A Call for Climate: Setelah Perundingan di Bali dan di Bangkok
Pada peringatan Hari Bumi pada tanggal 22
April 2008 yang bertemakan ”A Call for Climate”, Pelangi Indonesia
menegaskan bahwa semua pihak, terutama pembuat kebijakan, harus terlibat
di dalam pengurangan laju dan dampak perubahan iklim. Masyarakat pun
memiliki kewajiban untuk mendorong pemerintah membuat serta
mengimplementasikan kebijakan yang mendukung kegiatan mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim.
Jakarta,
22 April 2008Konferensi Bali Desember 2007 menghasilkan Bali Action
Plan yang mengusung berbagai elemen sebagai pokok pembahasan negosiasi
sampai periode komitmen pertama Protokol Kyoto yang berakhir pada tahun
2012. Bali Action Plan juga menyepakati pembentukan proses negosiasi
baru dalam bentuk Ad hoc Working Groups on Long-term Cooperative Action
(AWG-LCA) yang akan dilaksanakan secara paralel dengan kelanjutan proses
Ad hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties under
the Kyoto Protocol (AWG).
Sebagai salah satu implementasi Bali
Action Plan, diadakanlah Bangkok Climate Change Talks pada 31 Maret
hingga 4 April 2008. AWG-LCA bertemu untuk menyusun rencana kerja hingga
tahun 2009, mengingat pada tahun tersebut AWG-LCA harus sudah memiliki
usulan-usulan aktivitas yang perlu dilakukan oleh negara maju dan
berkembang untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
Sementara itu, AWG menyepakati bahwa mekanisme pasar berbasis proyek
yang diatur di dalam Protokol Kyoto, seperti CDM, akan tetap dijalankan
untuk membantu negara-negara Annex I memehui target penurunan emisi
mereka. Namun mekanisme-mekanisme fleksibilitas ini berfungsi sebagai
alternatif/tambahan saja, sementara negara Annex I tetap harus
menurunkan emisi di dalam negerinya sendiri juga.
Proses negosiasi ini akan dilanjutkan pada bulan Juni 2008 di Bonn, Jerman.
Pada
peringatan Hari Bumi pada tanggal 22 April 2008 yang bertemakan ”A Call
for Climate”, Pelangi Indonesia menegaskan bahwa semua pihak, terutama
pembuat kebijakan, harus terlibat di dalam pengurangan laju dan dampak
perubahan iklim. Masyarakat pun memiliki kewajiban untuk mendorong
pemerintah membuat serta mengimplementasikan kebijakan yang mendukung
kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Terhadap perkembangan isu perubahan iklim baik di tingkat nasional maupun internasional, Pelangi Indonesia menyatakan bahwa:
1.
Lahirnya Bali Action Plan merupakan langkah awal yang penting untuk
menentukan arah negosiasi. Perlu diakui bahwa selama proses negosiasi di
Bali yang sangat alot, terjadi berbagai perubahan di dalam draft Bali
Action Plan sehingga dokumen yang akhirnya disepakati relatif lebih
‘lunak’ dibandingkan draft-draft sebelumnya. Namun dokumen ini berhasil
merangkum berbagai kepentingan pihak-pihak yang berbeda sehingga negara
yang tidak meratifikasi Protokol Kyoto (yaitu Amerika Serikat) mau
bersifat fleksibel dan menerima keputusan ini. Selain itu, Bali Action
Plan juga menunjukkan pengakuan akan pentingnya teknologi dan finansial,
yang selama ini menjadi isu-isu ‘terpinggirkan’ di dalam kegiatan
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
2. Keputusan di Bangkok bahwa
mekanisme seperti CDM hanya menjadi kelonggaran bagi negara Annex I
sangatlah krusial bagi perkembangan negosiasi perubahan iklim, termasuk
yang terkait dengan isu mekanisme penurunan emisi GRK. Saat ini, banyak
negara Annex I yang memanfaatkan mekanisme perdagangan karbon untuk
memenuhi target penurunan emisi mereka dengan biaya murah di negara
berkembang, namun upaya penurunan emisi mereka secara domestik tidaklah
sepadan. Hal ini terbukti dari data UNFCCC yang menunjukkan bahwa emisi
beberapa negara maju pada tahun 2005 malah meningkat dibandingkan emisi
GRK mereka pada tahun 1990 (lihat data UNFCCC disini).
3.
Untuk kegiatan CDM, harus dipastikan bahwa kualitas dan kuantitas CER
yang dihasilkan sesuai dengan prinsip pembangunan lingkungan dan ekonomi
yang berkelanjutan. Selain itu, perlu diberlakukan batas maksimum
jumlah CER yang boleh dijual sebuah negara untuk mengatasi tidak
meratanya proyek CDM secara regional.
4. Saat ini tidak ada batasan
maksimum penurunan emisi yang dapat dilakukan negara maju melalui
berbagai mekanisme fleksibilitas termasuk CDM. Seharusnya sebagian besar
upaya penurunan emisi oleh negara maju dilakukan di dalam negeri dan
mekanisme fleksibilitas merupakan kelonggaran saja. Untuk itu, harus ada
peraturan mengenai jumlah emisi minimal yang tereduksi secara domestik
di negara Annex I sebelum mereka bisa mendapatkan tambahan penurunan
emisi melalui mekanisme lain, semisal CDM.
5. Sumber dana adaptasi
(Adaptation Fund) seharusnya bukan hanya berasal dari CDM, melainkan
juga dari mekanisme fleksibilitas lain yang dilakukan antar
negara-negara maju (International Emission Trading dan Joint
Implementation). Selain itu, eksplorasi mengenai sumber pendanaan
lainnya harus dilakukan berdasarkan polluter pays principle.
Pelangi
Indonesia adalah sebuah lembaga nir-laba yang independen yang berperan
sebagai lembaga kajian untuk mendorong kebijakan publik di bidang
perubahan iklim, energi dan transportasi, dalam kerangka keadilan sosial
dan keberlanjutan fungsi-fungsi lingkungan.
Informasi lebih lanjut, silakan hubungi:Gustya Indriani
Manajer Program dan Informasi-Komunikasi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar