KATA PENGANTAR
Assalamualikum wr.wb
Pertama-tama, saya mengajak semua untuk senantiasa memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah begitu banyak melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua, sehingga sampai saat ini kita masih dalam perlindungan-Nya.
Pada kesempatan ini, perkenankan saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs H.Abdul Latif, MA.g selaku dosen mata kuliah Ushul Fiqh yang memberikan pelajaran serta bimbingan yang tidak pernah putus kepada kita semua, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktu yang teah di tentukan.
Saya menyadari makalah ini jauh dari sempurna dan tentu masih banyak kesalahan, kejanggalan dan kehilafan serta kekurangan disana sini. Tapi ini bukanlah halangan untuk memahami mata kuliah Ushul Fiqh ini, justru ini akan menjadi pendorong semangat dalam mengejar pengetahuan di maksud untuk di kuasai secara utuh.
Akhirnya kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini saya harapkan. Untuk menjadi bahan contoh dalam pembuatan makalah selanjutnya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Jambi, 16 November 2011
Penulis
ARJAMUDIN
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ………………………………………………………………….. i
Daftar Isi ……………………………………………………………………….. ii
BAB I PENDAHULUAN
- Latar Belakang …………………………………………………………. 1
- Rumusan Masalah ……………………………………………………… 1
- Tujuan ………………………………………………………………….. 3
BAB II PEMBAHASAN
- Pengertian Hukum Wadh’i ……………………………………………… 4
- Pengertian Sebab ………………………………………………………. 4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Latar belakang pembahasan makalah ialah untu melengkapi pemakalah yang sudah dipersentasekan pada minggu yang lalu. Sebagaiman yang kita ketahui hukum taklifi itu mrupakan pembagian dari hukum syara’. Untuk itu di sini saya akan memebahas hukum wadh’i yang terdiri dari sebab, syarat, dan mani’.
A. Rumusan masalah
A. Apa tujuan mempelajari hukum wadh’i?
B. Apa pengertian hukum wadh’I itu sendiri?
C. Apa saja sebab, syarat, dan mani’ dari hukum wadh’i itu sendiri ?
D. Agar mengetahui perbandingan antara hukum wadh’i dengan hukum taklifi ?
B. Tujuan
A. Agar mengetahui pengertian hukum wadh’i ?
B. Agar mengetahui sebab, syarat, dan mani’ dari hukum wadh’i ?
C. Agar dapat mengetahi pemebagian hukum wadh’i ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i terbagi kepada 5 bagian, berdasarakan penelitian di peroleh ketetapan, bahwwasannya hukum wadh’i ada kalanya menghendaki untuk menjadi suatu syarat bagi sebab sesuatu yang lain atau, menjadi penghalang atau menjadi pemboleh adanya rukshah (keringanan hukum) sebagai ganti ‘azimah, atau sah atau tidak sah.[1]
B. Pengertian Sebab
Sebab ialah sesuatu yang di jadikan oleh syari’ sebagai tanda atas musababnya dengan mengkaitkan keberadaan musabab dengan keberadaannya dan ketiadaan musabab dengan ketiadaannya. jadi, dari keberdaan sebab , maka di tetapakan adanya musabah dan dari ketiadaan sebab itu di tetapkan ketiadaannya. dengan demikian, sebab merupakan hal yang zhahir (nyata) dan pasti yang di jadikan oleh syar’i sebagai alamat atas hukum syara’, yaitu musababnya. Dari keberadaan sebab itu, di peroleh ketetapan keberadaan musabah, dan dari ketiadaannya, maka di peroleh ketetapan mengenai ketiadaan musabab itu.[2]
C. Macam-Macam Sebab
Sebab terkadang menjadi hukum taklifi, seperti waktu yang di jadikan oleh syar’i sebagai sebab untuk mewajibkan mendirikan shalat, karena firman Allah SWT :
Pemilikan nisab suatu yang berkembang dari pemilik zakat bahkan sebagai sebab bagivpewajiban pembayaran zakat penyucian di tetapakan menjadi sebab bagi pemotongan tangan pencuri dan semisal hal-hal tersebut.[3]
Kadangkala sebab menjadi sebab bagi penenmpatan kepemilikan, atau halangan, atau menghilangkan kedua-duanya: sebagai mana jual beli untuk menetapkan kepemilikan dan menghilangkannya, pemerdekaan dan wakaf untuk menggugurkannya akad perkawinan untuk menetapakan kehalalan, talaq untuk menghilangkan kehalalnya, kekerabatannya hubungan semenda, dan wala’ untuk menentapkan hal pewarissan, pengerusakan harta orang lain untuk menetapakan kewajiban mengganti rugi atas orang yang merusakkan, dan persekutuan atau pemilik untuk penetapan hak syuf’ah (menutp harga barang yang di jual). Terkadang sebab merupakan suatu perbuatan mukallaf yang di kuasainya, seperti pembunuhan yang di lakukan dengan sengaja menjadi sebab adanya penganiayaan terhadapnya, kadang kala, sebab merupakan hal yang di luar kekuasaan mukallaf dan tidsk termasuk perbuatannya, sebagai man masuknya waktu adalah sebab bagi pewajiban shalat.[4]
D. Pengertian Syarat
syarat ialah suatu yang keberadaan hukumnya tergantung pada keberadaan sesuatu itu, dan dari ketiadaanya sesuatu itu di peroleh ketetapan ketiadaan hukum tersebut. yang di maksutkan adalah keberadaannya ecar syara’, yang menumbulkan efeknya.
Syarat merupakan hal yang di luar hakekat sesuatu yang di syaratkan. ketidaan syarat menetapakan ketiadaan yang di syaratkan, namun adanya syarat tersebut tidak memastikan adanya yang di syaratkan.[5]
E. Contoh Syarat
Wudhu adalah syarat bagi keabsaan mendirikan shalat-shalat apabila tidak ada wudhu, maka mendirikan shalat tidak sah, namun keberadaan wudhu tidak memastikan pendirian shalat.
Syarat-syarat syar’iyyah adalah yang menympurnakan sebab dan menjadikan efek timbul padanya, misalnya pembunuhan meruoakan sebab bagi pewajiban qishash, akan tetapi dengan syarat, bahwa ia merupakan pembunuhan secara sengaja dan kezaliman.
Pebedaan antara rukun dan syarat sesuatu, pada hal masing-masing dari keduanya menjadi tempat tergantungnya keberadaan hukum : bahwasannya rukun merupakan bagian dari hakikat sesuatu, adapun syarat merupakan hal yang berada di luar hakikatnya, dan bukan termasuk bagian-bagiannya. misalanya ruku’ adalah rukun shalat, karena ia dalah bagian dari hakikat shalat, sedangkan bersucu adalah syarat shalat, karena ia adalah hal yang berada di luar hakeket shalat.
persyaratan suatu syarat terkadang melalui hukum syari’, dan ia di sebut syar’i
persyaratan suatu syarat terjadinya dengan tasharruf (tindakan hukum) mukallaf, dan ia disebut dengan syarat Ja’il.[6]
F. Pengertian Mani’
Mani’ adalah sesuatu yang keberadaannya menetapkan ketiadaan hukum, atau batalnya sebab ( Penghalang).
Mani’ dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqih adalah sesuatu hal yang ditemukan bersama keberadaan sebab dan terpenuhinya syarat- syaratnya, namun ia mncegah timbulnya musabab pada sebabnya. ketiadaan syarat tidaklah disebut mani’ dalam peristilahan mereka, meskipun ia menghalangi munculnya musabab pada sebabnya. suatu penghalaang terkadang menjadi mani’ terhadap keberadaan sebab syar’i, bukan timbulnya hukumnya,sebagai utang bagi orang yang memiliki senishab harta zakat. sesungguhnya hutang itu menghalangi terhadap keberadaan sebab bagi pewajiban zakat atas dirainya, karena harta kekayaan orang yang berhutang seakan-akan bukanlah miliknya dengan suatu pemilikan yang sempurna.
1. Ijab (kemestian): firman (teks ayat atau hadits) yang menuntut melaksanakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
2. Nadb (anjuran): firman (teks ayat atau hadits) yang menuntut mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti.
3. Tahrim (larangan): firman (teks ayat atau hadits) yang menuntut meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
4. Karahah (kebencian): firman (teks ayat atau hadits) yang menuntut meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti.
5. Ibahah (kebolehan): firman (teks ayat atau hadits) yang mebolehkan melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan.
5. Ibahah (kebolehan): firman (teks ayat atau hadits) yang mebolehkan melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan.
• Hukum wadh’i ialah firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain (musabbab); atau sebagai syarat yang lain (masyrut); atau sebagai penghalang adanya yang lain (mani’).
Mani’ adalah sesuatu hal yang karena adanya dapat menghalangi kewajiban melaksanakan sesuatu; atau menjadi penghalang terlaksananya suatu hukum.
Contoh:
a) Adanya najis pada tubuh atau pakaian, dapat menghalangi seseorang untuk melaksanakan shalat.
b) Adanya kewajiban zakat karena sudah mencapai nishab (batas minimal kewajiban zakat), karena ada hutang maka menjadi penghalang kewajiban berzakat, karena membayar hutang hukumnya juga wajib. Jadi, hutang menjadi penghalang membayar zakat.
c) Adanya kewajiban menunaikan ibadah haji ke Baitullah, karena tidak ada keamanan di jalan, maka tidak wajib berhaji. Ketidakamanan di jalan merupakan penghalang kewajiban haji.[7]
G. Perbedaan antara Hukum Taklifi dan Wadh’i
1. Hukum taklifi adalah menuntut melaksanakan suatu perbuatan atau membolehkan memilih (takhyir) bagi seorang mukallaf untuk melakukan suatu kewajiban atau tidak melakukan kewajiban itu. Sedangkan hukum wadh’i tidak menuntut, melarang atau membolehkan memilih suatu kewajiban, tetapi hanya menerangkan sebab, syarat, dan mani’ (penghalang) terhadap suatu kewajiban.
2. Hukum taklifi selalu dalam kesanggupan orang mukallaf untuk melaksanakan atau meninggalkannya. Sedangkan hukum wadh’i kadang-kadang sanggup dilaksanakannya, dan kadang-kadang tidak mampu dikerjakan karena ada faktor-faktor: sebab, syarat, dan mani’
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah tersusunnya makalah ini maka saya dapat menyimpulkan bahwa pengertian sebab ialah sesuatu yang di jadikan oleh syari’ sebagai tanda atas musababnya dengan mengkaitkan keberadaan musabab dengan keberadaannya dan ketiadaan musabah dengan ketiadaannya. Sedangkan syarat ialah suatu yang keberadaan hukumnya tergantung pada keberadaan sesuatu itu, dan dari ketiadaanya sesuatu itu di peroleh ketetapan ketiadaan hukum tersebut dan pengertian mani’ ini sendiri adalah sesuatu yang keberadaannya menetapkan ketiadaan hukum, atau batalnya sebab ( Penghalang).
B. Saran
Harapan saya setelah tersusunnya makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan bagi pembaca. Dan saya juga menyadari makalh ini jauh dari kesempurnaan untuk itu saya mengharapkan keritik dan saran yang bersifat membangun untuk di jadikan bahan acuan dalam pemuatan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
0 komentar:
Posting Komentar