PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF IKHWAN AL-SHAFA (Menguak Sebuah Kepedulian)
A. Pendahuluan
Pendidikan
Islam memiliki sejarah yang panjang. Dalam pengertian yang
seluas-luasnya, pendidikan Islam berkembang seiring dengan kemunculan
Islam itu sendiri. Dalam konteks masyarakat Arab, di mana Islam lahir
dan pertam kali berkembang, kedatangan Islam lengkap dengan usaha-usaha pendidikan --untuk tidak menyebut sistem-- merupakan
tranformasi besar. Sebab, masyarakat Arab pra Islam pada dasarnya tidak
mempunyai sistem pendidikan. (Azyumardi Azra, 2002)
Pada
masa klasik, tepatnya pada awal masa Bani Abbasiyyah [al-Mansur
(137-158 H.), al-Rasyid (170-193 H.), dan al-Ma’mun (198-218 H.)]
merupakan masa kulminasi ilmu pengetahuan bagi Islam. Sungguhpun
sebagian ilmu (baca: ilmu-ilmu non agama, profan) ketika itu
diselenggarakan secara non-formal. Hal tersebut pada gilirannya membawa
pengaruh besar bagi peradaban dunia selanjutnya. Dalam kaitan ini
mayoritas penulis Barat menilai, bahwa sumbangan Islam bagi dunia ilmu
pengetahuan adalah sebagai jembatan antara capaian-capaian Yunani dengan
Eropa abad pertengahan. Sementara Nasr, sebagaimana dikatakan Charles
Michael Stanton (1994), mengatakan bahwa para
ilmuan Arab dari masa awal tidak hanya mewariskan ilmu pengetahuan
Yunani ke Eropa abad pertengahan, tetapi juga memperluas pengetahuan
tersebut sebelum masuk ke Barat dalam bentuk terjemahan-terjemahan
bahasa Latin.
Kemajuan
yang diawali dengan penerjemahan terhadap sejumlah besar manuskrip,
baik dari bahasa Syria maupun Yunani ke dalam bahasa Arab tersebut pada
gilirannya melahirkan para tokoh intelektual dalam berbagai disiplin
ilmu pengetahuan. Beberapa nama, seperti Jabir ibn Hayyan (721-815 M.).
al-Kindi (801-873 M.), al-Razi (844-926 M.), al-Farabi (870-950 M.), Ibn
Baytham (965-1039 M.), al-Biruni (973-1051 M.), Ibn Sina (980-1037 M.),
al-Ghazali (1058-1111 M.) adalah produk dari masa ini.
Namun
sejak kekhalifahan Abbasiyah dipegang oleh al-Mutawakkil (232-247 H.),
keadaan tersebut mulai berubah. Beliau mengeluarkan kebijakan yang
sangat berbeda dengan masa sebelumnya. Cara pikir Mu’tazily (cara pikir
rasional dalam mencari pengetahuan dan kebenaran) dan buku-buku yang
berbau Mu’tazilah serta ilmu-ilmu sekuler, prafon, mulai disingkirkan.
Sementara itu keyakinan tradisional mulai mendominasi masyarakat Islam.
Para filsuf dituduh sebagai penganut bid’ah. Agama jadi beku karena
tokoh-tokohnya yang jumud dan fanatisme. Syariat Islam dikacaukan oleh
noda ta’wil yang telah jauh dari syari’at Islam itu sendiri.
Pada
masa ini muncullah sekelompok orang yang ingin menghidupkan kembali
obor ilmu pengetahuan dengan mempelajari segala cabang ilmu pengetahuan,
baik yang beredar di negeri Islam maupun ilmu-ilmu yang didatangkan
dari India, Yunani, Persia dan Romawi, sebagai refleksi dari kejumudan
dan fanatisme tersebut. Karena hilangnya kebebasan berpikir dan
menyatakan pendapat kala itu, maka kelompok yang akhirnya dikenal dengan
nama Ikhwan al-Shafa ini menjadi gerakan bawah tanah. Mereka berkumpul, bertukar pikiran (mudzakarah) secara rahasia. Bahkan nama, juga dirahasiakan, untuk menghindarkan diri dari gangguan pihak penguasa.
Karakteristik
dasar pemikiran mereka, terefleksi dalam pandangan pendidikannya.
Menurutnya, aktivitas pendidikan dimulai sejak sebelum kelahiran, sebab
kondisi diri bayi dan perkembangannya sudah dipengaruhi oleh keadaan
kehamilan dan kesehatan sang ibu hamil. Dengan demikian, perhatian
pendidikan harus sudah diberikan sejak masa janin dalam rahim (embrio). Karena janin berada dalam rahim selama sembilan bulan itu adalah agar sempurna bentuk dan kejadiannya. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Berangkat
dari pemikiran tersebut, selanjutnya dalam pendidikan mereka memiliki
tujuan tertentu. Hal inilah yang akan dikaji (merupakan kajian pokok)
dalam tulisan ini. “Apa atau bagaimana tujuan pendidikan menurut Ikhwan al-Shafa”.
Dalam
karya-karya ilmiah, baik yang tidak -atau belum- terpublikasikan,
seperti makalah, skripsi, tesis maupun desertasi, maupun yang telah
terpublikasikan, tidak banyak (sekurang-kurangnya jika dibanding dengan
tokoh-tokoh lain secara individual, seperti al-Ghazali, Ibn Khaldun dan
lain-lain) yang membicarakan tentang kepedulian Ikhwan al-Shafa ini. Hipotesis penulis, hal tersebut lebih karena di masa eksisnya Ikhwan al-Shafa
merupakan gerakan bawah tanah yang bergerak secara rahasia, sehingga
sejarahnya sulit --untuk tidak mengatakan “tidak dapat”--ditelusuri dan
diteliti. Tidak selayaknya tokoh-tokoh maupun filsuf-filsuf yang lain
seperti dua nama di atas, kemusian al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan
lain-lain.
Berangkat
dari kelangkaan tersebut, tulisan ini berniat menambah khazanah
keilmuan Islam sekaligus menengok kembali dan mencari data, betapa Islam
dengan tokoh-tokohnya, di setiap masa dan tempat tertentu, selalu
menunjukkan kepeduliannya terhadap ilmu pengetahuan maupun pendidikan.
B. Biografi Ikhwan al-Shafa
Dari
namanya, dapat diketahui bahwa ia adalah sebuah kelompok yang terdiri
dari beberapa orang. Ia muncul pertama kali di Basrah (sebelah selatan
Irak) pada abad IV H., sekitar tahun 340 H./951 M., sebagai refleksi
dari pola pikir umat Islam (sebagian ulama) pada masa itu yang dinilai
telah mengalami kejumudan dan fanatisme. Sehingga agama menjadi beku,
para filsuf dikutuk dengan cara menuduh para rasionalis sebagai penganut
bid’ah. Syari’at Islam dinodai dengan ta’wil yang telah jauh dari
syari’at Islam itu sendiri. (Depag., Ensiklopedi Islam, 1988).
Berangkat dari niatnya yang mulia --memurnikan syari’at Islam dan
menyalakan kembali obor ilmu pengetahuan di kalangan kaum muslimin--
kelompok ini menyebut organisasinya dengan nama Ikhwan al-Shafa (Persaudaraan Suci).
Mereka
terdiri dari ahli pikir (ilmuwan dan filsuf) muslim. Sebuah pendapat
mengatakan bahwa mereka berasal dari para simpatisan Syi’ah
Isma’iliyyah, setelah wafatnya Imam Isma’iliyyah ke-7, Isma’il ibn
Ja’far al-Shadiq. Pendapat lain mengatakan bahwa mereka adalah para
pendukung Dinasti Buwaihi (golongan Syi’ah) yang berkuasa sebagai amir al-umara’ dalam lingkungan Dinasti Abbasiyah. (Depag., Ensiklopedi Islam,
1988). Ada lima nama yang dianggap sebagai tokoh utama dari kelompok
ini, yaitu 1) Abu Sulaiman Muhammad ibn Mu’syir al-Busty (terkenal
dengan nama al-Maqdisi), yang bertugas menulis dan merangkum semua
pandangan kelompok ini; 2) Abu al-Hasan Ali ibn Harun al-Zanjany; 3) Abu
Ahmad al-Mihranjany; 4) Al-Aufy; dan 5) Zaid ibn Rafi’ah, selaku
pemimpin kelompok ini. (MM. Syarif, 1963)
Mereka
mengklaim dirinya sebagai kelompok non partisan, objektif, pecinta
kebenaran, elit intelektual, dan solid-kooperatif. Menurutnya, pangkal
perseteruan sosial, politik dan keagamaan terdapat pada keragaman agama,
aliran keagamaan, dan etnik kesukuan dalam kekhalifahan Abbasiyah.
Sebagai solusi, mereka menawarkan alternatif, yaitu menyatukan perbedaan
ke dalam satu madzhab yang inklusif dan berpijak pada ajaran-ajaran
yang disarikan dari semua agama dan aliran yang ada.(Muhammad Jawwad
Ridla, 2002)
Mereka
mempelajari segala cabang ilmu pengetahuan baik yang beredar di negeri
Islam maupun ilmu-ilmu yang didatangkan dari India, Yunani, Persia, dan
Romawi. Mereka juga giat mengadakan penelitian, yang dimunculkan dalam
bentuk buku, brosur, dan pamphlet, sebagaimana mereka memunculkan
statemen-statemennya. (Depag., Ensiklopedi Islam, 1988)
Pandangan-pandangannya
banyak bertentangan dengan khalifah, sehingga untuk menghindarkan diri
dari campur tangan khalifah, mereka merahasiakan keberadaan dan
aktifitasnya. Mereka berkumpul dan bertukar pikiran (mudzakarah)
secara rahasia. Sekalipun mereka memiliki banyak cabang, namun
anggotanya sangat sedikit. Hal ini dikarenakan: 1) pergerakan mereka
disusun secara rahasia; dan 2) penerimaan anggota dilakukan secara
selektif. Di samping bobot ilmiahnya, mereka juga mempertimbangkan calon
anggota dalam hal akhlak, karakter, dan budi pekertinya.
Aktifitas Ikhwan al-Shafa didasarkan
pada pandangannya, yaitu “Syari’at Islam telah dinodai dengan berbagai
macam kejahilan dan dilumuri oleh beraneka ragam kesesatan. Dan jalan
terbaik untuk membersihkan semua itu adalah dengan filsafat”. Semasa
eksisnya, kelompok ini menciptakan sebuah madzhab tersendiri, yang mana
dengan madzhab tersebut mereka akhirnya mendapat tentangan dari ahli
agama dan ahli pengetahuan yang lain, terutama para mutakallimin. Para ahli agama dan ahli pengetahuan tersebut mencela jalan yang ditempuh Ikhwan al-Shafa dalam
mena’wilkan al-Qur'an yang tidak sesuai dengan dhahir ayat serta keluar
dari maksud yang dikandung al-Qur'an menurut tafsiran mereka. Mereka
menganggap Ikhwan al-Shafa telah menggabungkan fundamen agama dengan filsafat Yunani, yaitu menggabungkan wahyu dengan akal. (Depag., Ensiklopedi Islam, 1988)
Ikhwan al-Shafa banyak menulis buku, dan satu di antaranya adalah buku yang terdiri dari berbagai macam risalah, yang diberi nama “Rasa’il Ikhwan al-Shafa wa Kullan al-Wafa”
(risalah-risalah tentang saudara-saudara suci dan sahabat-sahabat
jujur). Buku yang kemudian dikenal dengan Ensiklopedi Ikhwan al-Shafa
tersebut terdiri dari 51 risalah yang dikelompokkan menjadi 4 kelompok,
yaitu 1) Matematika, terdiri dari 14 naskah, meliputi: geometri,
astronomi, musik, geografi, seni, akhlak, dan logika. 2) Ilmu alam dan
fisika, terdiri atas 17 naskah, meliputi: fisika, mineralogy, botani,
alam kehidupan dan kematian, dan tentang kemampuan manusia di dalam
berpikir.
3)
Sains pemikiran serta psikologi, terdiri dari 10 naskah, meliputi:
metafisika, waktu dan peredaran waktu, ilmu tabi’at, dan tentang
kebangkitan kembali. 4) Agama, terdiri dari 14 risalah, yang meliputi
theologi, hubungan manusia dengan Tuhan, ramalan, entitas spiritual,
tindakan (aksi) perundingan politik, taqdir, ilmu ghaib, dan azimat.
(Depag., Ensiklopedi Islam, 1988) Sedangkan di bidang filsafat
meliputi: ilmu, matematika, mantik (logika), metafisika, tentang jiwa,
filsafat agama, dan moral.
Dalam perkembangan pemikiran pendidikan, Ikhwan al-Shafa memiliki beberapa keistimewaan. Di antaranya, pertama,
aplikasi keilmuan atas problema sosial melalui sistem pendidikan yang
efektif dan berorientasi pada rekonstruksi keseimbangan ranah
intelektual dan moral, dan pembebasan potensi nalar masyarakat luas.
Mereka berpendapat bahwa fenomena kelaliman, otoritanisme dan tiranisme
politik tidak akan berlangsung kontinu kecuali akibat merebaknya
kebodohan dan kelalaian mayoritas masyarakat. Dengan diubahnya pola
pikir dan disadarkannya mayoritas masyarakat dari kebodohan dan
kelalaian mereka, maka akan sulit terjadi kelaliman, otoritanisme dan
tiranisme.
Kedua, paradigma “ta’limiy” (pengajaran).
Ini tampak dalam praktik politiknya, yaitu dalam pola relasi dan
organisasi antar mereka berada pada penjenjangan da’wah. Ketiga, difersifikasi sumber-sumber pengetahuan, yang merupakan refleksi dari sabda Nabi “Hikmah itu barang hilang orang mukmin, ia akan mengambilnya di manapun ditemukan”.
Keempat,
penolakan fanatisme buta, peneguhan paham kebebasan dan apresiasi
pluralitas pemikiran sebagai hal produktif bagi dinamika intelektual dan
sosial.(Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Para sejarawan kontemporer mengakui kontribusi besar Ikhwan al-Shafa dalam perkembangan pemikiran Islam, yang dapat mereka simpulkan, antara lain:
- Totalitas kelompok Ikhwan al-Shafa dalam mengabdi untuk kehidupan intelektual di abad keempat Hijriyah, hingga merekalah yang paling lantang dan fasih berbicara.
- Perintisan program penyusunan karya ensiklopedi pemikiran keislaman, yaitu dengan risalah-risalah popular mereka.
- Pencerdasan dan pencerahan masyarakat luas melalui program pengajaran aneka ragam ilmu dan filsafat. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
C. Konsep Pendidikan Menurut Ikhwan al-Shafa
Dengan tepat, term
pendidikan sulit untuk diformulasikan, karena keluasan wilayahnya.
Wilayah pendidikan meliputi, antara lain: tempat (keluarga, sekolah,
masyarakat); pelaku (diri sendiri, orang lain, lingkungan); dan daerah
(hati, akal, jasmani). Namun secara umum pendidikan dapat diartikan
sebagai usaha mendewasakan atau mencapai kedewasaan seseorang melalui
pengajaran dan pelatihan.
Dalam
konteks Islam, menurut Azyumardi Azra (2002), pengertian pendidikan
dengan seluruh totalitasnya inheren dengan konotasi istilah tarbiyyah, ta’lim dan ta’dib
yang harus dipahami secara bersama-sama. Ketiga istilah itu mengandung
makna yang amat dalam menyangkut manusia, masyarakat serta lingkungan
yang dalam hubungannya dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain.
Istilah-istilah itu pula sekaligus menjelaskan ruang lingkup pendidikan
Islam: informal, formal dan nonformal.
Walaupun
bukan merupakan suatu komitmen, kata tarbiyah merupakan kata yang
paling populer untuk menunjuk pendidikan di negara-negara Arab, sehingga
kita lebih sering mendengar istilah Kulliyyah Tarbiyyah, atau
fakultas Tarbiyah dalam konteks Indonesia daripada kata yang lain.
Penggunaan kata tarbiyah untuk menunjuk pendidikan pertama kali muncul,
jelas Munir Mursa, berkaitan dengan gerakan pembaharuan pendidikan di
dunia Arab pada pertengahan abad ke-20. Di antara tokoh yang menggunakan
istilah tersebut adalah Abdurrahman al-Nahlawi.
Berhubungan dengan pendidikan, Ikhwan al-Shafa
menguraikan teorinya dengan komprehensif, sempurna, dan gradual. Secara
garis besar uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa pendidikan adalah
aktivitas moral untuk mencapai kebaikan bagi manusia. Dengan demikian,
pendidikan merupakan hal yang urgensi dan esensi bagi manusia. Dan
sebagai konsekuensi, mereka memberikan perhatian yang sangat besar
terhadap hal tersebut. Kepedulian serta keseriusan mereka dapat dilihat
dari karya spektakulernya, yaitu sebuah ensiklopedi yang terdiri dari 51
risalah dan tersusun dalam 4 jilid, yang sampai kini tetap eksis
menghiasi diskursus-diskursus. Di dalam ensiklopedi tersebut terdapat
kurikulum pendidikan yang pernah diberlakukan dalam Lembaga Pendidikan
Tinggi Islam pada abad X M. (Charles Michael Stanton-terj, 1994).
Berikut
ini kesimpulan dari materi dan topik-topik yang tercakup dalam
Ensiklopedi Ikhwan al-Shafa, yang dikemukakan oleh Fredrich Dieterici,
dalam kutipan Charles Michael Stanton :
Disiplin-disiplin umum : tulis-baca
dan gramatika, ilmu hitung, sastra, sajak dan puisi, ilmu tentang
tanda-tanda dan isyarat, ilmu sihir dan jimat, kimia, sulap, dagang dan
keterampilan tangan, jual-beli, komersial, pertanian dan peternakan,
serta biografi dan kisah-kisah.
Ilmu-ilmu agama : ilmu al-Qur'an, tafsir, hadis, fiqih, dzikir, zuhud, tasawuf, dan syahadah.
Ilmu-ilmu filosofis : matematika,
logika, ilmu angka-angka, geometri, astronomi, musik, aritmatika, dan
hukum-hukum geometri; ilmu-ilmu alam dan antropologi; zat, bentuk,
ruang, waktu dan gerakan; kosmologi; produksi, peleburan, dan
elemen-elemen; meteorology dan minerologi; esensi alam dan
manifestasinya; botani dan zoology; anatomi dan antropologi; persepsi
inderawi; embriologi; manusia sebagai mikro kosmos; perkembangan jiwa
(evolusi psikologis); tubuh dan jiwa; perbedaan bahasa-bahasa
(filologi); psikologi-pemahaman dunia kejiwaan dan sebagainya; dan
theology-doktris esoteris Islam, susunan alam spiritual; serta ilmu
tentang alam ghaib. (Charles Michael Stanton-terj, 1994)
Menurut Ikhwan al-Shafa,
aktivitas pendidikan bukan sekedar mentransfer pengetahuan atau
pengalaman dari seseorang pada orang lain. Tapi jauh lebih luas dari
itu. Oleh karena itu, aktivitas pendidikan tidak dimulai sedari kecil,
tetapi sejak seorang anak masih dalam kandungan. Saran para dokter agar
ibu yang hamil berhati-hati dalam segala aktivitasnya, menurutnya,
adalah karena kehati-hatian sang ibu sangat berpengaruh pada kesehatan
bayi dalam rahimnya, yang selanjutnya berpengaruh pada intelektual dan
kejiwaan sang bayi. (Ahmad Tafsir, 2001). Keberadaan janin dalam rahim
selama sembilan bulan, menurutnya, hanyalah demi kesempurnaan bentuk dan
kejadian sang bayi. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002).
Selanjutnya, setelah sang bayi lahir, ia akan terus dipengaruhi oleh faktor-faktor yang ada di sekelilingnya. Ikhwan al-Shafa menganalogikan jiwa bayi sebelum terisi oleh suatu pengetahuan bagaikan kertas putih dan bersih,
tidak ada tulisan apapun, sebagaimana sabda Nabi SAW. sewaktu jiwa
telah diisi oleh suatu pengetahuan atau kepercayaan, baik yang benar
maupun yang batil, maka sebagian darinya telah tertulisi dan sulit untuk
dihapuskan. Dengan demikian, perhatian terhadap kesehatan indrawi bayi
atau anak hendaknya diberikan sejak dini, karena ia merupakan jendela
masuknya dunia luar ke dalam jiwa. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002).
Kesadaran kuat Ikhwan al-Shafa terhadap
urgensi indra dalam memperoleh pengetahuan dan imperasinya dalam
keberadaan manusia, baik dataran empiris-sensual maupun empiris-logis,
membawa mereka pada pengapresiasian peran dan fungsi fisik-jasmani untuk
kebahagiaan manusia dan kenormalan hidupnya. Dalam risalah yang lain,
mereka menekankan perlunya memperhatikan fisik-jasmaniah, memeliharanya
dan mengaturnya dengan seksama agar jangan sampai tidak terurus
kebutuhan makan dan minumnya. “Sekiranya kebutuhan makan, minum, gerak
dan istirahat dari fisik-jasmaniah terpenuhi dengan baik, maka kamu akan
sehat wal afiat.” (Muhammad Jawwad Ridla, 2002).
Ikhwan al-Shafa juga
berpendapat bahwa manusia tersusun dari unsur fisik-biologis dan unsur
jiwa-rohaniah, yang mana antara keduanya memiliki perbedaan sifat dan
berlawanan kondisi. Oleh karena itu, kehidupan manusia diwarnai dengan
dualitas berlawanan, seperti hidup dan mati, kepandaian dan kebodohan
dan lain-lain. Namun dualistic yang mewarnai manusia tersebut tidaklah
bersifat liberal, melainkan dibatasi oleh pengakuan akan ragam potensi
individual yang unik. Antara satu orang berbeda dengan orang lain.
Meskipun watak dasar setiap individu bersifat genetic-bawaan, namun
kecenderungan-kecenderungan yang dimilikinya bersifat ikhtiyari.
(Muhammad Jawwad Ridla, 2002). Sebagai treatment menjauhkan anak dari dampak negative, Ikhwan al-Shafa menegaskan perlunya lingkungan pendidikan (konteks positif) bagi perkembangan anak.
Kelompok
yang membenarkan adanya kebenaran dalam agama-agama non Islam ini, juga
mengatakan bahwa setiap manusia memiliki potensi, tetapi potensi itu
tidak akan bisa menjadi aktual tanpa bimbingan guru. Ilmu yang ada pada
manusia datang dari tiga jurusan, yaitu 1) panca indra; 2) argument; dan
3) perenungan akal. Jalan yang ketiga ini merupakan tahapan yang
sederhana, dan akan mencapai ma’rifat Allah jika melalui hidup zuhud (asketis) dan amal saleh. (Depag., Ensiklopedi Islam, 1988).
Dalam pengajarannya, kelompok yang disebut juga ta’limiyyun ini, mengklasifikasikan manusia, sehubungan dengan pengetahuannya, ke dalam empat tingkatan atau kelompok. Pertama
kelompok remaja dan pemuda yang berumur sekitar 15-30 tahun. Kelompok
ini, pertumbuhan dan perkembangan jiwanya relatif masih selaras dengan
fitrah. Mengingat kelompok ini berstatus murid, sepantasnya mereka
mengikuti guru mereka. Kedua, kelompok orang dewasa, sekitar umur 30-40 tahun. Kelompok ini sudah mengetahui wisdom keduniaan dan sudah mampu menerima pengetahuan melalui simbol.
Ketiga, kelompok orang yang berumur 40-50 tahun. Mereka sudah dapat mengetahui Namus Ilahy (malaikat Tuhan) secara sempurna sesuai tingkatan mereka. Ini adalah tingkatan Nabi. Keempat,
kelompok orang yang berusia 50 tahun ke atas. Tingkatan tertinggi yang
memungkinkan manusia menyaksikan realitas hakiki segala sesuatu, seperti
halnya yang dimiliki para malaikat. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
D. Epistemologi Ikhwan al-Shafa
Secara etimologi, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme (pengetahuan) dan logos
(ilmu). Sedangkan secara terminology, epistemologi adalah cabang
filsafat yang bersangkut-paut dengan teori pengetahuan. (Jan Handrik
Rapar, 1996). Jika diformulasikan dengan pertanyaan, maka epistemologi
mengandung pertanyaan-pertanyaan: apakah pengetahuan itu? Apa sumber dan
dasar pengetahuan? Apakah pengetahuan itu kebenaran yang pasti atau
hanya dugaan? Apakah pengetahuan itu berasal dari pengamatan, pengalaman
atau akal budi?
Untuk menjawab dari mana pengetahuan diperoleh, ada dua pendapat yang berbeda. Pertama, pengetahuan diperoleh melalui akal. Kedua, pengetahuan diperoleh melalui indra (pengalaman). Pendapat pertama selanjutnya dikenal dengan faham rasionalisme, dan kelompoknya disebut rasionalis.
Mereka berpendapat bahwa sumber pengetahuan manusia yang dapat
dipercaya, dan sumber ilmu pengetahuan yang memenuhi syarat adalah yang
diperoleh melalui akal atau rasio. Di antara filsuf yang memelopori
pendapat ini adalah Plato.
Sedang pendapat kedua selanjutnya dikenal dengan faham empirisme dan kelompoknya disebut kaum empiris.
Mereka berpendapat bahwa indra manusia mempunyai peranan besar dalam
menghasilkan pengetahuan, sementara akal lebih berfungsi sebagai
pengaturnya.
Dari dua kelompok ini, di manakah Ikhwan al-Shafa berada? Ikhwan al-Shafa mempunyai pendapat yang berbeda dengan teori pengetahuan Plato, yang menyatakan bahwa jiwa mengetahui dengan mengingat-ulang
apa yang telah diperolehnya sewaktu berada di alam ide, sebelum turun
ke bumi. Di alam ide, jiwa mengetahui banyak hal. Pada saat jiwa
berpindah dari alam ide yang bersifat rohaniah menuju ke alam material,
ia lupa akan pengetahuan yang dulu dimilikinya. Oleh karena itu, segala
sesuatu yang dipelajarinya (di alam material), sebenarnya hanya bersifat
mengingat-ulang pengetahuan yang dulu pernah dimilikinya (di alam ide). (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Berbeda dengan pendapat tersebut, Ikhwan al-Shafa menganggap
semua pengetahuan berpangkal pada cerapan indrawiah (empirisme). Mereka
memandang salah terhadap kelompok yang mengatakan bahwa pengetahuan
diperoleh dengan cara mengingat-ulang. Argumentasi mereka, bahwa
segala sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh indra, tidak bisa
diimajinasikan, dan segala sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan, tidak
bisa dirasiokan. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Sekedar menguatkan pendapat kaum empiris di atas, yang mengatakan bahwa akal lebih berfungsi sebagai pengatur, Ikhwan al-Shafa mengatakan
bahwa, orang-orang yang berakal mempunyai perbedaan tingkat pengetahuan
rasionalnya. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kualitas potensi
indrawiah, pola interaksi mereka dengan lingkungan dan lainnya.
Berangkat dari realita tersebut, selanjutnya Ikhwan al-Shafa merumuskan bahwa:
“Sesungguhnya rasio manusia tiada lain hanyalah jiwa yang berpikir (al-nafs al-nathiqah),
di kala manusia dalam usia dewasa. Jiwa pada waktu awal bersatu dengan
badan, yaitu periode janin dalam rahim, adalah sesuatu yang amat
sederhana, tidak berpengetahuan, tidak berakhlak, tidak berpihak dan
tidak beraliran, sebagaimana difirmankan Allah SWT.: ‘Allah yang telah mengeluarkanmu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apapun’. Ia hanyalah substansi rohaniah yang hidup dan mempunyai potensi berkembang. Sewaktu jiwa mendapat impresi dan stimuli
indrawiah-sensual dengan ragam jenis dan macamnya, lalu dipersepsikan.
Dengan demikian, jiwa disebut sebagai berakal dan mengetahui secara
aktual.” (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Tentang pertanyaan, apa sumber pengetahuan ? Menurut Ikhwan al-Shafa, sumber pengetahuan ada empat macam:
- Kitab suci yang diturunkan, seperti Taurat, Injil, Zabur, dan al-Qur'an.
- Kitab-kitab yang disusun oleh para hukama’ dan para filosof, seperti matematika, fisika-kealaman, sastra dan filsafat.
- Alam.
- Perenungan alam semesta dan tata aturan kosmiknya, yang sering disebut substansi noumenon, ragam dan macamnya, serta kaitan fungsionalnya dengan kenyataan empiris. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
E. Tujuan Pendidikan Menurut Ikhwan al-Shafa
Untuk
mengetahui tujuan pendidikan, tidak bisa lepas dari pembahasan tentang
konsep manusia. Karena merekalah pelaku pendidikan. Sebagai konsekuensi
logis, jika kita ingin mengetahui apa tujuan pendidikan ala Ikhwan al-Shafa, maka kita harus mengetahui diskursus mereka tentang manusia.
Sebagaimana --secara serba sederhana-- telah penulis singgung di atas, bahwa dalam moral-etik, Ikhwan al-Shafa mempunyai
pandangan “dualistic” tentang konsep dasar manusia. Manusia itu,
jelasnya, tersusun dari unsur fisik-biologis dan jiwa-rohaniah. Kedua
unsur ini memiliki perbedaan sifat dan berlawanan kondisi, namun
memiliki kesamaan dalam tindakan dan aksidentalnya. Karena unsur
fisik-biologisnya, manusia cenderung untuk tidak kekal di dunia dan
hidup selamanya. Sedangkan, karena unsur jiwa-rohaniahnya, manusia
cenderung untuk meraih akhirat dan keselamatan di sana. Dengan demikian,
kondisi kehidupan manusia diwarnai oleh dualitas berlawanan, seperti
hidup dan mati, tidur dan terjaga, pengetahuan dan kebodohan, ingat dan
lupa, cerdas dan dungu, sehat dan sakit, kedermawanan dan kekikiran,
baik dan jahat, ketakutan dan keberanian, susah dan senang dan
lain-lain. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Manusia
berada dalam tarik-menarik antara persahabatan dan permusuhan,
kefakiran dan kecukupan, kemudaan dan ketuaan, takut dan berharap, jujur
dan dusta, kebenaran dan kebatilan, ketepatan dan kekeliruan, baik dan
buruk, serta dualitas berlawanan dari ucapan dan perilaku moral-etik lainnya.
Ketahuilah
wahai Saudaraku! Hal-hal yang dikemukakan tersebut tidaklah semata-mata
berkaitan dengan unsur fisik-biologis manusia, atau semata-mata
berkaitan dengan unsur jiwa-rohaniahnya, melainkan berkaitan dengan
totalitas dua unsur itu yang membentuk manusia yang hidup, berpikir dan
mati. Kehidupan dan kemampuan berpikir manusia dikarenakan oleh unsur
jiwa-rohaniahnya, sedangkan kematiannya dikarenakan unsur
fisik-biologisnya, sadar-jaganya dikarenakan unsur jiwa-rohaniahnya.
Singkat kata, segala persoalan dualitas berlawanan yang melingkupi
kehidupan manusia, sebagiannya berasal dari unsur jiwa-rohaniah. Itu
sebabnya, hal-hal semisal: kecerdasan, pengetahuan, kedermawanan,
kebijaksanaan, kejujuran, kebaikan, serta hal positif lainnya berasal
dari jiwa-rohaniah yang jernih, sedangkan kebalikan dari semua itu
berasal dari fermentasi anasir fisik-biologis manusia. (Muhammad Jawwad
Ridla, 2002)
Namun
dualistik yang mewarnai manusia, lanjutnya, tidaklah bersifat liberal,
melainkan dibatasi oleh ragam potensi individual yang unik. Antara satu
orang berbeda dengan orang lain. Meskipun watak dasar setiap individu
bersifat genetic-bawaan, namun kecenderungan-kecenderungan yang
dimilikinya bersifat ikhtiyari, sehingga terjadi keragaman antar
individu, seperti ada individu yang berbakat menjadi pedagang, da’i,
guru dan lain-lain.
Ragam potensi kognitif dan indrawiah juga memengaruhi pula pada potensi moral-etik yang juga beragam antara manusia, sebagaimana beragamnya potensi kognitif-intelektual.
Menurutnya, moral yang bersandar pada karakter dasar manusia adalah
kecenderungan kuat pada anggota badan, dan pada gilirannya akan
memudahkan dalam merefleksikan dalam tindakan nyata. Sebagai contoh,
misalnya seseorang berkarakter pemberani maka dia akan merasa enteng
menghadapi hal-hal yang menakutkan. Tetapi jika dia berkarakter penakut,
dalam menghadapi hal-hal yang menakutkan dia akan pikir-pikir dahulu
atau penuh pertimbangan, begitu seterusnya.
Ikhwan al-Shafa juga
mengakui adanya potensi psikomotorik, kognitif, dan afektif pada
masing-masing individu. Mereka menggambarkan kehidupan sosial sebagai
tatanan (sistem) fungsional-komplementer, di mana tiap-tiap
potensi genetic-bawaan yang dimiliki manusia merupakan alat-alat
sistemik (sub sistem-sub sistem) yang berfungsi spesifik demi tegaknya
sebuah tatanan (sistem) tersebut. Namun tidak diragukan bahwa
fungsi-fungsi spiritual berada pada hirarkhi paling atas dan mulia
dibanding fungsi-fungsi lainnya.
Berangkat
dari eksplanasi di atas, bahwa manusia diliputi oleh dua hal, yaitu
positif dan negative (baik dan buruk). Maka tujuan pendidikan bagi
manusia, menurut Ikhwan al-Shafa, secara umum, adalah untuk mencapai kebaikan.
Dan secara khusus, mereka merincinya menjadi dua tujuan, yaitu tujuan
individual dan tujuan sosial. Secara tekstual, antara keduanya terdapat
perbedaan. Ikhwan al-Shafa memberikan porsi lebih kepada kelompok kedua. Secara global-individual, tujuan pendidikan adalah untuk mengenal Tuhan. Sedangkan tujuan global-sosial adalah untuk pembentukan karakter diri (al-suluk).
Lebih jelasnya, tujuan-tujuan tersebut dapat dibaca dalam kutipan risalah mereka berikut ini:
“Ketahuilah
wahai Saudaraku! --semoga Allah memberi kekuatan kepada kita-- bahwa
tujuan para filsuf dan pakar mempelajari ilmu-ilmu pasti dan
mengajarkannya kepada para murid adalah al-suluk (pembentukan
karakter diri) dan penitian ke arah penguasaan ilmu-ilmu kealaman
(Fisika). Sedangkan tujuan mereka mempelajari ilmu-ilmu kealaman adalah
pendakian menuju penguasaan ilmu-ilmu ketuhanan (theologi) yang menjadi
puncak tujuan para filsuf dan ilmuwan bijak, serta muara dari ragam
pengetahuan tentang hakikat. Mengingat tahapan awal pemahaman ilmu-ilmu
ketuhanan adalah pengenalan akan substansi jiwa, pengkajian perihal awal
kejadiannya sebelum bersatu dengan jasad, penelaahan tentang muara
akhirnya setelah berpisah dengan jasad dan tentang perihal pahala yang
akan diterima orang-orang yang baik di akhirat, dan hal-hal lain;
mengingat juga manusia sangat dituntut untuk mengenali (ma’rifat)
terhadap Tuhannya, sementara hal itu hanya bisa diraih bila ia mampu
mengenali dirinya sendiri, seperti difirmankan Allah SWT., “Dan tidaklah ada orang yang membenci agama Ibrahim, kecuali orang yang tidak mengenali dirinya sendiri” (al-jahl al-nafs), dan seperti apa yang diungkapkan, “Barangsiapa mengenali dirinya sendiri, maka ia akan mampu mengenali (ma’rifat) Tuhannya”, demikian juga ungkapan, “orang yang paling mampu mengenali dirinya sendiri, dialah yang paling mengenali Tuhannya”.
Maka setiap orang yang berakal dituntut untuk mencari dan mempelajari
ilmu tentang jiwa, pengetahuan tentang substansinya dan cara
penyuciannya. Allah berfirman, “Demi jiwa dan apa yang Dia telah
menyempurnakan. Dia telah membekali jiwa keburukan dan ketaqwaannya.
Sungguh beruntung orang yang mau membersihkan jiwa, dan sungguh merugi
orang yang mengotorinya”. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002)
Namun
tujuan tertinggi dari aktivitas pendidikan ini, menurutnya, adalah
peningkatan harkat manusia kepada tingkatan malaikat yang suci, agar
dapat meraih ridha Allah SWT. Dan hal itu, tegasnya, hanya bisa
direalisir dengan komitmen seseorang terhadap perilaku moral. (Muhammad
Jawwad Ridla, 2002)
F. Penutup
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa Ikhwan al-Shafa merupakan
persaudaraan suci yang terdiri dari para ilmuwan dan filsuf muslim.
Mereka bergerak secara rahasia dan memiliki tujuan politis melakukan
transformasi sosial, namun tidak melalui cara radikal-revolusioner,
tetapi melalui cara transformasi pola pikir masyarakat luas. Mereka
sangat peduli dengan nasib Islam di zamannya. Kepedulian tersebut
terutama dalam pemikiran (pendidikan), yang selanjutnya terefleksi dalam
karya spektakulernya, Rasa’il Ikhwan al-Shafa, sebuah karya
dalam bentuk ensiklopedi yang di dalamnya terdapat beberapa disiplin
ilmu pengetahuan, sekaligus kurikulum pendidikan.
Dalam pendidikan, Ikhwan al-Shafa,
memiliki konsep bahwa pendidikan itu bukan sekedar upaya transfer suatu
pengetahuan dari seseorang kepada orang lain tetapi lebih merupakan
aktivitas moral yang dengannya seseorang mendapatkan derajat kemanusiaan
yang tertinggi, yang dalam istilah mereka disebut “derajat malaikat al-muqarrabin.”
Aktivitas pendidikan ini bukan hanya berupa bimbingan dan pengajaran
tetapi juga pengaruh, yang dapat terjadi sejak seorang anak masih dalam
kandungan (embrio). Sehingga sejak inilah aktivitas pendidikan sudah
dimulai.
Dalam epistemologi, Ikhwan al-Shafa
mengatakan bahwa semua pengetahuan berpangkal pada cerapan indrawiah
(empirisme). Mereka memandang salah terhadap kelompok yang mengatakan
bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara mengingat-ulang.
Argumentasi mereka, bahwa segala sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh
indra, tidak bisa diimajinasikan, dan segala sesuatu yang tidak bisa
diimajinasikan, tidak bisa dirasiokan. Pengetahuan juga dapat diperoleh
dari 1) kitab suci yang diturunkan, seperti Taurat, Injil, Zabur, dan
al-Qur'an; 2) kitab-kitab yang disusun oleh para hukama’ dan para
filosof, seperti matematika, fisika-kealaman, sastra dan filsafat; 3)
alam; 4) perenungan alam semesta dan tata aturan kosmiknya.
Tujuan pendidikan menurut Ikhwan al-Shafa adalah untuk peningkatan harkat manusia kepada tingkatan yang tertinggi (malaikat yang suci), agar dapat meraih ridha Allah SWT.
Daftar Pustaka
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 2002
Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam (terj.), Jakarta: Logos, 1994
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999
Departemen Agama RI., Ensiklopedi Islam, Jakarta, 1988
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1996
Majid Fakhriy, Sejarah Filsafat Islam, Bandung, Mizan, 2002
Muhammad Jawwad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002
M.M. Syarif (ed), A. Historis of Muslim Philosophy, Otto Harrassinwitz Wiesbaden, 1963