ASPEK HUKUM KOMUNIKASI KEHUMASAN
Indonesia
yang kini sedang dilanda krisis multidimensional yang berkepanjangan
dengan posisi, apakah siap atau tidak memasuki dunia maya atau sering
disebut disebut cyberworld dan cyberspace, sebagai akibat kemajuan
teknologi informasi camggih (information superhighway) yang merupakan
bagian dari sistem komunikasi dan informasi global di abad 21 dalam
Millenium III ini tengah menyaksikan suatu fenomena kian meluasnya
pengaruh globalisasi di berbagai sektor kehiadupan manusia bi muka bumi.
Bahkan seolah-olah sudah tidak ada lagi batasan negara (borderless
state) yang sanggup untuk menghindari pengaruh globalisasi yang sudah
menjadi kampung global (global village) dengan segala aktivitas dan
isinya yang telah menjadi fenomena kesejagatan (globality).
Sekarang
ini permasalahan media massa atau media pers bukan lagi sekadar masalah
peraturan perundang-undangan dan rambu-rambu etika yang ada (A. Muis,
2001 : 40-41), tetapi berkaitan dengan masalah terpenting yaitu;
keberadaan cyberspace dengan globalisasi informasi dan komunikasi sistem
terbuka yang tidak lagi memperhatikan batas-batas kekuasaan atau
kedaulatan masing-masing negara. Artinya; undang-undang yang dibuat
untuk menetralisasi atau membendung pengaruh globalisasi sudah tidak
lagi banyak berfungsi, apalagi suatu negara yang belum mempunyai
undang-undang cyberlaw (UU Internet),paling tidak memiliki fungsi hukum
sebagai “a tool of social engineering” dan kemampuan menciptakan
teknologi baru (preventif) untuk mengurangi dampak negatif dari kekuatan
daya tembus siaran cyberspace tersebut. Permasalahannya, sumber berita
(komunikator) yang mengirim pesan/ informasi atau berita melalui
internet (cyberspace) dari negara lain sulit dilacak oleh negara
penerimanya.
Beberapa
tahun lalu Malaysia telah memiliki cyberlaw untuk mencegah “berita
sampah” yang berasal dari internet, namun tetap tidak berfungsi
sebagaimana mestinya alias sebagai macan kertas ompong karena tidak
diikuti kemajuan teknologi melacak sumber berita melalui
cybercommunication untuk menindaknya. Baru negara AS yang memiliki
cyberlaw dan memilki kemampuan tekologi untuk keberadaan sumber
informasi web-sites (situs internet) anonim (tanpa identitas) dengan
mengirim agen FBI. AS juga mampu menindak dan menangkap pelaku kasus “si
penyebar virus” komputer yang berasal dari Manila dan Australia pada
awal 2000 lalu.
Khususya
negara Indonesia yang hanya mengandalkan UU Hukum Pidana, Perdata,
Pers, dan UU Konsumen, serta peraturan lain yang kini belum memiliki
cyberlaw (UU Internet) akan sulit membendung atau memeberikan sanski
pelanggaran di bidang hukum komunikasi. Lain halnya semasa pemerintahan
orde baru, pengendalian terhadap fungsi informasi, kontrol sosial, dan
pengawasan kegiatan media massa atau media pers lebih banyak menggunakan
pendekatan kekuatan politik (kekuasaan),otokratik dan represif dari
pada pelaksanaan melalui kekuatan hukum (supreasi hukum).
Pada
era pemerintahan reformasi yang demokratik dan menganut sistem politik
terbuka Indonesia berhadapan dengan “kebebasan pers” dan konsistensi
pelaksanaan HAM sesuai dengan UU No. 40/1999 tentang Pers, tambahan
Pasal 28 F UUD 1945 dan seirama dengan pasal 21, Tap XVII/MPR/1999 yang
berbunyi sebagai berikut :
“Setiap
orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia”.
Rumusan
tersebut menurut A. Muis (2000 : 30) senada dengan Pasal 19 Deklarasi
Universal HAM (hak asasi manusia) tentang Freedom of Information (FOI),
yaitu Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this
right includes freedom to hold opinion without interference and to seek,
recieve and impart information and ideas through any media and
regardless frontiers.
Kebebasan memperoleh informasi dan system komunikasi Indonesia
sekarang lebih bersfat Universal dan terbuka. Artinya, pemerintah
memberikan hak-hak perlindungan bagi penerbitan media pers dan wartawan
tertentu dalam menyalurkan informasi atau berita untuk memenuhi “public’s right to know”
(hak public untuk mengatahui). Akan tetapi sebaliknya, di era
keterbukaan ini banyak pejabat instansi pemerintah atau para eksekutif
pihak swasta masih belum siap, dan bahkan melakukan kebijakan menutup
akses masyarakat (to kill the information) untuk memperoleh informasi
yang dibutuhkannya.
Ketahuan
“ketertutupan informasi” tersebut oleh masyarakat secara luas bila
terjadi suatu pelanggaran yang mencuat ke permukaan, kemudiandiliput
oleh media pers. Hal ini banyak terjadi di bidang eksploitasi sumber
daya alam dan lingkungan hidup, seperti kasus-kasus yang ter-ekspose di
berbagai media massa.
Misalnya; terjadinya pencemaran lingkungan alam sebagai dampak
pembuangan limbah tailingnya oeh PT. Freeport Indonesia di Irian Jaya
serta PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang diduga telh merusak kawasan
danau Toba Samosir. Alasan selama ini adalah untuk menutupi saluran
informasi tentang industri yang memiliki resiko dapat merusak lingkungan
alam yang cukup parah dan telah merugikan kehidupan masyarakat
sekitarnya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Walaupun kini pers ansional
memiliki kebebasan pers (pers liberal) yang lebih besar jika
dibandingkan masa sebelumnya, namun tetap mengacu pers bebas yang
bertanggung jawab, bukannya menjadi pers yang sangat bebas tetapi “pers
kebablasan”. Kebablasan tersebut dapat diberi makna telah melampaui
batas kebebasan berkomunikasi dan informasi (berita) wajar dan santun
yang mengacu pada nilai budaya komunikasi sesuai dengan Kode Etik, Etika
Profesi dan aspek hokum komunikasi yang ada. Seperti diketahui bahwa
Kode Etik jurnalistik (KEJ) pada dasarnya menguraikan hal-hal yang
menyangkut profesi kewartawanan berikut ini :
§ Kepribadian wartawan Indonesia;
§ Pertanggung jawaban;
§ Cara pemberitaan dan menyatakan pendapat;
§ Hak jawab dan hak sangkal;
§ Sumber berita;
§ Kekuatan kode etik.
Dalam
kode etik wartawan tersebut, hal-hal yang bersifat murni adalah kode
etik normative yang secara spesifik menyebutkan masalah pertanggung
jawaban yang mengandung atau dapat dikaitkan dengan persoalan hokum.
Dengan demikian, terdapat pertimbangan patut dan tidak patut untuk
memberitakan hal-hal yang menyinggung perasaan kesusilaan, SARA (suku,
agama dan ras),mengenai kehormatan nama, atau martabat seseorang.
Oleh
karena itu, ketentuan pidana (produk legislative) merupakan pembatasan
yang sah terhadap kebebasan pers dan bersifat liminatif. Selain itu,
ketentuan pidana ditujukan terhadap mereka yang telah menyalahgunakan
kebebasan (abuse of liberty). Dalam perundang-undangan pers nasional
atau ketentuan Internasional mengenai batas-batas yang liminatif,
terdapat kegiatan pembeitaan pers sebagai berikut :
a. Penghinaan dalam legislative, yaitu penghinaan biasa dan penghinaan ringan, baik secara material dan formal;
b. Berita hasutan dan kebohongan;
c. Blasphemy, yaitu penghinaan terhadap nilai agama;
d. Pornografi (dalam bentuk tulisan, gambar dan lisan);
e. Keamanan nasional dan ketertiban umum (National Security and Public Order);
f. Pernyataan yang menghambat jalannya peradilan (Impede the Fair Administration of justice);
g. Pernyataan terhadap seseorang atau telah memvonis seseorang bersalah atau yang menjadi urusan pengadilan (trial by the press);
h. Penghinaan atau pelecehan terhadap pengadilan atau jalannya suatu proses sidang peradilan (comtempt of court).
FALSAFAH HUKUM DAN ETIK
Pakar
hukum pers, Prof. Oemar Seno Adji (1991 : 20) dalam bukunya Etika
Profesional Hukum mengatakan bahwa menelaah hubungan antara kode Etik
dan hokum didasarkan pada latar belakang berbagai aliran, yaitu :
a. Aliran
naturrecht secara tegas tidak mengenal pemisahan antara etik dan hokum.
Artinya, dalam prinsip aliran ini, norma-norma etik dan pelaksanaan
dalam konsep hukum yang diberlakukan adalah secara tidak terpisah-pisah.
Dapat saja terjadi, suatu pelanggaran norma etik akan sama dengan
pelanggaran hukum yang berlaku.
b. Aliran
positivisme mengakui adanya pemisahan antara hukum dan etik. Aliran ini
lebih mengonsentrasikan perhatian isi dan hukum yang berlaku, yaitu
hukum positif dalam pengembangan di bidang hukum konkret yang dibedakan
dengan pelaksanaan di bidang Kode Etik untuk kalangan profesional yang
telah memiliki kode etik bersifat normatif atau formatif yang telah
disepakati bersama. Pengecualiannya ialah hal-hal pelanggaran yang sudah
masuk ke kawasan atau prinsip-prinsip hukum yang berlaku (pidana atau
perdata).
c. Aliran
samenval mengganggap adanya titik pertemuan dalam Kode etik Profesional
dengan bidang hukum tertentu, yaitu adanya kesamaan (samenval).
Artinya, diakui adanya aspek-aspek yuridis dalam persoalan etik dan
sanski hukum, misalnya; dalam Kode Etik Jurnalistik atau Kode etik
periklanan dan Kode Etik Kehumasan, yaitu berawal dari suatu “pelecehan”
(gambar karikatur atau gurauan dan humor bermasalah) yang kemudian
dapat meningkat menjadi unsur penghinaan yang menyebabkan timbul Delik
Pidana, baik berbentuk penghinaan melalui tulisan, visual (gambar), atau
secara lisan terhadap nama kohormatan dan martabat seseorang atau
lembaga tertentu, termasuk mengenai masalah SARA (suku, agama, ras, dan
antar golongan) dan sebagainya.
Selain
hal tersebut, pelanggaran Kode Etik Profesi akan langsung dikaitkan
dengan hukum yang berlaku sebagai akibat suatu pelanggaran atau
perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), menurut Pasal 1365 KUH
Perdata, atau delik Pidana dalam Pasal 310 da 311, yaitu masing-masing
pelanggaran kehormatan dan menfitnah pihak lain, baik melalui lisan (the
law of slander) atau berbentuk tulisan dan gambar (the of libel).
0 komentar:
Posting Komentar