EKSISTENSI DARI LEMBAGA KEKUASAAN
ORANGTUA
Makalah Hukum Perdata
oleh: Arjamudin
I.
PENDAHULUAN
Perkawinan menimbulkan
hubungan hukum dengan anak yang dilahirkan, maka selanjutnya timbul kedudukan
anak yang dilahirkan yang semuanya diatur dengan hukum. Dari hubungan dengan
orang tua dan anak yang masih dibawah umur timbul hak dan kewajiban. Hak-hak
dan kewajiban orang tua terhadap anak yang masih dibawah umur diatur didalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang Undang pokok perkawinan No.1 tahun
1974 dengan judul Kekuasaan Orang Tua.
Ketentuan hukum tentang
kekuasaan orang tua dapat diperoleh dalam pasal 298 sampai 329 BW., terbagi
dalam 3 bagian:
1.
Kekuasan orang tua terhadap
diri anak ( pasal 298-306 BW )
2.
Kekuasan orang tua terhadap
harta benda anak (PasaI307-319 BW)
3.
Hubungan orang tua dan anak
tanpa memandang umur anak dan tak terbatas pada orang tua itu saja, tetapi
meliputi pula nenek pihak ayah dan ibu (PasaI320-329 BW).
Kekuasaan orang tua adalah kekuasaan, kewajiban-kewajiban terhadap
anak mereka yang sah yang masih dibawah umur sampai anak tersebut dewasa dan
juga sampai anak tersebut melangsungkan perkawinan. Kekuasaan dan kewajiban
menyangkut tentang diri pribadi ataupun mengenai harta kekayaan selama
perkawinan berlangsung. Didalam menjalankan kewajiban, jika orang tua tersebut
menjalankan tugasnya tidak secara wajar dan tidak sebagaimana mestinya maka
orang tua tersebut dapat dipecat atau dibebaskan dari kekuasaan orang tua demi
untuk kepentingan anak-anak.
Menurut pasal 299 BW selama perkawinan berlangsung maka selama
anak-anak masih dibawah umur adalah berada dibawah kekuasaan orang tua. Selama
salah seorang dari ayah dan ibu belum atau tidak dipecat dari kekuasaan orang
tua.
Prinsip-prinsip
Kekuasaan Orang Tua :
1.
Kekuasaan itu adalah
kekuasaan kedua orang tua yang bersifat kolektif
2.
Kekuasaan itu hanya ada
selama perkawinan berlangsung
3.
Kekuasaan itu berlangsung
selama kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua orangtua terhadap anak-anaknya
rnasih dilaksanakan secara wajar.
Menurut pasal 300 ayat 1 pada dasarnya kekuasaan dilakukan oleh
suami. Dalam hal orang tua bercerai kekuasaan rnenjadi kekuasaan perwalian. Di
dalam Undang-undang sebenarnya tidak memberikan perincian, maksud disini
meliputi semua bidang si anak seperti memberi nafkah, mengenai harta kekayaan
si anak dan menikmati hasil dari kekayaan si anak.
Dalam hal bapak tidak boleh melakukan kekuasaan orang tua itu maka
ibulah yang melakukannya (pasal 300 ayat 2 BW). Sedang jika si ibu tidak dapat
rnelakukan kekuasaan orang tua itu, maka pengadilanlah yang akan rnenentukan
atau mengangkat seorang wali (Pasal 300 ayat 3 BW). Jadi sekalipun asasnya itu
sama, akan tetapi sesungguhnya hal itu hanya merupakan kesamaan diatas kertas
saja, sebab menurut pasal 300 ayat 1 BW yang melakukan kekuasaan orang tua itu
adalah bapak.
Ketentuan ini diadakan oleh karena ada kekhawatiran, bahwa tidak
akan ada persesuaian pendapatan antara bapak dan ibu, sehingga akhirnya
hakimlah yang harus turut campur. Ikut campur pihak ketiga ini dirasakan kurang
baik. Maka dari itu ditentukan bahwa bapaklah yang dapat menentukan tentang
pendidikan dan memberikan nafkah kepada anaknya. Terhadap anak-anak luar kawin
wajar tidak ada kekuasaan orang tua, sebab tidak ada perkawinan ( pasal 306 BW
).
II.
PEMBAHASAN
A.
Kekuasaan Orang Tua
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Kekuasaan orang tua menurut Undang-undang hukum perdata meliputi 3
bahagian yaitu:
1.
Kekuasaan orang tua terhadap diri anak
Pasal 299 BW menentukan
bahwa selama perkawinan orang tua masih berlangsung, maka anak-anak berada
dalam kekuasaan orang tua sampai anak itu menjadi dewasa, selama kekuasaan
orang tuanya itu tidak dicabut (ontzet) atau dibebaskan (ontheving). Dengan
demikian kekuasan orang tua itu mulai berlaku semenjak anaknya lahir atau
semenjak pengesahan anak, dan akan berakhir apabila anak, menjadi dewasa,
kecuali apabila perkawinan orang tua itu bubar atau kekuasaannya dicabut atau
dibebaskan.
Apabila kita bertitik tolak
dari pasal 299 BW diatas, maka sesungguhnya dari pasal itu dapat disimpulkan 3
asas yaitu :
a)
Kekuasaan orang tua berada
pada kedua orang tua
Kekuasaan orang tua itu
dimiliki oleh kedua orang tua, yaitu ayah dan ibu, tetapi lazimnya dilakukan
oleh ayah, kecuali jika ia dicabut atau dibebaskan dari kekuasaan orang tua,
atau berada dalam keadaan perpisahan meja dan ranjang. Ibu baru dapat menjalankan
kekuasaan orang tua, apabila bapak tidak mampu melakukan kekuasaan itu seperti
karena sakit keras, sakit ingatan,sedang berpergian, selama mereka tidak berada
dalam keadaan perpisahan meja dan ranjang. Mana kala ibu juga tidak mampu
melakukannya, maka oleh pengadilan negeri diangkatlah seorang wali.
b)
Kekuasaan orang tua hanya
ada selama perkawinan mereka, apabila perkawinan bubar maka kekuasaan orang tua
menjadi hapus.
Sebagaimana telah diketahui
bahwa apabila perkawinan bubar, maka berakhirlah kekuasaan orang tua terhadap
anak yang masih dibawah umur. Hal ini tiada lain dari konsekuensi clan
menunjukkan asas bahwa kekuasaan orang tua hanya ada selama ada perkawinan
orang tua itu sendiri.
Dengan perkataan lain
apabila pada saat bubarnya perkawinan masih ada anak yang belum dewasa, maka
pada saat itu kekuasaan orang tua menjadi perwalian yang akan ditunjuk
berdasarkan kepentingan anak yang masih belum dewasa.
c)
Orang tua dapat dicabut
kekuasaan orang tuanya atau dijelaskan atas alasan-alasan tertentu.
Di Indonesia pembatasan
terhadap kekuasaan orang tua yang sekaligus merupakan sanksi bagi orang tua itu
adalah pencabutan dan pembebasan kekuasaan orang tua. Di Indonesia karena belum
ada hakim khusus untuk anak-anak, maka baik pencabutan ataupun pembebasan kekuasaan
orang tua dimintakan kepada hakim perdata. Dan pencabutan itu dapat dilakukan
bukan saja terhadap salah satu dari mereka, melainkan dapat keduanya baik
terhadap salah seorang atau terhadap semua anak-anak.
2.
Kekuasaan orang tua terhadap harta benda anak
a)
Pengurusan
Pengurusan ada orang tua yang melakukan kekuasaan orang tua, yang
pada umumnya pada bapak dengan maksud agar anak itu diwakili dalam segala
tindakannya yang masih dianggap tidak cakap. Pasal 307 BW mengatakan, bahwa
siapa yang melakukan kekuasaan orang tua atas anak minderjarig mempunyai hak
pengurusan atas harta benda anak itu. Perbuatan diatas membawa konsekuensi
untuk memberikan perhitungan dan pertanggung jawaban. Hal ini sama dengan
hal-hal didalam perwalian, akan tetapi dalam bidang perwalian anak tidak
mempunyai hak hipotik terhadap barang-barang ayahnya, yang berbeda dengan
diatur dalam perwalian.
Pasal 309 BW mengatakan, penguasaan oleh orang tua hanya dapat
dilakukan dengan memperhatikan ketentuan tentang pemindahan barang-barang anak yang
masih minderjarig kedalam hal perwalian. Pelaksanaan pengurusan itu terikat
kepada ketentuan-ketentuan tentang perwalian dalam menjalankan penguasaan atas
barang-barang anak itu. Baru kalau pelaksanaan pengurusan itu tidak ada karena
suatu sebab, maka pengurusan itu jatuh pada orang tua yang melakukan kekuasaan
orang tua.
b)
Menikmati Hasil
Pasal 311 ayat 1 BW mengatakan, bahwa bapak atau ibu yang
melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian mendapat penikmatan hasil atas
harta benda anak-anak itu. Ayat 2 menentukan bahwa jika kedua orang tua
dihentikan dari kekuasaan orang tua atau perwalian, maka kedua orang tua yang berikutnya
yang akan memperoleh kenikmatan hasil atas kekayaan anak-anak minderjarig itu.
Pasal 311 ayat 3 BW mengatakan bahwa jika salah seorang orang tua
itu meninggal dunia atau dicabut dari kekuasaan orang tua atau perwalian dan kemudian
orang tua yang berikutnya yang melakukan kekuasaan orang tua dihentikan atau
dibebaskan maka penghentian atau pembebasan itu tidak mempengaruhi kenikmatan
hasilnya. Penikmatan keuntungan adalah suatu hak pribadi yang tidak dapat
dipindah tangankan kepada orang lain dan merupakan suatu hak atas harta benda
anak yang diperoleh orang tua, sedang isinya adalah apa yang dihasilkan oleh
harta benda anak itu, sesudah dikurangi dengan bebanbeban yang melekat pada
harta benda itu.
3.
Tentang kewajiban timbal balik antara orang tua dan keluarga
sedarah dengan anak.
Pertama-tama perlu diketahui ialah bahwa seorang anak tidak
perduli berapa umumya wajib hormat dan tunduk kepada orang tuanya (pasal 298
BW). Yang penting benar dalam bagian hubungan orang tua dan anak ini adalah
kewajiban orang tua dalam memberikan nafkah. Selama anak ini masih minderjarig,
maka orang tua wajib memberikan nafkah dan penghidupan kepada anak itu. Akan
tetapi disamping itu antara orang tua dan anak, demikian pula antara keluarga
sedarah yang lain dalam garis lurus keatas maupun kebawah ada kewajiban timbal
balik untuk pemberian nafkah dan penghidupan. Terhadap kewajiban ini orang tua
tidak diwajibkan memberikan suatu kedudukan yang tetap dengan memberikan segala
persediaan dalam perkawinan atau dengan cara lain (pasal 320 BW).
B. Kekuasaan Orang Tua Menurut Undang-undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun
1974
Apabila suatu perkawinan memperoleh keturunan, maka perkawinan
tersebut tidak hanya menimbulkan hak dan kewajiban antara suami dan
istri yang bersangkutan, akan tetapi juga menimbulkan hak dan kewajiban
antara suami istri sebagai orang tua dan anak-anaknya. Hak dan kewajiban
antara orang tua dan anak-anak ini dalam Undang-undang No.1 tahun 1974
diatur dalam pasal 45 sampai 49. Dalam pasal 45 ditentukan bahwa kedua
orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya,
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku
terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua itu putus.
Disamping kewajiban untuk memelihara dan mendidik tersebut, orang
tua juga menguasai anaknya yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum
pemah melangsungkan perkawinan. Kekuasaan orang tua ini meliputi juga
untuk mewakili anak yang belum dewasa ini dalam melakukan perbuatan
hukum didalam dan diluar pengadilan (pasal 47).
Meskipun demikian kekuasaan orang tua ada batasnya yaitu tidak
boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap milik
anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan. Kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya ( pasal
48 ). Kekuasaan salah seorang atau kedua orang tua terhadap anaknya
dapat dicabut untuk waktu tertentu, apabila ia sangat melalaikan kewajibannya
terhadap anaknya atau berkelakuan buruk sekali. Pencabutan kekuasaan
orang tua terhadap seorang anaknya ini dilakukan dengan keputusan pengadilan
atas permintaan orang tua yang lain keluarga dalam garis turns keatas dan saudara
kandung yang telah dewasa atau penjabat yang berwenang.
Kekuasaan orangtua yang dicabut ini tidak termasuk kekuasaan
sebagai wali nikah. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, namun mereka
masih tetap kewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan anaknya tersebut
(pasal 49). Sebaliknya, anak tidak hanya mempunyai hak terhadap orang
tuanya, akan tetapi juga mempunyai kewajiban.
Kewajiban anak yang utama terhadap orang tuanya adalah menghormati
dan mentaati kehendak yang baik dari orang tuanya. Dan bila mana anak
telah dewasa ia wajib memelihara orang tuanya dengan sebaik-baiknya menurut kemampuannya.
Bahkan anak juga berkewajiban untuk memelihara keluarga dalam garis
lurus keatas, bila mereka ini memerlukan bantuannya (pasal 46).
a) Syarat-syarat
pencabutan kekuasaan orang tua
i.
Permintaannya harus diajukan
oleh:
o Orang tua yang lain
o Keluarga saudara atau periparan sampai derajat keempat
o Dewan perwalian
o Kejaksaan
ii.
Pencabutan ini hanya dalam
hal-hat tertentu yaitu dalam hal-hal :
o Penyalah gunaan kekuasaan orang tua. Seperti sangat mengabaikan
kewajiban untuk pemberian pendidikan dan pemeliharaan.
o Tingkah laku yang jelek, yang terserah kepada hakim untuk
menentukan batasbatasnya
o Bila mana dijatuhi hukuman oleh karena melakukan kejahatan yang
sengaja dilakukan bersama-sama dengan anak itu.
o Bila mana dijatuhi hukum karena suatu kejahatan yang dilakukan
terhadap anak itu
o Dijatuhi hukuman badan lebih dari 2 tahun lamanya.
Akibat pemecatan kekuasaan orang tua, yang kekuasaannya dipecat
mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah kepada anak-anaknya yaitu untuk
penghidupan dan pendidikan anak-anak. Orang tua yang dipecat kekuasaannya tetap
harus menyerahkan sejumlah biaya tertentu kepada dewan perwalian yang jumlahnya
ditetapkan oleh hakim. Orang tua yang dipecat dapat kembali dalam kedudukannya atas
kemauan sendiri atau atas tuntutan pihak kejasaan. Orang tua yang memegang kekuasaan
dapat meminta supaya dilepaskan dari kekuasaan orang tua tersebut jika ia merasa
tidak mampu untuk menjalankan tugasnya dan kepentingan si anak tidak dipenuhi.
Dengan pelepasan itu dasar untuk mengajukan permohonan kekuasaan adalah
ketidakmampuan orang tua untuk memelihara dan mendidik anaknya.
b) Berakhirnya
kekuasaan orang tua pada kondisi sebagai berikut:
i.
Meninggalnya orang tua tersebut
ii.
Putusnya perkawinan kedua
orang tua
iii.
Di pecat orang tua dan
kekuasaan orang tua
iv.
Dilepaskannya orang tua dan
kekuasaan orang tua
v.
Sampai anak berusia dewasa
vi.
Kawinnya sianak
c) Pada
pelepasan yang berhak mengajukan tuntutan adalah:
i.
Dewan perwalian
ii.
Penuntut umum
d) Pemecatan dilakukan
atas permohonan sebagai berikut
i.
Orang tua yang tidak
memegang kekuasaan orang tua
ii.
Salah seorang dan keluarga
sedarah dan anak itu sampai derajat yang keempat
iii.
Dewan perwalian
iv.
Penuntut umum
III.
KESIMPULAN
·
Kekuasaan orangtua terbagi 3
bagian:
a.
Kekuasaan orangtua terhadap
diri anak
b.
Kekuasaan orangtua terhadap
harta benda anak
c.
Tentang kewajiban timbal
balik antara orangtua dan keluarga sedarah dengan anak.
·
Kewajiban anak yang utama
terhadap orang tuanya adalah menghormati dan mentaati kehendak yang baik dari
orang tuanya. Dan bila mana anak telah dewasa, ia wajib memelihara orang tuanya
dengan sebaik-baiknya menurut kemampuannya.
·
Kekuasaan orang tua yang
dipecat dikarenakan orang tua tidak menjalankan hak dan kewajiban sebagaimana
mestinya.
DAFTAR PUSTAKA
Subekti R. ,1983, Pokok-Pokok Hukum Perdata., Cetakan
XVII, Penerbit Intermasa, Jakarta.
Subekti R. ,Tjitrosudibjo., 1992, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cetakan XXV, Penerbit Pradnya
Paramita, Jakarta.
-------------,2012,
Hukum Keluarga., Cetakan Pertama,
Penerbit Pustaka Yustisia, Yogyakarta