Rabu, 08 Mei 2013

CONTOH PRESS RELEASE

0 komentar
 A Call for Climate: Setelah Perundingan di Bali dan di Bangkok
Pada peringatan Hari Bumi pada tanggal 22 April 2008 yang bertemakan ”A Call for Climate”, Pelangi Indonesia menegaskan bahwa semua pihak, terutama pembuat kebijakan, harus terlibat di dalam pengurangan laju dan dampak perubahan iklim. Masyarakat pun memiliki kewajiban untuk mendorong pemerintah membuat serta mengimplementasikan kebijakan yang mendukung kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Jakarta, 22 April 2008Konferensi Bali Desember 2007 menghasilkan Bali Action Plan yang mengusung berbagai elemen sebagai pokok pembahasan negosiasi sampai periode komitmen pertama Protokol Kyoto yang berakhir pada tahun 2012. Bali Action Plan juga menyepakati pembentukan proses negosiasi baru dalam bentuk Ad hoc Working Groups on Long-term Cooperative Action (AWG-LCA) yang akan dilaksanakan secara paralel dengan kelanjutan proses Ad hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG).

Sebagai salah satu implementasi Bali Action Plan, diadakanlah Bangkok Climate Change Talks pada 31 Maret hingga 4 April 2008. AWG-LCA bertemu untuk menyusun rencana kerja hingga tahun 2009, mengingat pada tahun tersebut AWG-LCA harus sudah memiliki usulan-usulan aktivitas yang perlu dilakukan oleh negara maju dan berkembang untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Sementara itu, AWG menyepakati bahwa mekanisme pasar berbasis proyek yang diatur di dalam Protokol Kyoto, seperti CDM, akan tetap dijalankan untuk membantu negara-negara Annex I memehui target penurunan emisi mereka. Namun mekanisme-mekanisme fleksibilitas ini berfungsi sebagai alternatif/tambahan saja, sementara negara Annex I tetap harus menurunkan emisi di dalam negerinya sendiri juga.

Proses negosiasi ini akan dilanjutkan pada bulan Juni 2008 di Bonn, Jerman.
Pada peringatan Hari Bumi pada tanggal 22 April 2008 yang bertemakan ”A Call for Climate”, Pelangi Indonesia menegaskan bahwa semua pihak, terutama pembuat kebijakan, harus terlibat di dalam pengurangan laju dan dampak perubahan iklim. Masyarakat pun memiliki kewajiban untuk mendorong pemerintah membuat serta mengimplementasikan kebijakan yang mendukung kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Terhadap perkembangan isu perubahan iklim baik di tingkat nasional maupun internasional, Pelangi Indonesia menyatakan bahwa:
1. Lahirnya Bali Action Plan merupakan langkah awal yang penting untuk menentukan arah negosiasi. Perlu diakui bahwa selama proses negosiasi di Bali yang sangat alot, terjadi berbagai perubahan di dalam draft Bali Action Plan sehingga dokumen yang akhirnya disepakati relatif lebih ‘lunak’ dibandingkan draft-draft sebelumnya. Namun dokumen ini berhasil merangkum berbagai kepentingan pihak-pihak yang berbeda sehingga negara yang tidak meratifikasi Protokol Kyoto (yaitu Amerika Serikat) mau bersifat fleksibel dan menerima keputusan ini. Selain itu, Bali Action Plan juga menunjukkan pengakuan akan pentingnya teknologi dan finansial, yang selama ini menjadi isu-isu ‘terpinggirkan’ di dalam kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
2. Keputusan di Bangkok bahwa mekanisme seperti CDM hanya menjadi kelonggaran bagi negara Annex I sangatlah krusial bagi perkembangan negosiasi perubahan iklim, termasuk yang terkait dengan isu mekanisme penurunan emisi GRK. Saat ini, banyak negara Annex I yang memanfaatkan mekanisme perdagangan karbon untuk memenuhi target penurunan emisi mereka dengan biaya murah di negara berkembang, namun upaya penurunan emisi mereka secara domestik tidaklah sepadan. Hal ini terbukti dari data UNFCCC yang menunjukkan bahwa emisi beberapa negara maju pada tahun 2005 malah meningkat dibandingkan emisi GRK mereka pada tahun 1990 (lihat data UNFCCC
disini).
3. Untuk kegiatan CDM, harus dipastikan bahwa kualitas dan kuantitas CER yang dihasilkan sesuai dengan prinsip pembangunan lingkungan dan ekonomi yang berkelanjutan. Selain itu, perlu diberlakukan batas maksimum jumlah CER yang boleh dijual sebuah negara untuk mengatasi tidak meratanya proyek CDM secara regional.
4. Saat ini tidak ada batasan maksimum penurunan emisi yang dapat dilakukan negara maju melalui berbagai mekanisme fleksibilitas termasuk CDM. Seharusnya sebagian besar upaya penurunan emisi oleh negara maju dilakukan di dalam negeri dan mekanisme fleksibilitas merupakan kelonggaran saja. Untuk itu, harus ada peraturan mengenai jumlah emisi minimal yang tereduksi secara domestik di negara Annex I sebelum mereka bisa mendapatkan tambahan penurunan emisi melalui mekanisme lain, semisal CDM.
5. Sumber dana adaptasi (Adaptation Fund) seharusnya bukan hanya berasal dari CDM, melainkan juga dari mekanisme fleksibilitas lain yang dilakukan antar negara-negara maju (International Emission Trading dan Joint Implementation). Selain itu, eksplorasi mengenai sumber pendanaan lainnya harus dilakukan berdasarkan polluter pays principle.


Pelangi Indonesia adalah sebuah lembaga nir-laba yang independen yang berperan sebagai lembaga kajian untuk mendorong kebijakan publik di bidang perubahan iklim, energi dan transportasi, dalam kerangka keadilan sosial dan keberlanjutan fungsi-fungsi lingkungan.
I
nformasi lebih lanjut, silakan hubungi:Gustya Indriani
Manajer Program dan Informasi-Komunikasi

CONTOH OPINI PUBLIC

0 komentar
Babak Baru Skandal Korupsi BI
Thursday, 30 October 2008
Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada akhirnya dijatuhkan untuk Burhanuddin Abdulah. Lima tahun penjara dan denda Rp250 juta.

Angka itu sangat jauh dari ancaman maksimal yang diatur undang-undang.Hakim mengatakan, Burhanuddin terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU 31/1999 jo Pasal 55 ke-1 KUHP. Kita tahu,ancaman maksimal pasal ini adalah seumur hidup atau 20 tahun.

Dari kacamata integrated criminal justice system, putusan ini tentu tidak dapat dipisahkan dari tuntutan jaksa yang juga rendah, kurang dari setengah ancaman maksimal (8 tahun). Perdebatan rendah, ketidakpuasan atau sebaliknya atas sebuah tuntutan,dan putusan memang masih terjadi sampai saat ini.

Jaksa penuntut umum (JPU) dengan subjektivitasnya punya kewenangan menuntut tinggi atau rendah, demikian juga hakim.Akan tetapi, masyarakat sangat ingin setiap koruptor divonis maksimal.Agar ada sebuah deterrence effect atau efek jera, baik bagi pelaku atau pun masyarakat luas.

Harapannya, koruptor akan berpikir ulang untuk melakukan korupsi.Apalagi, mereka yang menduduki puncak jabatan publik. Memerhatikan tren putusan dan tuntutan di Pengadilan Tipikor, agaknya nanti perlu dibuat sebuah standardisasi bagi JPU agar menuntut maksimal.

Perlu juga mungkin digagas penyusunan semacam surat edaran untuk kalangan hakim di Pengadilan Tipikor agar mempertimbangkan untuk memutus maksimal.Tentu juga tetap memperhatikan asas independensi dan imparsialitas hakim. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, rata-rata vonis di Pengadilan Tipikor sampai pertengahan 2008 adalah 4,4 tahun.

Tidak terlalu memuaskan sebenarnya, meskipun masih dapat dikategorikan berprestasi dibanding peradilan umum yang hanya 20 bulan. Namun, dalam konteks afirmasi dan keseriusan kita menempatkan korupsi sebagai musuh bersama, angka tersebut tentu masih sangat rendah.

Tesis ini bukan tak beralasan. Selain sangat rendah secara kasatmata, vonis di bawah 10 tahun dinilai tidak akan signifikan memberi tekanan dan efek jera bagi koruptor. Karena sebenarnya, setelah selesai dari fase pengadilan, pemberantasan korupsi dihadapkan pada satu yurisdiksi ”mafia baru”, yaitu Rumah Tahanan atau Lembaga Permasyarakatan. Fasilitas khusus terhadap koruptor bukan kabar baru.

Ruangan yang lega,AC, izin keluar—baik legal atau ilegal—hingga kesempatan untuk berkomunikasi dengan telepon seluler (ponsel) menjadi rahasia umum.Pasalnya sederhana,koruptor punya akses besar pada petinggi lembaga pemasyarakatan karena uang. Selain itu, fasilitas legal, seperti remisi yang menjadi langganan di setiap momen khusus akan mengurangi secara signifikan efek penghukuman untuk koruptor.

Tidak jarang, narapidana hanya menjalani sekitar setengah masa vonis yang dijatuhkan kepadanya. Sebagai ”pedagang”, koruptor akan berhitung, potensi kentungan dan risiko yang akan dihadapi jika melakukan korupsi.Poin inilah yang menjadi salah satu latar belakang belum efektifnya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Pelaku lain

Apakah Burhanuddin sendirian? Tentu tidak. Divonisnya mantan Gubernur BI ini akan menegaskan fakta hukum, bahwa norma ”penyertaan dalam pidana” seperti diatur pada Pasal 55 ke-1 KUHP terbukti benar.Dengan begitu,semua pihak yang melakukan, ikut melakukan, dan menyuruh melakukan harus bertanggung jawab.

Ada sejumlah nama yang harus ditindaklanjuti statusnya menjadi tersangka,minimal orang-orang yang menandatangani penyediaan dan penyaluran Rp100 miliar dari Bank Indonesia. Dari fakta persidangan dan empat dokumen surat rapat Dewan Gubernur, maka Syahril Sabirin, Anwar Nasution,Miranda Goeltom, Maulana Ibrahim,Bunbunan Hutapea,Maman Sumantri, Oey Hoey Tiong, Aslim Tadjudin,Roswita Roza, Rusli Simanjuntak, dan Purwantari Budiman harus diproses oleh KPK.

Sebagian di antaranya memang sudah menjadi tersangka. Seperti diketahui, beberapa saat setelah vonis Burhanuddin,KPK langsung menetapkan empat mantan Dewan Gubernur lain sebagai tersangka (Aulia Pohan,Aslim Tadjudin,Maman Sumantri, dan Bunbunan Hutapea). Publik tentu harus mengapresiasi tindakan ini.

Tapi,cukupkah? Sulit mengatakan cukup. Berangkat dari asas equality before the law dan kepastian hukum, akan timbul pertanyaan pada KPK. Bagaimana dengan Dewan Gubernur lain yang juga menandatangani skandal Rp100 miliar tersebut? Bagaimana pula dengan 52 anggota Komisi IX DPR periode 1999–2004 yang menerima gratifikasi haram itu? Termasuk di situ dua menteri aktif di kabinet SBY-JK.

Sebuah Pesan

Tapi apakah sebuah rapat mendadak yang dilakukan Presiden bersama Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dan staf khusus pada hari itu berhubungan dengan perumusan sikap pemerintah pascaputusan skandal BI? Mungkin ya, mungkin juga tidak.Apa pun itu,mau tidak mau ketegasan Presiden sangat dibutuhkan.

Perihal ditetapkannya Aulia Pohan sebagai tersangka, SBY harus konsisten dengan ucapannya dan komitmen antikorupsi. Kita tidak persis paham, apakah momen ini justru akan digunakan untuk kampanye tentang program pemberantasan korupsi kabinetnya. Lalu perihal dua menteri aktif, SBY sebaiknya tidak menunggu penetapan sebagai tersangka untuk memberhentikan dua pembantunya tersebut.

Fakta persidangan sudah membenarkan bahwa aliran uang benar terjadi. Dengan demikian, demi pembersihan kabinet di ujung pemerintahan,Presiden tidak boleh memelihara kekuatan koruptif dalam jajarannya. Pertaruhan ini harusnya dijawab dengan ketegasan.

Dua tindakan, baik dari sisi KPK untuk memproses tanpa tebang pilih maupun dari sisi Presiden untuk segera memberhentikan dua menteri yang diindikasikan kuat terlibat, sangat dibutuhkan demi membuka babak baru skandal di bank sentral ini.(*)

FEBRI DIANSYAH
Peneliti Hukum dan
Anggota Badan Pekerja ICW

# unsur belief

1. Febri Diansyah adalah seorang peneliti hukum dan juga anggota badan pekerja ICW
2. sumber media indonesia 30 october 2008

# unsur atitude
Harapannya, koruptor akan berpikir ulang untuk melakukan korupsi.Apalagi, mereka yang menduduki puncak jabatan publik. Memerhatikan tren putusan dan tuntutan di Pengadilan Tipikor, agaknya nanti perlu dibuat sebuah standardisasi bagi JPU agar menuntut maksimal.

# unsur perception

Tesis ini bukan tak beralasan. Selain sangat rendah secara kasatmata, vonis di bawah 10 tahun dinilai tidak akan signifikan memberi tekanan dan efek jera bagi koruptor. Karena sebenarnya, setelah selesai dari fase pengadilan, pemberantasan korupsi dihadapkan pada satu yurisdiksi ”mafia baru”, yaitu Rumah Tahanan atau Lembaga Permasyarakatan. Fasilitas khusus terhadap koruptor bukan kabar baru.
 

Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com