Sabtu, 21 September 2013

HUKUM KOMUNIKASI KEHUMASAN

0 komentar
HUKUM KOMUNIKASI KEHUMASAN
Seperti dijelasnkan sebelumnya, Kode Etik Profesi Kehumasan yang berkaitan dengan normatif etik pada prinsipnya mengandung ketentuan bersifat mengikat, yaitu:
a.      Kewajiban pada dirinya sendiri, menjaga kehormatan diri, disiplin dan etos kerja serta bertanggung jawab;
b.      Kewajiban-kewajiban kepada media massa atau publiknya untuk tidak merusak kepercayaan saluran informasi umum demi kepentingan publik;
c.      Kewajiban terhadap klien yang dilayani dan atasannya, menjaga kepercayaan dan kerahasiaan;
d.      Ketentuan perilaku terhadap rekan seprofesi, bekerja sama dalam menegakkan Kode Etik dan Etika Profesi Humas/PR.
Oleh karena itu, Kode Etik Profesi Kehumasan tersebut merupakan “self imposed regulation” dan normatif Etik menjalankan fungsinya yang memilki kekuatan (power) untuk mempengaruhi atau kemampuan merekayasa  (social engineering) opini publik secara simultan (simultaneity effect) melalui kerja sama dengan pihak media massa seperti yang dikehendakinya, apakah untuk tujuan baik atau sebaliknya untuk kepntingan sepihak yang tidak dapat dipertanggung jawaban. Dalam hal ini, agar tujuan Humas/PR melakukan kampanye, promosi, dan publikasi tersebut menguntungkan (benefit) semua pihak, maka diperlukan suatu “aturan main” sebagai rambu-rambu atau pedomannya baik Kode Etik, etika Profesi, maupun aspek-aspek hukum yang berkaitan dengan Kehumasan yang profesional dan dapat dipertanggaung jawaban.
Menurut “Scott M. Cultip and Allen H. Center (1982 : 282-283), aspek-aspek hokum komunikasi dalam kegiatan PR/Humas terkait erat dengan masalah fitnah (libel) dalam bentuk pernyataan lisan dan tertulis atau tercetak sebagai pelanggaran hak-hak kehormatan dan martabat pribadi sehingga individual, kelompok, serta nama baik dan citra perusahaan untuk keperluan pembuatan Press Release, News Letters, Corporate Publiction, Company Profile, Annual Report, Internal Magazine, dan PR Statement.
Aspek-aspek hukum komunikasi dalam kegiatan kehumasan, baik dilihat dari hukum Internasional seperti; “Anglo Saxon System”maupun Eropa Kontinental terkait dengan dua implikasi hukum penghinaan (Defamation) sebagai berikut :
§       The Law of Libel, yaitu pelanggaran penghinaan atau pelecehan yang bersifat tertulis/tercetak (written defamation). Artinya, penghinaan bernbentuk “slip of pens” melakukan fitnah atau kebohongan dengan menggunakan media cetak, gambar dan bentuk tulisan (drukpers misdrijven) yang disebarluaskan publik.
§       The Law of slander, yaitu pelanggaran penghinaan atau pelecehan yang bersifat lisan, ucapan, atau pernyataan (defamatory statements). Pelanggaran ini merupakan “slip of tongue” yang terjadi secara lisan atau ucapan yang melecehkan, menghina, mengumpat, atau mencaci maki orang lain di muka umum (Ruslan, 1955 : 111).
Hal tersebut dapat terjadi misalnya seseorang atau pejabat PR/Humas (PR Officer) kadang-kadang tidak senagaj melemparkan suatu “joke” atau ingin bersenda gurau di hadapan khalayaknya agar suasana menjadi akrab dan tidak kaku. Akan tetapi, tanpa disadari “lelucon” tersebut tidak lagi lucu bahkan cencderung melecehkan seseorang. Misalnya; tentang cacat tubuhnya, etnik atau suku, bahkan menyinggung nilai kesucian suatu agama yang dijadikan objek leluconnya sehingga ada pihak lain tidak menerimanya. Persoalan sepele dapat menjadi “lelucon bermasalah” yang dapat dikategorikan untur penghinaan (delik pidana).
Pelanggaran delik pidana dalam kegiatan komunikasi Humas/PR tersebut lebih delik pengaduan (klacht delict) daripada delik biasa. Artinya, kalau terjadi pelanggaran harus ada yang merasa dirugikan atau dilecehkan nama baik dan kehormatan pribadinya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) , kejahatan terhadap kehormatan diatur dalam Titel XVI, Pasal 310 sampai dengan Pasal 321. Maksud kejahatan di sini menurut istilah hukum AS adalah “defamation dan belediging” (hukum Belanda) yang artinya penghinaan terhadap kehormatan (misdrijven tegen de eer) atas seseorang atau suatu lembaga.
Lalu orang barunya, apa itu kehormatan? Prof. Satochid Kartanegara, SH, dalam bahan Kuliah Hukum Pidana menafsirkan bahwa kehormatan adalah sesuatu yang disandarkan atas harga diri atau martabat manusia yang bersandar pada tata susila karena kehormatan merupakan nilai susila manusia.
Penghinaan itu dapat terjadi terhadap orang yang telah meninggal dunia, seprti; seorang artis sinetron, film, atau bintang iklan. Apabila ”tokohnya” telah meninggal dunia, penayangan iklannya di berbagai media cetak dan TV atau radio harus segera dihentikan walaupun kontrak penayangan masih berlangsung. Sedangkan film atau sinetronnya boleh ditayangkan. Karena penayangan iklan tersebut mengandung unsur ”eksploitasi komersial” dan menjadi kurang etis terhadap produk yang diiklankannya, maka kalau tidak dihentikan akan terjadi pelanggaran kehormatan nama baik atasbidang atau tokoh yang telah meninggal dunia tersebut.
Menurut Sistem KUH Pidana, terdapat empat klasifikasi jenis kejahatan yang ditujukan terhadap kehormatan dalam bentuk murni, yaitu:
§       Menghina secara lisan (smaad);
§       Menghina secara tertulis (smaad schrift);
§       Menfitnah (laster);
§       Mengina secara ringan (eenvoudige belediging).
Jadi, ditinjau dari Pasal 310 KUH Pidana tersebut, maka dapat dirumuskan antara lain; menista (smaad) atau menghina secara lisan (slander), dan menista (smaadschrift) atau menghina orang dengan surat, berita atau barang cetakan (libel).
Perbuatan yang dilarang pada dasarnya adalah “perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melanggar kehormatan atau menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”(Satochid; 599). Kata “sengaja” artinya mengeluarkan kata-kata dengansengaja untuk pelanggaran terhadap sutu kehormatan dan nama baik seseorang atau suatu lembaga. Sedangkan “nama baik” (goede naam) berarti kehormatan yang diberikan kepada seseorang oleh masyarakat berhubungan dengan kedudukannya di dalam masyarakat. Dengan perkataan lain, yang bersangkutan adalah orang yang terpandang di mata masyarakat karena jabatan, status dan ketokohan yang dimilikinya.
Setelah diterangkan di atas tentang pelanggaran atas kehormatan dan nama baik seseorang, maka perumusan delik Pasal 319, KUHP memiliki unsur-unsur  sebagai berikut :
§       Terdapat perbuatan dengan sengaja (opzet);
§       Menyerang atau melanggar kehormatan nama baik orang lain;
§       Menuduh melakukan suatu perbuatan tertentu dan sepihak;
§       Mempunyai maksud diketahui oleh umum (publik).

Penghinaan secara tertulis atau tercetak dalam bentuk gambar yang disebarluaskan kepada umum dapat melalui cara :
§       Menyebar atau menyiarkan dalam jumlah besar;
§       Menunjukkan (ten toon stellen) tidak dalam jumlah besar;
§       Menempelkan di berbagai tempat keramaian.











Lampiran 1
KODE ETIK PERHUMASAN INDONESIA
(Disahkan dalam Konvensi nasional Humas 1993, di Bandung)

Dijiwai oleh Pancasila maupun Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan tata kehidupan nasional. Diilhami oleh Piagam perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai landasan tata kehidupan Internasional. Dilandasi oleh Deklarasi ASEAN (8 Agustus 1967) sebagai pemersatu bangsa-bangsa Asia Tenggara. Dan dipedomani oleh cita-cita, keinginan, dan tekad untuk mengamalkan sikap dan perilaku kehumasan secara profesional.
Kami para anggota Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (PERHUMAS) sepakat untuk mematuhi Kode Etik Kehumasan Indonesia, dan bila terdapat bukti-bukti bahwa di antara kami dalam menjalankan profesi kehumasan ternyata ada yang melanggarnya, maka hal itu sudah tentu mengakibatkan diberlakukannya tindak organisasi terhadap pelanggarnya.





Pasal I
Komitmen Pribadi
Anggota PERHUMAS harus :
b.            Memiliki dan menerapkan standar moral serta reputasi setinggi mungkin dalam menjalankan profesi kehumasan.
c.            Berperan secara nyata dan sungguh-sungguh dalam upaya memasyarakatkan kepentingan Indonesia.
d.            Menumbuhkan dan mengembangkan hubungan antara warga Negara Indonesia yang serasi dan selaras demi terwujudnya persatuan bangsa.

Pasal II
Perilaku Terhadap Klien atau atasan
a.          Berlaku jujur dalam hubungan dengan klien atau atasan.
b.          Tidak mewakili dua atau beberapa kepentingan yang berbeda atau yang bersaingan tanpa persetujuan semua pihak yang terkait.
c.          Menjamin rahasia serta kepercayaan yang diberikan oleh klien atau atasan, maupun yang pernah diberikan oleh mantan klien atau mantan atasan.
d.          Tidak melakukan tindak atau mengeluarkan ucapan yang cenderung merendahkan martabat, klien atau atasan, maupun mantan klien atau mantan atasan.
e.          Dalam memeberikan jasa-jasa kepada klien atau atasan, tidak akan menerima pembayaran, komisi, atau imbalan dari pihak mana pun selain dari klien atau atasannya yang telah memperoleh penjelasan lengkap.
f.            Tidak akan menyarankan kepada calon klien atau calon atasan bahwa pembayaran atau imbalan jasa-jasanya harus didasarkan kepada hasil-hasil tertentu, atau tidak menyetujui perjanjian apa pun yang mengarah kepada hal serupa.

Pasal III
Perilaku Terhadap Masyarakat dan Media Massa
Anggota PERHUMAS harus :
c.            Menjalankan kegiatan profesi kehumasan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat serta harga diri anggota masyarakat.
d.            Tidak melibatkan diri dalam tindak untuk memanipulasi integritas sarana maupun jalur komunikasi massa.
e.            Tidak menyebarluaakan informasi yang tidak benar atau yang menyesatkan sehingga dapat menodai profesi kehumasan.
f.              Senantiasa membantu menyebarluaskan informasi maupun pengumpulan pendapat untuk kepentingan Indonesia.

Pasal IV
Perilaku Terhadap Sejawat
Praktisi Kehumasan Indonesia harus
a.        Tidak dengan  sengaja dan mencemarkan reputasi atau tindakan profesional sejawatnya. Namun, bila ada sejawat yang bersalah karena melakukan tindakan yang tidak etis, yang melanggar hukum, atau yang tidak jujur, termasuk melanggar Kode Etik Kehumasan Indonesia, maka bukti-bukti wajib disampaikan kepada Dewan Kehormatan PERHUMAS.
b.        Tidak menawarkan diri   atau mendesak klien atau atasan untuk menggantikan kedudukan sejawatnya.
c.        Membantu dan bekerja sama dengan sejawat di seluruh Indonesia untuk menjunjung tinggi dan mematuhi Kode Etik Kehumasan Indonesia ini.

Lampiran 2.
ASOSIASI PERUSAHAAN PUBLIC RELATIONS INDONESIA (APPRI)
Keterangan Singkat Tentang Organisasi APPRI
Asosiasi Perusahaan Public Relations (APPRI) yang dibentuk pada 10 April 1987, di Jakarta dan merupakan sebuah organisasi yang berbentuk asosiasi dari perusahaan-perusahaan Public Relations Nasional yang independen.
Misi utama APPRI adalah ingin mendarma-baktikan kemampuannya pada bangsa dan negara, khususnya dalam profesionalisme di bidang Public Relations.
Ke luar, ingin menanamkan makna kegiatan Public relations dalam arti bagaimana memberikan kemampuan dalam pengelolaan program komunikasi yang berkaitan dengan penciptaan,pengembangan dan pembinaan citra.
Ke dalam, melakukan koordinasi, peningkatan profesi, dan menjaga dinamika usaha melalui kerja sama dan persaingan yang sehat.

TUJUAN APPRI
Untuk menjelaskan misi utamanya, APPRI mempunyai beberapa tujuan yaitu sebagai berikut :
1.              Menghimpun,membina dan mengarahkan potensi perusahaan Public Relations nasional agar secara aktif, positif dan kreatif turut serta dalam usaha mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
2.           Mewujudkan fungsi Public Relations yang sehat, jujur, dan bertanggung jawab sesuai dengan kode praktik dan kode etik yang lazim berlaku secara nasional dan internasional.
3.           Mengembangkan dan memajukan kepentingan asosiasi dengan memberikan kesempatan kepada para anggota untuk konsultasi dan kerja sama serta memberikan siaran bagi pemerintah, badan-badan kemasyarakatan, asosiasi yang mewakili Dunia industri dan perdagangan, serta badan-badan lain untuk konsultasi dengan APPRI sebagai suatu lembaga.
4.            Memberi informasi kepada klien, bahwa anggota APPRI mematuhi syarat untuk memberikan nasihat dalam Public Relations dan akan  bertindak untuk klien menurut kemampuan profesionalnya.
5.           Merupakan sarana untuk para anggotanya dalam soal-soal kepentingan usaha dan profesi dan menjadi forum koordinasi praktik Public Relations.
6.           Merupakan medium bagi masyarakat umum untuk mengetahui mengenai pengalaman dan kualifikasi para anggotanya.
7.            Membantu mengembangkan kepercayaan umum atas jasa Public Relations.

KEANGGOTAAN
Sebagai bentuk asosiasi perusahaan, keanggotaan APPRI adalah perusahaan-perusahaan Public Relations yang didirikan berdasarkan Hukum Negara republik Indonesia dan sepenuhnya dimiliki oleh warga negara indonesia yang mempunyai kualifikasi sebagai Public Relations profesional.

KEGIATAN
Di dalam melaksanakan tujuannya, APPRI menyelenggarakan kegiatan-kegiatan, baik yang bersifat ke dalam organisasi maupun ke masyarakat luas. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi, antara lain :
1.                  Membentuk dan melaksanakan prinsip-prinsip kegiatan dan kode etik dalam profesi public relations.
2.               Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan peningkatan profesi anggotanya melalui seminar, lokakarya, diskusi, pendidikan, kunjungan dan sejenisnya.
3.               Melakukan penelitian, menghimpun dan menganalisa pekembangan dunia usaha umumnya dan aktivitas usaha Public Realtions khususnya, dalam upaya pembinaan dan pengembangan kegiatan usaha anggotanya.
4.                Melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait, seperti dunia usaha, lembaga pendidikan, institusi dan organisasi lainnya, serta masyarakat luas umumnya, dalam rangka perluasan kegiatan usaha anggotanya maupun penyebarluasan profesi Public Relations dan pengabdian pada masyarakat.

KODE ETIK PROFESI APPRI
Pasal 1
Norma-Norma Perilaku Profesional
Dalam Menjalankan kegiatan profesionalnya, seorang anggota wajib menghargai kepentingan umum dan menjaga harga diri setiap anggota masyarakat. Menjadi tanggung jawab pribadinya untuk bersikap adil dan jujur terhadap klien, baik yang mantan maupun sekarang, dan terhadap sesama anggota asosiasi,anggota media komunikasi, serta masyarakat luas.

Pasal 2
Penyebarluasan Informasi
Seorang anggota tidak akan menyebarluaskan, secara sengaja dan tidak sengaja dan tidak bertanggung jawab, informasi yang palsu atau menyesatkan, dan sebaliknya justru akan berusaha sekeras mungkin untuk mencegah terjadinya hal tersebut. Ia berkewajiba untuk menjaga integritas dan ketepatan informasi.

Pasal 3
Media Komunikasi
Seorang anggota tidak akan melaksanakan kegiatan yang dapat merugikan integritas media komunikasi.

Pasal 4
Kepentingan Yang Tersembunyi
Seorang anggotanya tidak akan melibatkan dirinya dalam kegiatan apa pun yang secara sengaja bermaksud memecah belah atau menyesatkan, dengan cara seolah-olah ingin memajukan suatu kepentingan tertentu padahal sebaiknya justru ingin memajukan kepentingan tersembunyi. Seorang anggota berkewajiban untuk menjaga agar kepentingan sejati organisasi yang menjadi mitra kerjanya benar-benar terlaksana secara baik.

Pasal 5
Informasi Rahasia
Seorang anggota (kecuali apabila diperintahkan oleh aparat hukum yang berwenang) tidak akan menyampaikan atau memanfaatkan informasi yang diberikan kepadanya, atau yang diperolehnya, secara pribadi dan atas dasar keprcayaan, atau yang bersifat rahasia dari kliennya, baik dimasa lalu, kini atau masa depan, demi untuk memperoleh keuntungan pribadi atau untuk keuntungan lain tanpa persetujuan jelas dari yang bersangkutan.

Pasal 6
Pertentangan Kepentingan
Seorang anggota tidak mewakili kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan atau yang saling bersaing, tanpa persetujuan jelas dari pihak-pihak yang bersangkutan dengan terlebih dahulu mengemukakan fakta-fakta yang terkait.

Pasal 7
Sumber-Sumber Pembayaran
Dalam memberikan jasa pelayanan kepada kliennya, seorang anggota tidak akan menerima pembayaran, baik tunai atau dalam bentuk lain, yang diberikan sehubungan dengan jasa-jasa ytersebut dari sumber mana pun, tanpa persetujuan jelas dari kliennya.

Pasal 8
Memberitahukan Kepentingan Keuangan
Seorang anggota, yang mempunyai kepentingan keuangan dalam suatu organisasi, tidak akan menyarankan klien atau majikannya untuk memakai organisasi tersebut atau memanfaatkan jasa-jasa organisasi tersebut, tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepentingan keuangan pribadinya yang terdapat dalam organisasi tersebut.

Pasal 9
Pembayaran Berdasarkan Hasil Kerja
Seorang anggota tidak akan mengadakan negosiasi atau menyetujui persyaratan-persyaratan dengan calon majikan atau calon klien, berdasarkan pembayaran yang tergantung pada hasil pekerjaan PR tertentu di masa depan.

Pasal 10
Menumpang-tindih Pekerjaan Anggota Lain
Seorang anggota yang mencari pekerjaan atau kegiatan baru dengan cara mendekati langsung atau secara pribadi, calon majikan atau calon langganan yang potensial, akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengetahui apakah pekerjaan atau kegiatan tersebut sudah dilaksanakan oleh anggota lain. Apabila demikian, maka menjadi kewajibannya untuk memberitahukan anggota tersebut mengenai usaha dan pendekatan yang dilakukannya terhadap klien tersebut. (Sebagian atau seluruh pasal ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghalangi anggota mengiklankan jasa-jasa secara umum).

Pasal 11
Imbalan Kepada Karyawan Kantor-Kantor Umum
Seorang anggota tida akan menawarkan atau meberikan imbalan apapun, dengan tujuan untuk memajukan kepentingan pribadinya (atau kepentingan klien), kepada orang yang menduduki suatu jabatan umum, apabila hal tersebut tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat luas.

Pasal 12
Mengkaryakan Angota Parlemen
Seorang anggota mempekerjakan seorang anggota Parlemen, baik sebagai konsultan maupun pelaksana akan memberitahukan kepada Ketua asosiasi tentang hal tersebut maupun jenis pekerjaan yang bersangkutan.Ketua Asosiasi akan mencatat hal tersebut. Seorang anggota asosiasi yang kebetulan juga anggota parlemen, wajib memberitahukan atau memberikan peluang agar terungkap, kepada Ketua semua keterangan apa pun mengenai dirinya.

Pasal 13
Mencemarkan Anggota-Anggota Lain
Seorang anggota tidak akan dengan itikad buruk mencemarkan nama baik atau praktik profesional lain.

Pasal 14
Instruksi/Perintah Pihak-Pihak Lain
Seorang anggota yang secara sadar mengakibatkan atau memperbolehkan orang atau organisasi lain untuk bertindak sedemikian rupa sehingga berlawanan dengan kode etik ini, atau turut secara pribadi ambil bagian dalam kegiatan semacam itu, akan dianggap telah melanggar kode etik ini.

Pasal 15
Nama Baik Profesi
Seorang anggota tidak akan berperilaku sedemikian rupa sehingga merugikan nama baik asosiasi, atau profesi Public Relations.

Pasal 16
Menjunjung Tinggi Kode Etik
Seorang anggota wajib menjunjung tinggi Kode Etik ini, dan wajib bekerja sama dengan anggota lain dalam menjunjung Kode Etik, serta dalam melaksanakan keputusan-keputusan tentang hal apa pun yang timbul sebagai akibat dari diterapkannya keputusan tersebut. Apabila seorang anggota mempunyai alasan untuk berprasangka bahwa orang lain terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dapat merusak kode Etik ini, maka ia berkewajiban untuk memberitahukan hal tersebut kepada asosiasi. Semua anggota wajib mendukung asosiasi dalam menerapkan dan melaksanakan Kode Etik ini, dan asosiasi wajib mendukung setiap anggota yang menetapkan dan melaksanakan Kode Etik ini.

Pasal 17
Profesi Lain
Dalam bertindak untuk seorang klien atau majikan yang tergabung dalam suatu profesi, seorang anggota akan menghargai kode etik dari profesi tersebut dan secara sadar tidak akan turut dalam kegiatan apa pun yang dapat mencemarkan Kode etik ini.

ASPEK HUKUM KOMUNIKASI KEHUMASAN

0 komentar
ASPEK HUKUM KOMUNIKASI KEHUMASAN
Indonesia yang kini sedang dilanda krisis multidimensional yang berkepanjangan dengan posisi, apakah siap atau tidak memasuki dunia maya atau sering disebut disebut cyberworld dan cyberspace, sebagai akibat kemajuan teknologi informasi camggih (information superhighway) yang merupakan bagian dari sistem komunikasi dan informasi global di abad 21 dalam Millenium III ini tengah menyaksikan suatu fenomena kian meluasnya pengaruh globalisasi di berbagai sektor kehiadupan manusia bi muka bumi. Bahkan seolah-olah sudah tidak ada lagi batasan negara (borderless state) yang sanggup untuk menghindari pengaruh globalisasi yang sudah menjadi kampung global (global village) dengan segala aktivitas dan isinya yang telah menjadi fenomena kesejagatan (globality).
Sekarang ini permasalahan media massa atau media pers bukan lagi sekadar masalah peraturan perundang-undangan dan rambu-rambu etika yang ada (A. Muis, 2001 : 40-41), tetapi berkaitan dengan masalah terpenting yaitu; keberadaan cyberspace dengan globalisasi informasi dan komunikasi sistem terbuka yang tidak lagi memperhatikan batas-batas kekuasaan atau kedaulatan masing-masing negara. Artinya; undang-undang yang dibuat untuk menetralisasi atau membendung pengaruh globalisasi sudah tidak lagi banyak berfungsi, apalagi suatu negara yang belum mempunyai undang-undang cyberlaw (UU Internet),paling tidak memiliki fungsi hukum sebagai “a tool of social engineering” dan kemampuan menciptakan teknologi baru (preventif) untuk mengurangi dampak negatif dari kekuatan daya tembus siaran cyberspace tersebut. Permasalahannya, sumber berita (komunikator) yang mengirim pesan/ informasi atau berita melalui internet (cyberspace) dari negara lain sulit dilacak oleh negara penerimanya.
Beberapa tahun lalu Malaysia telah memiliki cyberlaw untuk mencegah “berita sampah” yang berasal dari internet, namun tetap tidak berfungsi sebagaimana mestinya alias sebagai macan kertas ompong karena tidak diikuti kemajuan teknologi melacak sumber berita melalui cybercommunication untuk menindaknya. Baru negara AS yang memiliki cyberlaw dan memilki kemampuan tekologi untuk keberadaan sumber informasi web-sites (situs internet) anonim (tanpa identitas) dengan mengirim agen FBI. AS juga mampu menindak dan menangkap pelaku kasus “si penyebar virus” komputer yang berasal dari Manila dan Australia pada awal 2000 lalu.
Khususya negara Indonesia yang hanya mengandalkan UU Hukum Pidana, Perdata, Pers, dan UU Konsumen, serta peraturan lain yang kini belum memiliki cyberlaw (UU Internet) akan sulit membendung atau memeberikan sanski pelanggaran di bidang hukum komunikasi. Lain halnya semasa pemerintahan orde baru, pengendalian terhadap fungsi informasi, kontrol sosial, dan pengawasan kegiatan media massa atau media pers lebih banyak menggunakan pendekatan kekuatan politik (kekuasaan),otokratik dan represif dari pada pelaksanaan melalui kekuatan hukum (supreasi hukum).
Pada era pemerintahan reformasi yang demokratik dan menganut sistem politik terbuka Indonesia berhadapan dengan “kebebasan pers” dan konsistensi pelaksanaan HAM sesuai dengan UU No. 40/1999 tentang Pers, tambahan Pasal 28 F UUD 1945 dan seirama dengan pasal 21, Tap XVII/MPR/1999 yang berbunyi sebagai berikut :
“Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Rumusan tersebut menurut A. Muis (2000 : 30) senada dengan Pasal 19 Deklarasi Universal HAM (hak asasi manusia) tentang Freedom of Information (FOI), yaitu Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinion without interference and to seek, recieve and impart information and ideas through any media and regardless frontiers.
Kebebasan memperoleh informasi dan system komunikasi Indonesia sekarang lebih bersfat Universal dan terbuka. Artinya, pemerintah memberikan hak-hak perlindungan bagi penerbitan media pers dan wartawan tertentu dalam menyalurkan informasi atau berita untuk memenuhi “public’s right to know” (hak public untuk mengatahui). Akan tetapi sebaliknya, di era keterbukaan ini banyak pejabat instansi pemerintah atau para eksekutif pihak swasta masih belum siap, dan bahkan melakukan kebijakan menutup akses masyarakat (to kill the information) untuk memperoleh informasi yang dibutuhkannya.
Ketahuan “ketertutupan informasi” tersebut oleh masyarakat secara luas bila terjadi suatu pelanggaran yang mencuat ke permukaan, kemudiandiliput oleh media pers. Hal ini banyak terjadi di bidang eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan hidup, seperti kasus-kasus yang ter-ekspose di berbagai media massa. Misalnya; terjadinya pencemaran lingkungan alam sebagai dampak pembuangan limbah tailingnya oeh PT. Freeport Indonesia di Irian Jaya serta PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang diduga telh merusak kawasan danau Toba Samosir. Alasan selama ini adalah untuk menutupi saluran informasi tentang industri yang memiliki resiko dapat merusak lingkungan alam yang cukup parah dan telah merugikan kehidupan masyarakat sekitarnya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Walaupun kini pers  ansional memiliki kebebasan pers (pers liberal) yang lebih besar jika dibandingkan masa sebelumnya, namun tetap mengacu pers bebas yang bertanggung jawab, bukannya menjadi pers yang sangat bebas tetapi “pers kebablasan”. Kebablasan tersebut dapat diberi makna telah melampaui batas kebebasan berkomunikasi dan informasi (berita) wajar dan santun yang mengacu pada nilai budaya komunikasi sesuai dengan Kode Etik, Etika Profesi dan aspek hokum komunikasi yang ada. Seperti diketahui bahwa Kode Etik jurnalistik (KEJ) pada dasarnya menguraikan hal-hal yang menyangkut profesi kewartawanan berikut ini :
§       Kepribadian wartawan Indonesia;
§       Pertanggung jawaban;
§       Cara pemberitaan dan menyatakan pendapat;
§       Hak jawab dan hak sangkal;
§       Sumber berita;
§       Kekuatan kode etik.
Dalam kode etik wartawan tersebut, hal-hal yang bersifat murni adalah kode etik normative yang secara spesifik menyebutkan masalah pertanggung jawaban yang mengandung atau dapat dikaitkan dengan persoalan hokum. Dengan demikian, terdapat pertimbangan patut dan tidak patut untuk memberitakan hal-hal yang menyinggung perasaan kesusilaan, SARA (suku, agama dan ras),mengenai kehormatan nama, atau martabat seseorang.
Oleh karena itu, ketentuan pidana (produk legislative) merupakan pembatasan yang sah terhadap kebebasan pers dan bersifat liminatif. Selain itu, ketentuan pidana ditujukan terhadap mereka yang telah menyalahgunakan kebebasan (abuse of liberty). Dalam perundang-undangan pers nasional atau ketentuan Internasional mengenai batas-batas yang liminatif, terdapat kegiatan pembeitaan pers sebagai berikut :
a.      Penghinaan dalam legislative, yaitu penghinaan biasa dan penghinaan ringan, baik secara material dan formal;
b.      Berita hasutan dan kebohongan;
c.      Blasphemy, yaitu penghinaan terhadap nilai agama;
d.      Pornografi (dalam bentuk tulisan, gambar dan lisan);
e.      Keamanan nasional dan ketertiban umum (National Security and Public Order);
f.        Pernyataan yang menghambat jalannya peradilan (Impede the Fair Administration of justice);
g.      Pernyataan terhadap seseorang atau telah memvonis seseorang bersalah atau yang menjadi urusan pengadilan (trial by the press);
h.      Penghinaan atau pelecehan terhadap pengadilan atau jalannya suatu proses sidang peradilan (comtempt of court).

FALSAFAH HUKUM DAN ETIK
Pakar hukum pers, Prof. Oemar Seno Adji (1991 : 20) dalam bukunya Etika Profesional Hukum mengatakan bahwa menelaah hubungan antara kode Etik dan hokum didasarkan pada latar belakang berbagai aliran, yaitu :
a.      Aliran naturrecht secara tegas tidak mengenal pemisahan antara etik dan hokum. Artinya, dalam prinsip aliran ini, norma-norma etik dan pelaksanaan dalam konsep hukum yang diberlakukan adalah secara tidak terpisah-pisah. Dapat saja terjadi, suatu pelanggaran norma etik akan sama dengan pelanggaran hukum yang berlaku.
b.      Aliran positivisme mengakui adanya pemisahan antara hukum dan etik. Aliran ini lebih mengonsentrasikan perhatian isi dan hukum yang berlaku, yaitu hukum positif dalam pengembangan di bidang hukum konkret yang dibedakan dengan pelaksanaan di bidang Kode Etik untuk kalangan profesional yang telah memiliki kode etik bersifat normatif atau formatif yang telah disepakati bersama. Pengecualiannya ialah hal-hal pelanggaran yang sudah masuk ke kawasan atau prinsip-prinsip hukum yang berlaku (pidana atau perdata).
c.      Aliran samenval mengganggap adanya titik pertemuan dalam Kode etik Profesional dengan bidang hukum tertentu, yaitu adanya kesamaan (samenval). Artinya, diakui adanya aspek-aspek yuridis dalam persoalan etik dan sanski hukum, misalnya; dalam Kode Etik Jurnalistik atau Kode etik periklanan dan Kode Etik Kehumasan, yaitu berawal dari suatu “pelecehan” (gambar karikatur atau gurauan dan humor bermasalah) yang kemudian dapat meningkat menjadi unsur penghinaan yang menyebabkan timbul Delik Pidana, baik berbentuk penghinaan melalui tulisan, visual (gambar), atau secara lisan terhadap nama kohormatan dan martabat seseorang atau lembaga tertentu, termasuk mengenai masalah SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) dan sebagainya.
Selain hal tersebut, pelanggaran Kode Etik Profesi akan langsung dikaitkan dengan hukum yang berlaku sebagai akibat suatu pelanggaran atau perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), menurut Pasal 1365 KUH Perdata, atau delik Pidana dalam Pasal 310 da 311, yaitu masing-masing pelanggaran kehormatan dan menfitnah pihak lain, baik melalui lisan (the law of slander) atau berbentuk tulisan dan gambar (the of libel).

KODE ETIK HUMAS/PR REGIONAL ASEAN (FAPRO)

0 komentar
KODE ETIK HUMAS/PR REGIONAL ASEAN (FAPRO)
Federation of ASEAN Public Relations Organizations (FAPRO), merupakan asosiasi PR/Humas Regional yang didirikan organisasi kehumasan Negara-negara ASEAN,misalnya;Malaysia, Singapore, Indonesia, Thailand, dan Brunei Darussalam pada tahun 1971 di Kuala Lumpur. Perhuas (Perhimpun Humas) Indonesia termasuk salah satu anggotanya, sekaligus sebagai pendirinya. Dalam Sidang Umumnya di Manila pada tanggal 27 Maret 1978, FAPRO mengesahkan suatu Pedoman Kode Etik, yaitu; “Kode Etik Profesional dan Etik” (Code of Professional Practice and Ethics) yang terdiri dari Mukadimah dan enam pasal pokok, sebagai berikut :
PREAMBUL
Preambul Kode Etik ini menyatakan keinginan untuk memajukan praktik PR yang sehat dan bertanggung jawab guna memelihara sarana yang dinamis bagi penyebaran kebenaran untuk kemajuan, kemamkmuran, keadilan social, dan perdamaian di kawasan ASEAN, sesuai  dengan prinsip-prinsip Deklarasi ASEAN, maka dirumuskan Kode Etik dan Etik bagi para praktisi Public Relation ASEAN.


1.        Tujuan
Para praktisi PR ASEAN akan taat pada tujuan-tujuan yang tercantum dalam Konstitusi FAPRO.
2.     Integritas Pribadi dan Profesi
Sebagai anggota FAPRO :
a.      Akan memelihara nilai-nilai moral yang tinggi dan reputasi yang sehat dari profesi yang bertanggung jawab dan akan menaati Konstitusi dan Peraturan FAPRO;
b.      Akan memainkan peranan yang luas untuk meningkatkan ASEAN karena kita berhubungan dengan khalayak yang luas;
c.      Akan memupuk hubungan antar-manusia guna memperkokoh kerja sama ASEAN bagi kemajuan dan kesejahteraan;
d.      Akan memainkan peranan yang luas agar rakyat menerima relevansi ASEAN bagi masa depan mereka;
e.      Akan berusaha bagi realisasi lebih ekstensif oleh public terhadap nilai ASEAN sebagai jembatan egiatan komersial dan masyarakatnya;
f.        Akan menyebarluaskan pandangan ASEAN untuk memanfaatkan kesempatan yang meluas di seluruh kawasan, bahwa ASEAN telah terbuka bagi klien atau organisasi.
3.     Perilaku Terhadap Klien dan Majikan :
Sebagai seorang warga negara anggota ASEAN yang bebas dan bertanggung jawab, seorang anggota FAPRO mempunyai tugas umum bersikap adil terhadap klien dan majikan.
a.      Seorang anggota tidak akan mewakili kepentingan-kepentinan yang bertentangan atau bersaing tanpa adanya persetujuan dari mereka yang terlibat;
b.      Seorang anggota akan memelihara kepercayaan, baik dari klien maupun majikan  yang sekarang dan yang terdahulu;
c.      Seorang anggota tidak akan menggunakan cara-cara yang merugikan rekan anggota, klien dan majikan;
d.      Dalam memberikan pelayanan jasa bagi klien atau majikan, seorang anggota tidak akan menerima upah, komisi, atau pembayaran lainnya setelah mengungkapkan fakta-fakta, kecuali dari klien dan majikan yang dimaksud;
e.      Seorang anggota tidak akan mengusulkan pada calon klien atau majikan agar upah atau pembayaran lainnya dikontigensikan atas sesuatu hasil yang diperoleh dan tidak akan menandatangani sesuatu perjanjian mengenai hal ini.


4.      Perilaku Terhadap Publik dan Media
Seorang anggota FAPRO:
a.      Akan melakukan kegiatan profesinya untuk kepentingan publik dan untuk martabat seorang individu sebagai warga negara ASEAN;
b.      Tidak akan melakukan praktik-praktik yang mencemarkan integritas saluran-saluran komunikasi dan akan bekerja sesuai dengan kebijakan ASEAN;
c.      Tidak akan menyebarluaskan informasi palsu dan menyesatkan yang akan merusak profesi;
d.      Setiap saat akanmenjadi wakil setia dari organisasinya;
e.      Akan membantu menyebarluaskan informasi bagi kepentingan ASEAN.

5.     Perilaku Terhadap Rekan Seprofesi
Seorang anggota FAPRO:
a.      Tidak akan mencemarkan reputasi profesional atau praktik dari seorang rekan anggota dengan sengaja. Namun, apabila seoarng anggota mempunyai pembuktian bahwa seorang rekan anggota bersalah melakukan praktik-praktik tidak etis, tidak sah, atau tidak jujur, termasuk pelanggaran terhadap kode etik ini, dia harus menyampaikan informasi kepada Dewan FAPRO;
b.      Tidak akan berusaha mendesak seorang rekan anggota terhadap klien atau majikannya;
c.      Akan bekerja sama dengan rekan-rekan aggota di seluruh kawasan ASEAN untuk menegakkan dan melaksanakan Kode Etik.

6.     Hubungan Dengan ASEAN
Organisasi-organisasi anggota FAPRO:
a.      Harus menaati tujuan-tujuan ASEAN yang tercantum di dalam Deklarasi ASEAN dan persetujuan ASEAN;
b.      Akan berusaha bekerja sama dengan Komisi Kebudayaan dan Informasi ASEAN guna meningkatkan kemajuan dan usaha-usaha memasyarakatkan ASEAN



 

Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com