Selasa, 06 Januari 2015

MAKALAH USHUL FIKIH IJMA'

0 komentar


MAKALAH
USHUL FIQH
TEMA : IJMA’
DOSEN PENGAMPU :


DISUSUN OLEH :


FAKULTAS SYARIAH JURUSAN EKONOMI SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SULTAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
2014-2015

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Ijma’ adalah salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkat kekuatan Argumentasi dibawah dalil-dalil Nas (Al-quran dan Hadis) ia merupakan dalil pertama setelah Al-qur’an dan Hadis  yang dapat dijadikan pedoman dalam menggali hukum-hukum syara’.
Ijma’ muncul setelah Rasulullah SAW, wafat para sahabat melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah yang mereka hadapi.
Khalaifah Umar Bin Khattab ra. Misalnya selalu mengumpulkan para sahabat  untuk berdiskusi dan bertukar fikiran dalam menetapkan hukum jika mereka telah sepakat pada satu hukum, maka ia menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum yang telah disepakati.
Terkait dengan ijma’ ini masih banyak komonitas diantaranya, sebagian mahasiswa yang masih minim  dalam memahami ijma’ itu sendiri maka dari itu kami penulis akan membahas tentang ijma’ dan dirumuskan dalam rumusan masalah dibawah.



PEMBAHASAN

1.        Pengertian Ijma’
Secara  etimologi, ijma’ berarti “ kesepakatan “ atau konsensus.pengertian etimologi kedua dari ijma’ adalah ketetapan hati untuk melakukan sesuatu.[1]
Perbedaan antara pengertian pertama dengan pengertian kedua terletak pada kuantitas (jumlah) orang yang berketetapan hati. Pengertian pertama mencakup satu tekad saja, sedangkan untuk pengertian kedua memerlukan tekad kelompok.
Adapun ijma’ dalam pengertian terminologi ialah kesepakatan semua ulama mujtahid muslim dalam satu masa tertentu, setelah wafatnya Rasulullah SAW, yang berkaitan dengan hukum syara’.[2]
Ada beberapa rumusan ijma’ yang dikemukakan oleh para tokoh-tokoh fiqih, diantaranya sebagai berikut :
a.       Al-Amadi, sebagaimana dikutip Amir syarifuddin  merumuskan ijma’  adalah kesepakatan sejumlah Ahlul Halli wal’Aqd ( para ahli yang berkompeten mengurusi umat ) dari umat Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus.[3]

b.      Maulana Muhammad Ali yang dikutip oleh sudarsono kata ijma’ berasal dari kata jam’ , artinya menghimpun mengumpulkan. Ijma’ mempunyai dua makna, yaitu, menyusun dan mengatur suatu hal yang tak teratur, oleh sebab itu berarti menetapkan dan memutuskan suatu perkara, dan berarti pula istilah ulama fiqih (fuqaha’). Ijma’ berati kesepakatan pendapat diantara para mujtahid, atau persetujuan pendapat diantara ulama fiqih dari abad tertentu mengenai masalah hukum.[4]

c.       muhammad bin Hamzah al-Girani yang dikutip oleh Asmawi mengungkapkan definisi ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid ulama dari kalangan umat Muhammad pada suatu masa pada suatu hukum syara’.[5]

d.      Jumhur ulama ushul fiqh, sebagaimana dikutip Abdul Wahab Khallaf merumuskan ijma’ dengan kesepakatan para mujtahid muslim memutuskan suatu masalah sesudah wafat Rasulullah terhadap hukum syar’i, pada suatu peristiwa. [6]

e.       Al-Ghazali yang dikutip oleh Amir Syarifuddin merumuskan ijma’ dengan kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama.[7]

f.       Al- Nazham yang dikutip oleh Amir Syarifuddin mengemukakan rumusan lain tentang ijma’ yaitu setiap perkataan yang hujjahnya tidak dapat dibantah.[8]

Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa ijma mengandung beberapa unsur sebagai berikut.
a.       Adanya kesepakatan seluruh mujtahid dari kalangan umat islam (ulama)
b.      Suatu kesepakatan yang dinyatakan haruslah dinyatakan secara jelas.
c.       Yang melakukan kesepakatan tersebut adalah mujtahid.
d.      Kesepakatan tersebut terjadi setelah wafatnya Rasullah SAW.
e.       Yang disepakati itu adalah hukum syara’ mengenai suatu masalah atau peristiwa hukum tertentu.

2.        Kedudukan Ijma’
Sehubungan dengan kedudukan ijma’ , umat islam di bedakan menjadi dua golongan, yakni golongan ahl as-sunnah wa al-jamaah (sunni) dan golongan non sunni memandang bahwa bukan merupakan hujjah syari’iyah. Ahl as-sunnah wal-jamaah (sunni) berkeyakinan bahwa ijma’ merupakan hujjah syariy’ah menurut mereka ijma’. Menurut mereka dalil syara’ yang berbobot qhat’i.[9]
Kedudukan ijma’ dilandasi oleh sejumlah ayat Al-qur’an
1.      Surah Al-Baqarah (2):143
وَ كَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَ يَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا وَ مَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَا إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَ إِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللهُ وَ مَا كَانَ اللهُ لِيُضِيْعَ إِيْمَانَكُمْ إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ
“Dan demikianlah, telah kami jadikan kamu suatu ummat yang ditengah, suapaya kamu menyadi saksi-saksi atas manusia, dan adalah rasul menjadi saksi (pula) atas kamu. Dan tidaklah kami jadikan kiblat  yang telah ada engkau atasnya, melainkan supaya kami ketahui siapa yang mengikut Rasul dari siapa yang berpaling atas dua tumitnya. Dan memanglah berat itu kecuali atas orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan  tidaklah Allah akan menyia-nyiakan iman kamu. Sesungguh Allah terhadap manusia adalah penyantun lagi penyayang.”

2.      Surah An-Nisa (4):115

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barang siapa yang menantang Rasullah SAW sudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia kedalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali.
3.      Surah Ali Imran (3):143 :
وَلَقَدْ كُنْتُمْ تَمَنَّوْنَ الْمَوْتَ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَلْقَوْهُ فَقَدْ   رَأَيْتُمُوهُ  وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.

3.        Rukun Dan Syarat Ijma’
Dalam definisi itu dikatakan, bahwa sepakat semua mujtahid muslim pada suatu masa terhadap hukum syar’i. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa Rukun ijma’ itu ada 4 :[10]
1)      Adanya  sejumlah para mujtahid pada saat terjadi suatu peristiwa. Karena sesungguhnya kesepakatan tidak mungkin dapat tergambar kecuali pada sejumlah pendapat, dimana masing-masing pendapat sesuaian dengan pendapat lainnya.
2)      Adanya kesepakatan seluruh mujtahid dikalangan umat islam terhadap hukum syara’ mengenai suatu kasus atau peristiwa pada waktu terjadinya tanpa memandang negeri mereka, kebangsaan mereka atau kelompok mereka.

3)      Kesepakatan mereka adalah dengan mengemukakan pendapat dari masing-masing orang dari para mujtahid itu tentang pendapatnya yang jelas mengenai suatu peristiwa.

4)      Kesepakatan dari seluruh mujtahid atas suatu hukum itu terealisir. Kalau sekiranya kebanyakan yang sepakat, maka kesepakatan yang terbanyak itu tidak terjadi ijma’, kendatipun sangat sedikit mujtahid yang menentang.
Disamping keempat rukun diatas, jumhur ulama ushul fiqh mengemukaakn pula syarat-syarat ijma’, yaitu :[11]
a.       Yang melaukan ijma’ tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad.
b.      Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil ( yang berpendirian kuat terhadap agamanya ).
c.       Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid’ah.

Ijma’ sebagai dasar hukum islam beracuan atas kehujjahan ijma’ adalah sebagai mana dalam Al-qur’an Allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mentaati-Nya dan Rasul-Nya, dan juga taat pada ulil amri, dengan firman_nya :


“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang kemudian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. An-nisa:59)

Lafal Al-Amr berarti urusan, dan ia adalah umum, yang meliputi urusan keagamaan dan urusan duniawi. Ulil amri duniawi antara lain adalah raja, amir, pengusa, sedangkan ulil amri keagamaan antara lain para mujtahid dan ahli fatwa.
Hukum yang disepakati oleh pendapat seluruh mujtahid umat islam pada hakikatnya adalah hukum umat islam yang diwakili oleh para mujtahid.
Ijma’ atas hukum syar’i haruslah didasarkan atas sandaran yang syar’i, karena sesungguhnya seorang mujtahid islam mempunyai batasan-batasan yang tidak boleh dilanggarnya. Apabila dalam ijtihad-nya tidak terdapat Nash, ijtihad-nya tidak boleh melampaui pemahaman nash dan pengetahuan yang menunjukan atasnya.
Terhadap dua permaslahan ajaran yang ditegakkan berdasarkan ijma’ yang cukup menonjol adalah pemujaan terhadap para wali (yang mana hal ini ditentang oleh kalangan wahabi, yang hanya menerima ijma’ kalangan madinah yang berlangsung pada masa nabi Muhammad ) dan ajaran tentang ketiksalahan (ishmah) nabi, suatu ajaran yang diperkenalkan  pertamakali oleh kalangan syi’ah. Dalam hal ini prinsip ijma’ bersesuai dengan prinsip vox populi voc dei ( suara rakyat merupakan suara tuhan ).

4.        Pembagian Ijma’ Dari Segi Pembentukannya.
Ditinjau dari segi terbentuknya ijma’ dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu : ijma’ sharih/ nuthqi (ijma’ secara jelas/melalui penuturan) dan ijma’ sukuti (diam dan tidak membantah pendapat yang ada).[12]
Ijma’ Sharih ialah adanya kesepakatan pendapat para mujtahid, dimana kesepakatan tersebut dinyatakan dalam bentuk pernyataan lisan atau perbuatan, mengenai hukum dari masalah tertentu. Ijma’ dalam pertama ini dapat terjadi, dengan cara berkumpulnya seluruh ulama mujtahid dalam suatu tempat, kemudian masing-masing mereka menyatakan pendapat mengenai suatu masalah tertentu, dimana pendapat mereka itu ternyata sama. Cara lainnya, meskipun mereka tidak bertemu dalam suatu majlis, tetapi masing-masing mereka mengeluarkan fatwa tentang masalah yang sama, dan isi fatwanya juga sama. Melalui kedua bentuk kesamaan pendapat ini sebenarnya telah terjadi ijma’ sharih. Seperti ijma atas wajibnya shalat lima waktu dan haramnya zina.
Adapun ijma’ sukuti  ialah adanya sebagian ulama yang menyatakan pendapat mereka mengenai suatu masalah tertentu dan pada waktu tertentu pula, sementara sebagian ulama lainnya,setelah mengetahui pendapat ulama tersebut mengambil sikap diam dan tidak menyatakan penolakan atas pendapat tersebut. Seperti apa yang ditetapkan oleh Abu Bakar mengenai kewarisan nenek dari harta peninggalan cucunya, nenek mendapatkan kewarisannya sebanyak seperenam. Apa yang ditetapkan Abu Bakar itu ternyata tidak disanggah oleh sahabat lain, sehingga ketetapan itu menjadi sebuah ijma’ dalam bentuk ijma’ sukuti dari sahabat.
Para ulama sepakat bahwa bentuk ijma’ yang pertama, yaitu ijma’ sharih sebagai ijma’ dan merupakan hujjah. Tetapi mereka berbeda pendapat mengenai ijma’ bentuk kedua (ijma’ sukuti). Mazhab asy-syafi’i Isa bin Aban, dan Malkiyah berpendapat, ijma’ sukuti bukanlah ijma’ dan tidak dapat menjadi hujjah. Sementara mayoritas ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad bin Hanbal yang dikutip oleh Abd.Rahman Dahlan berpendapat ijma’ sukuti merupakan ijma’ dan menjadi hujjah.

5.        Ijma’ Ditinjau Dari Segi Macam – Macamnya
Ditinjau dari sudut cara menghasilkan hukum itu, maka ijma’ dibagi atas beberapa macam yaitu:
a)      Ijma’ Khulafaur Rasyidin
Ijma’ yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat pada masa keempat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar.[13]contoh kesepakatan akan kewarisan nenek dari harta peninggalan cucunya sebanyak seperenam.

b)      Ijma’ Ahl al-Madinah (Kesepakatan Masyarakat Madinah)
Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik ra. yang dikutip oleh Abd.Rahman Dahlan menurutnya, ijma’ ahl al-Madinah merupakan hujjah, yaitu ijma’ yang dilakukan oleh kalangan sahabat atau tabi’in yang berada di Madinah.[14] Apabila kesepakatan yang dilakukan setelah lewat masa . dua generasi tersebut, maka ia tidak lagi disebut sebagai ijma’ yang menjadi hujjah.akan tetapi, para ulama Maliki berbeda pendapat apa yang dimaksud dengan kehujjahan ijma’ ahl al-Madinah. Dalam hal ini mereka tebagi dua.
1)        Yang dimaksud ialah, informasi hukum yang disampaikan masyarakat Madinah lebih kuat dan akurat dibandingkan dengan informasi hukum yang diberikan oleh ulama luar Madinah. Sebab, mereka paling dekat dengan kehidupan Rasullah SAW, sehingga paling mengetahui apa yang diajarkan beliau.
2)        Yang dimaksud ialah, ijma’ mengenai hal-hal yang berkaitan kebiasaan dan adat istiadat yang merata yang berkaitan dengan hukum tertentu, dimana tingkat keberlakuannya sangat populer dikalangan masyarakat Madinah. Misalnya, mengenai kalimat-kalimat dan tatacara adzan dan iqamah, dan tentang jumlah takaran yang disebut dengan sha’(gantang) dan mudd (pon).

c)      Ijma’ al-‘Itrah (Kesepakatan Ahl al-Bayt/keluarga Nabi SAW)
Pendapat ini dikemukakan oleh golongan Syi’ah al-Imamiyah dan az-Zaidiyah yang dikutip oleh Abd. Rahman Dahlan. Mereka mengatakan, kesepakatan keluarga Nabi SAW (Ali, Fatimah, dan kedua anak mereka: Hasan dan Husein) merupakan hujjah.[15] Kelompok Ahlu Sunnah wa al-jama’ah menolak argumentasi dan pendapat mereka dengan mengatakan, ayat 33 diatas ditujukan kepada para istri Rasulullah SAW secara keseluruhan, bukan kepada Ali, Fatimah, Hasan, Husein saja. Maksud ayat tersebut menampik dan membebaskan mereka dari tuduhan berita bohong dan melarang mereka bersikap yang memancing orang jahat untuk berbuat jahat
وَقَرۡنَ فِىۡ بُيُوۡتِكُنَّ وَلَا تَبَـرَّجۡنَ تَبَرُّجَ الۡجَاهِلِيَّةِ الۡاُوۡلٰى وَاَقِمۡنَ الصَّلٰوةَ وَاٰتِيۡنَ الزَّكٰوةَ وَاَطِعۡنَ اللّٰهَ وَرَسُوۡلَهٗ

“Dan hendaklah kamu tetap dirumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan RasulNya. (QS. Al-Ahzab : 33)

d)     Ijma’ Qath’i
Ada yang menyebut dengan ijma’ bayani atau ijma’ qauli dan ijma’ sharih. Ijma’ qath’i adalah suatu ijma’ dimana segala mujtahid sama mengeluarkan pendapatnya dengan perkataan atau tulisan, menerangkan persetujuan atas pendapat yang telah diberikan oleh seorang mujtahid dimasanya.[16]ijma’ yang qath’i dalalah-nya terhadap hukumnya adalah ijma’ sharih, maksudnya bahwa hukumnya dipastikan dan tidak ada jalan untuk maksudnya bahwa hukumnya dipastikan dan tidak ada jalan untuk memutuskan hukum yang berlainan dengannya dalam kasusnya itu, dan tidak ada peluang untuk ijtihad dalam suatu kasus setelah terjadinya ijma’ yang sharih atas hukum syara’ mengenai kasus itu. Seperti ijma’ atas wajibnya shalat lima waktu dan haramnya zina.





PENUTUP

Kesimpulan
                               Ijma’ ialah kesepakatan para ulama mujtahid muslim dalam satu masa tertentu, setelah wafatnya Rasulullah SAW. Yang berkaitan dengan hukum syara’. Kedudukan ijma’ sebagai hujjah syariy’ah dimana kedudukan ijma’ tersebut dilandasi oleh sejumlah ayat Al-Qur’an yaitu QS.Al-Baqarah:143, surah An-nisa:115, surah Ali Imran:143. Rukun ijma’ diantaranya yaitu adanya para mujtahid, adanya kesepakatan para mujtahid terhadap suatu hukum, para mujtahid mengemukakan pendapat nya mengenai kesepakatan suatu kasus, dan kesepakatan tersebut terealisir. Adapun syarat ijma’ yaitu yang melakukan ijma’ harus memenuhi persyaratan ijtihad, adanya kesepakatan yang adil, dan para mujtahid harus menghindarkan diri dari ucapan dan perbuatan bid’ah. Ijma’ dari segi pembentukannya terbagi dua yaitu ijma’ sharih dan ijma’ sukuti. Sementara itu ijma’ dari segi pembentukannya diantaranya yaitu ijma’ khulafaur rasyidin, ijma’ itrah, ijma’ ahl al-madinah, dan ijma’ Qath’i dimana ijma’ qath’i ini disebut juga dengan ijma’ bayani,qauli,dan ijma’ sharih





DAFTAR PUSTAKA

          Asmawi.Perbandingan Ushul Fiqh.Jakarta:Amzah.2011
          Dahlan,”Abd Rahman.Ushul Fiqh.Jakarta:Amzah.2011
          Haroen,Nasrun.Ushul Fiqh 1.Jakarta:PT Logos Wacana Ilmu.2001
          Khallaf,Abdul Wahab.Ilmu Ushul Fikh.Jakarta:PT Rineka Cipta.1995
          Sudarsono.Pokok-Pokok Hukum Islam.Jakarta:PT Rineka Cipta.1992
          Syarifuddin, Amir.Ushul Fiqh (Jilid 1).Jakarta:Kencana.2008
          Totok Jumantoro,Samsul Munir Amin.Kamus Ushul Fikih.Jakarta:Amzah.2005

                  




[1] Nasrun Harun.Ushul Fiqh 1.Cet III.Jakarta:PT Logos Wacana Ilmu.2001.Hlm51

[2] Abd.Rahman Dahlan.Ushul Fiqh.cet 2.Jakarta:Amzah.2011.Hlm 146
[3] Amir Syarifuddin.Usul Fiqh.cet.3.Jakarta:Kencana.2008.Hlm12
[4]Sudarsono.Pokok-Pokok Hukum Islam.Cet,I.Jakarta:PT Rineka Cipta.1992.Hlm.18
[5]Asmawi.Perbandingan Ushul Fiqh.Cet.1.Jakarta:Amzah.2011.Hlm 81
[6] Abdul Wahab Khallaf.Ilmu Ushul Fiqh.Cet. 3.Jakarta:PT Rineka Cipta.1995.Hlm 49
[7]Amir Syarifuddin.Op.cit
[8]Ibid.Hlm.124
[9]Asmawi.Op.cit.Hlm 46
[10]Abdul Wahab Khallaf.Op.cit.Hlm 49
[11]Nasrun Haroen.Op.cit.Hlm.53
[12]Abd Rahman Dahlan.Op.Cit.Hlm151
[13] Totok Jumantoro,Samsul Munir Amin.Kamus Ilmu Ushul Fiqh.Cet.1.Jakarta:Amzah.2005.Hlm 106
[14]Abd .Rahman Dahlan.Op.Cit.Hlm 151
[15]Ibid.Hlm155
[16]Totok Jumantoro,Samsul Munir Amin.Op.cit.Hlm106
 

Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com