Sabtu, 08 Juni 2013

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF IKHWAN AL-SHAFA (Menguak Sebuah Kepedulian)

0 komentar

PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF IKHWAN AL-SHAFA (Menguak Sebuah Kepedulian)

A. Pendahuluan
Pendidikan Islam memiliki sejarah yang panjang. Dalam pengertian yang seluas-luasnya, pendidikan Islam berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri. Dalam konteks masyarakat Arab, di mana Islam lahir dan pertam kali berkembang, kedatangan Islam lengkap dengan usaha-usaha pendidikan --untuk tidak menyebut sistem-- merupakan tranformasi besar. Sebab, masyarakat Arab pra Islam pada dasarnya tidak mempunyai sistem pendidikan. (Azyumardi Azra, 2002)
Pada masa klasik, tepatnya pada awal masa Bani Abbasiyyah [al-Mansur (137-158 H.), al-Rasyid (170-193 H.), dan al-Ma’mun (198-218 H.)] merupakan masa kulminasi ilmu pengetahuan bagi Islam. Sungguhpun sebagian ilmu (baca: ilmu-ilmu non agama, profan) ketika itu diselenggarakan secara non-formal. Hal tersebut pada gilirannya membawa pengaruh besar bagi peradaban dunia selanjutnya. Dalam kaitan ini mayoritas penulis Barat menilai, bahwa sumbangan Islam bagi dunia ilmu pengetahuan adalah sebagai jembatan antara capaian-capaian Yunani dengan Eropa abad pertengahan. Sementara Nasr, sebagaimana dikatakan Charles Michael Stanton (1994), mengatakan bahwa para ilmuan Arab dari masa awal tidak hanya mewariskan ilmu pengetahuan Yunani ke Eropa abad pertengahan, tetapi juga memperluas pengetahuan tersebut sebelum masuk ke Barat dalam bentuk terjemahan-terjemahan bahasa Latin.
Kemajuan yang diawali dengan penerjemahan terhadap sejumlah besar manuskrip, baik dari bahasa Syria maupun Yunani ke dalam bahasa Arab tersebut pada gilirannya melahirkan para tokoh intelektual dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Beberapa nama, seperti Jabir ibn Hayyan (721-815 M.). al-Kindi (801-873 M.), al-Razi (844-926 M.), al-Farabi (870-950 M.), Ibn Baytham (965-1039 M.), al-Biruni (973-1051 M.), Ibn Sina (980-1037 M.), al-Ghazali (1058-1111 M.) adalah produk dari masa ini.
Namun sejak kekhalifahan Abbasiyah dipegang oleh al-Mutawakkil (232-247 H.), keadaan tersebut mulai berubah. Beliau mengeluarkan kebijakan yang sangat berbeda dengan masa sebelumnya. Cara pikir Mu’tazily (cara pikir rasional dalam mencari pengetahuan dan kebenaran) dan buku-buku yang berbau Mu’tazilah serta ilmu-ilmu sekuler, prafon, mulai disingkirkan. Sementara itu keyakinan tradisional mulai mendominasi masyarakat Islam. Para filsuf dituduh sebagai penganut bid’ah. Agama jadi beku karena tokoh-tokohnya yang jumud dan fanatisme. Syariat Islam dikacaukan oleh noda ta’wil yang telah jauh dari syari’at Islam itu sendiri.
Pada masa ini muncullah sekelompok orang yang ingin menghidupkan kembali obor ilmu pengetahuan dengan mempelajari segala cabang ilmu pengetahuan, baik yang beredar di negeri Islam maupun ilmu-ilmu yang didatangkan dari India, Yunani, Persia dan Romawi, sebagai refleksi dari kejumudan dan fanatisme tersebut. Karena hilangnya kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat kala itu, maka kelompok yang akhirnya dikenal dengan nama Ikhwan al-Shafa ini menjadi gerakan bawah tanah. Mereka berkumpul, bertukar pikiran (mudzakarah) secara rahasia. Bahkan nama, juga dirahasiakan, untuk menghindarkan diri dari gangguan pihak penguasa.
Karakteristik dasar pemikiran mereka, terefleksi dalam pandangan pendidikannya. Menurutnya, aktivitas pendidikan dimulai sejak sebelum kelahiran, sebab kondisi diri bayi dan perkembangannya sudah dipengaruhi oleh keadaan kehamilan dan kesehatan sang ibu hamil. Dengan demikian, perhatian pendidikan harus sudah diberikan sejak masa janin dalam rahim (embrio). Karena janin berada dalam rahim selama sembilan bulan itu adalah agar sempurna bentuk dan kejadiannya. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Berangkat dari pemikiran tersebut, selanjutnya dalam pendidikan mereka memiliki tujuan tertentu. Hal inilah yang akan dikaji (merupakan kajian pokok) dalam tulisan ini. “Apa atau bagaimana tujuan pendidikan menurut Ikhwan al-Shafa”.
Dalam karya-karya ilmiah, baik yang tidak -atau belum- terpublikasikan, seperti makalah, skripsi, tesis maupun desertasi, maupun yang telah terpublikasikan, tidak banyak (sekurang-kurangnya jika dibanding dengan tokoh-tokoh lain secara individual, seperti al-Ghazali, Ibn Khaldun dan lain-lain) yang membicarakan tentang kepedulian Ikhwan al-Shafa ini. Hipotesis penulis, hal tersebut lebih karena di masa eksisnya Ikhwan al-Shafa merupakan gerakan bawah tanah yang bergerak secara rahasia, sehingga sejarahnya sulit --untuk tidak mengatakan “tidak dapat”--ditelusuri dan diteliti. Tidak selayaknya tokoh-tokoh maupun filsuf-filsuf yang lain seperti dua nama di atas, kemusian al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain.
Berangkat dari kelangkaan tersebut, tulisan ini berniat menambah khazanah keilmuan Islam sekaligus menengok kembali dan mencari data, betapa Islam dengan tokoh-tokohnya, di setiap masa dan tempat tertentu, selalu menunjukkan kepeduliannya terhadap ilmu pengetahuan maupun pendidikan.
B. Biografi Ikhwan al-Shafa
Dari namanya, dapat diketahui bahwa ia adalah sebuah kelompok yang terdiri dari beberapa orang. Ia muncul pertama kali di Basrah (sebelah selatan Irak) pada abad IV H., sekitar tahun 340 H./951 M., sebagai refleksi dari pola pikir umat Islam (sebagian ulama) pada masa itu yang dinilai telah mengalami kejumudan dan fanatisme. Sehingga agama menjadi beku, para filsuf dikutuk dengan cara menuduh para rasionalis sebagai penganut bid’ah. Syari’at Islam dinodai dengan ta’wil yang telah jauh dari syari’at Islam itu sendiri. (Depag., Ensiklopedi Islam, 1988). Berangkat dari niatnya yang mulia --memurnikan syari’at Islam dan menyalakan kembali obor ilmu pengetahuan di kalangan kaum muslimin-- kelompok ini menyebut organisasinya dengan nama Ikhwan al-Shafa (Persaudaraan Suci).
Mereka terdiri dari ahli pikir (ilmuwan dan filsuf) muslim. Sebuah pendapat mengatakan bahwa mereka berasal dari para simpatisan Syi’ah Isma’iliyyah, setelah wafatnya Imam Isma’iliyyah ke-7, Isma’il ibn Ja’far al-Shadiq. Pendapat lain mengatakan bahwa mereka adalah para pendukung Dinasti Buwaihi (golongan Syi’ah) yang berkuasa sebagai amir al-umara’ dalam lingkungan Dinasti Abbasiyah. (Depag., Ensiklopedi Islam, 1988). Ada lima nama yang dianggap sebagai tokoh utama dari kelompok ini, yaitu 1) Abu Sulaiman Muhammad ibn Mu’syir al-Busty (terkenal dengan nama al-Maqdisi), yang bertugas menulis dan merangkum semua pandangan kelompok ini; 2) Abu al-Hasan Ali ibn Harun al-Zanjany; 3) Abu Ahmad al-Mihranjany; 4) Al-Aufy; dan 5) Zaid ibn Rafi’ah, selaku pemimpin kelompok ini. (MM. Syarif, 1963)
Mereka mengklaim dirinya sebagai kelompok non partisan, objektif, pecinta kebenaran, elit intelektual, dan solid-kooperatif. Menurutnya, pangkal perseteruan sosial, politik dan keagamaan terdapat pada keragaman agama, aliran keagamaan, dan etnik kesukuan dalam kekhalifahan Abbasiyah. Sebagai solusi, mereka menawarkan alternatif, yaitu menyatukan perbedaan ke dalam satu madzhab yang inklusif dan berpijak pada ajaran-ajaran yang disarikan dari semua agama dan aliran yang ada.(Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Mereka mempelajari segala cabang ilmu pengetahuan baik yang beredar di negeri Islam maupun ilmu-ilmu yang didatangkan dari India, Yunani, Persia, dan Romawi. Mereka juga giat mengadakan penelitian, yang dimunculkan dalam bentuk buku, brosur, dan pamphlet, sebagaimana mereka memunculkan statemen-statemennya. (Depag., Ensiklopedi Islam, 1988)
Pandangan-pandangannya banyak bertentangan dengan khalifah, sehingga untuk menghindarkan diri dari campur tangan khalifah, mereka merahasiakan keberadaan dan aktifitasnya. Mereka berkumpul dan bertukar pikiran (mudzakarah) secara rahasia. Sekalipun mereka memiliki banyak cabang, namun anggotanya sangat sedikit. Hal ini dikarenakan: 1) pergerakan mereka disusun secara rahasia; dan 2) penerimaan anggota dilakukan secara selektif. Di samping bobot ilmiahnya, mereka juga mempertimbangkan calon anggota dalam hal akhlak, karakter, dan budi pekertinya.
Aktifitas Ikhwan al-Shafa didasarkan pada pandangannya, yaitu “Syari’at Islam telah dinodai dengan berbagai macam kejahilan dan dilumuri oleh beraneka ragam kesesatan. Dan jalan terbaik untuk membersihkan semua itu adalah dengan filsafat”. Semasa eksisnya, kelompok ini menciptakan sebuah madzhab tersendiri, yang mana dengan madzhab tersebut mereka akhirnya mendapat tentangan dari ahli agama dan ahli pengetahuan yang lain, terutama para mutakallimin. Para ahli agama dan ahli pengetahuan tersebut mencela jalan yang ditempuh Ikhwan al-Shafa dalam mena’wilkan al-Qur'an yang tidak sesuai dengan dhahir ayat serta keluar dari maksud yang dikandung al-Qur'an menurut tafsiran mereka. Mereka menganggap Ikhwan al-Shafa telah menggabungkan fundamen agama dengan filsafat Yunani, yaitu menggabungkan wahyu dengan akal. (Depag., Ensiklopedi Islam, 1988)
Ikhwan al-Shafa banyak menulis buku, dan satu di antaranya adalah buku yang terdiri dari berbagai macam risalah, yang diberi nama “Rasa’il Ikhwan al-Shafa wa Kullan al-Wafa” (risalah-risalah tentang saudara-saudara suci dan sahabat-sahabat jujur). Buku yang kemudian dikenal dengan Ensiklopedi Ikhwan al-Shafa tersebut terdiri dari 51 risalah yang dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu 1) Matematika, terdiri dari 14 naskah, meliputi: geometri, astronomi, musik, geografi, seni, akhlak, dan logika. 2) Ilmu alam dan fisika, terdiri atas 17 naskah, meliputi: fisika, mineralogy, botani, alam kehidupan dan kematian, dan tentang kemampuan manusia di dalam berpikir.
3) Sains pemikiran serta psikologi, terdiri dari 10 naskah, meliputi: metafisika, waktu dan peredaran waktu, ilmu tabi’at, dan tentang kebangkitan kembali. 4) Agama, terdiri dari 14 risalah, yang meliputi theologi, hubungan manusia dengan Tuhan, ramalan, entitas spiritual, tindakan (aksi) perundingan politik, taqdir, ilmu ghaib, dan azimat. (Depag., Ensiklopedi Islam, 1988) Sedangkan di bidang filsafat meliputi: ilmu, matematika, mantik (logika), metafisika, tentang jiwa, filsafat agama, dan moral.
Dalam perkembangan pemikiran pendidikan, Ikhwan al-Shafa memiliki beberapa keistimewaan. Di antaranya, pertama, aplikasi keilmuan atas problema sosial melalui sistem pendidikan yang efektif dan berorientasi pada rekonstruksi keseimbangan ranah intelektual dan moral, dan pembebasan potensi nalar masyarakat luas. Mereka berpendapat bahwa fenomena kelaliman, otoritanisme dan tiranisme politik tidak akan berlangsung kontinu kecuali akibat merebaknya kebodohan dan kelalaian mayoritas masyarakat. Dengan diubahnya pola pikir dan disadarkannya mayoritas masyarakat dari kebodohan dan kelalaian mereka, maka akan sulit terjadi kelaliman, otoritanisme dan tiranisme.
Kedua, paradigma “ta’limiy” (pengajaran). Ini tampak dalam praktik politiknya, yaitu dalam pola relasi dan organisasi antar mereka berada pada penjenjangan da’wah. Ketiga, difersifikasi sumber-sumber pengetahuan, yang merupakan refleksi dari sabda Nabi “Hikmah itu barang hilang orang mukmin, ia akan mengambilnya di manapun ditemukan”.
Keempat, penolakan fanatisme buta, peneguhan paham kebebasan dan apresiasi pluralitas pemikiran sebagai hal produktif bagi dinamika intelektual dan sosial.(Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Para sejarawan kontemporer mengakui kontribusi besar Ikhwan al-Shafa dalam perkembangan pemikiran Islam, yang dapat mereka simpulkan, antara lain:
  1. Totalitas kelompok Ikhwan al-Shafa dalam mengabdi untuk kehidupan intelektual di abad keempat Hijriyah, hingga merekalah yang paling lantang dan fasih berbicara.
  2. Perintisan program penyusunan karya ensiklopedi pemikiran keislaman, yaitu dengan risalah-risalah popular mereka.
  3. Pencerdasan dan pencerahan masyarakat luas melalui program pengajaran aneka ragam ilmu dan filsafat. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
C. Konsep Pendidikan Menurut Ikhwan al-Shafa
Dengan tepat, term pendidikan sulit untuk diformulasikan, karena keluasan wilayahnya. Wilayah pendidikan meliputi, antara lain: tempat (keluarga, sekolah, masyarakat); pelaku (diri sendiri, orang lain, lingkungan); dan daerah (hati, akal, jasmani). Namun secara umum pendidikan dapat diartikan sebagai usaha mendewasakan atau mencapai kedewasaan seseorang melalui pengajaran dan pelatihan.
Dalam konteks Islam, menurut Azyumardi Azra (2002), pengertian pendidikan dengan seluruh totalitasnya inheren dengan konotasi istilah tarbiyyah, ta’lim dan ta’dib yang harus dipahami secara bersama-sama. Ketiga istilah itu mengandung makna yang amat dalam menyangkut manusia, masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain. Istilah-istilah itu pula sekaligus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam: informal, formal dan nonformal.
Walaupun bukan merupakan suatu komitmen, kata tarbiyah merupakan kata yang paling populer untuk menunjuk pendidikan di negara-negara Arab, sehingga kita lebih sering mendengar istilah Kulliyyah Tarbiyyah, atau fakultas Tarbiyah dalam konteks Indonesia daripada kata yang lain. Penggunaan kata tarbiyah untuk menunjuk pendidikan pertama kali muncul, jelas Munir Mursa, berkaitan dengan gerakan pembaharuan pendidikan di dunia Arab pada pertengahan abad ke-20. Di antara tokoh yang menggunakan istilah tersebut adalah Abdurrahman al-Nahlawi.
Berhubungan dengan pendidikan, Ikhwan al-Shafa menguraikan teorinya dengan komprehensif, sempurna, dan gradual. Secara garis besar uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa pendidikan adalah aktivitas moral untuk mencapai kebaikan bagi manusia. Dengan demikian, pendidikan merupakan hal yang urgensi dan esensi bagi manusia. Dan sebagai konsekuensi, mereka memberikan perhatian yang sangat besar terhadap hal tersebut. Kepedulian serta keseriusan mereka dapat dilihat dari karya spektakulernya, yaitu sebuah ensiklopedi yang terdiri dari 51 risalah dan tersusun dalam 4 jilid, yang sampai kini tetap eksis menghiasi diskursus-diskursus. Di dalam ensiklopedi tersebut terdapat kurikulum pendidikan yang pernah diberlakukan dalam Lembaga Pendidikan Tinggi Islam pada abad X M. (Charles Michael Stanton-terj, 1994).
Berikut ini kesimpulan dari materi dan topik-topik yang tercakup dalam Ensiklopedi Ikhwan al-Shafa, yang dikemukakan oleh Fredrich Dieterici, dalam kutipan Charles Michael Stanton :
Disiplin-disiplin umum : tulis-baca dan gramatika, ilmu hitung, sastra, sajak dan puisi, ilmu tentang tanda-tanda dan isyarat, ilmu sihir dan jimat, kimia, sulap, dagang dan keterampilan tangan, jual-beli, komersial, pertanian dan peternakan, serta biografi dan kisah-kisah.
Ilmu-ilmu agama : ilmu al-Qur'an, tafsir, hadis, fiqih, dzikir, zuhud, tasawuf, dan syahadah.
Ilmu-ilmu filosofis : matematika, logika, ilmu angka-angka, geometri, astronomi, musik, aritmatika, dan hukum-hukum geometri; ilmu-ilmu alam dan antropologi; zat, bentuk, ruang, waktu dan gerakan; kosmologi; produksi, peleburan, dan elemen-elemen; meteorology dan minerologi; esensi alam dan manifestasinya; botani dan zoology; anatomi dan antropologi; persepsi inderawi; embriologi; manusia sebagai mikro kosmos; perkembangan jiwa (evolusi psikologis); tubuh dan jiwa; perbedaan bahasa-bahasa (filologi); psikologi-pemahaman dunia kejiwaan dan sebagainya; dan theology-doktris esoteris Islam, susunan alam spiritual; serta ilmu tentang alam ghaib. (Charles Michael Stanton-terj, 1994)
Menurut Ikhwan al-Shafa, aktivitas pendidikan bukan sekedar mentransfer pengetahuan atau pengalaman dari seseorang pada orang lain. Tapi jauh lebih luas dari itu. Oleh karena itu, aktivitas pendidikan tidak dimulai sedari kecil, tetapi sejak seorang anak masih dalam kandungan. Saran para dokter agar ibu yang hamil berhati-hati dalam segala aktivitasnya, menurutnya, adalah karena kehati-hatian sang ibu sangat berpengaruh pada kesehatan bayi dalam rahimnya, yang selanjutnya berpengaruh pada intelektual dan kejiwaan sang bayi. (Ahmad Tafsir, 2001). Keberadaan janin dalam rahim selama sembilan bulan, menurutnya, hanyalah demi kesempurnaan bentuk dan kejadian sang bayi. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002).
Selanjutnya, setelah sang bayi lahir, ia akan terus dipengaruhi oleh faktor-faktor yang ada di sekelilingnya. Ikhwan al-Shafa menganalogikan jiwa bayi sebelum terisi oleh suatu pengetahuan bagaikan kertas putih dan bersih, tidak ada tulisan apapun, sebagaimana sabda Nabi SAW. sewaktu jiwa telah diisi oleh suatu pengetahuan atau kepercayaan, baik yang benar maupun yang batil, maka sebagian darinya telah tertulisi dan sulit untuk dihapuskan. Dengan demikian, perhatian terhadap kesehatan indrawi bayi atau anak hendaknya diberikan sejak dini, karena ia merupakan jendela masuknya dunia luar ke dalam jiwa. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002).
Kesadaran kuat Ikhwan al-Shafa terhadap urgensi indra dalam memperoleh pengetahuan dan imperasinya dalam keberadaan manusia, baik dataran empiris-sensual maupun empiris-logis, membawa mereka pada pengapresiasian peran dan fungsi fisik-jasmani untuk kebahagiaan manusia dan kenormalan hidupnya. Dalam risalah yang lain, mereka menekankan perlunya memperhatikan fisik-jasmaniah, memeliharanya dan mengaturnya dengan seksama agar jangan sampai tidak terurus kebutuhan makan dan minumnya. “Sekiranya kebutuhan makan, minum, gerak dan istirahat dari fisik-jasmaniah terpenuhi dengan baik, maka kamu akan sehat wal afiat.” (Muhammad Jawwad Ridla, 2002).
Ikhwan al-Shafa juga berpendapat bahwa manusia tersusun dari unsur fisik-biologis dan unsur jiwa-rohaniah, yang mana antara keduanya memiliki perbedaan sifat dan berlawanan kondisi. Oleh karena itu, kehidupan manusia diwarnai dengan dualitas berlawanan, seperti hidup dan mati, kepandaian dan kebodohan dan lain-lain. Namun dualistic yang mewarnai manusia tersebut tidaklah bersifat liberal, melainkan dibatasi oleh pengakuan akan ragam potensi individual yang unik. Antara satu orang berbeda dengan orang lain. Meskipun watak dasar setiap individu bersifat genetic-bawaan, namun kecenderungan-kecenderungan yang dimilikinya bersifat ikhtiyari. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002). Sebagai treatment menjauhkan anak dari dampak negative, Ikhwan al-Shafa menegaskan perlunya lingkungan pendidikan (konteks positif) bagi perkembangan anak.
Kelompok yang membenarkan adanya kebenaran dalam agama-agama non Islam ini, juga mengatakan bahwa setiap manusia memiliki potensi, tetapi potensi itu tidak akan bisa menjadi aktual tanpa bimbingan guru. Ilmu yang ada pada manusia datang dari tiga jurusan, yaitu 1) panca indra; 2) argument; dan 3) perenungan akal. Jalan yang ketiga ini merupakan tahapan yang sederhana, dan akan mencapai ma’rifat Allah jika melalui hidup zuhud (asketis) dan amal saleh. (Depag., Ensiklopedi Islam, 1988).
Dalam pengajarannya, kelompok yang disebut juga ta’limiyyun ini, mengklasifikasikan manusia, sehubungan dengan pengetahuannya, ke dalam empat tingkatan atau kelompok. Pertama kelompok remaja dan pemuda yang berumur sekitar 15-30 tahun. Kelompok ini, pertumbuhan dan perkembangan jiwanya relatif masih selaras dengan fitrah. Mengingat kelompok ini berstatus murid, sepantasnya mereka mengikuti guru mereka. Kedua, kelompok orang dewasa, sekitar umur 30-40 tahun. Kelompok ini sudah mengetahui wisdom keduniaan dan sudah mampu menerima pengetahuan melalui simbol.
Ketiga, kelompok orang yang berumur 40-50 tahun. Mereka sudah dapat mengetahui Namus Ilahy (malaikat Tuhan) secara sempurna sesuai tingkatan mereka. Ini adalah tingkatan Nabi. Keempat, kelompok orang yang berusia 50 tahun ke atas. Tingkatan tertinggi yang memungkinkan manusia menyaksikan realitas hakiki segala sesuatu, seperti halnya yang dimiliki para malaikat. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
D. Epistemologi Ikhwan al-Shafa
Secara etimologi, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu). Sedangkan secara terminology, epistemologi adalah cabang filsafat yang bersangkut-paut dengan teori pengetahuan. (Jan Handrik Rapar, 1996). Jika diformulasikan dengan pertanyaan, maka epistemologi mengandung pertanyaan-pertanyaan: apakah pengetahuan itu? Apa sumber dan dasar pengetahuan? Apakah pengetahuan itu kebenaran yang pasti atau hanya dugaan? Apakah pengetahuan itu berasal dari pengamatan, pengalaman atau akal budi?
Untuk menjawab dari mana pengetahuan diperoleh, ada dua pendapat yang berbeda. Pertama, pengetahuan diperoleh melalui akal. Kedua, pengetahuan diperoleh melalui indra (pengalaman). Pendapat pertama selanjutnya dikenal dengan faham rasionalisme, dan kelompoknya disebut rasionalis. Mereka berpendapat bahwa sumber pengetahuan manusia yang dapat dipercaya, dan sumber ilmu pengetahuan yang memenuhi syarat adalah yang diperoleh melalui akal atau rasio. Di antara filsuf yang memelopori pendapat ini adalah Plato.
Sedang pendapat kedua selanjutnya dikenal dengan faham empirisme dan kelompoknya disebut kaum empiris. Mereka berpendapat bahwa indra manusia mempunyai peranan besar dalam menghasilkan pengetahuan, sementara akal lebih berfungsi sebagai pengaturnya.
Dari dua kelompok ini, di manakah Ikhwan al-Shafa berada? Ikhwan al-Shafa mempunyai pendapat yang berbeda dengan teori pengetahuan Plato, yang menyatakan bahwa jiwa mengetahui dengan mengingat-ulang apa yang telah diperolehnya sewaktu berada di alam ide, sebelum turun ke bumi. Di alam ide, jiwa mengetahui banyak hal. Pada saat jiwa berpindah dari alam ide yang bersifat rohaniah menuju ke alam material, ia lupa akan pengetahuan yang dulu dimilikinya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dipelajarinya (di alam material), sebenarnya hanya bersifat mengingat-ulang pengetahuan yang dulu pernah dimilikinya (di alam ide). (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Berbeda dengan pendapat tersebut, Ikhwan al-Shafa menganggap semua pengetahuan berpangkal pada cerapan indrawiah (empirisme). Mereka memandang salah terhadap kelompok yang mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara mengingat-ulang. Argumentasi mereka, bahwa segala sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh indra, tidak bisa diimajinasikan, dan segala sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan, tidak bisa dirasiokan. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Sekedar menguatkan pendapat kaum empiris di atas, yang mengatakan bahwa akal lebih berfungsi sebagai pengatur, Ikhwan al-Shafa mengatakan bahwa, orang-orang yang berakal mempunyai perbedaan tingkat pengetahuan rasionalnya. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kualitas potensi indrawiah, pola interaksi mereka dengan lingkungan dan lainnya.
Berangkat dari realita tersebut, selanjutnya Ikhwan al-Shafa merumuskan bahwa:
“Sesungguhnya rasio manusia tiada lain hanyalah jiwa yang berpikir (al-nafs al-nathiqah), di kala manusia dalam usia dewasa. Jiwa pada waktu awal bersatu dengan badan, yaitu periode janin dalam rahim, adalah sesuatu yang amat sederhana, tidak berpengetahuan, tidak berakhlak, tidak berpihak dan tidak beraliran, sebagaimana difirmankan Allah SWT.: ‘Allah yang telah mengeluarkanmu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apapun’. Ia hanyalah substansi rohaniah yang hidup dan mempunyai potensi berkembang. Sewaktu jiwa mendapat impresi dan stimuli indrawiah-sensual dengan ragam jenis dan macamnya, lalu dipersepsikan. Dengan demikian, jiwa disebut sebagai berakal dan mengetahui secara aktual.” (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Tentang pertanyaan, apa sumber pengetahuan ? Menurut Ikhwan al-Shafa, sumber pengetahuan ada empat macam:
  1. Kitab suci yang diturunkan, seperti Taurat, Injil, Zabur, dan al-Qur'an.
  2. Kitab-kitab yang disusun oleh para hukama’ dan para filosof, seperti matematika, fisika-kealaman, sastra dan filsafat.
  3. Alam.
  4. Perenungan alam semesta dan tata aturan kosmiknya, yang sering disebut substansi noumenon, ragam dan macamnya, serta kaitan fungsionalnya dengan kenyataan empiris. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
E. Tujuan Pendidikan Menurut Ikhwan al-Shafa
Untuk mengetahui tujuan pendidikan, tidak bisa lepas dari pembahasan tentang konsep manusia. Karena merekalah pelaku pendidikan. Sebagai konsekuensi logis, jika kita ingin mengetahui apa tujuan pendidikan ala Ikhwan al-Shafa, maka kita harus mengetahui diskursus mereka tentang manusia.
Sebagaimana --secara serba sederhana-- telah penulis singgung di atas, bahwa dalam moral-etik, Ikhwan al-Shafa mempunyai pandangan “dualistic” tentang konsep dasar manusia. Manusia itu, jelasnya, tersusun dari unsur fisik-biologis dan jiwa-rohaniah. Kedua unsur ini memiliki perbedaan sifat dan berlawanan kondisi, namun memiliki kesamaan dalam tindakan dan aksidentalnya. Karena unsur fisik-biologisnya, manusia cenderung untuk tidak kekal di dunia dan hidup selamanya. Sedangkan, karena unsur jiwa-rohaniahnya, manusia cenderung untuk meraih akhirat dan keselamatan di sana. Dengan demikian, kondisi kehidupan manusia diwarnai oleh dualitas berlawanan, seperti hidup dan mati, tidur dan terjaga, pengetahuan dan kebodohan, ingat dan lupa, cerdas dan dungu, sehat dan sakit, kedermawanan dan kekikiran, baik dan jahat, ketakutan dan keberanian, susah dan senang dan lain-lain. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Manusia berada dalam tarik-menarik antara persahabatan dan permusuhan, kefakiran dan kecukupan, kemudaan dan ketuaan, takut dan berharap, jujur dan dusta, kebenaran dan kebatilan, ketepatan dan kekeliruan, baik dan buruk, serta dualitas berlawanan dari ucapan dan perilaku moral-etik lainnya.
Ketahuilah wahai Saudaraku! Hal-hal yang dikemukakan tersebut tidaklah semata-mata berkaitan dengan unsur fisik-biologis manusia, atau semata-mata berkaitan dengan unsur jiwa-rohaniahnya, melainkan berkaitan dengan totalitas dua unsur itu yang membentuk manusia yang hidup, berpikir dan mati. Kehidupan dan kemampuan berpikir manusia dikarenakan oleh unsur jiwa-rohaniahnya, sedangkan kematiannya dikarenakan unsur fisik-biologisnya, sadar-jaganya dikarenakan unsur jiwa-rohaniahnya. Singkat kata, segala persoalan dualitas berlawanan yang melingkupi kehidupan manusia, sebagiannya berasal dari unsur jiwa-rohaniah. Itu sebabnya, hal-hal semisal: kecerdasan, pengetahuan, kedermawanan, kebijaksanaan, kejujuran, kebaikan, serta hal positif lainnya berasal dari jiwa-rohaniah yang jernih, sedangkan kebalikan dari semua itu berasal dari fermentasi anasir fisik-biologis manusia. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Namun dualistik yang mewarnai manusia, lanjutnya, tidaklah bersifat liberal, melainkan dibatasi oleh ragam potensi individual yang unik. Antara satu orang berbeda dengan orang lain. Meskipun watak dasar setiap individu bersifat genetic-bawaan, namun kecenderungan-kecenderungan yang dimilikinya bersifat ikhtiyari, sehingga terjadi keragaman antar individu, seperti ada individu yang berbakat menjadi pedagang, da’i, guru dan lain-lain.
Ragam potensi kognitif dan indrawiah juga memengaruhi pula pada potensi moral-etik yang juga beragam antara manusia, sebagaimana beragamnya potensi kognitif-intelektual. Menurutnya, moral yang bersandar pada karakter dasar manusia adalah kecenderungan kuat pada anggota badan, dan pada gilirannya akan memudahkan dalam merefleksikan dalam tindakan nyata. Sebagai contoh, misalnya seseorang berkarakter pemberani maka dia akan merasa enteng menghadapi hal-hal yang menakutkan. Tetapi jika dia berkarakter penakut, dalam menghadapi hal-hal yang menakutkan dia akan pikir-pikir dahulu atau penuh pertimbangan, begitu seterusnya.
Ikhwan al-Shafa juga mengakui adanya potensi psikomotorik, kognitif, dan afektif pada masing-masing individu. Mereka menggambarkan kehidupan sosial sebagai tatanan (sistem) fungsional-komplementer, di mana tiap-tiap potensi genetic-bawaan yang dimiliki manusia merupakan alat-alat sistemik (sub sistem-sub sistem) yang berfungsi spesifik demi tegaknya sebuah tatanan (sistem) tersebut. Namun tidak diragukan bahwa fungsi-fungsi spiritual berada pada hirarkhi paling atas dan mulia dibanding fungsi-fungsi lainnya.
Berangkat dari eksplanasi di atas, bahwa manusia diliputi oleh dua hal, yaitu positif dan negative (baik dan buruk). Maka tujuan pendidikan bagi manusia, menurut Ikhwan al-Shafa, secara umum, adalah untuk mencapai kebaikan. Dan secara khusus, mereka merincinya menjadi dua tujuan, yaitu tujuan individual dan tujuan sosial. Secara tekstual, antara keduanya terdapat perbedaan. Ikhwan al-Shafa memberikan porsi lebih kepada kelompok kedua. Secara global-individual, tujuan pendidikan adalah untuk mengenal Tuhan. Sedangkan tujuan ­global-sosial adalah untuk pembentukan karakter diri (al-suluk).
Lebih jelasnya, tujuan-tujuan tersebut dapat dibaca dalam kutipan risalah mereka berikut ini:
“Ketahuilah wahai Saudaraku! --semoga Allah memberi kekuatan kepada kita-- bahwa tujuan para filsuf dan pakar mempelajari ilmu-ilmu pasti dan mengajarkannya kepada para murid adalah al-suluk (pembentukan karakter diri) dan penitian ke arah penguasaan ilmu-ilmu kealaman (Fisika). Sedangkan tujuan mereka mempelajari ilmu-ilmu kealaman adalah pendakian menuju penguasaan ilmu-ilmu ketuhanan (theologi) yang menjadi puncak tujuan para filsuf dan ilmuwan bijak, serta muara dari ragam pengetahuan tentang hakikat. Mengingat tahapan awal pemahaman ilmu-ilmu ketuhanan adalah pengenalan akan substansi jiwa, pengkajian perihal awal kejadiannya sebelum bersatu dengan jasad, penelaahan tentang muara akhirnya setelah berpisah dengan jasad dan tentang perihal pahala yang akan diterima orang-orang yang baik di akhirat, dan hal-hal lain; mengingat juga manusia sangat dituntut untuk mengenali (ma’rifat) terhadap Tuhannya, sementara hal itu hanya bisa diraih bila ia mampu mengenali dirinya sendiri, seperti difirmankan Allah SWT., “Dan tidaklah ada orang yang membenci agama Ibrahim, kecuali orang yang tidak mengenali dirinya sendiri” (al-jahl al-nafs), dan seperti apa yang diungkapkan, “Barangsiapa mengenali dirinya sendiri, maka ia akan mampu mengenali (ma’rifat) Tuhannya”, demikian juga ungkapan, “orang yang paling mampu mengenali dirinya sendiri, dialah yang paling mengenali Tuhannya”. Maka setiap orang yang berakal dituntut untuk mencari dan mempelajari ilmu tentang jiwa, pengetahuan tentang substansinya dan cara penyuciannya. Allah berfirman, “Demi jiwa dan apa yang Dia telah menyempurnakan. Dia telah membekali jiwa keburukan dan ketaqwaannya. Sungguh beruntung orang yang mau membersihkan jiwa, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya”. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Namun tujuan tertinggi dari aktivitas pendidikan ini, menurutnya, adalah peningkatan harkat manusia kepada tingkatan malaikat yang suci, agar dapat meraih ridha Allah SWT. Dan hal itu, tegasnya, hanya bisa direalisir dengan komitmen seseorang terhadap perilaku moral. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
F. Penutup
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa Ikhwan al-Shafa merupakan persaudaraan suci yang terdiri dari para ilmuwan dan filsuf muslim. Mereka bergerak secara rahasia dan memiliki tujuan politis melakukan transformasi sosial, namun tidak melalui cara radikal-revolusioner, tetapi melalui cara transformasi pola pikir masyarakat luas. Mereka sangat peduli dengan nasib Islam di zamannya. Kepedulian tersebut terutama dalam pemikiran (pendidikan), yang selanjutnya terefleksi dalam karya spektakulernya, Rasa’il Ikhwan al-Shafa, sebuah karya dalam bentuk ensiklopedi yang di dalamnya terdapat beberapa disiplin ilmu pengetahuan, sekaligus kurikulum pendidikan.
Dalam pendidikan, Ikhwan al-Shafa, memiliki konsep bahwa pendidikan itu bukan sekedar upaya transfer suatu pengetahuan dari seseorang kepada orang lain tetapi lebih merupakan aktivitas moral yang dengannya seseorang mendapatkan derajat kemanusiaan yang tertinggi, yang dalam istilah mereka disebut “derajat malaikat al-muqarrabin. Aktivitas pendidikan ini bukan hanya berupa bimbingan dan pengajaran tetapi juga pengaruh, yang dapat terjadi sejak seorang anak masih dalam kandungan (embrio). Sehingga sejak inilah aktivitas pendidikan sudah dimulai.
Dalam epistemologi, Ikhwan al-Shafa mengatakan bahwa semua pengetahuan berpangkal pada cerapan indrawiah (empirisme). Mereka memandang salah terhadap kelompok yang mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara mengingat-ulang. Argumentasi mereka, bahwa segala sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh indra, tidak bisa diimajinasikan, dan segala sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan, tidak bisa dirasiokan. Pengetahuan juga dapat diperoleh dari 1) kitab suci yang diturunkan, seperti Taurat, Injil, Zabur, dan al-Qur'an; 2) kitab-kitab yang disusun oleh para hukama’ dan para filosof, seperti matematika, fisika-kealaman, sastra dan filsafat; 3) alam; 4) perenungan alam semesta dan tata aturan kosmiknya.
Tujuan pendidikan menurut Ikhwan al-Shafa adalah untuk peningkatan harkat manusia kepada tingkatan yang tertinggi (malaikat yang suci), agar dapat meraih ridha Allah SWT.
Daftar Pustaka
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 2002
Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam (terj.), Jakarta: Logos, 1994
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999
Departemen Agama RI., Ensiklopedi Islam, Jakarta, 1988
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1996
Majid Fakhriy, Sejarah Filsafat Islam, Bandung, Mizan, 2002
Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002
M.M. Syarif (ed), A. Historis of Muslim Philosophy, Otto Harrassinwitz Wiesbaden, 1963

Pandangan Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan

0 komentar

Pandangan Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Filsafat merupakan pokok dari segala disiplin ilmu sebagai refleksi rasionil (fikr, nazr, ma'rifat, ra'y) atas keseluruhan keadaan untuk mencapai hakikat dan memperoleh hikmah. Berfilsafat adalah berpikir sedalam-dalamnya dengan bebas dan teliti tentang segala sesuatu yang masuk kedalam pikiran, baik yang di luar maupun yang ada di dalam diri. Maka timbullah suatu pertanyaan: "Dapatkah seorang Muslim itu berfilsafat?". Timbulnya pertanyaan ini ialah karena seorang Muslim itu selamanya terikat dan didoktrin oleh ajaran-ajaran agamanya. Maka bolehkah dia meninggalkan agamanya untuk berfilsafat?
Perlu diketahui bahwa seorang Muslim yang berpikir dengan sedalam-dalamnya tanpa suatu maksud, selain dari mencari yang hak dan kebenaran, yang selalu mengindahkan disiplin dan hukum-hukum berpikir, maka dia akan sampai kepada kebenaran itu dan tidak akan tersesat.
Di dunia Islam Timur, filsafat mengalami perkembangan yang sangat signifikan, terbukti dengan munculnya tokoh-tokoh filosof Islam seperti Al-Kinidi, Al-Razi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, Ibnu Sina, Ibn Khaldun dan lain-lain. Para tokoh tersebut memberikan kontribusi yang penting bagi umat Islam di dunia, khususnya dalam hal filsafat Islam. Atas dasar ini, maka kami mencoba untuk mengulas pemikiran tokoh filsafat Islam yakani Al-Ghazali dan Ibn Khaldun. Dalam hal ini penulis akan mengulas tentang pemikiran filosofi dari kedua tokoh tersebut dan pandangan mereka terhadap pendidikan Islam. Kemudian penulis akan mencoba membandingkan konsep pemikiran mereka tentang pendidikan Islam, apakah konsep yang mereka ungkapkan sama ataukah berbeda?
Tujuannya agar kita bisa mengetahui pemikiran tokoh-tokoh penting dalam dunia Islam. Pendidikan bukan saja dimiliki oleh barat yang terkenal saat ini, tetapi pendidikan sejak dahulu telah dimiliki oleh dunia Islam lewat tokoh-tokohnya. mudah-mudahan bermanfaat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI AL-GHAZALI
1. Sosio-Kultural Al-Ghazali
1.
Al-Ghazali, nama lengkapnya adalah Abu hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali di lahirkan di Tusia di daerah Khurasan (Persia), pada pertengahan abad ke-5 Hijriyah tepatnya pada tahun 450 Hijriyah bertepatan dengan 1059 M. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa ia dilahirkan di Ghazalah, yang terletak di ujung Thus, sehingga dapat dikatakan ia memiliki darah Persia.[1]
Sementara tentang sejarah ibunya tidak banyak orang yang mengetahuinya, selain bahwa dia hidup hingga menyaksikan kehebatan anaknya di bidang ilmu pengetahuan dan melihat popularitasnya serta gelar tertinggi di bidang keilmuan.[2]
Ayah Al-Ghazali adalah seorang tasawuf yang sholeh dan meninggal dunia ketika Al-Ghazali masih kecil. Ia seorang laki-laki miskin yang bekerja sebagai tukang tenun sutera. Sang ayah ingin sekali Al-Ghazali tumbuh di lingkungan yang Islami. Karena itu sebelum wafatnya ia menitipkan Al-Ghazali dan adiknya kepada seorang temannya yang sufi dan menyerahkan biaya hidup untuk mereka berdua. Sang sufi adalah seorang yang miskini. Karena itu ketika biaya hidupnya habis, maka ia menyerahkan keduanya ke salah satu sekolah yang didirikan oleh Nizham al-Mulk yang dapat menyediakan asrama dan biaya hidup bagi pelajar.[3]
Al-Ghazali memulai pendidikannya di wilayah kelahirannya Tus dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya ia pergi ke Nisyafur dan Khurasan yang pada waktu itu kedua kota tersebut terkenal dengan pusat ilmu pengetahuan terpenting di dunia Islam. Di kota Nisyafur inilah Al-Ghazali berguru kepada Imam al-Haramain Abi al-Ma'ali al-Juwainy, seorang ulama yang bermazhab Syafi'I yang pada saat itu menjadi guru besar di Nisyafur.[4]Diantara mata pelajaran yang dipelajari Al-Ghazali di kota tersebut adalah teologi, hukum Islam, falsafat, logika, sufisme dan ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya inilah yang kemudian mempengaruhi sikap dan pandangan ilmiahnya dikemudian hari.[5]
Setelah itu Al-Ghazali berkunjung kepada Nidzam al-Mulk di kota Mu'askar, dan darinya ia mendapat kehormatan dan penghargaan yang besar, sehingga ia tinggal di kota itu enam tahun lamanya. Pada tahun 483 H/1090 M, ia diangkat menjadi guru di sekolah Nidzamah Baghdad, dan pekerjaannya itu dilaksanakan dengan sangat berhasil sehingga banyak para penuntut ilmu dan pengagumnya berguru kepadanya.[6]
Pada tahun 487 Hijriyah, khalifah al-Mustadhir meminta Ghazali untuk menanggapi pemikiran kaum Islamiyah, yang terkenal dengan al-Bathiniyah atau al-Ta'limiyah. Pada saat itu mereka merupakan kekuatan yang luar bisaa. Dan Al-Ghazali sampai menulis tiga buku untuk menanggapi pemikiran mereka.
Setelah itu, Al-Ghazali mengalami krisis psikologi yang serius dan mematikan seluruh kegiatannya serta membuatnya meninggalkan kegiatan mengajarnya. Dalam bukunya al-Munqidz Min ad-Dhalal, Al-Ghazali menyatakan bahwa krisis psikologilah yang membuatnya meninggalkan kedudukannya di madrasah Nizhamiyah. Pekerjaan itu ditinggalkannya sekitar tahun 484 H, Untuk menuju Damsyik dan dikota ini ia merenung, membaca dan menulis selama kurang lebih 2 tahun, dengan tasawuf sebagai jalan hidupnya. [7]
Kemudian ia pindah ke Palestina dan disinipun ia tetap merenung, membaca dan menulis dengan mengambil tempat di masjid Baitul Maqdis. Sesudah itu bergeraklah hatinya untuk menjalankan ibadah haji, dan setelah selesai pulang ke negeri kelahirannya sendiri yaitu kota Tus dan disana ia tetap seperti bisaanya, berkhalwat dan beribadah.[8]
Karena desakan penguasa pada masanya, yaitu Muhammad, Al-Ghazali mau kembali mengajar di sekolah Nazamiyyah di Naisabur tahun 499 H. akan tetapi pekerjaan ini berlangsung 2 tahun, untuk akhirnya kembali ke kota Tus lagi, dimana ia kemudian mendirikan sebuah sekolah untuk para fuqaha dan sebuah biara (Khangak) untuk para mutasawwifin. Di kota itu pula ia meninggal dunia pada tahun 505 H/1111M, dalam usia 54 tahun.[9]
2. Karya-karya Al-Ghazali
Al-Ghazali banyak mengarang buku dalam berbagai disiplin ilmu. Karangan-karangannya meliputi Fiqih, Ushul Fiqh, Ilmu Kalam, Teologi kaum Salaf, bantahan terhadap kaum Batiniah, Ilmu Debat, Filsafat dan khususnya yang menjelaskan tentang maksud filsafat serta bantahan terhadap kaum filosof, logika, tasawuf, akhlak dan psikologi.
Kitab yang terbesar Al-Ghazali, yaitu 'Ulumuddin yang artinya "Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama", dan karangannya dalam beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Syam, Yerussalem, Hajzz, dan Tus, dan yang berisi paduan yang indah antara fiqh, tasawuf dan filsafat, bukan saja terkenal di kalangan kaum muslimin, tetapi juga di kalangan dunia Barat dan Islam.
Bukunya yang lain, yaitu al-Minqidz min ad-Dlalal (Penyelamat dari Kesesatan), berisi sejarah perkembangan alam pikirannya dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap beberapa macam ilmu, serta jalan untuk mencapai Tuhan. Diantara penulis-penulis modern banyak yang mengikuti jajak Al-Ghazali dalam menuliskan autobiografinya.
Selain itu al-Ghazali juga menulis buku yang lainnya, yaitu:
a. Ma'ārij al-Quds Fī Madārij Ma'rifat an-Nafs, cetakan II, Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1975.
b. Kīmiyā as-Sa'ādah, ditahkikkan dan diberi komentar oleh Muhammas Abdul Alim, Kairo: Maktabah al-Qur'an.
c. Al-Jawāhir al-Ghazali Min Rasāil al-Imām al-Ghazali, Kairo: Muhyiddin Shabri al-Kurdi, 1934.
d. Maqāshid al-Falāsifah, ditahkikkan oleh Sulaiman Dunya, Kairo: Dar al-Ma'rif, 1961.
e. Miyār al-'Ilm, Percetakan Ilmu Kurdiatan, 1328.
f. Tahāfut al-Falāsifah, dua jilid, ditahkikkan oleh Sulaiman Dunya, Kairo: Dar al-Ma'rif, 1980, 1981.[10]
3. Pemikiran Filosofis Al-Ghazali
Metafisika Al-Ghazali
Dalam pemikiran filsafat Al-Ghazali, terdapat empat unsur pemikiran filsafat yang mempengaruhinya. Keempat unsur tersebut sebenarnya merupakan hal-hal yang ditentang oleh Al-Ghazali, yaitu:
1. Unsur pemikiran kaum Mutakallimin.
2. Unsur pemikiran kaum filsafat.
3. Unsur kepercayaan kaum bathiniah.
4. Unsur kepercayaan kaum sufi.
Menurut Al-Ghazali terdapat beberapa buah filosof yang dipandang tersebut antara lain: Tuhan tidak mempunyai sifat; Tuhan mempunyai substansi dan tidak mempunyai hakikat; Tuhan tidak dapat diberi sifat; planet-planet adalah bintang yang bergerak dengan kemauan; Hukum alam tak dapat berubah; dan Jiwa planet-planet mengetahui semua.
Di samping itu Al-Ghazali juga telah berpolemik terhadap filsafat pada umumnya yang tertuang di dalam bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah. Dalam buku tersebut secara umum Al-Ghazali menyerang pendapat-pendapat filsafat Yunani dan filsafat Ibnu Sina yang meliputi 20 masalah antara lain:
a. Al-Ghazali menyerang dalil-dalil filsafat (Aristoteles) tentang azalinya alam dan dunia. Di sini Al-Ghazali berpendapat bahwa alam (dunia) berasal dari tidak ada menjadi ada sebab diciptakan oleh Tuhan.
b. Al-Ghazali menyerang pendapat kaum filsafat (Aristoteles) tentang pastinya keabadian alam. Ia berpendapat bahwa soal keabadian alam itu terserah kepada Tuhan semata-mata. Mungkini saja alam itu terus menerus tanpa akhir andaikata Tuhan menghendakiniya. Akan tetapi bukanlah suatu kepastian harus adanya keabadian alam disebabkan oleh dirinya sendiri di luar iradat Tuhan.
c. Al-Ghazali menyerang pendapat kaum filsafat bahwa Tuhan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja, tetapi tidak mengetahui soal-soal yang kecil-kecil (juz iyat).
d. Al-Ghazali juga menentang pendapat filsafat bahwa segala sesuatu terjadi dengan kepastian hukum sebab dan akibat semata-mata, dan mustahil ada penyelewengan dari hukum itu. Bagi Al-Ghazali segala peristiwa yang serupa dengan hukum sebab akibat itu hanyalah kebisaaan (adat) semata-mata, dan bukan hukum kepastian. Dalam hal ini jelas Al-Ghazali meyokong pendapat Ijraul-'adat dari Al-Asyari.[11]
Tiga pikiran filsafat metafisika yang menurut Al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan yang oleh karenanya para filosof harus dinyatakan sebagai orang ateis ialah:
a. Qadim-Nya alam.
b. Tidak mengetahuinya Tuhan terhadap soal-soal peristiwa kecil.
c. Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.[12]
Epistimologi Al-Ghazali
Al-Ghazali memandang bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui dua cara. Pertama, melalui belajar dibawah bimbingan seorang guru, serta dengan menggunakan indera dan akal. Melalui cara ini, manusia mengenal inderawi, menghasilkan ilmu dan pengetahuan, serta mempelajari huruf dan keahlian. Kedua, melalui belajar yang bersifat Rabbani atau belajar Ladunni, dimana terungkap pengetahuan hati secara langsung melalui ilham dan wahyu.
Pengetahuan yang bersifat Rabbaniyah atau pengetahuan Ladunniyah adalah tingkatan tertinggi pengetahuan. Pengetahuan ini membutuhkan ibadah, kezuhudan Mujahadah (mendekatkan diri kepada Allah), dan olah batin (Riyadhah an-Nafs) atas akhlak yang mulia. Sepertinya al-Ghazali mengaitkan antara keluhuran dan kesempurnaan jiwa manusia dengan keluhurannya dalam memperoleh pengetahuan. Oleh karena itu, semakini meningkat dan luhur jiwa manusia melalui kontrakanya dengan Allah SWT, maka semakini berkembang pengetahuannya.
Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui alat indera dan akal adalah pengetahuan yang terbatas, dan pengetahuan itu sendiri tidak mengaitkan manusia dan alam ghaib. Sedangkan pengetahuan Rabbaniyah adalah satu-satunya pengetahuan yang mengaitkan manusia dengan Allah SWT. pengetahuan inilah yang dapat membuat manusia memperoleh ketenangan, kebahagiaan, dan kenikmatan pengetahuan sejati. Dan manusia tidak akan memperoleh pengetahuan Rabbaniyah, kecuali melalui pembersihan jiwa dari sifat-sifat tercela, dan pendekatan jiwa dengan sifat-sifat terpuji yang membuatnya siap menerima pengetahuan Rabbaniyah, yaitu pengetahuan sejati.[13]
Aksiologi Al-Ghazali
Menurut Al-Ghazali orang sufi benar-benar berada di atas jalan yang benar , berakhlak yang baik dan berpengetahuan. Manusia sejauh mungkin meniru perangai dan sifat-sifat Tuhan seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, sabar, jujur, takwa, ikhlas, zuhud, beragama dan sebagainya. Dalam Ihya ‘Ulumuddin itu Al-Ghazali mengupas rahasia-rahasia ibadat dan tasawuf dengan mendalam sekali. Misalnya dalam mengupas soal at-thaharah ia tidak hanya mengupas kebersihan badan lahir saja, tetapi juga kebersihan rohani. Dalam penjelasannya yang panjang lebar tentang salat, puasa, dan haji. Kita dapat menyimpulkan bahwa bagi Al-Ghazali semua amal ibadah yang wajib itu merupakan pangkal dari segala jalan pembersihan rohani.
Al-Ghazali melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada kebersihan rohaninya dan asa akrabnya terhadap Tuhan. Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat bagi sekalian alam.
Alghazali juga sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga materi. Hanya pemakainya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.[14]
B. Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan Islam
1. Pendidikan Islam
Adapun pemikiran pendidikan Al-Ghazali termuat dalam tiga buku karangannya, yaitu Fatihat al-Kitab, Ayyuha al-Walad dan Ihya Ulum al-Din. Menurut pendapat Imam Ghazali, pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.[15]
Al-Ghazali termasuk kedalam kelompok sufistik yang banyak menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan, karena pendidikanlah yang banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya. Dalam masalah pendidikan, Al-Ghazali lebih cenderung berfaham empirisme. Hal ini disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya seorang anak tergantung kepada orang tua yang mendidiknya. Hati seorang anak itu bersih, murni laksana permata yang berharga, sederhana dan bersih dari gambaran apapun.[16]
Al-Ghazali merupakan sosok ulama yang menaruh perhatian terhadap proses internalisasi ilmu dan pelaksana pendidikan. Menurutnya, untuk menyiarkan agama Islam, memelihara jiwa dan taqarrub kepada Allah. Oleh karena itu pendidikan merupakan ibadah dan upaya peningkatan kualitas diri. Pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri Allah dan mendapatkan kebahagian dunia-akhirat.[17]
Salah satu keistimewaan Al-Ghazali adalah penelitian, pembahasan dan pemikirannya yang sangat luas dan mendalam dalam masalah pendidikan. Selain itu, ia juga mempunyai pemikiran dan pandangan yang luas mengenai aspek-aspek pendidikan, dalam arti bukan memperhatikan aspek akhlak semata-mata seperti yang di tuduhkan oleh sebagian sarjana dan ilmuwan tetapi juga memperhatikan aspek-aspek lain.
Pada hakikatnya usaha pendidikan di mata Al-Ghazali adalah mementingkan semua hal tersebut dan mewujudkannya secara utuh dan terpadu karena konsep pendidikan yang di kembangkan Al-Ghazali berprinsip pada pendidikan manusia seutuhnya.
2. Kurikulum Pendidikan Islam
Adapun mengenai materi pendidikan Al-Ghazali berpendapat bahwa al-Quran beserta kandungannya adalah merupakan ilmu pengetahuan. Isinya sangat bermanfaat bagi kehidupan, membersihkan jiwa, memperindah akhlak, dan mendekatkan diri kepada Allah. [18]
Pandangan Al-Ghazali tentang kurikulum dapat dipahami dari pandangannya mengenai ilmu pengetahuan. Ia membagi ilmu pengetahuan kepada yang terlarang dan yang wajib dipelajari oleh anak didik menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Ilmu yang tercela, banyak atau sedikit. Ilmu ini tidak ada manfaatnya bagi manusia di dunia dan di akhirat.
2. Ilmu yang terpuji, banyak atau sedikit. Ilmu ini akan membawa seseorang kepada jiwa yang suci bersih dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
3. Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam, karena ini dapat membawa kegoncangan iman dan meniadakan Tuhan seperti ilmu filsafat.[19]
Dari ketiga kelompok ilmu tersebut Al-Ghazali membagi lagi ilmu-ilmu tersebut menjadi dua kelompok ilmu dilihat dari segi kepentingannya, yaitu:
1. Ilmu-ilmu fardu ain yang wajib di pelajari oleh semua orang Islam meliputi ilmu-ilmu agama yakni ilmu yang bersumber dari kitab suci al-Quran.
2. Ilmu-ilmu yang merupakan fardu kifayah, terdiri dari ilmu-ilmu yang dapat di manfaatkan untuk memudahkan urusan hidup duniawi, seperti ilmu hitung (matematika), ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian dan industri[20].
Dari kedua kategori ilmu tersebut Al-Ghazali merinci lagi menjadi:
1. Ilmu al-Quran dan ilmu agama seperti fiqhi, hadist dan tafsir.
2. Ilmu-ilmu bahasa, seperti nahwu sharaf, makhraj, lafal-lafalnya yang membantu ilmu agama.
3. Ilmu-ilmu yang fardu kifayah, terdiri dari berbagai ilmu yang memudahkan urusan kehidupan duniawi seperti ilmu kedokteran, matematika, teknologi (yang beraneka ragam jenisnya), ilmu politik dan lain-lain.
4. Ilmu kebudayaan, seperti syair, sejarah dan beberapa cabang filsafat[21]
3. Tujuan Pendidikan
Menurut Al-Ghazali tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk mencari kedudukan, kemegahan dan kegagahan atau kedudukan yang menghasilkan uang. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan. Selain itu rumusan tersebut mencerminkan sikap zuhud al-Ghazali terhadap dunia, merasa qana'ah (merasa cukup dengan yanng ada), dan banyak memikirkan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia.[22]
Selanjutnya pemikiran tentang tujuan pendidikan Islam menurut Al-Ghazali dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah, Tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan akhlakul al-karimah, Tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan ketiga tujuan ini di harapkan pendidikan yang diprogramkan akan mampu mengantarkan peserta didik pada kedekatan diri kepada Allah.[23]
4. Metode Pendidikan Islam
Dalam hal yang berhubungan dengan metode pendidikan Islam, Al-Ghazali menekankan pentingnya bimbingan dan pembisaaan. Dalam menerapkan metode tersebut Al-Ghazali menyarankan agar tujuan utama dari penggunaan metode tersebut di selaraskan dengan tingkat usia, tingkat kecerdasan, bakat dan pembawaan anak dan tujuannya tidak lepas dari hubungannya dengan nilai manfaat. Oleh karena itu dalam metode pendidikannya ini Al-Ghazali cenderung mendasarkan pemikirannya pada prinsip ajaran sufi (penyucian jiwa) dan pragmatis (nilai guna).[24]
Dalam uraiannya yang lain, Al-Ghazali juga meletakkan prinsip metode pendidikan pada aspek mental atau sikap, sebagaimana kata-kata beliau "wajib atas para murid untuk membersihkan jiwanya dari kerendahan akhlak dan dari sifat-sifatnya yang tercela, karena bersihnya jiwa dan baiknya akhlak menjadi asas bagi kemajuan ilmu yang dituntutnya." [25]
Dan hal tersebut dapat digunakan dengan menggunakan berbagai macam metode antara lain: metode keteladanan, metode bimbingan dan penyuluhan, metode cerita, metode motivasi, dan sebagainya.
Selain itu menurut Al-Ghazali dalam metode pendidikan ini ada dua macam kecenderungan yaitu:
1. Kecenderungan religius sofistis, yang meletakkan ilmu-ilmu agama di atas pemikirannya. Dan melihatnya sebagai alat untuk menyucikan jiwa dan membersihkannya dari kotoran duniawi. Dengan demikian ia menekankan kepentingan akhirat yang menurutnya harus di kaitkan dengan pendidikan agama.
2. Kecenderungan aktualitas manfaat yang tampak dari tulisan-tuliasannya meskipun ia seorang sufi dan tidak suka kepada duniawi, namun dia mengulangi penilaiannya terhadap ilmu-ilmu menurut kegunaanya bagi manusia baik di dunia ataupun di akhiratnya.
5. Pendidik
Sejalan dengan pentingnya pendidikan untuk mencapai tujuan sebagaimana disebutkan diatas, al-Ghazali juga menjelaskan tentang ciri-ciri pendidik yang boleh melaksanakan pendidikan. Ciri-ciri tersebut adalah:[26]
  1. Guru harus mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya sendiri.
  2. Guru jangan mengharapkan materi (upah) sebagai tujuan utama dari pekerjaannya (mengajar), karena mengajar adalah tugas yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW. Sedangkan upahnya adalah terletak pada terbentuknya anak didik yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
  3. Guru harus mengingatkan muridnya agar tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untuk kebanggaan diri atau mencari keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah.
  4. Guru harus mendorong muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang membawa pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
  5. Di hadapan muridnya, guru harus memberikan contoh yang baik, seperti berjiwa halus, sopan, lapang dada, murah hati dan berakhlak terpuji lainnya.
  6. Guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat intelektual dan daya tangkap anak didiknya.
  7. Guru harus mengamalkan apa yang di ajarkannya, karena ia menjadi idola di mata anak muridnya.
  8. Guru harus memahami minat, bakat dan jiwa anak didiknya, sehingga di sampaing tidak akan salah dalam mendidik, juga akan terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru dengan anak didiknya.
  9. Guru harus dapat menanamkan keimanan kedalam pribadi anak didinya, sehingga akal pikiran anak didik tersebut akan dijiwai oleh keimanan itu.
Tipe ideal guru yang dikemukakan Al-Ghazali yang demikian sarat dengan norma akhlak dan masih dianggap relevan, jika tidak dianggap hanya satu-satunya mode, melainkan jika dilengkapi dengan persyaratan yang lebih bersifat akademis dan profesi. Guru yang ideal di masa sekarang adalah guru yang memiliki persyaratan kepribadian sebagai mana yang dikemukakan Al-Ghazali dan persyaratan akademis dan profesional.[27]
6. Peserta Didik
Dalam kaitannya dengan peserta didik, lebih lanjut Al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka adalah makhluk yang telah dibekali potensi atau fitrah untuk beriman kepada Allah. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah sesuai dengan kejadian manusia, cocok dengan tabi'at dasarnya yang memang cenderung kepada agama Islam.
Al-Ghazali dalam memberikan pendidikan kepada umat, membagi manusia itu menjadi tiga golongan yang sekaligus menunjukkan kepada keharusan menggunakan metode pendekatan yang berbeda pula, yaitu:
a. Kaum awam, yang cara berfikirnya sederhana sekali. Dengan cara berfikir terebut, mereka tidak dapat mengembangkan hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan menurut. Golongan ini harus dihadapi dengan sikap memberi nasehat dan petunjuk.
b. Kaum pilihan, yang akalnya tajam dengan cara berfikir yang mendalam. Kepada kaum pilihan tersebut, harus dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmat-hikmat.
c. Kaum penengkar (ahl al jidal), mereka harus dihadapi dengan sikap mematahkan argumen-argumen mereka.
Di samping itu Al-Ghazali juga membagi manusia kedalam dua golongan besar, yaitu golongan awam dan golongan khawas, yang daya tangkapnya tidak sama. Oleh karena itu apa yang dapat diberikan kepada golongan khawas tidak selamanya dapat diberikan kepada golongan awam. Dan sebaliknya pengertian kaum awam dan kaum khawas dalam hal sama, sering kali berbeda dan perbedaan itu disebabkan karena perbedaan daya berfikir masing-masing. Bisaanya kaum awam membaca apa yang tersurat dan kaum khawas, membaca apa yang tersirat.[28]
Selanjutnya menurut Al-Ghazali dalam menuntut ilmu, peserta didik memilki tugas dan kewajiban, yaitu:
1. Mendahulukan kesucian jiwa.
2. Bersedia merantau untuk mencari ilmu pengetahuan.
3. Jangan menyombongkan ilmunya dan menentang guru.
4. Mengetahui kedudukan ilmu pengetahuan.[29]
Dengan tugas dan kewajiban tersebut diharapkan seorang peserta didik mampu untuk menyerap ilmu pengetahuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
C. BIOGRAFI IBN KHALDUN
1. Sosio-Kultural Ibn Khaldun
Abd al-Rahman Abu Zaid Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Khaldun (lebih dikenal dengan Ibn Khaldun) lahir di Thunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H/27 Mei 1332 M. dan meninggal di Cairo tanggal 25 Ramadhan 808 H/19 Maret 1406 M. ia dikenal sebagai pakar kenegaraan, sejarawan, dan ahli hukum mazhab Maliki. Asal usul nenek moyangnya berasal dari Hadramaut yang kemudian melakukan imigrasi ke sevill (Spanyol) pada abad ke-8, bersamaan dengan gelombang penaklukan Islam di Semenanjung Andalusia. Keluarganya merupakan tokoh politik yang cukup berpengaruh. Diantara keluarganya, hanya ayahnya yang tidak terjun di bidang pendidikan dan memilih untuk lebih intens di bidang pendidikan.[30] Latar belakang keluarga dan saat ia dilahirkan serta menjalani hidupnya tampaknya merupakan faktor yang menentukan dalam perkembangan pemikirannya. Keluarganya telah mewariskan tradisi intelektual kedalam dirinya.[31]
Sebagaimana para pemikir Islam lainnya, pendidikan masa kecilnya berlangsung secara tradisional. Artinya, ia harus belajar membaca al-Qur'an, hadits, fiqh, sastra, dan nahwu sharaf.[32]Khaldun pertama kali menerima pendidikan langsung dari ayahnya. Di samping dengan ayahnya ia juga mempelajari tafsir, hadits, fiqih (Maliki), gramatika Bahasa Arab, ilmu mantiq, dan filsafat dengan sejumlah ulama Andalusia dan Thunisia. Pendidikan formalnya di laluinya hanya sampai pada usia 17 tahun. Ia belajar al-Qur'an berikut tafsirnya, fiqh, tasawuf, dan filsafat. Dalam usia yang masih relatif muda ini ia telah mampu menguasai beberapa disiplin ilmu klasik, termasuk 'ulum 'aqliyah (ilmu-ilmu filsafat, tasawuf, dan metafisika). Di samping itu, Khaldun juga tertarik untuk mempelajari dan menggeluti ilmu politik, sejarah, ekonomi, geografi, dan lain sebagainya.
Ketika usianya melewati 17 tahun, ia kemudian belajar sendiri (otodidak), meneruskan apa yang telah diperolehnya pada masa pendidikan formal sebelumnya. Di samping memegang jabatan penting kenegaraan, seperti qadhi, diplomat, dan guru pada berbagai kesempatan.
Selama 40 tahun, Khaldun hidup di Spanyol dan Afrika Utara. Di sini, ia senantiasa dihadapkan pada situasi pergolakan politik dan memegang jabatan penting dibawah para penguasa yang silih berganti. Sekembalinya ia ke Afrika Utara, Khaldun memutuskan untuk menunaikan ibadah haji. Pada tahun 1832 M, ia kemudian pergi ke Iskandariyah. Akan tetapi, dalam perjalanannya ia terlebih dahulu singgah di Mesir. Karena popularitas dan kredebilitasnya sebagai seorang ilmuan, maka atas permintaan raja dan rakyat Mesir, ia ditawari menduduki jabatan guru dan ketua Mahkamah Agung Dinasti Mamluk. Tawaran ini akhirnya di terima sehingga niatnya untuk melaksanakan haji terpaksa di tunda. Keinginannya ini baru dapat terwujud pada tahun 1837 M.
Dari tahun 1832 M hingga wafatnya Ibn Khaldun memegang jabatan sebagai guru besar dan rektor di Madrasah Qamliyah serta ketua Hakim Agung (Mufti) di Mesir selama 6 periode. Disinilah ia memanfaatkan sisa usianya untuk mengembangkan dan mengabdikan ilmu pengetahuan yang selama ini ditinggalkannya.
2. Karya-karya Ibn Khaldun
Buku pertama dari Ibn khaldun adalah Lubab Al-Muhashshal, diselesaikan atas bimbingan guru yang dicintainya, Al-Abili, pada waktu Ibn Khaldun baru berusia 19 tahun dan masih berada di Thunisia. Buku yang terakhir, yaitu sebuah komentar atas puisi rajaz mengenai ushul al-fiqh karya Ibn Khathib, mungkini dikerjakan di Granada, sekitar 765 H/1363 M, ia telah banyak menulis risalah, walaupun kurang begitu penting. Mayoritas karyanya kemudian berhubungan dengan persoalan-persoalan teologico-filosofis.
Masih ada lagi sebuah karya sebelum kitab Al-Ibar, yaitu Syifa' Al-Sa'il yang ditulis selama masa singgahnya yang kedua di Fez sekitar 775 H/1373 M. ia tidak melontarkan sepatah kata pun berkenaan dengan teks ini (yang merupakan sumbangan nyata bagi mistisme Islam) dalam autografinya.[33]
Selain itu Ibn Khaldun juga menulis sebuah karya yang momumental, yaitu al-'Ibar wa Diwan al-Mubtada' wa al-Khabar fi ayyami al-A'rab wa al-'Ajam wa al-Barbar wa man 'Asarahun min Dzami as-Sulthan al-Akbar. Seluruh bangunan ilmunya dalam kitab al-Muqaddimah memaparkan tentang ilmu sosial, kebudayaan, dan sejarah. Sementara cakupan kitab al-'Ibar merupakan bukti empiris-historis dari teori yang dikembangkannya. Orisinalitas dan kedalaman pemikirannya, telah berhasil meletakkan karyanya al-Muqaddimah sebagai sebuah karya besar yang unik dan melampui zamannya.
3. Pemikiran Filosofis Al-Ghazali
Metafisika Ibn Khaldun
Dalam bab yang berjudul "suatu penolakan terhadap filsafat dan penyelewengan dari pengkajiannya", Ibn Khaldun memilih tesis Neoplatonik yang menyatakan adanya hierarki wujud, dari yang indrawi hingga yang supra-indriawi yang berpuncak pada akal pertama yang identik dengan Wujud Niscaya (Tuhan) dan gagasan yang menyatakan bahwa pikiran manusia mampu mencapai pengetahuan tanpa bantuan wahyu. Lebih jauh, bagi orang yang mengetahui, pengetahuan menghasilkan kebahagiaan.
Di satu pihak, bagi Ibn Khaldun, semua penalaran metafisik bersandar dan bergantung pada"intelijibel-intelijibel kedua". Bahkan, kesesuaian yang kita temukan antara intelijibel primer (hal-hal partikular) dan exsintentia individual (proposisi-proposisi yang menggambarkan hal-hal khusus primer tadi) bukan kemestian logis, melainkan harus dibuktikan secara empiris. Merujuk pada plato yang berlawanan dengan Theologica pseudo Aristoteles, ia berkata bahwa dalam bidang ini kita mungkini sekedar mendapatkan dugaan saja. Lagi pula, ketika mengklaim hendak melukiskan dan mengungkapkan hakikat Tuhan, teori-teori Neoplatonik mempunyai pengaruh buruk terhadap entitas politik karena dapat menggeser ajaran agama dari fungsi pokoknya yang diperlukan bukan saja oleh negara, melainkan juga organisasi sosial. Bagi Ibn Khaldun klaim ini mengandaikan secara keliru bahwa seorang yang berpersepsi menyusun eksistensi dalam persepsi-persepsinya. Tetapi menurut Ibn Khaldun baik eksistensi yang luas bagi akal manusia maupun kebahagiaan yang dijanjikan tidak mungkin tercakup.[34]
Epistimologi Ibn Khaldun
Ibn Khaldun berpendapat bahwa pertumbuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh peradaban. Hal ini dapat dilihat pada negara Qairawan dan Cordova yang keduanya berperadaban Andalus dan luas pula problematikanya atau heterogen. Di situ terdapat pertumbuhan ilmu, pabrik-pabrik, pasar yang tersusun rapi. Keadaan ini akan berpengaruh terhadap corak pendidikannya.
Pada bagian lain, Ibn Khaldun mengatakan bahwa adanya perbedaan lapisan sosial timbul dari hasil kecerdasannya yang diproses melalui pengajaran. Hal ini berbeda dengan apa yang diduga oleh sebagian orang yang mengatakan bahwa perbedaan ini bersumber pada perbedaan hakikat manusia.
Menurutnya, ilmu pengetahuan dalam kebudayaan umat Islam dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: ilmu pengetahuan Syar'iyyah dan ilmu pengetahuan filosofis. Ilmu pengetahuan Syar'iyyah berkenaan dengan hukum dan ajaran agama Islam. Ilmu ini diantaranya tentang al-Qur'an, Hadits, prinsip-prinsip Syari'ah, fiqh, teologi, dan sufisme. Sementara ilmu pengetahuan filosofis meliputi: logika, ilmu pengetahuan alam (fisika), metafisika, dan matematika. Ilmu pengetahuan filosofis juga sering di sebut sains alamiah. Hal ini disebabkan karena dengan potensi akalnya, setiap orang memiliki kemampuan untuk menguasainya dengan baik.
Ilmu pengetahuan Syar'iyyah dan filosofis merupakan pengetahuan yang ditekuni manusia (peserta didik) dan saling berinteraksi, baik dalam proses memperoleh atau proses mengajarkan. Konsepsi ini kemudian merupakan pilar dalam merekonstruksi kurikulum pendidikan Islam yang ideal, yaitu kurikulum pendidikan yang mampu mengantarkan peserta didik yang memiliki kemampuan membentuk dan membangun peradaban manusia
Berkenaan dengan ilmu pengetahuan, Ibn Khaldun membaginya menjadi tiga macam, yaitu:
a. Ilmu lisan (bahasa) yaitu ilmu tentang tata bahasa (gramatika) sastra atau bahasa yang tersusun secara puitis (sya'ir).
b. Ilmu naqli, yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunah nabi. Ilmu ini berupa membaca kitab suci al-Qur'an dan tafsirnya, sanad dan hadits yang pentashihannya serta istinbath tentang kaidah-kaidah fiqh. Dengan ilmu ini manusia akan dapat mengetahui hukum-hukum Allah yang diwajibkan kepada manusia. Dari al-Qur'an itulah akan didapati ilmu-ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu ushul fiqih, yang dapat dipakai untuk menganalisa hukum-hukum Allah itu melalui cara istinbath.
c. Ilmu 'aqli, yaitu ilmu yang dapat menunjukkan manusia dengan daya fikir atau kecerdasannya kepada filsafat dan semua ilmu pengetahuan. Termasuk di dalam katagori ilmu ini adalah ilmu mantiq (logika), ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu-ilmu teknik, ilmu hitung, ilmu tingkah laku manusia, termasuk juga ilmu sihir dan ilmu nujum (perbintangan). Mengenai ilmu nujum, Ibn Khaldun menganggapnya sebagai ilmu yang fasid, karena ilmu ini dapat dipergunakan untuk meramalkan segala kejadian sebelum terjadi atas dasar perbintangan. Ini merupakan sesuatu yang batil, berlawanan dengan ilmu tauhid yang menegaskan bahwa tak ada yang menciptakan kecuali Allah sendiri.
Aksiologi Ibn Khaldun
Menurut Ibn Khaldun dalam pandangan aksiologinya bahwa manusia berbeda dengan makhluk yang lain karena manusia memiliki akal yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Dengan akal tersebut manusia bias menciptakan tekbologi yang canggih dan bisa merubah peradaban manusia. Dan hal tersebut tidak terlepas dari wujud Tuhan yang ada yang tidak bias dibuktikan secara empiris tetapi hanya bias di yakini.
Pengaplikasian semua ilmu yang ada dalam diri kita, bias membawa kita kepada keberhasilan peradaban masyarakat. Khaldun adalah seorang sejarawan yang telah memilki banyak pengalaman dari perjalanannya dan dari sanalah konsep filosofisnya mengalami perkembangan. Ia menitik beratkan pemikirannya pada pengalaman yang ada dan menurutnya manusia adalah makhluk semprna dari makhluk yang ada. Dan tujuan dari penerapan ilmu yang dimilki adalah bukan semata untuk kebahagiaan akhirat tetapi juga untuk kebutuhan duniawi.
D. Pemikiran Ibn Khaldun Tentang Pendidikan Islam
1. Ilmu dan Pendidikan
Menurut pandangan Ibn Khaldun, ilmu dan pendidikan sebagai suatu gejala konklusi yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangan di dalam tahapan kebudayaan dan mendorong manusia untuk memiliki pengetahuan yang penting baginya di dalam kehidupan yang sederhana pada periode pertama pembentukan masyarakat. Lalu lahirlah ilmu-ilmu dengan bertumpuknya pengetahuan, sejalan dengan perjalanan masa, karena ilmu lahir sebagai akibat dari kebimbangan pikiran. Kemudian lahir pula pendidikan sebagai akibat adanya kesenangan manusia untuk memahami dan mendalami pengetahuan. Jadi ilmu dan pendidikan merupakan dua anak yang lahir dari kehidupan yang berkebudayaan dan bekerja untuk melestarikan dan meningkatkannya.
Oleh karena itu Ibn Khaldun berpendapat bahwa pendidikan berusaha untuk melahirkan masyarakat yang berkebudayaan dan bekerja untuk melestarikan eksistensi masyarakat selanjutnya, maka pendidikan akan mengarahkan kepada pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas.
Rumusan pendidikan yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun adalah merupakan hasil dari berbagai pengalaman yang dilaluinya sebagai seorang ahli filsafat sejarah dan sosiologi yang mencoba menghubungkan antara konsep dan realita. Sebagai seorang ahli filsafat sejarah, tentu ia menggunakan pendekatan filsafat sejarah atau historical philosophy approach, karena kedua pendekatan tersebut akan mempengaruhi terhadap system berfikir dan pemikirannya dalam pembahasan setiap permasalahan, karena kedua pendekatan tersebut mampu merumuskan beberapa pendapat dan interpretasi dari suatu kenyataan dan pengalaman yang telah dilalui.[35]
2. Kurikulum Pendidikan Islam
Pemikiran Khaldun tentang kurikulum dapat dilihat dari konsep epistimologinya. Menurutnya, ilmu pengetahuan dalam kebudayaan umat Islam dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: ilmu pengetahuan Syar'iyyah dan ilmu pengetahuan filosofis. Ilmu pengetahuan Syar'iyyah berkenaan dengan hukum dan ajaran agama Islam. Ilmu ini diantaranya tentang al-Qur'an, Hadits, prinsip-prinsip Syari'ah, fiqh, teologi, dan sufisme. Sementara ilmu pengetahuan filosofis meliputi: logika, ilmu pengetahuan alam (fisika), metafisika, dan matematika. Ilmu pengetahuan filosofis juga sering di sebut sains alamiah. Hal ini disebabkan karena dengan potensi akalnya, setiap orang memiliki kemampuan untuk menguasainya dengan baik.
Ilmu pengetahuan Syar'iyyah dan filosofis merupakan pengetahuan yang ditekuni manusia (peserta didik) dan saling berinteraksi, baik dalam proses memperoleh atau proses mengajarkan. Konsepsi ini kemudian merupakan pilar dalam merekonstruksi kurikulum pendidikan Islam yang ideal, yaitu kurikulum pendidikan yang mampu mengantarkan peserta didik yang memiliki kemampuan membentuk dan membangun peradaban manusia.[36]
Selain itu, berkenaan dengan ilmu pengetahuan, Ibn Khaldun membaginya menjadi tiga macam, yaitu:
a. Ilmu lisan (bahasa) yaitu ilmu tentang tata bahasa (gramatika) sastra atau bahasa yang tersusun secara puitis (sya'ir).
b. Ilmu naqli, yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunah nabi. Ilmu ini berupa membaca kitab suci al-Qur'an dan tafsirnya, sanad dan hadits yang pentashihannya serta istinbath tentang kaidah-kaidah fiqh. Dengan ilmu ini manusia akan dapat mengetahui hukum-hukum Allah yang diwajibkan kepada manusia. Dari al-Qur'an itulah akan didapati ilmu-ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu ushul fiqih, yang dapat dipakai untuk menganalisa hukum-hukum Allah itu melalui cara istinbath.
c. Ilmu 'aqli, yaitu ilmu yang dapat menunjukkan manusia dengan daya fikir atau kecerdasannya kepada filsafat dan semua ilmu pengetahuan. Termasuk di dalam katagori ilmu ini adalah ilmu mantiq (logika), ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu-ilmu teknik, ilmu hitung, ilmu tingkah laku manusia, termasuk juga ilmu sihir dan ilmu nujum (perbintangan). Mengenai ilmu nujum, Ibn Khaldun menganggapnya sebagai ilmu yang fasid, karena ilmu ini dapat dipergunakan untuk meramalkan segala kejadian sebelum terjadi atas dasar perbintangan. Ini merupakan sesuatu yang batil, berlawanan dengan ilmu tauhid yang menegaskan bahwa tak ada yang menciptakan kecuali Allah sendiri.
Ilmu yang harus diajarkan kepada anak didik menurut Ibnu Khaldun ada empat macam, yaitu:
1. Ilmu Syari'ah dengan segala jenisnya.
2. Ilmu filsafat seperti ilmu alam dan ilmu ketuhanan.
3. Ilmu alat yang membantu ilmu agama seperti ilmu bahasa, gramatika, dan sebagainya.
4. Ilmu alat yang membantu ilmu falsafah seperti ilmu mantiq[37]
Selain itu Ibn Khaldun berpendapat bahwa al-Qur'an adalah ilmu yang pertama kali harus diajarkan kepada anak, karena mengajarkan al-Qur'an kepada anak termasuk syari'at Islam yang dipegang teguh oleh para ahli agama dan dijunjung tinggi oleh setiap negara Islam. Al-Qur'an yang telah ditanamkan pada anak didik akan jadi pegangan hidupnya, karena pengajaran pada masa kanak-kanak masih mudah, karena otak si anak masih jernih.[38]
3. Tujuan Pendidikan Islam
Rumusan Ibn Khaldun mengenai tujuan pendidikan adalah untuk:
a. Memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena aktifitas ini bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu, kemudian kematangan ini akan mendapatkan faedah bagi masyarakat.
b. Memperoleh berbagai ilmu pengetahuan, sebagai alat untuk membantunya, hidup dengan baik di dalam masyarakat yang maju dan berbudaya.
c. Memperoleh lapangan pekerjaan, yang digunakan untuk meperoleh rizki.
Ada beberapa faktor yang dijadikan alasan untuk merumuskan tujuan pendidikan, yaitu:
1. Pengaruh filsafat sosiologi, yang tidak bisa memisahkan antara masyarakat, ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat.
2. Perencanaan ilmu pengetahuan sangat menentukan bagi perkembangan masyarakat berbudaya.
3. Pendidikan sebagai aktivitas akal insani, merupakan salah satu industri yang berkembang di dalam masyarakat, karena sangat urgen dalam kehidupan setiap individu.
Rumusan tujuan pendidikan dan factor-faktor yang dijadikan sebagai dasar pertimbangan menentukan tujuan pendidikan, tampaknya masih ada kesesuaian dengan pendidikan pada masa kini.[39]
4. Metode Pendidikan Islam
Menurut Ibn Khaldun bahwa mengajarkan pengetahuan kepada pelajar hanyalah akan bermanfaat apabila dilakukan dengan berangsur-angsur, setapak demi setapak dan sedikit demi sedikit. Pertama ia harus diberi pelajaran tentang soal-soal mengenai setiap cabang yang dipelajarinya. Keterangan-keterangan diberikan harus secara umum, dengan memperhatikan kekuatan pikiran pelajar dan kesanggupannya memahami apa yang diberikan kepadanya. Apabila dengan jalan itu seluruh pembahasan pokok telah dipahami, maka ia telah memperoleh keahlian dalam cabang ilmu pengetahuan tersebut, tetapi itu baru sebagian keahlian yang belum lengkap. Sedangkan, hasil keseluruhan dari keahliannya itu adalah ia memahami pembahsan pokok itu seluruhnya dengan segala seluk beluknya. Untuk itu jika pembahasan yang pokok itu belum dicapai dengan baik, maka harus diulanginya kembali hingga dikuasai benar.
Dalam menggunakan metode pendidikan seorang pendidik hendaknya memperhatikan enam prinsip utama, yaitu:
1. Prinsip pembisaaan.
2. Prinsip berangsur-angsur.
3. Prinsip pengenalan umum.
4. Prinsip kontinuitas.
5. Prinsip memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik.
6. Prinsip menghindari kekerasan dalam mengajar.[40]
5. Pendidik
Seorang pendidik hendakanya memiliki pengetahuan yang memadai tentang perkembangan psikologi peserta didik. Pengetahuan ini akan sangat membantunya untuk mengenal setiap individu peserta didik dan mempermudah dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Para pendidik hendakanya mengetahui kemampuan dan daya serap peserta didik. Kemampuan ini akan bermanfaat bagi menetapkan materi pendidikan yang sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Bila pendidik memaksakan materi di luar kemampuan peserta didiknya, maka akan menyebabkan kelesuan mental dan bahkan kebencian terhadap ilmu pengetahuan yang di ajarkan. Bila ini terjadi, maka akan menghambat proses pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara materi pelajaran yang sulit dan mudah dalam cakupan materi pendidikan.[41]
6. Peserta Didik
Ibn Khaldun memandang manusia (peserta didik) sebagai mahluk yang berbeda dengan berbagai mahluk yang lain. Manusia, kata Ibn Khaldun adalah mahluk berfikir. Oleh karena itu ia mampu melahirkan ilmu (pengetahuan) dan teknologi. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh mahluk yang lain. Lewat kemampuan berpikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makanya hidup. Proses-proses yang semacam ini melahirkan peradaban.
Pada bagian lain, Ibn Khaldun berpendapat bahwa dalam proses belajar atau menuntut ilmu pengetahuan, manusia disamping harus sungguh-sungguh juga harus memiliki bakat. Menurutnya, dalam mencapai pengetahuan yang bermacam-macam itu seseorang tidak hanya membutuhkan ketekunan, tetapi juga bakat. Berhasilnya suatu keahlian dalam satu bidang ilmu atau disiplin memerlukan pengajaran.[42]
E. Analisis Dan Perbandingan
Konsep pemikiran pendidikan Islam, Al-Ghazali berpendapat pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Al-Ghazali menggabungkan antara kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Sedangkan pemikiran Ibn Khaldun tentang pendidikan Islam adalah pendidikan berusaha untuk melahirkan masyarakat yang berkebudayaan dan bekerja untuk melestarikan eksistensi masyarakat selanjutnya, maka pendidikan akan mengarahkan kepada pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas. konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun adalah merupakan hasil dari berbagai pengalaman yang dilaluinya sebagai seorang ahli filsafat sejarah dan sosiologi yang mencoba menghubungkan antara konsep dan realita. Jadi disini terlihat bahwa Al-Ghazali berbeda pendapat dengan Ibn Khaldun tentang pendidikan.
Tentang kurikulum pendidikan Islam al-Ghazali mengatakan bahwa al-Quran beserta kandungannya adalah merupakan ilmu pengetahuan. Isinya sangat bermanfaat bagi kehidupan, membersihkan jiwa, memperindah akhlak, dan mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Ibn Khaldun. Ia berpendapat bahwa al-Qur'an adalah ilmu yang pertama kali harus diajarkan kepada anak, karena mengajarkan al-Qur'an kepada anak termasuk syari'at Islam yang dipegang teguh oleh para ahli agama dan dijunjung tinggi oleh setiap negara Islam. Al-Qur'an yang telah ditanamkan pada anak didik akan jadi pegangan hidupnya, karena pengajaran pada masa kanak-kanak masih mudah, karena otak si anak masih jernih
Pandangan Ibn Khaldun tentang pendidikan, berbeda dengan pandangan Al-Ghazali mengenai tujuan pendidikan. Menurut Al-Ghazali tujuan pendidikan Islam hanyalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan pendapat Ibn Khaldun sudah dihubungkan dengan memperoleh rizki.
Mengapa tujuan pendidikan Islam dimasukkan Ibn Khaldun untuk mendapatkan rizki? Ternyata pengalaman, pengamatannya dalam pergaulan dan pengalaman bekerja dalam berbagai lapangan pekerjaan serta kepandaiannya dalam berbagai ilmu pengetahuan telah membawanya ke puncak kejayaan dan kepercayaan penguasa yang sedang berkuasa. Dengan demikian pendapat Ibn Khaldun sudah mulai maju selangkah, artinya ia sudah memunculkan suatu pendapat baru, yang berbeda dengan AL-Ghazali. Dari pendapat Ibn Khaldun tersebut sudah ada pergeseran nilai mengenai pengertian ikhlas dari pendapat Al-Ghazali dalam mengamalkan pengetahuan. Maka keberaniannya mengemukakan pendapat yang berbeda itulah ia memperoleh temuan-temuan baru, yang dapat diaplikasikan pada masa kini, sehingga di antara rumusannya mengenai pendidikan masa kinii masih up to date.
Dalam hal yang berhubungan dengan metode pendidikan Islam, Al-Ghazali menekankan pentingnya bimbingan dan pembisaaan. Dalam menerapkan metode tersebut Al-Ghazali menyarankan agar tujuan utama dari penggunaan metode tersebut di selaraskan dengan tingkat usia, tingkat kecerdasan, bakat dan pembawaan anak dan tujuannya tidak lepas dari hubungannya dengan nilai manfaat. Metode pendidikan Islam menurut Ibn Khaldun adalah bahwa mengajarkan pengetahuan kepada pelajar hanyalah akan bermanfaat apabila dilakukan dengan berangsur-angsur, setapak demi setapak dan sedikit demi sedikit. Metode pendidikan Islam yang disampaikan Ghazali selaras dengan yang disampaikan Ibn Khaldun.
Tentang Pendidik Al-Ghazali menekankan bahwa seorang pendidik harus memiliki norma-norma yang baik, khususnya norma akhlak. Karena pendidik adalah merupakan contoh bagi anak didiknya. Mengenai pendidik Ibn Khaldun mengatakan seorang pendidik hendakanya memiliki pengetahuan yang memadai tentang perkembangan psikologi peserta didik. Pengetahuan ini akan sangat membantunya untuk mengenal setiap individu peserta didik dan mempermudah dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Para pendidik hendakanya mengetahui kemampuan dan daya serap peserta didik
Dalam kaitannya dengan peserta didik, lebih lanjut Al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka makhluk yang telah dibekali potensi atau fitrah untuk beriman kepada Allah. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah sesuai dengan kejadian manusia, cocok dengan tabi'at dasarnya yang memang cenderung kepada agama Islam. Selanjutnya tentang anak didik, Ibn Khaldun memandang manusia (peserta didik) sebagai mahluk yang berbeda dengan berbagai mahluk yang lain. Manusia, kata Ibn Khaldun adalah mahluk berfikir. Oleh karena itu ia mampu melahirkan ilmu (pengetahuan) dan teknologi. Pemikiran ini sejalan dengan apa yang disampaikan Ghazali karena mengakui adanya kemampuan dari masing individu sejak lahirnya kedunia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Yogyakarta: Islamika, 2003.
Arifin M., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1991.
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikiran, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994.
Kholiq, Abdul Dkk., Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik & Kontemporer, Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1999.
Leaman, Seyyed Hossein Nasr dan Oliver, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Bandung: Penerbit Mizan dan anggota IKAPI, 2003.
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Najati, Muhammad Utsman, Jiwa Dalam Pandangan Filosofis Muslim, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Ciputat Pers, 2002.
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997.
Tadjab, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Malang: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, 1984.
Umam, Cholil, Ikhtisar Ilmu Pendidikan Islam, Surabaya: Duta Aksara, 1996.


[1] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, 159.
[2] Muhammad Utsman Najati, Jiwa Dalam Pandangan Filosofis Muslim, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002, 201.
[3] Ibid, 202.
[4] Abu Hamid Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Yogyakarta: Islamika, 2003, xxix.
[5] Abuddin Nata, Ibid, 159.
[6] Muhammad Utsman Najati, Ibid, 203.
[7] Ibid, 203.
[8] Ahmad Hanafi. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, 135.
[9] Ibid, 135-136.
[10] Muhammad Utsman Najati, Ibid,
[11] Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997. 70-71.
[12] Ahmad Hanafi, Ibid, 144.
[13] Muhammad Utsman Najati, Ibid, 234.
[14] Sudarsono, Ibid, 71-72.
[15] Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikiran, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994, 139.
[16] Ibid, 161.
[17] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Ciputat Pers, 2002, l 87.
[18] Ibid, 90.
[19] M. Arifin, Ibid, 87-88.
[20] Abuddin Nata, Ibid, 166-167.
[21] Cholil Umam, Ikhtisar Ilmu Pendidikan Islam, Surabaya: Duta Aksara, 1996. 46-47.
[22] Abuddin Nata, 162.
[23] Samsul Nizar, Ibid, 87.
[24] Jalaluddin & Usman Said, Ibid, 143.
[25] M. Arifin, Ibid, 104.
[26] Ibid, 103-104.
[27] Abuddin Nata, Ibid, 164-165.
[28] Tadjab, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Malang: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, 1984, 110.
[29] Samsul Nizar, Ibid, 88-89.
[30] Ibid, 91-92.
[31] Abuddin Nata, Ibid, 171.
[32] Ibid, 171.
[33] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Bandung: Penerbit Mizann dan anggota IKAPI, 2003, 444.
[34]Ibid, 451-452.
[35] Abdul Kholiq Dkk, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik & Kontemporer, Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1999, 6-7.
[36] Samsul Nizar, Ibid, 95-96.
[37] M. Arifin, Ibid, 92.
[38] Abuddin Nata, Ibid, 175-176.
[39] Abdul Kholiq Dkk, Ibid, 18-19.
[40] Sansul Nizar, Ibid, 95.
[41] Ibid, 94-95.
[42] Abuddin Nata, Ibid, 173-175.
 

Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com