MAKALAH
USHUL
FIQH
TEMA
: IJMA’
DOSEN
PENGAMPU :
DISUSUN
OLEH :
FAKULTAS
SYARIAH JURUSAN EKONOMI SYARIAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI SULTAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2014-2015
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ijma’ adalah salah satu dalil syara’
yang memiliki tingkat kekuatan Argumentasi dibawah dalil-dalil Nas (Al-quran
dan Hadis) ia merupakan dalil pertama setelah Al-qur’an dan Hadis yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum
syara’.
Ijma’ muncul setelah Rasulullah SAW,
wafat para sahabat melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah
yang mereka hadapi.
Khalaifah Umar Bin Khattab ra. Misalnya
selalu mengumpulkan para sahabat untuk
berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum jika mereka telah
sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum
yang telah disepakati.
Terkait dengan ijma’ ini masih banyak
komonitas diantaranya, sebagian mahasiswa yang masih minim dalam memahami ijma’ itu sendiri maka dari
itu kami penulis akan membahas tentang ijma’ dan dirumuskan dalam rumusan
masalah dibawah.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Ijma’
Secara etimologi, ijma’ berarti “ kesepakatan “ atau
konsensus.pengertian etimologi kedua dari ijma’ adalah ketetapan hati untuk
melakukan sesuatu.[1]
Perbedaan
antara pengertian pertama dengan pengertian kedua terletak pada kuantitas
(jumlah) orang yang berketetapan hati. Pengertian pertama mencakup satu tekad
saja, sedangkan untuk pengertian kedua memerlukan tekad kelompok.
Adapun
ijma’ dalam pengertian terminologi ialah kesepakatan semua ulama mujtahid
muslim dalam satu masa tertentu, setelah wafatnya Rasulullah SAW, yang
berkaitan dengan hukum syara’.[2]
Ada
beberapa rumusan ijma’ yang dikemukakan oleh para tokoh-tokoh fiqih,
diantaranya sebagai berikut :
a. Al-Amadi,
sebagaimana dikutip Amir syarifuddin
merumuskan ijma’ adalah
kesepakatan sejumlah Ahlul Halli wal’Aqd ( para ahli yang berkompeten mengurusi
umat ) dari umat Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus.[3]
b. Maulana
Muhammad Ali yang dikutip oleh sudarsono kata ijma’ berasal dari kata jam’ ,
artinya menghimpun mengumpulkan. Ijma’ mempunyai dua makna, yaitu, menyusun dan
mengatur suatu hal yang tak teratur, oleh sebab itu berarti menetapkan dan
memutuskan suatu perkara, dan berarti pula istilah ulama fiqih (fuqaha’). Ijma’
berati kesepakatan pendapat diantara para mujtahid, atau persetujuan pendapat
diantara ulama fiqih dari abad tertentu mengenai masalah hukum.[4]
c. muhammad
bin Hamzah al-Girani yang dikutip oleh Asmawi mengungkapkan definisi ijma’
adalah kesepakatan para mujtahid ulama dari kalangan umat Muhammad pada suatu
masa pada suatu hukum syara’.[5]
d. Jumhur
ulama ushul fiqh, sebagaimana dikutip Abdul Wahab Khallaf merumuskan ijma’
dengan kesepakatan para mujtahid muslim memutuskan suatu masalah sesudah wafat
Rasulullah terhadap hukum syar’i, pada suatu peristiwa. [6]
e. Al-Ghazali
yang dikutip oleh Amir Syarifuddin merumuskan ijma’ dengan kesepakatan umat
Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama.[7]
f. Al-
Nazham yang dikutip oleh Amir Syarifuddin mengemukakan rumusan lain tentang
ijma’ yaitu setiap perkataan yang hujjahnya tidak dapat dibantah.[8]
Dari definisi diatas
dapat dipahami bahwa ijma mengandung beberapa unsur sebagai berikut.
a. Adanya
kesepakatan seluruh mujtahid dari kalangan umat islam (ulama)
b. Suatu
kesepakatan yang dinyatakan haruslah dinyatakan secara jelas.
c. Yang
melakukan kesepakatan tersebut adalah mujtahid.
d. Kesepakatan
tersebut terjadi setelah wafatnya Rasullah SAW.
e. Yang
disepakati itu adalah hukum syara’ mengenai suatu masalah atau peristiwa hukum
tertentu.
2.
Kedudukan
Ijma’
Sehubungan dengan kedudukan ijma’ , umat
islam di bedakan menjadi dua golongan, yakni golongan ahl as-sunnah wa
al-jamaah (sunni) dan golongan non sunni memandang bahwa bukan merupakan hujjah
syari’iyah. Ahl as-sunnah wal-jamaah (sunni) berkeyakinan bahwa ijma’ merupakan
hujjah syariy’ah menurut mereka ijma’. Menurut mereka dalil syara’ yang
berbobot qhat’i.[9]
Kedudukan ijma’ dilandasi oleh sejumlah
ayat Al-qur’an
1. Surah
Al-Baqarah (2):143
وَ كَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَ يَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا وَ مَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَا إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَ إِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللهُ وَ مَا كَانَ اللهُ لِيُضِيْعَ إِيْمَانَكُمْ إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ
“Dan demikianlah, telah
kami jadikan kamu suatu ummat yang ditengah, suapaya kamu menyadi saksi-saksi
atas manusia, dan adalah rasul menjadi saksi (pula) atas kamu. Dan tidaklah
kami jadikan kiblat yang telah ada engkau
atasnya, melainkan supaya kami ketahui siapa yang mengikut Rasul dari siapa
yang berpaling atas dua tumitnya. Dan memanglah berat itu kecuali atas orang
yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan
tidaklah Allah akan menyia-nyiakan iman kamu. Sesungguh Allah terhadap
manusia adalah penyantun lagi penyayang.”
2. Surah
An-Nisa (4):115
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ
لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barang siapa yang
menantang Rasullah SAW sudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan
orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan kami masukkan ia kedalam jahannam, dan jahannam itu
seburuk-buruknya tempat kembali.
3. Surah
Ali Imran (3):143 :
وَلَقَدْ كُنْتُمْ تَمَنَّوْنَ الْمَوْتَ مِنْ قَبْلِ
أَنْ تَلْقَوْهُ فَقَدْ رَأَيْتُمُوهُ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ
“Kamu adalah umat
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan
mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.
3.
Rukun
Dan Syarat Ijma’
Dalam definisi itu dikatakan, bahwa
sepakat semua mujtahid muslim pada suatu masa terhadap hukum syar’i. Dari sini
dapat diambil kesimpulan bahwa Rukun ijma’ itu ada 4 :[10]
1) Adanya sejumlah para mujtahid pada saat terjadi
suatu peristiwa. Karena sesungguhnya kesepakatan tidak mungkin dapat tergambar
kecuali pada sejumlah pendapat, dimana masing-masing pendapat sesuaian dengan
pendapat lainnya.
2) Adanya
kesepakatan seluruh mujtahid dikalangan umat islam terhadap hukum syara’
mengenai suatu kasus atau peristiwa pada waktu terjadinya tanpa memandang
negeri mereka, kebangsaan mereka atau kelompok mereka.
3) Kesepakatan
mereka adalah dengan mengemukakan pendapat dari masing-masing orang dari para
mujtahid itu tentang pendapatnya yang jelas mengenai suatu peristiwa.
4) Kesepakatan
dari seluruh mujtahid atas suatu hukum itu terealisir. Kalau sekiranya
kebanyakan yang sepakat, maka kesepakatan yang terbanyak itu tidak terjadi
ijma’, kendatipun sangat sedikit mujtahid yang menentang.
Disamping keempat rukun
diatas, jumhur ulama ushul fiqh mengemukaakn pula syarat-syarat ijma’, yaitu :[11]
a. Yang
melaukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad.
b. Kesepakatan
itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil ( yang berpendirian kuat
terhadap agamanya ).
c. Para
mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau
perbuatan bid’ah.
Ijma’ sebagai dasar hukum islam
beracuan atas kehujjahan ijma’ adalah sebagai mana dalam Al-qur’an Allah telah
memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mentaati-Nya dan Rasul-Nya, dan
juga taat pada ulil amri, dengan firman_nya :
“ Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan Ulil Amri
diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang kemudian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. An-nisa:59)
Lafal Al-Amr berarti urusan, dan ia
adalah umum, yang meliputi urusan keagamaan dan urusan duniawi. Ulil amri
duniawi antara lain adalah raja, amir, pengusa, sedangkan ulil amri keagamaan
antara lain para mujtahid dan ahli fatwa.
Hukum yang disepakati oleh pendapat
seluruh mujtahid umat islam pada hakikatnya adalah hukum umat islam yang
diwakili oleh para mujtahid.
Ijma’ atas hukum syar’i haruslah
didasarkan atas sandaran yang syar’i, karena sesungguhnya seorang mujtahid islam
mempunyai batasan-batasan yang tidak boleh dilanggarnya. Apabila dalam
ijtihad-nya tidak terdapat Nash, ijtihad-nya tidak boleh melampaui pemahaman
nash dan pengetahuan yang menunjukan atasnya.
Terhadap dua permaslahan ajaran yang
ditegakkan berdasarkan ijma’ yang cukup menonjol adalah pemujaan terhadap para
wali (yang mana hal ini ditentang oleh kalangan wahabi, yang hanya menerima
ijma’ kalangan madinah yang berlangsung pada masa nabi Muhammad ) dan ajaran
tentang ketiksalahan (ishmah) nabi, suatu ajaran yang diperkenalkan pertamakali oleh kalangan syi’ah. Dalam hal
ini prinsip ijma’ bersesuai dengan prinsip vox populi voc dei ( suara rakyat
merupakan suara tuhan ).
4.
Pembagian
Ijma’ Dari Segi Pembentukannya.
Ditinjau dari segi terbentuknya ijma’
dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu : ijma’
sharih/ nuthqi (ijma’ secara jelas/melalui penuturan) dan ijma’ sukuti (diam dan tidak membantah
pendapat yang ada).[12]
Ijma’
Sharih ialah adanya kesepakatan pendapat para
mujtahid, dimana kesepakatan tersebut dinyatakan dalam bentuk pernyataan lisan
atau perbuatan, mengenai hukum dari masalah tertentu. Ijma’ dalam pertama ini
dapat terjadi, dengan cara berkumpulnya seluruh ulama mujtahid dalam suatu
tempat, kemudian masing-masing mereka menyatakan pendapat mengenai suatu
masalah tertentu, dimana pendapat mereka itu ternyata sama. Cara lainnya,
meskipun mereka tidak bertemu dalam suatu majlis, tetapi masing-masing mereka
mengeluarkan fatwa tentang masalah yang sama, dan isi fatwanya juga sama.
Melalui kedua bentuk kesamaan pendapat ini sebenarnya telah terjadi ijma’ sharih. Seperti ijma atas wajibnya
shalat lima waktu dan haramnya zina.
Adapun ijma’ sukuti ialah adanya
sebagian ulama yang menyatakan pendapat mereka mengenai suatu masalah tertentu
dan pada waktu tertentu pula, sementara sebagian ulama lainnya,setelah
mengetahui pendapat ulama tersebut mengambil sikap diam dan tidak menyatakan
penolakan atas pendapat tersebut. Seperti apa yang ditetapkan oleh Abu Bakar
mengenai kewarisan nenek dari harta peninggalan cucunya, nenek mendapatkan
kewarisannya sebanyak seperenam. Apa yang ditetapkan Abu Bakar itu ternyata
tidak disanggah oleh sahabat lain, sehingga ketetapan itu menjadi sebuah ijma’
dalam bentuk ijma’ sukuti dari sahabat.
Para ulama sepakat bahwa bentuk ijma’
yang pertama, yaitu ijma’ sharih sebagai ijma’ dan merupakan hujjah. Tetapi mereka
berbeda pendapat mengenai ijma’ bentuk kedua (ijma’ sukuti). Mazhab asy-syafi’i
Isa bin Aban, dan Malkiyah berpendapat, ijma’ sukuti bukanlah ijma’ dan tidak
dapat menjadi hujjah. Sementara mayoritas ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad bin
Hanbal yang dikutip oleh Abd.Rahman Dahlan berpendapat ijma’ sukuti merupakan ijma’
dan menjadi hujjah.
5.
Ijma’
Ditinjau Dari Segi Macam – Macamnya
Ditinjau dari sudut cara menghasilkan
hukum itu, maka ijma’ dibagi atas beberapa macam yaitu:
a) Ijma’
Khulafaur Rasyidin
Ijma’
yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib.
Tentu saja hal ini hanya dapat pada masa keempat orang itu hidup, yaitu pada
masa Khalifah Abu Bakar.[13]contoh kesepakatan akan kewarisan
nenek dari harta peninggalan cucunya sebanyak seperenam.
b) Ijma’
Ahl al-Madinah (Kesepakatan Masyarakat Madinah)
Pendapat
ini dikemukakan oleh Imam Malik ra. yang dikutip oleh Abd.Rahman Dahlan
menurutnya, ijma’ ahl al-Madinah merupakan hujjah, yaitu ijma’ yang dilakukan
oleh kalangan sahabat atau tabi’in yang berada di Madinah.[14] Apabila kesepakatan yang
dilakukan setelah lewat masa . dua generasi tersebut, maka ia tidak lagi
disebut sebagai ijma’ yang menjadi hujjah.akan tetapi, para ulama Maliki
berbeda pendapat apa yang dimaksud dengan kehujjahan ijma’ ahl al-Madinah.
Dalam hal ini mereka tebagi dua.
1)
Yang dimaksud ialah,
informasi hukum yang disampaikan masyarakat Madinah lebih kuat dan akurat
dibandingkan dengan informasi hukum yang diberikan oleh ulama luar Madinah.
Sebab, mereka paling dekat dengan kehidupan Rasullah SAW, sehingga paling
mengetahui apa yang diajarkan beliau.
2)
Yang dimaksud ialah,
ijma’ mengenai hal-hal yang berkaitan kebiasaan dan adat istiadat yang merata
yang berkaitan dengan hukum tertentu, dimana tingkat keberlakuannya sangat
populer dikalangan masyarakat Madinah. Misalnya, mengenai kalimat-kalimat dan
tatacara adzan dan iqamah, dan tentang jumlah takaran yang disebut dengan
sha’(gantang) dan mudd (pon).
c) Ijma’
al-‘Itrah (Kesepakatan Ahl al-Bayt/keluarga Nabi SAW)
Pendapat
ini dikemukakan oleh golongan Syi’ah al-Imamiyah dan az-Zaidiyah yang dikutip
oleh Abd. Rahman Dahlan. Mereka mengatakan, kesepakatan keluarga Nabi SAW (Ali,
Fatimah, dan kedua anak mereka: Hasan dan Husein) merupakan hujjah.[15] Kelompok Ahlu Sunnah wa
al-jama’ah menolak argumentasi dan pendapat mereka dengan mengatakan, ayat 33
diatas ditujukan kepada para istri Rasulullah SAW secara keseluruhan, bukan
kepada Ali, Fatimah, Hasan, Husein saja. Maksud ayat tersebut menampik dan membebaskan
mereka dari tuduhan berita bohong dan melarang mereka bersikap yang memancing
orang jahat untuk berbuat jahat
وَقَرۡنَ
فِىۡ بُيُوۡتِكُنَّ وَلَا تَبَـرَّجۡنَ تَبَرُّجَ الۡجَاهِلِيَّةِ الۡاُوۡلٰى
وَاَقِمۡنَ الصَّلٰوةَ وَاٰتِيۡنَ الزَّكٰوةَ وَاَطِعۡنَ اللّٰهَ وَرَسُوۡلَهٗ
“Dan
hendaklah kamu tetap dirumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan taatilah Allah dan RasulNya. (QS. Al-Ahzab : 33)
d) Ijma’
Qath’i
Ada
yang menyebut dengan ijma’ bayani atau ijma’ qauli dan ijma’ sharih. Ijma’
qath’i adalah suatu ijma’ dimana segala mujtahid sama mengeluarkan pendapatnya
dengan perkataan atau tulisan, menerangkan persetujuan atas pendapat yang telah
diberikan oleh seorang mujtahid dimasanya.[16]ijma’ yang qath’i
dalalah-nya terhadap hukumnya adalah ijma’ sharih, maksudnya bahwa hukumnya
dipastikan dan tidak ada jalan untuk maksudnya bahwa hukumnya dipastikan dan
tidak ada jalan untuk memutuskan hukum yang berlainan dengannya dalam kasusnya
itu, dan tidak ada peluang untuk ijtihad dalam suatu kasus setelah terjadinya
ijma’ yang sharih atas hukum syara’ mengenai kasus itu. Seperti ijma’ atas
wajibnya shalat lima waktu dan haramnya zina.
PENUTUP
Kesimpulan
Ijma’
ialah kesepakatan para ulama mujtahid muslim dalam satu masa tertentu, setelah
wafatnya Rasulullah SAW. Yang berkaitan dengan hukum syara’. Kedudukan ijma’
sebagai hujjah syariy’ah dimana kedudukan ijma’ tersebut dilandasi oleh
sejumlah ayat Al-Qur’an yaitu QS.Al-Baqarah:143, surah An-nisa:115, surah Ali
Imran:143. Rukun ijma’ diantaranya yaitu adanya para mujtahid, adanya
kesepakatan para mujtahid terhadap suatu hukum, para mujtahid mengemukakan
pendapat nya mengenai kesepakatan suatu kasus, dan kesepakatan tersebut
terealisir. Adapun syarat ijma’ yaitu yang melakukan ijma’ harus memenuhi
persyaratan ijtihad, adanya kesepakatan yang adil, dan para mujtahid harus
menghindarkan diri dari ucapan dan perbuatan bid’ah. Ijma’ dari segi
pembentukannya terbagi dua yaitu ijma’ sharih dan ijma’ sukuti. Sementara itu
ijma’ dari segi pembentukannya diantaranya yaitu ijma’ khulafaur rasyidin,
ijma’ itrah, ijma’ ahl al-madinah, dan ijma’ Qath’i dimana ijma’ qath’i ini
disebut juga dengan ijma’ bayani,qauli,dan ijma’ sharih
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi.Perbandingan Ushul Fiqh.Jakarta:Amzah.2011
Dahlan,”Abd Rahman.Ushul
Fiqh.Jakarta:Amzah.2011
Haroen,Nasrun.Ushul
Fiqh 1.Jakarta:PT Logos Wacana Ilmu.2001
Khallaf,Abdul Wahab.Ilmu
Ushul Fikh.Jakarta:PT Rineka Cipta.1995
Sudarsono.Pokok-Pokok
Hukum Islam.Jakarta:PT Rineka Cipta.1992
Syarifuddin,
Amir.Ushul Fiqh (Jilid 1).Jakarta:Kencana.2008
Totok Jumantoro,Samsul Munir Amin.Kamus Ushul Fikih.Jakarta:Amzah.2005
[1] Nasrun Harun.Ushul Fiqh 1.Cet
III.Jakarta:PT Logos Wacana Ilmu.2001.Hlm51
[2] Abd.Rahman Dahlan.Ushul Fiqh.cet
2.Jakarta:Amzah.2011.Hlm 146
[3] Amir Syarifuddin.Usul Fiqh.cet.3.Jakarta:Kencana.2008.Hlm12
[4]Sudarsono.Pokok-Pokok Hukum
Islam.Cet,I.Jakarta:PT Rineka Cipta.1992.Hlm.18
[5]Asmawi.Perbandingan Ushul Fiqh.Cet.1.Jakarta:Amzah.2011.Hlm
81
[6] Abdul Wahab Khallaf.Ilmu Ushul
Fiqh.Cet. 3.Jakarta:PT Rineka Cipta.1995.Hlm 49
[7]Amir Syarifuddin.Op.cit
[8]Ibid.Hlm.124
[9]Asmawi.Op.cit.Hlm 46
[10]Abdul Wahab Khallaf.Op.cit.Hlm 49
[11]Nasrun Haroen.Op.cit.Hlm.53
[12]Abd Rahman Dahlan.Op.Cit.Hlm151
[13] Totok Jumantoro,Samsul Munir Amin.Kamus
Ilmu Ushul Fiqh.Cet.1.Jakarta:Amzah.2005.Hlm 106
[14]Abd .Rahman Dahlan.Op.Cit.Hlm 151
[15]Ibid.Hlm155
[16]Totok Jumantoro,Samsul Munir Amin.Op.cit.Hlm106