Komunikasi antarbudaya
Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini. [1] Menurut Stewart L. Tubbs,komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosio ekonomi).Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi.[1
Hamid Mowlana menyebutkan komunikasi antarbudaya sebagai human flow across national boundaries. Misalnya; dalam keterlibatan suatu konfrensi internasional dimana bangsa-bangsa dari berbagai negara berkumpul dan berkomunikasi satu sama lain.[2] Sedangkan Fred E. Jandt mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi tatap muka di antara orang-orang yang berbeda budayanya.[3]
- Intercultural communication generally refers to face-to-face interaction among people of diverse culture.[3]
- Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan;[4]
- Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung daripersetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama;[4]
- Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita;[4]
- Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengidentifikasinya dengan pelbagai cara.[4]
Hakikat Komunikasi Antarbudaya
Enkulturasi
Enkulturasi mengacu pada proses dengan mana kultur (budaya) ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kita mempelajari kultur, bukan mewarisinya. Kultur ditransmisikan melalui proses belajar, bukan melalui gen. Orang tua, kelompok, teman, sekolah, lembaga keagamaan, dan lembaga pemerintahan merupakan guru-guru utama dibidang kultur. Enkulturasi terjadi melalui mereka.[5][sunting] Akulturasi
Akulturasi mengacu pada proses dimana kultur seseorang dimodifikasi melalui kontak atau pemaparan langsung dengan kultur lain.[5] Misalnya, bila sekelompok imigran kemudian berdiam di Amerika Serikat (kultur tuan rumah), kultur mereka sendiri akan dipengaruhi oleh kultur tuan rumah ini. Berangsur-angsur, nilai-nilai, cara berperilaku, serta kepercayaan dari kultur tuan rumah akan menjadi bagian dari kultur kelompok imigran itu. Pada waktu yang sama, kultur tuan rumah pun ikut berubah.[5]Fungsi-Fungsi Komunikasi Antarbudaya
Fungsi Pribadi
Fungsi pribadi adalah fungsi-fungsi komunikasi yang ditunjukkan melalui perilaku komunikasi yang bersumber dari seorang individu.[4]- Menyatakan Identitas Sosial[4]
- Menyatakan Integrasi Sosial[4]
- Menambah Pengetahuan[4]
- Melepaskan Diri atau Jalan Keluar[4]
Hubungan komplementer selalu dilakukan oleh dua pihak mempunyai perlaku yang berbeda.[4] Perilaku seseorang berfungsi sebagai stimulus perilaku komplementer dari yang lain. Dalam hubungan komplementer, perbedaan di antara dua pihak dimaksimumkan.[4] Sebaliknya hubungan yang simetris dilakukan oleh dua orang yang saling bercermin pada perilaku lainnya.[4] Perilaku satu orang tercermin pada perilaku yang lainnya.[4]
Fungsi Sosial
- Pengawasan[4]
- Menjembatani[4]
- Sosialisasi Nilai[4]
- Menghibur[4]
Prinsip-Prinsip Komunkasi Antarbudaya
- (( terdapatnya golongan ningrat sebagai budaya yang tertinggi))
hal ini terlihat dari adanya ketimpangan pemlihan calon gubernur yang mengharuskan dari keturunan darah biru.
- Relativitas Bahasa[5]
- Bahasa Sebagai Cermin Budaya[5]
- Mengurangi Ketidak-pastian[5]
- Kesadaran Diri dan Perbedaan Antarbudaya[5]
- Interaksi Awal dan Perbedaan Antarbudaya[5]
- Memaksimalkan Hasil Interaksi[5]
Kedua, bila kita mendapatkan hasil yang positif, kita terus melibatkan diri dan meningkatkan komunikasi kita.[5] Bila kita memperoleh hasil negatif, kita mulai menarik diri dan mengurangi komunikasi.[5]
Ketiga, kita mebuat prediksi tentang mana perilaku kita yang akan menghasilkan hasil positif.[5] dalam komunikasi, anda mencoba memprediksi hasil dari, misalnya, pilihan topik, posisisi yang anda ambil, perilaku nonverbal yang anda tunjukkan, dan sebagainya.[5] Anda kemudian melakukan apa yang menurut anda akan memberikan hasil positif dan berusaha tidak melakkan apa yang menurut anda akan memberikan hasil negatif.[5]
Definisi yang pertama dikemukakan didalam buku “Intercultural Communication: A Reader” dimana dinyatakan bahwa komunikasi antar budaya (intercultural communication) terjadi apabila sebuah pesan (message) yang harus dimengerti dihasilkan oleh anggota dari budaya tertentu untuk konsumsi anggota dari budaya yang lain (Samovar & Porter, 1994, p. 19).
Definisi lain diberikan oleh Liliweri bahwa proses komunikasi antar budaya merupakan interaksi antarpribadi dan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda (2003, p. 13). Apapun definisi yang ada mengenai komunikasi antar budaya (intercultural communication) menyatakan bahwa komunikasi antar budaya terjadi apabila terdapat 2 (dua) budaya yang berbeda dan kedua budaya tersebut sedang melaksanakan proses komunikasi.
Hambatan Komunikasi Antar Budaya
Hambatan komunikasi atau yang juga dikenal sebagai communication barrier adalah segala sesuatu yang menjadi penghalang untuk terjadinya komunikasi yang efektif (Chaney & Martin, 2004, p. 11). Contoh dari hambatan komunikasi antabudaya adalah kasus anggukan kepala, dimana di Amerika Serikat anggukan kepala mempunyai arti bahwa orang tersebut mengerti sedangkan di Jepang anggukan kepala tidak berarti seseorang setuju melainkan hanya berarti bahwa orang tersebut mendengarkan. Dengan memahami mengenai komunikasi antar budaya maka hambatan komunikasi (communication barrier) semacam ini dapat kita lalui.
Jenis-Jenis Hambatan Komunikasi Antar Budaya
Hambatan komunikasi (communication barrier) dalam komunikasi antar budaya (intercultural communication) mempunyai bentuk seperti sebuah gunung es yang terbenam di dalam air. Dimana hambatan komunikasi yang ada terbagi dua menjadi yang diatas air (above waterline) dan dibawah air (below waterline). Faktor-faktor hambatan komunikasi antar budaya yang berada dibawah air (below waterline) adalah faktor-faktor yang membentuk perilaku atau sikap seseorang, hambatan semacam ini cukup sulit untuk dilihat atau diperhatikan. Jenis-jenis hambatan semacam ini adalah persepsi (perceptions), norma (norms), stereotip (stereotypes), filosofi bisnis (business philosophy), aturan (rules),jaringan (networks), nilai (values), dan grup cabang (subcultures group).
Sedangkan terdapat 9 (sembilan) jenis hambatan komunikasi antar budaya yang berada diatas air (above waterline). Hambatan komunikasi semacam ini lebih mudah untuk dilihat karena hambatan-hambatan ini banyak yang berbentuk fisik.
Hambatan-hambatan tersebut adalah (Chaney & Martin, 2004, p. 11 – 12):
1. Fisik (Physical)
Hambatan komunikasi semacam ini berasal dari hambatan waktu, lingkungan, kebutuhan diri, dan juga media fisik.
2. Budaya (Cultural)
Hambatan ini berasal dari etnik yang berbeda, agama, dan juga perbedaan sosial yang ada antara budaya yang satu dengan yang lainnya.
3. Persepsi (Perceptual)
Jenis hambatan ini muncul dikarenakan setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda mengenai suatu hal. Sehingga untuk mengartikan sesuatu setiap budaya akan mempunyai pemikiran yang berbeda-beda.
4. Motivasi (Motivational)
Hambatan semacam ini berkaitan dengan tingkat motivasi dari pendengar, maksudnya adalah apakah pendengar yang menerima pesan ingin menerima pesan tersebut atau apakah pendengar tersebut sedang malas dan tidak punya motivasi sehingga dapat menjadi hambatan komunikasi.
5. Pengalaman (Experiantial)
Experiental adalah jenis hambatan yang terjadi karena setiap individu tidak memiliki pengalaman hidup yang sama sehingga setiap individu mempunyai persepsi dan juga konsep yang berbeda-beda dalam melihat sesuatu.
6. Emosi (Emotional)
Hal ini berkaitan dengan emosi atau perasaan pribadi dari pendengar. Apabila emosi pendengar sedang buruk maka hambatan komunikasi yang terjadi akan semakin besar dan sulit untuk dilalui.
7. Bahasa (Linguistic)
Hambatan komunikasi yang berikut ini terjadi apabila pengirim pesan (sender)dan penerima pesan (receiver) menggunakan bahasa yang berbeda atau penggunaan kata-kata yang tidak dimengerti oleh penerima pesan.
8. Nonverbal
Hambatan nonverbal adalah hambatan komunikasi yang tidak berbentuk kata-kata tetapi dapat menjadi hambatan komunikasi. Contohnya adalah wajah marah yang dibuat oleh penerima pesan (receiver) ketika pengirim pesan (sender) melakukan komunikasi. Wajah marah yang dibuat tersebut dapat menjadi penghambat komunikasi karena mungkin saja pengirim pesan akan merasa tidak maksimal atau takut untuk mengirimkan pesan kepada penerima pesan.
9. Kompetisi (Competition)
Hambatan semacam ini muncul apabila penerima pesan sedang melakukan kegiatan lain sambil mendengarkan. Contohnya adalah menerima telepon selular sambil menyetir, karena melakukan 2 (dua) kegiatan sekaligus maka penerima pesan tidak akan mendengarkan pesan yang disampaikan melalui telepon selularnya secara maksimal.
Philipsen (dalam Griffin, 2003) mendeskripsikan budaya sebagai
suatu konstruksi sosial dan pola simbol, makna-makna, pendapat, dan
aturan-aturan yang dipancarkan secara mensejarah. Pada dasarnya, budaya
adalah suatu kode.
Terdapat empat dimensi krusial yang dapat untuk memperbandingkan budaya-budaya, yaitu:
- Jarak kekuasaan (power distance)
- Maskulinitas.
- Penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance).
- Individualisme.
Berkenaan dengan pembahasan komunikasi antarbudaya, Griffin (2003) menyadur teori AnXiety/Uncertainty Management; Face-Negotiation; dan Speech Codes.
1. Anxiety/Uncertainty Management Theory (Teori Pengelolaan Kecemasan/Ketidakpastian)
Teori yang di publikasikan William Gudykunst ini memfokuskan pada
perbedaan budaya pada kelompok dan orang asing. Ia berniat bahwa
teorinya dapat digunakan pada segala situasi dimana terdapat perbedaan
diantara keraguan dan ketakutan.
Ia menggunakan istilah komunikasi efektif kepada proses-proses
meminimalisir ketidakmengertian. Penulis lain menggunakan istilah accuracy, fidelity, understanding untuk hal yang sama.
Gudykunst menyakini bahwa kecemasan dan ketidakpastian adalah dasar
penyebab dari kegagalan komunikasi pada situasi antar kelompok.
Terdapat dua penyebab dari mis-interpretasi yang berhubungan erat,
kemudian melihat itu sebagai perbedaan pada ketidakpastian yang bersifat
kognitif dan kecemasan yang bersifat afeksi- suatu emosi.
Konsep-konsep dasar Anxiety/Uncertainty Management Theory:
a. Konsep diri dan diri.
Meningkatnya harga diri ketika berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola kecemasan.
b. Motivasi untuk berinteraksi dengan orang asing.
Meningkatnya kebutuhan diri untuk masuk di dalam kelompok ketika
kita berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan sebuah
peningkatan kecemasan.
c. Reaksi terhadap orang asing.
Sebuah peningkatan dalam kemampuan kita untuk memproses informasi
yang kompleks tentang orang asing akan menghasilkan sebuah peningkatan
kemampuan kita untuk memprediksi secara tepat perilaku mereka.
Sebuah peningkatan untuk mentoleransi ketika kita berinteraksi
dengan orang asing menghasilkan sebuah peningkatan mengelola kecemasan
kita dan menghasilkan sebuah peningkatan kemampuan memprediksi secara
akurat perilaku orang asing.
Sebuah peningkatan berempati dengan orang asing akan menghasilkan
suatu peningkatan kemampuan memprediksi perilaku orang asing secara
akurat.
d. Kategori sosial dari orang asing.
Sebuah peningkatan kesamaan personal yang kita persepsi antara diri
kita dan orang asing akan menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola
kecemasan kita dan kemampuan memprediksi perilaku mereka secara akurat.
Pembatas kondisi: pemahaman perbedaan-perbedaan kelompok kritis hanya
ketika orang orang asing mengidentifikasikan secara kuat dengan
kelompok.
Sebuah peningkatan kesadaran terhadap pelanggaran orang asing dari
harapan positif kita dan atau harapan negatif akan menghasilkan
peningkatan kecemasan kita dan akan menghasilkan penurunan di dalam rasa
percaya diri dalam memperkrakan perilaku mereka.
e. Proses situasional.
Sebuah peningkatan di dalam situasi informal di mana kita sedang
berkomunikasi dengan orang asing akan menghasilkan sebuah penurunan
kecemasan kita dan sebuah peningkatan rasa percaya diri kita terhadap
perilaku mereka.
f. Koneksi dengan orang asing.
Sebuah peningkatan di dalam rasa ketertarikan kita pada orang asing
akan menghasilkan penurunan kecemasan kita dan peningkatan rasa percaya
diri dalam memperkirakan perilaku mereka.
Sebuah peningkatan dalam jaringan kerja yang kita berbagi dengan
orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan kita dan menghasilkan
peningkatan rasa percaya diri kita untuk memprediksi perilaku orang
lain.
2. Face-Negotiation Theory
Teori yang dipublikasikan Stella Ting-Toomey ini membantu
menjelaskan perbedaan –perbedaan budaya dalam merespon konflik.
Ting-Toomey berasumsi bahwa orang-orang dalam setiap budaya akan selalu negotiating face. Istilah itu adalah metaphor citra diri publik kita, cara kita menginginkan orang lain melihat dan memperlakukan diri kita. Face work merujuk pada pesan verbal dan non verbal yang membantu menjaga dan menyimpan rasa malu (face loss), dan
menegakkan muka terhormat. Identitas kita dapat selalu dipertanyakan,
dan kecemasan dan ketidakpastian yang digerakkan oleh konflik yang
membuat kita tidak berdaya/harus terima. Postulat teori ini adalah face work orang-orang dari budaya individu akan berbeda dengan budaya kolektivis. Ketika face work adalah berbeda, gaya penangan konflik juga beragam.
Terdapat tiga perbedaan penting diantara budaya individulis dan
budaya kolektivis. Perbedaan-perbedaan itu adalah dalam cara
mendefinisikan: diri; tujuan-tujuan; dan kewajiban.
konsep
|
Budaya individualis
|
Budaya kolektivis
|
Diri
|
Sebagai dirinya sendiri
|
Sebagai bagian kelompok
|
Tujuan
|
Tujuan diperuntukan kepada pencapaian kebutuhan diri.
|
Tujuan diperuntukan kepada pencapaian kebutuhan kelompok
|
Kewajiban
|
Melayani diri sendiri
|
Melayani kelompok/orang lain.
|
Teori ini menawarkan model pengelolaan konflik sebagai berikut:
a. Avoiding (penghindaran) – saya akan menghindari diskusi perbedaan-perbedaan saya dengan anggota kelompok.
b. Obliging (keharusan) – saya akan menyerahkan pada ke kebijakan anggota kelompok.
c. Compromising – saya akan menggunakan memberi dan menerima sedemikian sehingga suatu kompromi bisa dibuat.
d. Dominating – saya akan memastikan penanganan isu sesuai kehendak-ku.
e. Integrating – saya akan menukar informasi akurat dengan anggota kelompok untuk memecahkan masalah bersama-sama.
Face-negotiation teory menyatakan bahwa avoiding, obliging, compromising, dominating, dan integrating bertukar-tukar menurut campuran perhatian mereka untuk self-face dan other -face.
3. Speech Codes Theory
Teori yang dipublikaskan Gerry Philipsen ini berusaha menjawab tentang keberadaan speech code
dalam suatu budaya, bagaimana substansi dan kekuatannya dalam sebuah
budaya. Ia menyampaikan proposisi-proposisi sebagai berikut:
a. Dimanapun ada sebuah budaya, disitu diketemukan speech code yang khas.
b. Sebuah speech code mencakup retorikal, psikologi, dan sosiologi budaya.
c. Pembicaraan yang signifikan bergantung speech code yang digunakan pembicara dan pendengar untuk memkreasi dan menginterpretasi komunikasi mereka.
d. Istilah, aturan, dan premis terkait ke dalam pembicaraan itu sendiri.
e. Kegunaan suatu speech code bersama adalah menciptakan
kondisi memadai untuk memprediksi, menjelaskan, dan mengontrol formula
wacana tentang intelijenitas, prudens (bijaksana, hati-hati) dan
moralitas dari perilaku komunikasi.
SALAM HANGAT SAHABAT PUBLIC RELATION
TTD : ARJAMUDIN
TTD : ARJAMUDIN
0 komentar:
Posting Komentar