harus memukul bola, bola bisa jauh atau dekat, lurus atau kiri-kanan, bisa masuk ke lubang, tapi bisa juga tak masuk ke lubang. Bisa sukses, bisa gagal. Begitu juga dalam menekuni bisnis. Bisnis kita bisa saja sukses, tapi bisa juga gagal.
Dalam olah raga golf, ketika kita gagal memasukkan bola ke lubang, maka kegagalan itu bisa saja kita perbaiki pada saat itu juga, walaupun mungkin sudah masuk dalam hitungan atau penilaian. Soal penilaian tentu saja berbeda saat kita masih sekolah dulu. Katakanlah, kalau saat sekolah dulu kita mendapatkan nilai 8 atau nilai 9 tentu saja nilai itu sudah bagus. Sementara, di golf berbeda. Justru nilai 8 atau nilai 9 itu jelek. Lantas, nilai yang terbaik adalah 1, atau yang biasa disebut hole in one. Sedang nilai baik lainnya 2, 3, 4, 5 tergantung jaraknya (par-nya). Itu sama artinya, permainan kita bagus kalau saja saat kita memukulnya paling sedikit atau banyak melakukan kesalahan atau kegagalan.
Sedang kalau dalam bisnis kegagalan itu bisa berisiko finansial. Tapi dalam golf, kegagalan itu biasa kita artikan bahwa, bola lari kanan-kiri, bola masuk kolam, bola hilang, mukulnya banyak. Tentu kalau kita jelek kita akan penasaran dan ingin mengulangi supaya mainnya lebih bagus.
Jika kita main bagus, juga akan membuat kita penasaran untuk mengulangi lagi.
Manfaat lain dengan kita rajin berolahraga golf, kita akan oisa ambil hikmahnya pada aspek manajemennya. Dalam konteks inilah, saya melihat bahwa manajemen golf itu sendiri sangat baik untuk kita pelajari. Misalnya, bagaimana kita menggunakan berbagai alat pemukul bola atau stik. Alat tersebut seperti kita ketahui punya fungsi yang berbeda, yang membuat jarak pukulannya juga berbeda. Termasuk kejelian kita mau pakai stik nomor berapa untuk memukul bola golf itu. Memang, tak sedikit tantangan atau hambatan yang harus kita lakukan. Misalnya saja, bagaimana cara memukulnya, kalau bola itu masuk bunker atau pasir. Belum lagi, menghadapi arah angin yang kencang. Dan setiap kita bermain akan mendapatkan suasana yang berbeda. Sama dengan bisnis kita.
Nah, kalau saat ini sebagai entrepreneur, tak ada salahnya kita mempelajari manajemen golf sehingga kita pandai dalam memilih staf atau karyawan. Kita juga akan semakin banyak relasi atau lebih mudah berhubungan dengan orang lain, dan membuat kita lebih mudah cepat akrab. Jelas, manfaatnya kita akan bisa melakukan lobi-lobi bisnis.'Selain itu bukan hal yang tak mungkin, segala keputusan bisnis bisa kita lakukan dari lapangan golf. Dalam mengelola perusahaan, kita bisa juga melakukan dari lapangan golf. Misalnya dengan menggunakan teknologi seperti HP, itu kita bisa manfaatkan untuk bisnis.
Oleh karena itulah, ketika kita sering melihat orang yang sehari-harinya di lapangan golf, namun ternyata bisnisnya tetap saja jalan. Sehingga tak mengherankan kalau kita lantas berkomentar, "Orang itu hobinya bisnis, tapi pekerjaannya main golf."


A
da sebuah manajemen yang menarik di Indonesia, setidaknya itu menurut saya, yaitu manajemen restoran padang. Mengapa demikian? Itu karena model manajemen ini menerapkan transparansi dalam keuangan dan pembagian keuntungannya lewat sistem bagi hasil.
Dampak dari model manajemen ini, memang tidak hanya pada faktor manajerial semata, tetapi juga berdampak pada faktor pelayanan. Di mana, pelayanan yang serba cepat menjadikan Restoran Padang dikenal. Kita pun bebas memilih menu. Menu pun bervariasi, begitu juga minumannya. "Menu Nano-Nano" begitulah, banyak orang yang menyebut buat aneka menu yang dihidangkan dan pasti dijamin halal.
Selain itu kelebihan Restoran Padang adalah selain pelayanan cepat, juga lebih terkesan fleksibel. Artinya, hidangan yang kita pesan itu bisa saja dimakan di restoran tersebut, tapi kita bisa juga meminta karyawan Restoran Padang untuk membungkusnya dan kita santap di rumah. Dan satu lagi, masakan padang punya rasa yang khas, dan memenuhi selera hampir semua masyarakat dari berbagai negara. Selain itu, faktor kebersihan ruangan juga selalu mendapat prioritas.
Dalam manajemen, di mana ada manajer dan karyawan. Pada karyawan sendiri ada yang bagian dapur induk (koki), book keeper (pembukuan), pantry (buat minuman), palung (pembawa makanan), teller (pembayar pemasok), kasir, walter dan waitress Saya juga melihat, selain transparan model manajemen bagi hasil itu telah menjadikan restoran padang punya ciri khas sendiri.
Dan yang menarik lainnya adalah hubungan antara pemilik modal dengan manajemen lebih sebagai mitra. Karena apa? Mereka tidak mendapatkan gaji, namun mereka mendapatkan bagian dari keuntungan bersih restoran tersebut. Jadi, dalam memberikan keuntungan itu, memang ada pembAgian untuk penanam modal sendiri dan ada pula bagian keuntungan manajemennya atau karyawannya. Itu biasanya dibagikan setelah keuntungan 2,5% untuk zakat.
Sedang pendapatan karyawan adalah dengan sistem poin. Jadi setiap karyawan punya poin atau nilai. Dan biasanya perhitungannya dilakukan setiap 100 hari sekali. Nilai tertinggi ada pada karyawan yang bekerja di dapur induk (koki). Mengapa demikian? Karena pada bagian inilah yang mampu memberikan nilai rasa menu makanan maupun minuman yang dihidangkan.
Saya kira, manajemen semacam ini akan membuat mereka yang bekerja di restoran padang selalu punya semangat tinggi. Dengan semakin tinggi semangat mereka bekerja, menjadikan hasil yang diterima banyak. Kalau malas hasilnya pun sedikit. Selain itu, sistem keuangannya yang selalu transparan menjadikan setiap karyawan level apa pun tahu berapa omzet yang diraih perusahaan dalam setiap harinya. Sehingga hal itu menjadikan karyawan akan lebih termotivasi untuk maju. Di samping itu, manajemen padang juga mendidik karyawan lebih kompak bekerja. Sebab, tanpa ada kekompakan mereka bekerja hasil yang diraih berkurang. Bahkan, bukan tak mungkin hal itu menimbulkan dampak pada pelayanan maupun rasa.
Oleh karena itu, saya kira manajemen padang ini bisa sebagai alternatif, dan cukup bagus untuk kita terapkan pada sektor jasa maupun produksi lainnya. Dan, satu hal lagi yang menarik adalah, karyawan restoran padang dengan manajemen seperti itu, tidak membuat setiap karyawan menanyakan kapan SK (surat keputusan) pengangkatan kerja itu dibagikan. Mereka juga tidak akan menanyakan kapan naik gaji. Sebaliknya, justru mereka akan berupaya bagaimana harga poinnya bisa selalu naik. Karena harga poin itulah yang akan menentukan jumlah penghasilan setiap bulan. Jadi yang menentukan penghasilan adalah dirinya sendiri. Anda berani mencoba?


D
alam bisnis, laju dan majunya perusahaan terkadang tergan-tung pada dari sudut mana kita melihat suatu peristiwa yang kita alami dalam menjalankan usaha kita sehari-hari. Hal itu pula yang saya alami dalam 25 tahun terakhir ini, jangan dikira, sebelum akhirnya memiliki 600-an cabang Bimbel Primagama dan membuka puluhan usaha lain, banyak sekali moment bisnis saya alami dengan beragam peristiwa tragis. Akan tetapi hal itu justru mempertajam intuisi kita dalam mengembangkan usaha. Cerita berikut bisa menjadi pengalaman bagi Anda betapa suatu tragedi terhadang tak selamanya jadi halangan untuk mengembangkan usaha.
Dahulu ketika saya ingin mengembangkan cabang baru Primagama di kota Solo, ada satu tragedi menarik yang bisa saya ceritakan untuk pembaca. Kisahnya bermula dari mencari tempat usaha. Setelah survei sana-sini, kami menemukan lokasi strategis untuk cabang pertama Primagama di Solo, yakni sebuah rumah di Jalan Honggowongso. Akan tetapi kondisi rumah tidak siap pakai, esok harinya saya perintahkan tukang untuk membawa perlengkapan bangunan dan pertukangan untuk merenovasi rumah itu. Semua perlengkapan dibawa dengan colt pickup dari Yogjakarta menuju Solo.
Rupanya dalam perjalanan ke Solo, di Klaten, mobil pengangkut material itu malah menabrak pohon, barang bawaan jadi rusak dan hancur. Saya sempat marah dengan sopir waktu itu. "Memangnya kamu tidak melihat ada pohon nyebrang jalan kok sampai kamu tabrak?" Kejadian itu memang sempat menjadi diskusi di kantor Primagama Yogja. Itu pertanda buruk, jangan buka cabang di Solo dulu, itu musibah yang kata orang Jawa ma/atl, bawa sial. Jadi sebaiknya ditunda dulu keinginan buka cabang di Solo, belum juga mulai tapi sudah terjadi musibah, begitu komentar banyak teman kantor.
Tapi waktu itu, dengan pola pikir otak kanan, saya justru punya pandangan lain. Kasus tabrakan itu dalam pandangan otak kanan saya justru ujian dalam bisnis. Dan biasanya ujian itu adalah harga tebusan untuk meraih sukses yang lebih besar. Kalau belum-belum sudah kena musibah, saya yakin Tuhan justru menjanjikan barokah rezeki besar menanti di depan kalau kita berhasil melaluinya. Oleh karena itu, saya perintahkan untuk jalan terus dan tetap membuka cabang Primagama, Solo, ya di Jalan Honggowongso.
Alhamdulillah, intuisi otak kanan dalam melihat peluang bisnis saya tak keliru. Justru sampai sekarang di Solo yang kini sudah menjadi hampir 10 outlet bimbingan, menjadi salah satu kelompok outlet Primagama paling gemuk dan paling banyak siswanya. Coba, kalau dahulu saya memenuhi saran banyak orang untuk membatalkan buka cabang di Solo, cerita sukses dari Cabang Solo tak akan terjadi dan boleh jadi sampai sekarang. Primagama tak akan pernah punya cabang di Solo, karena percaya takhayul bisnis yang temyata terbukti tidak benar.
Dalam mind set otak kanan, tidak ikut arus dan berani menentang pola pikir lama yang menjadi keyakinan banyak orang. Boleh jadi, saat melihat musibah yang kita hadapi dalam perjalanan bisnis dengan cara pandang yang berbeda, bisa jadi kunci sukses kita. Tak jarang justru musibah bisa berbuah barokah! Untuk itu, saya selalu menyarankan kepada banyak teman, kalau memang kita yakin pada intuisi kita bahwa apa yang kita lakukan benar dan akan mencapai sukses, kita harus menjalani target bisnis kita dengan ngundung (keteguhan hati - istilah Jawa). Ya, kalau memang sudah mau, ya harus dilakukan dengan keteguhan hati. Sudah banyak saya buktikan kalau memang kita benar dan punya keteguhan hati, pasti kita bisa meraih sukses.
Satu lagi bukti, bahwa keyakinan dan optimisme yang menjadi intuisi, mengantar kita menuju sukses bisnis. Beberapa tahun lalu ketika saya membuka sekolah Entrepreneur University dengan konsep tanpa nilai, tanpa ujian dan diwisuda setelah siswa terbukti berhasil menjadi pengusaha itu sempat membuat Dirjen Dikti keberatan dan mengirimkan surat teguran kepada saya. Intinya saya tidak diperbolehkan menggu¬nakan istilah University pada sekolah entrepreneur itu. Oleh karena untuk menggunakan istilah University harus banyak aturan formal yang dipenuhi.
Saya tidak takut dengan teguran itu. Dengan santun saya balas surat teguran itu dan di surat tersebut saya jelaskan bahkan Universty dalam Entrepreneur University itu hanya sebuah nama. Apalah artinya sebuah nama? Karena, argumen saya, Laksamana Sukardi juga bukan seorang laksamana dan Christine Hakim juga bukanlah seorang hakim peng¬adilan. Alhamdulillah sampai sekarang surat teguran itu juga tak dibalas lagi dan sampai sekarang EU sudah berkembang di banyak kota di Indonesia. Dan telah melahirkan ribuan pengusaha baru yang jauh lebih berguna bagi bangsa ini, daripada banyak lulusan universitas-universitas pada umumnya. Otak kanan kembali membuktikan bisa meng-ubah bencana atau ancaman, justru menjadi peluang yang gemilang.

Text Box: Bagian 7
Apa yang Kita Pelajari dari Mereka?
.



G
ajah mati meninggalkan gading, macan mati meninggalkan belang, pengusaha mati? Mestinya meninggalkan nama besar dan sukses bisnis. Nah, berbeda dengan belajar di sekolahan umumnya, mencotek itu dilarang dan ada hukuman bagi pelakunya. Tapi dalam sekolah menjadi pengusaha, mencotek bisnis orang lain boleh-boleh saja, tak jarang banyak ide bisnis baru muncul dan improvisasi ide bisnis lain yang lebih dulu ada. Jadi, menjadi pengusaha dengan mencontek bisnis orang lain itu sah-sah saja!
Pada bagian ini ada beberapa sosok pengusaha atau model bisnis atau juga trik pemasaran yang menarik untuk dipertimbangkan sebagai bahan contekan dan mungkin bisa menginspirasi Anda menciptakan binsis baru yang cerdas dan lebih menarik dari yang sudah ada sebelumnya. Misalnya, gaya Tensia, di mana lewat perusahaan Tensia ide produk bisnis yang cemerlang, jangan berhenti tak bisa produksi karena belum punya pabriknya, kita bisa minta si Tensi membuatkan atas nama perusahaan kita. Akhirnya, ibarat tukang jahit, Tensia bisa kemeja dengan banyak desain dari meng-inspirasi saya, kalau kita bisa BOPOL alias modal Berani Optimis
membuat beragam kaos atau berbagai merek. Ini sekaligus membuat bisnis dengan gaya Pabrik Orang Lain!
Bisa pula kita belajar pengalaman Hotel Marcopolo di Jakarta dalam membangun citra positifnya buat para konsumen dari hal-hal sepele: Seluruh karyawan di semua lini dilarang menerima tip dari tamu. Bahkan saya pemah memberi bellboy, sekadar bakpia oleh-oleh makanan khas Yogya, pun ditolak dengan halus. Bayangkan, tak hanya No Tipping tapi juga No Bakpia! Pelayanan yang bagus dan sikap bersih para karyawannya membuat citra Hotel Marcopolo diterima positif oleh para tamu, akibatnya, tingkat hunian hotel berbintang ini stabil, rata-rata 90%!
Memang tak semua pengusaha itu ingin bisnisnya besar dan banyak cabang. Pak Widadi (65) pemilik warung Soto Kadipiro, salah satu ikon kuliner yang wajib dicicipi kalau Anda bertandang ke Yogya, malah rnenulis besar-besar di warung sotonya "Tidak buka cabang di Jakarta atau Kota lainnya". Ini sosok pengusaha yang nrimo, tak heran karena dia punya filosofi hidup, "Kamulyaning urip iku, dumunung ono tentreming ati" Lebih jauh soal konsep dan filosofi bisnis Pak Widadi bisa Anda simak di bagian ini.


U
ntuk kesekian kalinya, saya mencoba menikmati sajian masakan di Rumah Makan Padang Sari Bundo di Jalan Juanda, Jakarta. Rumah makan yang ngetop ini menjadi favorit banyak kalangan. Mulai dari mahasiswa, wartawan, eksekutif sampai menteri. Bahkan, presiden pernah merasakan nikmatnya makanan Ranah Minang ini. Padahal harganya cukup mahal dibanding dengan rumah makan sejenisnya. Namun, siapa tidak kenal dengan Rumah Makan Padang Sari Bundo ini, rumah makan Padang terlaris di Jakarta, yang memiliki delapan puluh karyawan dan beromzet dua puluh lima juta per harinya itu.
Dibanding rumah makan yang baru berdiri, biasanya karyawannya banyak yang muda-muda, Sari Bundo yang didirikan sejak tahun 1968 ini, ternyata sebagian besar usia karyawannya rata-rata sudah cukup umur, bahkan ada yang ikut kerja sejak rumah makan ini berdiri. Maka tak mengherankan, banyak di antara mereka yang sudah punya cucu.
Saya melihat loyalitas mereka bekerja di Sari Bundo, karena paling tidak manajemen bagi hasil yang diterapkan. Dengan sistem seperti itu, seperti kebanyakan restoran padang, manajemen di sini terbuka atau transparan. Faktor kekeluargaan demikian kuat. Dan, kebersamaan antara sesama profesi, hubungan baik pimpinan dan karyawan, juga ikut menjadikan rumah makan ini tetap bertahan.
Dalam operasional rumah makan ini, pemasukan dan pengeluaran setiap harinya semua karyawan ikut mengetahui. Sehingga, ada rasa memiliki, dan akhirnya mereka pun optimal dalam bekerja. Bila laba perusahaan sedikit, mereka semakin tertantang untuk kerja keras, dengan harapan bisa meraih untung lebih banyak lagi.
Mereka percaya bahwa antusiasme bekerja seperti "mukjizat" di dalam setiap menggeluti bisnis, termasuk bisnis rumah makan Padang. Sehingga, wajar kalau karyawan di sini sangat yakin bahwa bila usaha meningkat, maka kesejahteraan mereka ikut meningkat pula.
Soal upah bagi mereka prinsipnya adalah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Sehingga, mulai pimpinan sampai karyawan memiliki rasa tanggung jawab untuk tetap mempertahankan, bahkan meningkatkan "brand image" dari Sari Bundo.
Dan, anehnya, bila ada saudara-saudara pemilik rumah makan Sari Bundo ini, ingin membuka cabang dengan memakai merek Sari Bundo, tidak menjadi masalah. Boleh-boleh saja. Agaknya, manajemen Sari Bundo Jalan Juanda Jakarta ini, masih percaya, bahwa membantu orang lain untuk berhasil itu perlu. Barang kali, hal itu membuat manajemen Sari Bundo jalan Juanda Jakarta lebih tertantang lagi untuk semakin maju di dalam menggeluti bisnisnya, agar tidak tersaingi dengan Sari Bundo lainnya.
Diperbolehkannya, saudaranya membuka cabang di Jakarta atau pun di daerah lain, itu jadi bukti bahwa manajemen Sari Bundo, tidak menerapkan sistem franchise atau waralaba. Bahkan, pada mereka pun tidak dipungut biaya sesen pun. Hanya sebelumnya mereka harus izin. Meski demikian, yang terbesar dan teramai didatangi tamu tetap Sari Bundo Jalan Juanda Jakarta itu.
Saya mencatat, setidaknya ada empat hal pokok mengapa dia tetap bisa bertahan sampai sekarang meski di saat krisis ekonomi sekalipun, selain menerapkan manajemen terbuka tadi, juga karena: Pertama, rasa masakan. Setiap menu yang ada memang lezat rasanya. Bumbunya sangat terasa. Ikan masih segar, terasa enak saat dimakan.
Kedua, rasa layanan. Layanannya memang serba cepat. Dengan pengunjung yang banyak tanpa diimbangi dengan layanan cepat, tentu akan mengecewakan pengunjung. Hanya dalam waktu satu menit, tamu bisa langsung menikmati berbagai menu yang terhidang di sini. Sari Bundo benar-benar memberikan service bagi para pelanggan atau orang yang dilayani, sehingga mereka merasa seperti "raja" yang harus dihormati. Sari Bundo lakukan ini semua karena, mereka sangat mengerti, bahwa pelanggan adalah orang-orang yang menjadi sumber pendapatan, yang menjaga kelangsungan usaha atau bisnisnya.
Ketiga, lokasinya yang srategis. Manajemen Sari Bundo menyadari, bahwa lokasi rumah makan yang strategis juga akan lebih mendekatkan dengan konsumen. Meski, bangunannya tidak terkesan mewah dan besar, namun penggemar masakan padang tidak terlalu sulit mencarinya, karena lokasinya memang sangat strategis, di jalan Juanda Jakarta. Apalagi tamu dilayani dengan ramah.
Keempat, nama Sari Bundo yang terkenal. Tamu yang menikmati sajian masakan padang di rumah makan yang terkenal, seperti Sari Bundo, membuat para tamu merasa mantap. Artinya, sebelum mereka ke Sari Bundo seolah belum makan masakan Padang.
Kalau kesemua faktor tersebut tetap dipertahankan oleh manajemen Rumah Makan Padang Sari Bundo, maka pengunjung akan tetap ramai. Omzet akan meningkat, apalagi manajemen Sari Bundo tahu persis, bahwa bisnis ini didirikan untuk sukses menjual produknya. Itu akan jauh lebih mudah kalau citra yang dipancarkan selama ini tetap dipertahankan, bahkan kalau mungkin ditingkatkan.
Hanya masalahnya, mampu tidak Sari Bundo mempertahankan kualitas produknya, pelayanannya, demi kestabilan usahanya. Itu juga penting. Namun, saya yakin, manajemen Sari Bundo paham sekali akan hal itu. Sebab Sari Bundo sebagai rumah makan yang sukses akan terus menerus bertanya, "Bagaimana saya bisa paling baik melayani keinginan, kebutuhan, dan keperluan pelanggan saya?" Yah, begitulah Manajemen Sari Bundo.

66
Club The Fish Market


S
aat saya ada tugas di Jakarta beberapa waktu lalu, saya sempat mampir ke sebuah restoran, yang bagi saya unik. Nananya: Restoran Club The Fish Market. Restoran pasar ikan ini terletak bersebelahan dengan Club Store, di dekat CaW
Uniknya, dan itu menarik bagi saya, adalah dalam ruang restoran itu ada ratusan jenis ikan laut dan ikan tawar yang masih segar-segar. Bahkan, saya lihat ada juga seperti ikan hiu, ikan kue, ikan pari, lobster, dan lain¬lain. Bagi tamu yang ingin menikmati sajian di restoran ini, dipersilakan memilih sendiri jenis ikan apa saja yang ingin dinikmatinya. Nah, setelah ikan itu diambil dan dibeteti (dibersihkan), dicuci dan dimasukkan plastik, kemudian ditimbang berapa berat ikan tersebut. Setelah itu, kita langsung bayar.
Kita ambil tempat duduk. Dan, pelayan langsung menanyakan, ikan yang kita pilih itu mau dimasak apa? Tentu, terserah kita. Apakah ikan itu mau dibakar, digoreng atau dibuat sop. Setelah itu, sambil menunggu ikan tersebut itu diolah, kita bisa pesan nasi dan minuman. Nah, tak lama kemudian, sajian ikan tersebut telah tersaji di meja makan kita. Dan tentu sudah siap kita santap. Jangan lupa, setelah kita makan, kita mesti bayar lagi nasi dan minuman yang kita pesan tadi, serta cooking fee-nya.
Ada sebab, mengapabanyak tamu yang tertarik pada restoran ini? Menurut saya, karena restoran ini tidak hanya menjual makanan, tapi juga menjual atmosfer. Manajemen restoran ini mampu berkomunikasi dengan baik terhadap setiap tamu yang datang. Sehingga, menjadikan restoran ini memiliki citra tersendiri.
Tamu yang banyak datang di Restoran Club The Fish Market ini, seolah tak mempedulikan harganya. Bagi mereka yang terpenting, berada di restoran ini seperti sedang rekreasi. Saya sempat merenungkan apa yang saya lihat ini. Apakah tidak mungkin model restoran seperti ini berdiri di Yogyakarta?
Saya yakin, jika restoran semacam ini muncul di kota pariwisata tersebut, tentu sangat tepat dan menarik. Hal itu mengingat Yogyakarta memiliki banyak potensi laut, dengan berbagai jenis ikan dari Laut Selatan. Sehingga, tak mustahil hal ini bisa menjadi peluang bisnis yang menarik bagi kita semua. Siapa mau mencoba?

67
No Tipping No Bakpia


S
oal, tipping atau memberikan tip di hotel tentu bukan hal baru lagi. Telah membudaya. Apalagi, bila kita sebagai tamu hotel, pasti akan tahu dan harus tahu bahwa memberi tip itu wajib. Kalau tidak, maka bell boy yang semula ramah mengantar kita membawakan barang ke kamar hotel, akan tetap berdiri di pintu kamar. Apalagi, kalau bukan menunggu tip dari kita. Setelah tip diberikan, dia baru pergi.
Barangkali, kejadian yang saya alami kali ini sebaliknya. Saat saya menginap di Hotel Marcopolo, di jalan Cik Ditiro, Jakarta Pusat, semua bell boy maupun karyawan bagian lainnya menolak tip. Bahkan, ketika saya bawa oleh-oleh kue khas Yogya, bakpia, juga ditolak halus. "Maaf pak, kami tidak dapat menerima apa pun dari tamu," ujar mereka. Manajemen hotel ini rupanya melarang tamunya memberi tip dalam bentuk apa pun. Bukan hanya no tipping, tapi juga no bakpia.
Hal itu semakin membuat saya merasa enjoy bila menginap di sana. Bahkan, saat ada keperluan bisnis yang harus tinggal lama di Jakarta, saya memilih tinggal di Marcopolo tiga bulan lamanya. Sehingga, saya tidak sempat menghitung sudah berapa kali saya menginap di sana. Tapi yang jelas, saya pernah menginap pertama kali di Hotel Marcopolo sejak sepuluh tahun lalu.
Hotel yang accoupancy room-nya rata-rata 90% ini, sampai kini menjadi langganan saya, baik saat ada kepentingan bisnis maupun keluarga di Jakarta. Larangan itu tentu ada maksudnya. "Hotel bagus yang mampu memberikan pelayanan terbaik bagi setiap tamu yang datang", itulah motto hotel ini yang memang sangat cocok buat keluarga, meski banyak juga kalangan busihessman merasakan nyamannya menginap di hotel ini. Pokoknya aman dan nyaman. Tak ada gangguan atau godaan apa pun. Sehingga, setiap tamu yang menginap di sini akan selalu enjoy. Dan, sang suami yang menginap di hotel ini membuat sang istri di rumah merasa lebih lega.
Manajemen hotel ini sengaja memberikan citra tersendiri pada hotelnya dan secara tidak langsung membentuk citra kharisma tersendiri yang dapat mempersuasi atau memengaruhi lingkungan beserta orang-orang yang terlibat di dalamnya. Maka tak mengherankan, sikap tegas dan disiplin ditegakkan di hotel ini. [3agi karyawan yang diketahui terbukti menerima tip akan dikeluarkan. Ada yang berpendapat, bahwa sikap manajemen seperti ini terkesan arogan, defensif serta kaku.
Namun saya rasa, sikap itu perlu juga untuk citra positif perusahaan. Hanya masalahnya, kalau kondisi ini tidak dipertahankan justru merupakan bumerang. Sebab, belum tentu semua tamu menanggapi positif secara cepat dan tepat akan masalah ini.
Saya melihat, tampaknya manajemen Hotel Marcopolo mengacu juga pada salah satu jurus seperti yang ada dalam buku, "Siasat Bisnis Rupert MurdocM`, yang menyebutkan bahwa selama kita berhati lunak, maka kita akan tetap menempati peringkat kedua. Lunak hati akan menuntun sebuah perusahaan pada kesengsaraan. Maka tak meng¬herankan, Marcopolo mengatur karyawannya dengan sikap tegas dan disiplin. Tidak ada konsep tengah baginya. Pilihannya hanya sedikit. Kinerja karyawan mau bagus atau dipecat!
Selain itu, ada budaya kerja lain yang saya kagumi di hotel ini, yakni: Pertama, ciri khas pelayanannya. Di mana segala fasilitas yang disediakan pada kondisi ready. Sehingga kita tak diberi kesempatan complaint. Kedua, harga bersaing mulai dari sewa kamar, restoran dan drugstore, makan pagi (breakfas4 di kamar dan untuk makan malam (dinne4 dengan prasmanan lengkap, kita hanya membayar harga yang sangat murah yang sulit kita temui di Jakarta. Drugstore-nya yang mirip mini market mungkin merupakan drugstore terbesar dan termurah di Jakarta.
Saya sempat merenungkan observasi ini. Tibalah pada hipotesa saya yang mungkin dapat diakui atau diterima semua pihak, bahwa salah satu kunci sukses meraup banyak tamu semua pihak, bahwa salah satu kunci sukses meraup banyak tamu adalah karena kejeliannya menaruh kepentingan tamu di tempat pertama dan menaruh kepentingan manajemen Marcopolo sendiri di tempat kedua. Artinya, tamu tidak akan termotivasi menginap di sana kalau kepentingannya diposisikan di tempat kedua.
Sehingga tak mengherankan, semua energi karyawan Marcopolo dipusatkan pada kepentingan tamu. Mereka lebih mengutamakan pelayanan tamu, sehingga tamu merasa seperti tinggal di rumah sendiri. Mereka yakin hal itu akan membuat citra harum bagi hotel berbintang dua tersebut.


68
Bisnis Mbah Mo


A
nda penggemar bakmi godhog (rebus) khas Yogya? Bila ya, pasti pernah mencicipi bakmi godhog Mbah Mo di Dusun Code, tiga kilometer arah timur kota Bantul Yogyakarta, atau kurang lebih 15 kilometer arah selatan kota Yogya.
Mbah Mo, nar5ia panggilan Mbah Atmo, juga berfungsi sebagai "merek dagang" dari jasa, produk, sekaligus warungnya. la membuka dagang¬annya mulai pukul 5 sore hingga pukul 10 malam. Ingin tahu siapa pelanggannya? Sebagai gambaran, 90% pelanggannya datang dari Yogyakarta, Magelang, Klaten, bahkan Jakarta. Kebanyakan pelang¬gannya menggunakan roda empat.
Berbagai merek mobil dari yang mewah hingga mobil kuno, parkir berderet-deret di depan "outlet-nya" silih berganti. Saya sempat heran siapa dan apa yang membuat mereka tahu ada "bakmi super enak" di tengah perkampungan pedesaan ini. Padahal untuk menjangkau tempat ini, harus dilalui ruas jalan yang tidak lebar dan tidak begitu bagus.
Pada sebuah gang di Dusun Code yang belum beraspal itu, semua pelanggan datang untuk mencoba atau membebaskan "rasa kangennya" terhadap bakmi buatan Mbah Mo, yang menurut saya memiliki ciri khas yang tiada duanya. Ramuan Mbah Mo yang spesial bagaikan koki hotel berbintang itu, merupakan jasa sekaligus produk yang memiliki kelebihan dibanding produk sejenis (deferential advantage). Hal itu masih ditambah lagi dengan kemasan suasana (atmosphere) pedesaan yang "ngangeni".
Menurut Mbah Mo, promosi pun tak pernah ia lakukan. Saya kira proses yang terjadi adalah pemasaran tradisional dari mulut ke mulut (word by mouth) alias getok tular tentunya "kesadaran" Mbah Mo, bahwa produk yang berkualitas adalah kekuatan pemasarannya. Dan karena itulah setiap malamnya, Mbah Mo mengais omzet dengan menghabiskan 10 kilometer mie, dan 10 ekor ayam.
Bisnis Mbah Mo dirintis sejak 1986. Memang, bertahun-tahun sebelumnya Mbah Mo pernah berjualan pecel dengan konsumen tetangga dan warga sekitar. Untuk terjun ke bisnis barunya ini, Mbah Mo harus melakukan magang atau mentoring, guna menimba pengalaman membuat bakmi. Orang yang dijadikan mentor untuk membuat bakmi yang lezat adalah kakak iparnya sendiri, yang juga berjualan bakmi dan tinggal di Yogyakarta.
Pengalaman Mbah Mo yang mendapat mentoring dari kakak iparnya ini, mengingatkan saya pada apa yang dikatakan Steven R. Covey, bunyi¬nya: "Kalau Anda memberikan ikan pada seseorang, berarti Anda memberi makan sehari. Kalau Anda memberi pancing pada seseorang, berarti Anda memberi makan seumur hidup."
Pandangan Covey ini oleh rekannya, Raymond W.Y. Kao, dikembang¬kan menjadi: "Seandainya Anda memberi pancing, kemudian mendidik cara memancing, dan sekaligus menanamkan tanggung jawab moral, maka Anda berarti ikut membangun suatu negara."
Saya melihat, ternyata tradisi mentonhg merupakan cara ampuh untuk alih pengetahuan, alih keterampilan, sekaligus transfer budaya, dan etos kerja entrepreneur. Seperti halnya Mbah Mo, tradisi mentoring sebenar¬nya dapat dikembangkan dalam masyarakat, bila kita ingin melahirkan lebih banyak lagi wirausahawan baru dalam masyarakat.

69
Tak Suka Bisnis Besar


A
nda penggemar soto? Kalau, ya, pasti Anda telah mengenal atau bahkan telah menjadi pelanggan tetap Soto Kadipiro, yang terletak di jalan Wates Yogyakarta itu. Di restoran yang didirikan 1921 oleh Pak Karto Wijoyo (alm.j, dan sejak 1975 dikelola putra sulungnya, Pak Widadi (60 tahun) sampai sekarang ini, secara terbuka memaparkan tulisan besar pada sebuah papan yang dipasang di restoran tersebut. Isinya, "Tidak buka cabang di Jakarta dan di kota lainnya."
Menurutnya, ia sengaja tak buka cabang di kota lainnya, meski banyak pihak yang menawarinya kerja sama. Hal itu, katanya, ia ingin hidup tentram dengan bisnisnya sekarang.
Selain itu, ingin tetap memegang teguh nasihat orang tuanya, yaitu untuk selalu hidup sederhana, ulet, sabar, jujur dan bisnis, dan nrimo dengan apa yang diperoleh sekarang. Maka tak mengherankan, filosofinya berbunyi, "Kamulyaning urip iku, dumunung ono tentreme ati" Artinya, sesungguhnya kebahagiaan orang hidup itu hanya pada ketentraman hati.
Saya kira, tak sedikit pengusaha atau entrepreneur kita yang justru lebih senang bisnisnya tidak terlalu besar, seperti Pak Widadi dengan Soto Kadipiro-nya. Artinya, dia sama sekali tak suka kalau bisnisnya jadi besar. Karena, dia merasa bisa menikmati asyiknya berbisnis dan merasa tentram. Dan sebenarnya masih banyak contoh pengusaha kita lainnya yang seperti itu.
Contoh ini justru menarik bagi saya. Dan, setelah saya kaji lebih jauh, ternyata sikap mereka tak suka bisnis besar, karena Pertama, mereka masih ada perasaan takut kehilangan suasana kekeluargaan.
Jadi, mereka itu sudah telanjur kentaf dengan suasana kekeluargaan seperti itu, apalagi di awal-awal tahun pengembangan bisnisnya. Di mana, dia tahu potensi setiap karyawannya. Bisa bekerja langsung dengan mereka, dan bahkan bisa mengatur operasional kegiatan bisnisnya. Sebab, jika bisnisnya berkembang besar, tentu suasana seperti itu akan berubah. Dia tak lagi bisa langsung bekerja dengan karyawannya. Dan, tentu saja hal ini akan menyulitkannya untuk mempertahankan suasana kekeluargaan.
Kedua, mereka lebih senang dengan posisinya sekarang. Bisa tetap memegang kendali bisnisnya dan tanpa adanya delegasi. Ketiga, karena mereka lebih senang pada upaya pemberdayaan sumber daya manusianya atau karyawannya, dan bukan pada kontrol.
Tipe pengusaha seperti ini biasanya visinya sederhana. Dan misinya lebih pada aspek kekeluargaan. Sebab, baginya aspek kesejahteraan yang diinginkannya, dan hal itu bisa diraihnya tanpa harus lebih dulu menunggu bisnisnya besar. Sehingga, tidak mengherankan sosok pengusaha seperti ini lebih condong suka memelihara pasar lama, yang dia jadikan sebagai bagian dari sifat kekeluargaan.
Oleh karena itulah, agar bisnisnya tetap seperti sekarang, mereka biasanya tak ada keinginan membuka cabang di luar kota, seperti Soto Kadipiro tersebut. Dengan begitu otomatis mengurangi pelanggannya, dan jam operasionalnya. Soto Kadipiro hanya buka pukul 08.00 sampai 14.00 WIB.
Rupanya orang seperti Pak Widadi termasuk orang yang percaya pada Craig J. Cantoni, seorang pakar entrepreneur yang berpendapat, bahwa, "Bisnis besar hanya akan mengurung kita dalam kotak-kotak organisasi sempit dan hanya menyisakan sedikit ruang untuk kita bisa berkreasi dan meraih kesenangan."

70
Berkembang dengan Franchise


B
aru saja saya membuka cabang Primagama dengan sistem franchise di tiga kota, yaitu Pekanbaru, Sampit-Kalimantan Tengah, dan Tangerang. Sebelumnya, cabang yang ada selama ini kami buka dengan dikelola sendiri. Sistem ini, saya kira sangat tepat untuk kita kembangkan. Di saat ekonomi mulai membaik, usaha kita bisa tetap berkembang meski tidak dengan menyiapkan dana sendiri. Justru dengan sistem franchise, kita akan mendapatkan dana awal dan royalti.
Franchise adalah pemberian hak pada seseorang dalam penggunaan merek, untuk menjalankan usaha dalam kurun waktu tertentu. Sistem ini lebih menguntungkan untuk mengembangkan usaha kita dibanding cara yang lainnya. Oleh karena, ketika kita menggunakan sistem franchise terhadap usaha kita, maka jelas orang lain membayar merek dan royalti tiap bulannya pada kita. Biayanya lebih rendah daripada cara lainnya, dan kita tak perlu mengalokasikan uang atau modal untuk tempat usaha dan yang lainnya.
Selain, tak perlu merogoh kocek untuk investasi lagi, ternyata keuntungan yang bisa dipetik oleh kita sebagai pemilik merek dari cara berekspansi model ini, cukup besar. Bahkan, kerap kali usaha yang dikelola dengan cara ini lebih maju ketimbang kita membuka cabang sendiri. Ternyata sistem ini, juga lebih mudah segera menciptakan lapangan kerja. Jika kita tahu manfaat sistem ini, mengapa kita tidak  berani mengembangkan sistem franchise dalan bisnis kita agar bisa lebih berkembang?
Menurut saya, bisnis franchise cukup menjanjikan. Maka, sebelum kita membuat sistem ini, kita harus jeli dan hati-hati dalam menentukan pewaralabanya. Dapatkah dia atau pewaralaba menjalankan usaha yang kita jalankan? Dapatkah dia memperoleh keuntungan menjalankan usaha kita? Begitu juga lokasi waralaba pun perlu kita cermati. Dapatkah usaha kita sukses di daerah tersebut? Apakah usaha kita menarik orang lain?
Sebagai seorang entrepreneur, saya sendiri melihat sebenarnya begitu banyak produk lokal yang bisa dikembangkan dengan sistem franchise. Menurut hasil pemantauan Asosiasi Waralaba Indonesia, kini tak kurang dari 292 perusahaan lokal yang menyelenggarakan waralaba.
Saya kira, upaya itu positif. Bahkan, saya punya keyakinan bahwa bisnis waralaba merek lokal akan jauh lebih berkembang, karena sebenarnya begitu besar potensi merek lokal. Misalnya di Yogya: Soto Pak Sholeh, Soto Kadipiro, Sate Samirono, Ayam Goreng Ny. Suharti, Bakmi Mbah Mo, Bakmi Kadin, SGPC, dan Bakpia Patuk. Sebenarnya masih banyak produk merek lokal lain yang tidak harus berwujud makanan, yang ternyata sangat memungkinkan juga untuk masuk ke bisnis waralaba.
Jika merek lokal tersebut masuk bisnis waralaba, maka tak mustahil, tak hanya menjadi produk nasional, tapi juga produk global. Hanya saja, kita belum mencobanya. Untuk membantu mengembangkan sistem ini, memang perlu ada semacam lembaga yang mengembangkan atau menyiapkan sistem franchise mulai dari persiapan awal sampai jadi. Kita bisa sebagai konsultannya atau lembaga yang mengantarkan franchise.
Ini sebenarnya merupakan peluang bisnis yang menarik kita kembangkan. Hanya saja, hal itu perlu diikuti dengan membuat Standard Operating Procedure (SOP), Guaranteed Income Level, Complete Trainning & Continued Support, dan lainnya yang merupakan rangkaian dari proses franchise itu sendiri. Tentu saja, produk yang diwaralabakan itu harus merupakan produk yang disukai atau dibutuhkan oleh pasar.
Cara mengembangkan bisnis dengan melibatkan nama besar sekaligus penularan trik-trik dagang dalam memperoleh keuntungan itu, sekarang memang telah ada. Seperti misalnya, merek lokal Es Teler 77, Mie Tek¬Tek, dan Ayam Goreng Mbok Berek Ny. Umi. Sementara, McDonald's, Pizza Hut, Kentucky Fried Chicken (KFC) dan English First yang merupakan waralaba asing justru telah mendahului dari pada merek lokal dan ternyata produk itu memikat pasar.
Bisnis franchise ini sebenarnya tak hanya menguntungkan pemilik merek saja, tapi bagi yang menggunakan merek tersebut juga memetik untung cukup besar. Walaupun, untuk membeli merek tersebut, kita mesti merogoh kocek yang tidak sedikit, kendati tidak semahal fee franchise asing. Baik itu, untuk membayar fee franchise, sarana pendukung plus pelatihan atau training bagi karyawan.
Saya yakin, dana yang dikeluarkan pembeli merek itu akan cepat kembali. Sebab dalam sistem ini, semuanya telah ada hitungannya secara rasional. Oleh karena itulah, jika Anda mengembangkan bisnis ke depan, maka cara yang paling cepat dan menguntungkan adalah model franchise.

71
Belajar dari Bank Mega


T
erus terang, saya ancungkan jempol buat Bank Mega, yang ternyata saat ini tetap eksis, meski di saat krisis ekonomi sekalipun. Setahu saya, memang pergantian manajemen yang terjadi sejak 1996 lalu, terbukti telah meningkatkan kinerja bank itu. Setidaknya, ini terlihat dari perjalanan bisnisnya yang berhasil meraih prestasi demi prestasi, baik dalam skala nasional, regional, maupun intemasional.
Prestasi pertama yang diraih Bank Mega adalah keberhasilannya mendapatkan peringkat pelayanan terbaik di antara 34 Bank (pemerintah, swasta, dan asing). Keberhasilan ini sekaligus mengawali pencanangan tahun 1999 sebagai "Tahun Service Excellence". Selaras dengan itu, kualitas pelayanan terus dikembangkan dari waktu ke waktu, berdasarkan kebutuhan nasabah.
Mengagumkan sekali bahwa di dalam mengantisipasi kondisi pasar yang segera mengglobal, ternyata bank ini dengan langkah pasti dan meyakinkan, berhasil juga meraih prestasi berskala internasional. Di mana oleh SGS Yarsley International Certification Services Ltd., United Kingdom, bank ini dinyatakan layak menerima sertifikat ISO 9002.
Dengan keberhasilannya ini, maka nasabah akan memperoleh standar pelayanan yang sama (cepat, lancar, dan tanpa masalah) pada semua Outlet Bank Mega di seluruh kantor cabangnya. Sehingga di tahun  2000 ini, tak mengherankan, kalau lantas manajemennya menerapkan sebagai "Tahun Operational Excellence".
Kini, pada tahun 2000, bank ini juga merencanakan buka cabang baru yang semula jumlahnya hanya 31 akan berkembang menjadi 90 cabang. Tahun 2001 akan dikembangkan lagi menjadi 140 cabang. Bahkan, saya dengar pada bulan Maret tahun 2000 lalu Bank Mega melakukan go publlc. Memang konsekuensinya, strategi pengembangan pelayanan yang dijalankannya harus memenuhi standar-standar yang diakui secara umum, dan diterima masyarakat. Karena, bagaimanapun setiap gerak kinerjanya pasti akan terus diamati dan dievaluasi publik.
Menarik untuk kita amati adalah, Bank Mega justru berhasil dikembang¬kan di saat krisis ekonomi. Hal itu, mengingatkan saya, pada orang yang menggali atau membuat sumur pada saat musim kemarau. Di mana saat menggali sumur pada saat musim kemarau itu agar bisa meraih kedalaman tertentu sampai air itu mengalir, tentunya membutuhkan tenaga atau kerja keras yang tinggi.
Nah, saya melihat, ternyata Bank Mega itu begitu piawai di dalam menggali "sumur". Yakni, menggalinya di saat musim kemarau tiba, atau di saat krisis ekonomi terjadi. Sehingga, begitu musim penghujan tiba, air sumur yang mengalir pun semakin deras. Itu terbukti dengan pertumbuhan Bank Mega sebagai retail banking tergolong pesat. Bahkan, kini Bank Mega yang terlihat tetap eksis, tampak terus tumbuh, dan malahan bertekad menjadi salah satu dari 10 bank terbaik.
Sedangkan, soal banyaknya bank-bank lain yang bermasalah, dan banyak tutup, itu karena memang dulunya mereka suka berlomba-lomba menggali sumur justru di saat musim penghujan. Akibatnya, ketika musim kemarau tiba atau muncul krisis ekonomi, yang terjadi adalah: mereka "kehabisan air". Akhirnya, bangkrut atau tutup.
Oleh karena itu, saya kira wajar dan tidak ada salahnya bagi kita yang berkeinginan meraih sukses bisnis, bisa saja belajar dari apa-apa yang terbaik dari Bank Mega. Misalnya, jika kita ingin menggali sumur, ada baiknya, dilakukan di musim kemarau bukan sebaliknya dilakukan di musim penghujan.
Begitu pula halnya, sekalipun terjadi krisis ekonomi, jangan jadikan hal itu sebagai alasan bagi kita untuk tidak memulai bisnis, dan jangan pula membuat kita berhenti mengembangkan usaha. Keraguan atau ketakutan itu justru harus kita buang jauh-jauh. Maka, kita janganlah setengah-setengah di dalam mengembangkan usaha yang kita geluti sekarang ini.

72
“Tukang Jahit” ala Tensia


P
ernah    suatu    kali saya diajak seorang peserta "Entrepreneur University" ke Jakarta. Tujuannya kita ingin melihat bagaimana perusahaan Tensia Manufacturing yang terletak di kawasan Cibubur, Jakarta, dalam menjalankan bisnisnya.
Apa yang saya lihat sungguh di luar dugaan. Bukan karena yang saya lihat perusahaan yang cukup besar, tapi yang membuat saya kagum adalah kegiatan bisnisnya, yaitu membuatkan produk consumer good atau home care bermacam-macam merek. Perusahaan itu menjalankan bisnisnya dengan membuatkan produk atau barang-barang kebutuhan rumah tangga, seperti: shampo, pembersih lantai, pembasmi serangga, parfum, sabun mandi, dan lain-lain. Mereknya pun berbagai macam, ada merek impor, ada pula yang lokal, yang iklannya sering kita jumpai di media massa.
Saya jadi tahu, ternyata perusahaan ini bekerja seperti layaknya "tukang jahit". Di mana perusahaan lain bisa meminta Tensia untuk membuatkan produk yang mereka inginkan. Ini memberi keuntungan, bahwa apabila kita ingin memasarkan suatu produk tertentu, kita tidak mesti harus membuat sendiri, tapi dapat memesan melalui perusahaan semacam Tensia tersebut. Hanya saja, kita tidak semudah itu pesan padanya. Tentu saja, itu karena ada persyaratan, yaitu antara lain tidak boleh memalsu produk orang lain dan ada batas minimal order.
Menurut saya, sebagai seorang entrepreneur sebetulnya bisa membuka bisnis dengan cara "menjahitkan" seperti ala Tensia itu. Asal saja kita punya ide bisnis, saya kira ide bisnis apa pun, misalnya kita ingin membuat produk tertentu maka kita tidak harus punya pabrik terlebih dahulu. Kita bisa "menjahitkan" pada perusahaan semacam ini, yang saya kira ada beberapa perusahaan yang juga bergerak di bidang yang sama. Perusahaan tersebut memang hanya membuatkan produk yang kita pesan dan tidak ikut memasarkan supaya netral. Karena bisa saja dia membuat produk yang sama, tetapi merek berbeda, sehingga persaingan itu terjadi di pasar. Kalau kita tak punya gudang pun perusahaan itu bisa menyiapkan gudangnya. Sedangkan distribusinya, dia bisa juga mencarikannya.
Saya pikir mereka cukup kreatif. Tensia menciptakan peluang bisnis yang kita garap. Artinya, tanpa kita punya pabrik sendiri, kita bisa pesan untuk dibuatkan produk tertentu, seperti yang kita inginkan. Hanya saja kita memang harus berani memasarkannya. Setelah pasar berkembang, kita bisa buat sendiri. Sebab, tanpa punya pasar, tentu apa pun jenis produk yang kita "jahitkan" kalau tidak laku, kita akan rugi.
Pendeknya, pasar dulu yang kita ciptakan, setelah pasar berkembang baru pabrik kita bangun. Dengan demikian, kita bisa saja memulai usaha sekalipun tak punya pabrik sendiri. Ide bisnislah yang menjadi sangat penting untuk kita miliki. Artinya, begitu ide bisnis muncul, kita "menjahitkan" pada pihak lain, dan setelah itu kita pasarkan. Anda berani mencoba?

73
Nyontek Bisnis, Sah-Sah Saja


A
 pa boleh kita menyontek bisnis atau kesuksesan pengusaha lain? Saya kira dalam dunia usaha, itu sah-sah saja. Apalagi bagi kita yang baru belajar memulai usaha. Saya sendiri ketika pertama kali buka usaha sewaktu mahasiswa dulu, saya juga bingung mau usaha apa. Saya lihat, Sky Mulyono sukses besar buka bimbingan belajar di Jakarta. Saya pikir, kenapa saya tidak buka bimbingan belajar di Yogya.
Waktu itu saya belum punya pengalaman bisnis. Pokoknya saya buka saja. Saya tak pernah menghitung-hitung, apakah bisnis itu feasible atau tidak. Karena saya yakin kalau usaha Sky Mulyono bisa sukses, maka saya pun bisa sukses. Pendeknya saya memberanikan membuka usaha bimbingan belajar itu, baru hitungan bisnisnya menyusul. Bukan sebaliknya, kita banyak hitungan bisnis, tapi akhirnya usaha tak pernah muncul-muncul, dan hanya sekadar ide. Akhirnya saya buka bimbingan belajar Primagama. Begitu juga, ketika saya buka restoran Padang Prima Raja, saya juga meniru kesuksesan restoran Padang Sari Ratu di Jakarta.
Ini beda dengan tradisi sistem pendidikan kita di sekolah. Jadi yang namanya nyontek dilarang keras. Padahal, menurut saya orang nyontek itu kreatif. Nyontek dalam bisnis itu sah-sah saja. Maka Bambang Rahmadi nyontek membuka McDonald-nya lewat franchise bisa sukses.
Begitu juga pengusaha Pizza Hut, Kentucky Fried Chiken, dan masih banyak usaha lainnya.
Usaha mereka makin jadi besar juga bukan karena modal besar. Sebaliknya mereka sukses dari modal kecil. Memang tak sedikit tantangan atau kegagalan yang dialaminya. Tapi semuanya dilalui dengan sabar karena mereka ingin meraih sukses dalam usahanya.
Saya yakin, kita pun bisa demikian. Kalau orang lain maju usahanya, kita semestinya harus maju pula. Oleh karena itu menurut saya "Kita tak usah khawatir dengan risiko bisnis kalaupun itu muncul". Hadapilah dengan sabar dan penuh percaya diri. Kita harus yakin pada usaha kita.
Memang benar apa yang pernah dikatakan Peter F. Drucker, bahwa, "Sebenarnya tiap orang dapat belajar jadi entrepreneur sukses." Sebab untuk jadi entrepreneur tidak ada yang misterius. Buktinya coba kalau kita jeli, sebenarnya peluang bisnis di depan mata kita, yang kita jalankan. Namun, memang akhirnya kembali pada kita. "Beranikah kita untuk mencoba peluang tersebut?"


Text Box: Bagian  8
Entrepreneur adalah Soko Guru Perekonomian
.


M
 enjadi pengusaha adalah pilihan karier yang menantang dan bisa diraih oleh siapa pun tanpa syarat gelar dan bukan karena bakat atau keturunan! Kalau saja, 25-an tahun yang silam saya tidak memilih drop out dari UGM boleh jadi di Indonesia tidak akan pernah ada bimbingan belajar yang berkembang menjadi bisnis nasional dengan outlet kini sampai 520-an di hampir semua provinsi di tanah air. Oleh karena kecewa pada sistem pendidikan dan perkuliahan waktu itu, saya keluar dan mendirikan Primagama yang kini menjadi holding company dengan beragam usaha.
Meski hanya ranking 40 dari 50 murid dan hanya lulusan SMP, Sukyatno Nugroho MBA, kini menjadi Raja Es Teller terbesar di tanah air dengan usaha Es Teller 77-nya yang menggurita. Kalaupun gelar MBA di belakangnya itu bukan kepanjangan dari master business administration yang diburu banyak eksekutif puncak dewasa ini, tapi singkatan dari °Manusia Bisnis Asal-asalan". Buktinya, meski merasa asal-asalan, bisnisnya kini menjadi pengusaha sukses dan terdepan di pasar bisnis tersebut. Banyak pengusaha sukses lain yang bisa menginspirasi Anda lewat bagian ini.
Yang jelas, sukses mereka para pengusaha besar yang terbukti bisa sukses tanpa gelar menginspirasi saya untuk mengganas dan terus mencetak pengusaha baru dan menebarkan konsep pendidikan yang tidak lazim: Entrepreneur University, sebuah pendidikan calon pengusaha yang dilakukan tanpa nilai, tanpa gelar dan mereka yang sudah nyata-nyata berhasil menjadi pengusaha bisa diwisuda tanpa gelar. Gelamya, ya pengusaha! Oleh karena yang berhak menentukan sukses seorang pengusaha bukan melalui akreditasi suatu lembaga, melainkan masyarakat! Anda sepakat bukan?

74
Mega Entrepreneur


K
egairahan kita untuk menciptakan pengusaha baru, terutama yang bisnisnya sudah mapan, memang sudah mulai tampak sekarang ini. Hanya saja, menurut saya, hal itu sebaliknya harus lebih digalakkan lagi.
Dan itu sebagai salah satu sebagai pertanda, bahwa sesungguhnya pengusaha kita tidak sekadar antusias dalam memajukan bisnisnya, tapi juga mempunyai tanggung jawab sosial yang tinggi. Sosok pengusaha seperti inilah, pantas kita sebut sebagai Mega Entrepreneur.
Saya sendiri mengakui bahwa pola pikir pengusaha kita yang setiap harinya terbiasa berotak bisnis, lantas juga harus mempunyai jiwa sosial, itu bukanlah tugas ringan. Setidaknya, jika kita sadar betul, bahwa sesungguhnya ikut memikirkan atau mendorong munculnya pengusaha baru, sama pentingnya dengan upaya memajukan bisnis kita. Maka dari itu tak ada salahnya kita melakukannya.
Saya optimis, kehadiran pengusaha baru di dunia usaha kita, akan menambah kegairahan dunia usaha kita. Dan, tak mustahil pengusaha baru itu pun nantinya akan menciptakan pengusaha baru lagi. Sehingga, kehadiran Mega Entrepreneur tidak hanya sekadar menciptakan lapangan kerja tetapi juga bisa menciptakan pengusaha baru. Langkah Mega Entrepreneur seperti itu pada akhirnya juga akan berdampak pada tumbuhnya perekonomian kita yang lebih baik.
Karena itu, mengapa saya berani mengatakan bahwa sosok Mega Entrepreneur itu sesungguhnya adalah sosok pengusaha yang benar¬benar memiliki tugas mulia. Maka tak ada salahnya bagi kita untuk berbuat seperti Mega Entrepreneur.
Sebenarnya menurut saya, sudah banyak pengusaha kita telah mempunyai kesadaran untuk membimbing karyawannya, manager-nya, saudaranya, atau relasinya untuk dijadikan pengusaha. Dalam hal ini, pengusaha membimbingnya dan merangkap menjadi mentor-nya. Cara lain misalnya pengusaha bisa memberikan franchise atau menjual merek pada orang lain.
Saya yakin dengan hal tersebut, dunia usaha kita akan bergairah, jika kita memiliki Mega Entrepreneur. Selain itu hal tersebut juga akan makin menumbuhkembangkan perekonomian kita. Kalaupun pengusaha baru yang kita ciptakan itu misalnya, ternyata usahanya bisa melebihi usaha kita semestinya kita harus bangga dan bersyukur. Sebab pada dasarnya kehadiran pengusaha itu masing-masing telah membawa rezekinya sendiri-sendiri.

75
Menciptakan Pengusaha Baru


S
aya       sepakat dengan Peter    Drost,   penulis  buku     "Reformasi Pengajaran" yang mengungkapkan, bahwa pendidikan di Indonesia tampaknya hanya untuk orang yang pandai-pandai saja, atau yang menonjol nilai akademiknya. Sedangkan pendidikan yang betul-betul diprioritaskan untuk orang yang nilai akademisnya sedang-sedang atau rendah, ternyata belum digarap secara serius.
Sedangkan pendidikan di universitas kita sekarang ini terutama yang mengutamakan nilai akademis sebagai indikator keberhasilan cende¬rung menghasilkan tukang-tukang seperti: "tukang insiyur, tukang dokter", dan lain sebagainya. "Tukang-tukang" tersebut hanya pandai mencari pekerjaan, tetapi bukan menciptakan pekerjaan. Padahal menurut saya, di era otonomi daerah saat ini, pendidikan entrepre-neurship sangat dibutuhkan. Karena dengan pendidikan tersebut, sebenarnya akan banyak menciptakan pengusaha-pengusaha baru. Itu tak bisa ditawar-tawar lagi. Tak hanya penting, tetapi sangat mendesak. Maka sebaiknya iklim menekuni dunia usaha harus diciptakan.
Melihat kondisi ini, saya kira perlu ada upaya menciptakan pengusaha baru. Sebab menurut saya, menjadi pengusaha itu bukan diajarkan tetapi dididik dalam pengertian nonformal. Sehingga perlu ada solusi, yaitu bagaimana kita membuat pendidikan untuk menciptakan orang jadi pengusaha. Apalagi di Indonesia dalam kaitannya dengan pemberlakuan otonomi daerah, tentu akan sangat banyak dibutuhkan pengusaha-pengusaha baru yang muncul di daerah.
Menurut saya, hal itu bisa diberikan lewat model pendidikan yang bukan saja mengandalkan pada pengetahuan atau otak berpikir, tetapi juga otak emosional. Termasuk bagaimana mencerdaskan emosi kita, dan bagaimana menyelaraskan otak berpikir dengan otak emosional. Sementara universitas yang ada, hanya menciptakan calon pencari kerja, bukan pencipta kerja.
Padahal, semestinya di negara kita membutuhkan banyak pengusaha. Dan kita sebaiknya jangan punya perasaan khawatir dengan bermunculannya pengusaha baru. Karena nantinya, mereka akan menciptakan lapangan kerja baru. Kalau kemudian negara kita lebih banyak pengusahanya daripada pekerjanya, maka kita bisa mengimpor tenaga kerja dari luar negeri. Bukan sebaliknya, kita harus mengekspor tenaga kerja kita ke luar negeri seperti sekarang ini.
Sebenarnya sudah ada beberapa pengusaha kita, yang tidak hanya sekadar memikirkan tetapi juga telah menciptakan orang-orang untuk menjadi pengusaha baru. Saya sendiri juga telah melakukan. Misalnya ada manager di perusahaan saya yang punya jiwa entrepreneur, maka saya tidak ragu memandirikan dia dengan tanggung jawab pada usaha baru. Apalagi jika dirinya mempunyai potensi besar menjadi pengusaha.
Oleh karena itu saya katakan bahwa keberadaan universitas yang mendidik calon pengusaha itu sangat mendesak sekali. Kalau perlu universitas yang mendidik calon pengusaha itu tidak perlu mengguna¬kan aturan formal. Misalnya tanpa status, tanpa akreditasi, tanpa dosen, tanpa ijazah, tanpa gelar. Dan wisudanya pun dilakukan setelah mereka benar-benar membuka usaha dalam waktu tertentu.
Sedang calon mahasiswa atau mahasiswinya, diutamakan justru yang mempunyai IP (indeks prestasi) atau NEM (nilai ebtanas murni) sedang dan rendah. Sebab bisa jadi dengan paradigma pemikiran pendidikan seperti ini akan menjadi model pendidikan di Indonesia di masa datang. Dan bukan tidak mungkin, hal itu juga akan menjadi model pendidikan di dunia, khususnya bagi pendidikan calon pengusaha.
Maka saya kira sudah saatnya, sekarang ini disiapkan universitas yang mendidik orang menjadi pengusaha, melalui "kurikulum dan sistem" yang diciptakan sendiri oleh pengusaha.

76
Yuk! Menjual Perusahaan!
Meraih Mimpi Bersama, Berkali-kali


D
alam banyak kesempatan seminar atau berbicara di kelas sekolah entrepreneur yang saya kelola, sering saya sarankan, "Kalau ingin kaya raya, jangan lama-lama jadi karyawan, buruan jadi pengusaha!" Memang setelah lebih dari lima tahun, upaya serius dan sengaja yang saya lakukan dalam menebarkan virus entrepreneur itu ke seluruh penjuru tanah air, sudah ribuan peng-usaha baru yang lahir sebagai alumni siswa kelas entrepreneur tersebut. Namun, sekarang muncul pertanyaan baru dari sebagian alumni yang sudah jadi pengusaha, meski sudah membuka usaha sendiri dan punya usaha yang mulai berjalan, kok ndakjuga kaya raya? Apa yang salah?
Ini memang soal pilihan waktu, mau masuk jalan tol yang cepat atau jalur normal yang kata orang Jawa, alon-alon waton kelakon. Biar lambat asal selamat dan tercapai dan tercapai tujuannya. Buat yang cari aman, memang konsep alon-alon waton kelakon akan banyak dipilih. Maksud saya, dalam konteks bisnis kalau orang memulai usaha dan hanya mengharapkan untung dari laba usaha hasil menjual produk bisnisnya, maka untuk bisa dapat uang bernilai miliaran, misalnya, akan butuh waktu yang lebih lama.
Lain ceritanya kalau kita tidak cuma bisa mengembangkan usaha kita dengan tujuan membuat laris produknya, tapi kemudian dengan larisnya produk kita, perusahaan yang memproduksi produk laris itu bisa kita jual. Ya, menjual perusahaan adalah solusi cepat untuk bisa dapat untung lebih besar. Bahkan jangankan menjual perusahaan yang sudah jadi, apalagi sudah punya nama besar. Ide atau gagasan usaha yang brilian pun bisa kita jual.
Betapa menggiurkannya menjual perusahaan? Kita bisa kutip laporan Majalah Forbes tahun 2005 yang akhir-akhir ini muncul di semua pemberitaan televisi soal belum terbayarnya ganti rugi warga Sidoarjo korban lumpur Lapindo karena Lapindo mengaku kesulitan keuangan. Anehnya, Aburizal Bakrie, pemilik Lapindo, ternyata mengutip Forbes justru habis menjual tiga buah perusahaannya dan memperoleh uang Rp33 triliun dari penjualan itu. Hanya menjual tiga perusahaan bisa mengantungi Rp33 triliun lebih?
Jangankan Bakrie Brother's Group sampai saat ini faktor utama yang membuat maju dan lajunya perkembangan usaha Primagama yang saya rintis sampai memiliki 600 cabang di seluruh Indonesia karena kita jual secara franchise. Dengan begitu, bukan hanya dana segar dalam jumlah besar bisa kita dapat dari penjualan brand usaha kita (goodwilh tapi dengan menjual perusahaan secara franchise, kita tetap bisa memetik laba usaha dalam bentuk royalty fee. Ini yang disebut menjual perusahaan berkali-kali.
Menurut hemat saya, dalam dua sistem penjualan perusahaan yakni dengan menjual putus artinya dengan mengalihkan hak milik seluruhnya dan seumur hidup usaha kita dibandingkan dengan menjual dengan konsep franchise atau menjual merek dan sistem usaha, yang bisa dilakukan berkali-kali maka menjual dengan konsep franchise lebih saya sarankan dan lebih mudah dilakukan.
Oleh karena berbeda dengan menjual putus, kalau perusahaan sudah kita jual dan hak milik beralih, kita tak punya kewenangan apa-apa lagi, sementara dana yang didapat bisa habis tanpa mungkin sempat dibuat usaha baru untuk menggantikan usaha yang sudah kita jual. Berbeda dengan menjual konsep franchise, karena boleh dibilang kita hanya menjual merek dagang dan nama baik usaha kita plus sistem kerja yang bagus dalam waktu tertentu tanpa kehilangan perusahaan.
Dan, kalau waktu "sewa merek" sudah habis kita bisa mendapat dana lagi dari perpanjangan sewa itu atau dari pemakai baru merek usaha kita, jadi peluang mendapatkan dana besar bisa berulang kali. Sehingga kita sebut sistem franchise sebagai menjual perusahaan berkali-kali untuk satu merek usaha. Ini jelas lebih menguntungkan dan menantang bukan?
Menurut pengalaman saya, sejak usaha dibuka, sebaiknya pengusaha sudah memikirkan atau menyiapkan usaha itu ke depan untuk bisa dijalankan dengan sistem franchise dan dijual usahanya. Ini memang sebuah pola pikir, mindset baru dalam berwirausaha. Jadi janganlah berpuas diri kalau seorang pengusaha sudah bisa merintis usaha dan bisa sukses diterima pasar. Akan lebih bagus kalau kita juga bisa membagi mimpi kita pada banyak orang dengan menjual perusahaan kepada banyak orang.
Memang untuk bisa menjual perusahaan kita ada beberapa "prasyarat" yang mesti kita bangun dan garap dengan optimal, mulai dari logo perusahaan yang menarik dan tentu dengan kemasan dan promosi bisnis yang bagus dan memikat. Jangan lupa pula siapkan sistem dan manajemen usaha yang praktis dan mudah digunakan. Memang, kita perlu membuat training, pelatihan untuk mencetak tenaga operasional handal di lapangan untuk mengisi cabang-cabang usaha baru yang kita jual. Kalau semuanya sudah siap, tentu bukan masalah sulit lagi untuk menjual usaha kita.
Pada prinsipnya, semua jenis usaha bisa kita jual secara franchise. Yang pasti buatlah bisnis yang unik, belum banyak dibuat dan merupakan terobosan baru dalam satu jenis usaha, apakah restoran, jasa, layanan kesehatan atau kecantikan, ataupun jutaan ide bisnis lainnya. Yang pasti dengan menjual perusahaan, kita tidak saja lebih cepat kaya raya tapi, akan banyak orang yang mampu meraih mimpi mereka. Dengan menjual perusahaan kepada banyak orang, kita bersama-sama meraih mimpi¬mimpi dalam hidup kita yang lama tertunda. Jadi, Yuk, kita jual perusahaan dan bersama-sama meraih mimpi dalam hidup kita.
 

Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com