VIRUS ENTREPRENEUR
JADI PENGUSAHA SUKSES!
|
CARA GILA JADI
PENGUSAHA
VIRUS ENTREPRENEUR
JADI PENGUSAHA SUKSES!
Penerbit PT Elex Media Komputindo
Kelompok Kompas – Gramedia, Jakarta
Cara Gila Jadi
pengusaha
VIRUS
ENTREPRENEUR JADI PENGUSAHA SUKSES!
Ditulis
oleh: Purdi E. Chandra
Hak
Cipta dilindungi oleh Undang-Undang
Diterbitkan
pertama kali oleh
Penerbit
PT Elex Komputindo
Kelompok
Gramedia-Jakarta
|
Cetakan ke-1 : September 2007
Cetakan ke-7 : November 2008
Cetakan ke-8 : Maret 2009
Cetakan ke-9 : Juli 2009
Cetakan ke-10 : November 2009
Cetakan ke-11 : Februari 2010
Cetakan ke-12 : Maret 2010
Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagaian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit, kecuali kutipan kecil dengan
menyebutkan sumbernya dengan layak.
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Isi di luar tanggung jawab percetakan
DAFTAR ISI
BAGIAN 4 : Gaya
memimpin Seorang Entrepreneur.
BAGIAN 5 : Jalur
Cepat jadi Entrpreneur Sukses.
BAGIAN 6 : Hati
Nurani dan Intusi sang entrepreneur.
BAGIAN 7 : Apa yang
Kita Pelajari dari Mereka?.
BAGIAN 8 :
entrepreneur adalah Soko Guru Perekonomian.
Entrepreneur: Virus Maut, Cepat Menular, Bikin
Pengidapnya “Gila”. Waspadalah!
M
|
Enebar
virus. Niat simpel itu sengaja dan sangat
serius ingin saya wujudkan melalui terbitnya buku simple dan smart ini. Virus
ini, seperti juga penyakit lain yang biasa menyerang manusia, punya gejalagejala
cukup menakutkan yakni: cepat menular, penderita bisa mengalami beberapa
stadium bertahap, mulai dari demam, demam parah bahkan kalau sudah akut bisa
menjadi "gila"!
Sejak saya tebarkan virus maut dan
menular ini selama lebih dari lima tahun terakhir di berbagai kota besar di
Indonesia, semakin banyak penderita yang terjangkit penyakit akibat virus yang
saya sebarkan, mereka tidak saja hanya menjadi "gila" tapi justru
semakin tergila-gila. Tak sedikit yang kemudian mengajak rekan kerja, tetangga,
teman kuliah, malah tak sedikit para purnawirawan dan pensiunan yang ikut
menjangkiti sendiri dengan virus "maut dan berbahaya" ini. Anehnya,
pemerintah tidak mencekal dan tidak melarang saya menebarkan virus aneh bin
ajaib ini. Beberapa BUMN, bahkan Kementrian Negara Koperasi dan Pengusaha Kecil
dan Menengah RI sering mengundang saya bicara dalam beberapa seminar yang
mereka kelola.
Entrepreneur, nama virus maut itu.
Kalau sudah dijangkiti virus ini seseorang akan punya pola pikir baru dan
berani mengambil langkah yang selama hidupnya belum pernah dilakukan demi
sebuah tantangan baru: menjadi entrepreneur sukses alias menjadi pengusaha.
Memang, lewat buku "Cara Gila Jadi Pengusaha" ini saya ingin mendorong para pembaca untuk berani
masuk ke "Jurang Tantangan Hidup Baru", orang Jawa sering
menyebutnya, njorokke!
Memang, setelah membaca buku ini,
pembaca diharapkan tak perlu ragu dan bimbang untuk secepatnya menentukan sikap
dan langsung mengambil tindakan nyata untuk memulai usaha dan merintis bisnis.
Saya sungguh sepakat dengan Bob Sadino, pengusaha nasional pemilik supermarket
Kem Chicks & Kem Food yang mengatakan kunci sukses saya adalah, karena saya
melangkah dan terus melangkah dalam berbisnis, bukan hanya mengangan-angankan
langkah.
Dan, yang pasti, kalau kita memang
sudah yakin menjadi pengusaha adalah pilihan hidup kita yang menantang,
secepatnya lakukan hal-hal yang sifatnya membakar sikap optimisme itu. Saya
sendiri, 25 tahun lalu nekat keluar dan meninggalkan kuliah saya di UGM dan
melantik diri sebagai Presdir Primagarl3a Group meski berkantor hanya di sebuah
ruko kecil di pinggir Jalan Piere Tendean di selatan perempatan Wirobrajan,
Jogyakarta. Keluarga saya sudah pasti menilai sikap saya itu "gila".
Tapi kini, Primagama telah berkembang menjadi "Raja Bimbingan
Belajar", dan menjadi market leader dengan 600 cabang di seluruh tanah air dengan puluhan
cabang usaha lain. Tak salah kalau "Tukul Arwana" lewat acaranya yang
ditonton di 9 negara, "Empat Mata", pernah menjadikan saya sebagai
tamu istimewanya. Majalah SWA, Tajuk, dan Ernest & Young juga pernah me-listing
nama sang Presdir Primagama Group sebagai nominator Entrepreneur of The Years dalam beberapa versi mereka.
Lewat buku yang simpel tapi mudah
dicerna dan aplikabel ini, pembaca diharapkan mendapatkan pola pikir baru (new mind set) tentang bagaimana mestinya memulai usaha, bukan
dimulai dengan uang, bakat, keturunan atau keahlian, apalagi pengalaman. Hanya
satu modal utamanya: berani mulai! Banyak sekali tip dan trik dalam buku ini
yang bisa jadi panduan Anda memahami dengan mudah bagaimana "cara
gila", tapi masuk akal untuk menjadi berani mulai menjadi pengusaha.
Ibarat virus, buku ini memang mengandung virus maut yang berbahaya, sangat
cepat menular, tapi sungguh tidak mematikan, setidaknya memberi jalan bagi Anda
hidup lebih kaya, sejahtera bersama-sama, berkali-kali!
Salam Entrepreneur
Indonesia!
Sukses
berkali-kali!
Purdi E. Chandra
Motivasi Hati 1000/hari REG_PURDI Kirim ke 7475
HP: 081318800999
..
S
|
alah satu pandangan
keliru pada sebagian besar orang yang ingin memulai usaha tapi tak juga berani
melakukan apa pun untuk mewujudkannya, adalah karena mereka meyakin kalau
memulai usaha itu harus punya uang tunai sebagai modal awal usaha terlebih
dulu. Itu keliru besar!
Sebenarnya yang
paling dibutuhkan untuk memulai usaha bukan modal uang, tapi keberanian untuk
terus mencoba, memulai usaha dengan langkah nyata. Kalau perlu dengan modal
mimpi. Oleh karena itu, seorang entrepreneur jangan takut bermimpi, karena
mimpi kita tidak lain adalah bagian dari visi yang akan menjadikan cetak biru (blue prin4 kenyataan. Oleh karena, rezeki yang kita inginkan bisa
mengikuti mimpi kita, bahhan dalam banyak realitas, rezeki itu berbanding lurus
dengan mimpi kita.
Jadi, bila kita
sudah berani untuk memulai langkah, cobalah mewujudkan ide bisnis. Entrepreneur
harus pantang berhenti. Yang harus dilakukan hanyalah mencoba dan terus
mencoba. Untuk itu, logis kalau kita harus berani menghadapi kegagalan
berulang-ulang dan anggaplah hal itu sebagai proses belajar menuju kesuksesan.
Dengan demikiari yang namanya kegagalan tak pemah kita kenal dalam kehidupan
kita. Oleh karena di dalam diri seorang entrepreneur tidak mengenal kamus
gagal, yang ada hanyalah berhenti mencoba. Untuk meraih sukses seorang
entrepreneur itu tak kenal istilah berhenti mencoba! Jadi, gagal itu biasa,
terus mencoba dan berani gagal lagi itu baru luar biasa! Jangan patahkan
semangat dengan mengukur kegagalan kita tapi lihatlah berapa kali kita berani
bangkit dan mencoba lagi!
J
|
adi entrepreneur itu memang harus
berani mimpi. Bagaimana dengan Anda? Bahkan saat krisis ekonomi pun, kita
janganlah merasa takut bermimpi. Sebab, kita harus yakin bahwa mimpi atau visi
itu sama dengan cetak biru (blue print) dari
realita. Artinya, sesuatu yang akan menjadi kenyataan.
Saya punya keyakinan, kalau
entrepreneur berani memiliki visi, ia pasti mampu menciptakan kekuatan positif
di dalam pikirannya. Hasilnya adalah kemampuan kerja dan kualitas hidupnya yang
meningkat. Oleh karena itu, saya sangat yakin dengan ungkapan berikut ini:
"Hati-hatilah dengan angan-anganmu, karena angan-anganmu itu akan menjadi
kenyataan."
Presiden pertama kita, Ir. Soekarno,
pernah mengatakan, "Gantungkan cita-citamu setinggi langit." Visi
memang bisa menyugesti orang. Dan, semua langkah kita akan kita arahkan ke
sana. Apalagi entrepreneur itu biasanya seorang pemimpin. Maka mimpi tentang
perusahaan, mimpi tentang masa depan, tentu akan dapat memengaruhi para
pengikut yang dipimpinnya.
Sebagai pemimpin, entrepreneur harus
punya ilmu "obor". Artinya harus dapat menerangi sekelilingnya.
Entrepreneur dengan visi besar adalah obor bagi para bawahannya. Entrepreneur
dengan visi besar akan dapat menciptakan lingkungan kerja yang dinamis dan
penuh motivasi.
Entrepreneur merupakan sosok yang
seharusnya tidak takut bermimpi. Apalagi mimpi itu tidak perlu biaya. Tetapi,
masalahnya adalah belum tentu semua orang punya keberanian untuk bermimpi.
Sehingga tidak berlebihan kalau bermimpi pun membutuhkan sebuah keberanian.
Hal itu bisa terjadi karena kita
terkadang masih terpaku pada mitosmitos, yang telah mentradisi di kalangan
masyarakat luas. Misalnya, ada mitos yang mengatakan, bahwa kalau kita mau
sukses, kita harus punya gelar sarjana. Padahal kenyataannya, cukup banyak
orang yang sukses tanpa menyandang gelar sarjana. Banyak pengusaha yang memulai
usahanya dengan mengembangkan mimpi-mimpinya dari modal nol.
Kita lihat saja bagaimana Bill Gates
yang bermimpi, bahwa personal computer akan tersedia di rumah setiap orang. Untuk merealisasikan
mimpinya, ia rela drop out dari studinya, dan lebih memilih menekuni Microsoft-nya.
Ternyata ia berhasil. Sehingga ia kini menjadi salah satu orang terkaya di
dunia.
Begitu pula Michael Dell. Impiannya
juga menakjubkan, ia ingin mengalahkan perusahaan komputer raksasa IBM.
Akhirnya, ia juga berhasil jadi orang pertama memasarkan komputer pribadi
dengan strategi direct marketihg. Usahanya yang dirintis tahun 1984 berhasil, buktinya
penjualan Dell Computer sangat laris. Bahkan, Dell dalam usia 34 tahun berhasil
menjadi salah satu orang terkaya di Amerika Serikat.
Contoh lainnya adalah Jeff Bezos.
Mimpinya ingin jadi pengusaha sukses di dunia perdagangan melalui internet.
Meski baru tahun 1995, yaitu di saat usianya 30 tahun, ia memberanikan diri
masuk ke dunia maya. la mendirikan Amazon.com yang merupakan salah satu situs paling banyak
dikunjungi orang, untuk mendapatkan informasi atau membeli buku-buku bermutu
dari seluruh dunia. Mimpimya akhirnya terwujud juga. Dan kini ia juga tercatat
sebagai miliarder di negeri Paman Sam itu.
Dalam konteks inilah, kita sebagai
entrepreneur harus memiliki keberanian bermimpi. Kita harus punya keyakinan,
bahwa rezeki itu akhirnya mengikuti mimpi kita. Dan, sebetulnya rezeki itu bisa
direncanakan menurut mimpi kita. Rezeki itu berbanding lurus dengan mimpi kita.
O
|
rang bukannya gagal, tetapi berhenti mencoba. Ungkapan
ini sengaja saya ke depankan. Mengapa? Karena sesungguhnya untuk dapat meraih
kesuksesan dalam karier atau bisnis, setiap orang harus punya keberanian mencoba.
Seorang entrepreneur dalam situasi sesulit apa pun akan
semakin tertantang untuk tidak berhenti mencoba. Dengan kata lain "berani
mencoba", dan orang yang selalu berani mencoba itulah yang pada akhirnya
justru akan meraih kemenangan atau kesuksesan.
Dalam bisnis, tampaknya kita perlu mengedepankan sikap
seperti itu, dan saya kira tidak ada salahnya bila kita bersikap positif
semacam itu. Berdasarkan pengalaman, saya melihat, bahwa seorang entrepreneur
adalah orang yang tidak mudah percaya sebelum mencobanya. Meskipun ketika
mencobanya, keyakinan kita hampir padam karena pasti akan diterpa
"angin". Dan ternyata, terpaan "angin" tersebut justru
dapat membakar semangat kewirausahaan (the spirit of entrepreneurshl,o)
kita. Nalar bisnis (sense of business) kita semakin
optimal, dan pada akhirnya, sebagai entrepreneur, kita semakin yakin akan kesuksesan
yang akan kita raih.
Tegasnya, keberhasilan dalam bisnis memang sangat
ditentukan oleh semangat kewirausahaan kita yang tinggi. Dengan demikian sikap mencoba dan mencoba terus-menerus sebaiknya
dimiliki oleh seorang entrepreneur. Pada akhirnya dengan sikap kita yang
"berani mencoba" itu, menghindarkan kita untuk tidak terpuruk dalam
keputusasaan. Apalagi sampai menghancurkan hidup dan bisnis yang telah kita rintis
lama.
Selain itu, pikiran kita juga harus
tetap diformulasikan ke arah positif. Bukan sebaliknya, suka berpikir negatif,
apalagi sampai putus asa. Sikap semacam ini harus kita buang jauh-jauh.
Jika pikiran kita tidak melihat
hasil akhir, bahwa bisnis kita bakal sukses, tentu kita akan kehilangan
semangat kewirausahaan. Sebab, dengan kita memiliki bayangan kesuksesan di masa
depan, tentu akan dapat memotivasi kita untuk bekerja lebih giat. Bahkan,
menjadikan diri kita bersikap tidak mudah putus asa.
Dalam bisnis modern, kita tidak akan
dapat hidup tanpa memiliki sikap berani mencoba. Kita lihat saja, masih banyak
orang gagal dalam usahanya, yang akhirnya putus asa tanpa mampu lagi berbuat
sesuatu, tanpa berani mencoba lagi. Sikap semacam ini jelas akan merugikan
kita, bukan saja dari aspek materi atau finansial saja, tapi juga dari aspek
psikologis. Oleh karena itu, walaupun di masa krisis, sebaiknya kita harus
tetap menjadi entrepreneur yang memiliki semangat kewirausahaan yang tinggi.
Kita juga harus punya keyakinan,
bahwa sesungguhnya seseorang itu tidak ada yang gagal dalam bisnisnya. Mereka
yang gagal hanyalah karena dia berhenti mencoba, berhenti berusaha. Seandainya
kita berani mencoba, dan kita lebih tekun dan ulet, maka pasti yang namanya
kegagalan itu tidak akan pernah ada. Artinya, kita mau berjerih payah dalam
berusaha, tentu kita akan menuai keberhasilan.
Untuk itu, kita harus berani
mencoba. Sebab, tidak satu pun di dunia ini, termasuk di dalam dunia
entrepreneur yang dapat menggantikan keberanian mencoba. Dengan bakat bisnis?
Tidak bisa. Sebab orang berbakat yang tidak berhasil meraih sukses banyak kita
jumpai. Bagaimana dengan kejeniusan seseorang? Juga tidak. Sebab kejeniusan
yang hanya dipendam saja, itu sama saja dengan omong kosong. Tergantung
pendidikannya juga tidak. Sebab di dunia ini sudah penuh dengan pengangguran
yang berijazah sarjana. Dan ternyata ... hanya dengan keberanian mencoba dan
mencoba itulah yang dapat menentukan kesuksesan bisnis kita.
B
|
anyak entrepreneur yang sukses
karena ia merantau. Orang Tegal sukses dengan wartegnya di Jakarta. Begitu juga
orang Wonogiri sukses menekuni usaha sebagai penjual bakso. Orang Wonosari sukses
sebagai penjual bakmi dan minuman. Sementara orang Padang, sukses dengan bisnis
masakan padang-nya.
Bahkan, orang China pun banyak yang
sukses ketika ia merantau ke luar negeri. Dan, tidak sedikit pula, orang Jawa
yang sukses sebagai transmigran di Sumatera. Juga banyak orang dari luar Jawa
yang sukses bisnisnya ketika merantau di Yogyakarta. Hal itu wajar terjadi,
karena orang-orang tersebut memang punya keberanian merantau.
Sebenarnya, apa yang diungkapkan di
atas hanyalah sekadar contoh, bahwa orang yang bisa sukses sebagai
entrepreneur, kalau orang tersebut memiliki keberanian merantau. Mengapa
demikian?
Menurut saya, keberanian merantau
itu perlu kita miliki, karena dengan merantau berarti kita berani meninggalkan
lingkungan keluarga, meskipun kita sudah tumbuh besar atau dewasa, namun tetap
dianggap sebagai anak kecil. Sehingga, hal itu akan membuat kita tergantung dan
tidak mandiri. Akibat dari itu jelas, kita mudah patah semangat atau putus asa.
Tidak berani menghadapi tantangan atau risiko bisnis. Kita pun akan mudah
tergantung pada orang lain.
Tapi beda halnya, kalau kita berani
merantau. Hal itu berarti siap menjadi "manusia baru". Kita harus
siap menghadapi lingkungan baru, yang barangkali tak sedikit tantangan yang
harus dihadapi. Jika dulu kita belum tahu apa sebenarnya kelemahan kita, dengan
merantau hall tersebut bisa diketahui. Sedikit demi sedikit kelemahan tersebut
akan kita perbaiki di tanah perantauan. Itulah sebabnya mengapa saya yakin,
keberanian merantau yang membuat kita punya jiwa kemandirian itu, akan membuat
kita lebih percaya diri dalam setiap langkah dalam bisnis maupun karier.
Jadi singkatnya, merantau itu akan
membuat kita berjiwa "tahan banting". Katakanlah, kalau usaha kita
ternyata jatuh dan gagal, kita tidak terlalu malu, toh itu terjadi di kota
lain. Dengan kata lain, berusaha di kota lain akan mengurangi beban berat, bila
dibandingkan dengan merintis bisnis di kota kita sendiri.
Selain itu, keberanian merantau ke
daerah lain, akan membuat kita dapat menyelesaikan persoalan sendiri. Bahkan,
kita akan merasa tabu terhadap bantuan orang lain. Kita ada rasa untuk tidak
mau punya utang budi pada orang lain.
Oleh karena itu, saya berpendapat,
bahwa sesungguhnya keman-dirian itu adalah semangat paling dasar dari kita
untuk bisa meraih kesuksesan. Dan, alangkah baiknya jika sikap mandiri semacam
itu bisa kita bentuk sejak kita masih sekolah.
Maka, jika kita ingin menjadi
entrepreneur yang mampu meraih sukses dan "tahan banting", salah satu
kuncinya adalah keman-dirian itu sendiri. Dan, kemandirian akan muncul jika
kita berani merantau. Buktikan sendiri!
“Hanya orang yang berani gagal total, akan meraih
keberhasilan .)tltotal." Pernyataan John F. Kennedy ini saya yakini
kebenarannya. Itu bukan sekadar retorika, tetapi sudah terbukti dalam
perjalanan hidup saya. Gagal total itulah awal karier bisnis saya.
Pada akhir 1981, saya merasa talk
puas dengan pola kuliah yang membosankan. Saya nekad meninggalkan kehidupan
kampus. Saat itu saya berpikir, bahwa gagal meraih gelar sarjana bukan berarti
gagal dalam mengejar cita-cita lain. Di tahun 1982, saya kemudian mulai
merintis bisnis bimbingan tes Primagama, yang belakangan berubah menjadi
Lembaga Bimbingan Belajar Primagama.
Bisnis tersebut saya jalankan dengan
jatuh bangun. Dari awalnya yang sangat sepi peminat hanya 2 orang, sampai
akhirnya peminatnya membludak, sampai akhirnya Primagama dapat buka cabang di
ratusan kota, dan menjadi lembaga bimbingan belajar terbesar di Indonesia.
Dalam kehidupan sosial, kegagalan
itu memang sebuah kata yang tidak begitu enak didengar. Kegagalan bukan sesuatu
yang disukai, dan merupakan kejadian yang dihindari oleh setiap orang. Kita
tidak bisa memungkiri diri kita, yang nyata-nyata masih lebih suka melihat
orang yang sukses daripada melihat orang yang gagal, bahkan tidak menyukai
orang yang gagal.
Jadi, ketika Anda seorang
entrepreneur yang menemui kegagalan dalam usaha, maka jangan berharap orang
akan memuji Anda. Jangan berharap pula orang di sekitar Anda maupun relasi
Anda akan memahami mengapa Anda gagal.
Jangan berharap Anda tidak
disalahkan. Jangan berharap juga semua sahabat masih tetap berada di sekeliling
Anda. Jangan berharap Anda akan mendapat dukungan moral dari teman yang lain.
Jangan berharap pula ada orang yang akan meminjami uang sebagai bantuan
sementara. Jangan berharap bank akan memberikan pinjaman selanjutnya.
Mengapa saya melukiskan gambaran
yang begitu buruk bagi seorang entrepreneur yang gagal? Begitulah masyarakat
kita, cenderung memuji yang sukses dan menang. Sebaliknya, menghujat yang kalah
dan gagal. Kita sebaiknya mengubah budaya seperti itu, dan memberikan kesempatan
kepada setiap orang pada peluang yang kedua.
Menurut pengalaman saya, apabila
orang gagal, maka tidak ada gunanya murung dan memikirkan kegagalannya. Tetapi
perlu mencari penyebabnya. Dan justru kita harus lebih tertantang lagi dengan
usaha yang sedang kita jalani yang mengalami kegagalan itu. Saya sendiri lebih
suka mempergunakan kegagalan atau pengalaman negatif itu untuk menemukan
kekuatan-kekuatan baru agar bisa meraih kesuksesan kembali.
Sudah tentu, kasus kegagalan dalam
bisnis maupun dunia kerja, saat krisis ekonomi kian merebak dan bertambah.
Ribuan orang terkena Pemutusan Tenaga Kerja (PHK) dan kehilangan mata
pencahariannya. Sungguh ironis, seperti halnya kita, suka atau tidak suka,
setiap manusia akan mengalami berbagai masalah, bahkan mungkin penderitaan.
Bagi seorang entrepreneur, sebaiknya
jangan sampai terpuruk dengan kondisi dan suasana seperti itu. Kita harus
berani menghadapi kegagalan, dan ambil saja hikmahnya (kejadian di
balik itu). Mungkin saja kegagalan itu datang untuk memuliakan hati kita,
membersihkan pikiran kita dari keangkuhan dan kepicikan, memperluas wawasan
kita, serta untuk lebih mendekatkan diri kita kepada Tuhan. Untuk mengajarkan
kita menjadi gagah, tatkala lemah. Menjadi berani ketika kita takut. Itu
sebabnya mengapa saya juga sepakat dengan pendapat Richard Gere, aktor
terkemuka Hollywood, yang mengatakan bahwa kegagalan itu penting bagi karier
siapa pun.
Mengapa demikian? Karena selama ini banyak orang membuat
kesalahan sama, dengan menganggap kegagalan sebagai musuh kesuksesan. Justru
sebaliknya, kita seharusnya menganggap kegagalan itu dapat mendatangkan hasil.
Ingat, kita harus yakin akan menemukan kesuksesan di penghujung kegagalan.
Ada beberapa sebab dari kegagalan itu sendiri. Pertama,
kita ini sering menilai kemampuan diri kita tidak terlalu rendah. Kedua, setiap
bertindak, kita sering terpengaruh oleh mitos yang muncul di masyarakat sekitar
kita. Ketiga, biasanya kita terlalu "melankolis" dan suka memvonis
diri terlebih dahulu, bahwa kita ini dilahirkan dengan nasib buruk. Keempat,
kita cenderung masih memiliki sikap, tidak mau atau tidak mau tahu dari mana
kita harus memulai kembali suatu usaha.
Dengan mengetahui sebab kegagalan itu, tentunya akan
membuat kita yakin untuk bisa mengatasinya. Bila kita mengalami sembilan dari
sepuluh kali lebih giat. Maka sebaiknya kita bekerja sepuluh kali lebih giat.
Dengan memiliki sikap dan pemikiran semacam itu, maka akan menjadikan kita
tetap sebagai sosok entrepreneur yang selalu optimis akanmasa depan. Maka,
sebaiknya janganlah kita suka mengukur seorang entrepreneur dengan menghitung
berapa kali dia jatuh. Tapi ukurlah, berapa kali bangkit kembali.
Hanya segelintir entrepreneur yang
dapat mencapai tangga sukses teratas tanpa perjuangan dan pengorbanan.
Resepnya, antara lain, kalau melakukan kesalahan, mereka melupakannya dan terus
bekerja, hingga akhirnya mencapai kesuksesan. Menurut saya, kita sebagai
entrepreneur harus selalu berani berpikiran sukses dan berani mengembangkan
kepercayaan diri.
Harus selalu ingat, bahwa kita
adalah orang yang berpotensi dalam bisnis, yang setiap saat harus selalu
melipatgandakan kepercayaan diri dan menghilangkan penyakit exucitis, penyakit
mencari alasan. Apakah itu alasan berkaitan dengan kesehatan, inteligensia atau
kecerdasan, usia, dan nasib. Kita pun harus berani mengubah kegagalan menjadi
kemenangan atau kesuksesan.
Untuk sebuah kesuksesan, dibutuhkan
keberanian secara terusmenerus untuk mempelajari kemunduran bisnis kita menuju
kesuksesan. Dalam bisnis, sangat wajar kalau kita belajar dari kesuksesan yang
dicapai pesaing kita. Namun yang penting, bagaimana kita harus menghindari
kesalahan-kesalahan yang pernah diperbuat oleh pesaing kita itu. Kita juga
harus selalu siap menghadapi perubahan-perubahan yang selalu ada dalam
kehidupan bisnis.
Upaya-upaya mencipta ide-ide terbaik yang bersifat competitive
advantage saya kira menjadi sangat penting, dan kalau perlu kita
gabung-gabungkan ide-ide terbaik dari para pesaing kita.
Dengan kata lain, sebagai orang entrepreneur, kita pun
harus senantiasa setiap saat selalu membuka mata dan telinga terhadap suatu
kesempatan atau peluang. Sebab, di samping faktor rezeki, maka peluang itu juga
menyangkut dengan faktor kita. Bila kita mampu melakukan hal itu, tidak
mustahil kesuksesan akan dapat kita raih.
Saya yakin, kita semua mendambakan kesuksesan. Ingin
memper-oleh yang sebaik-baiknya dari perjalanan hidupnya. Tidak ada orang yang
bisa mendapatkan kenikmatan dari hidup yang terus merangkakrangkak, kehidupan
setengah-setengah. Sukses ber-arti banyak hal mengagumkan yang positif. Sukses
berarti kesejahteraan pribadi; rumah bagus, keamanan di bidang keuangan dan
kesempatan maju yang maksimal, serta berguna bagi masyarakat. Sukses juga
berarti memperoleh kehormatan, kepemimpinan, dan disegani.
Dengan demikian sukses berarti self respect, merasa
terhormat, terusmenerus merasa bahagia, dan merasakan kepuasan dari
kehidupannya. Itu artinya, kita berhasil berbuat lebih banyak yang bermanfaat.
Dengan kata lain, sukses berarti menang! Namun sayangnya di era globalisasi
seperti sekarang ini, tidak semua entrepreneur berani menyebutkan, bahwa
dirinya telah mencapai kesuksesan.
Sebaliknya, saya justru berpendapat bahwa kita sebagai
entre-preneur harus berani menyatakan dirinya sukses. Karena dengan keberanian
kita menyatakan sukses, akan membangkitkan kepercayaan diri. Dengan kepercayaan
diri yang besar itu, kita akan lebih bersemangat untuk meraih kesuksesan. Dan
saya tetap yakin, betapa pun sibuknya entrepreneur-entrepreneur
yang sukses, ia akan tetap siap membantu teman-teman yang memerlukannya. Dan
mereka semakin percaya pada Tuhan sebagai suatu kekuatan yang besar.
Banyak di antara kita yang ingin
bekerja pada perusahaan orang lain, sebagai karyawan. Apakah itu karyawan
perusahaan swasta maupun pegawai negeri. Saya kira alasannya, kita tentu sudah
tahu semua, yaitu sebagai karyawan yang dibutuhkan adalah keamanan. Setiap
bulan ada kepastian terima gaji. Setelah tua dapat pensiun.
Mengapa tidak tertarik untuk menjadi
entrepreneur. Saya kira, hal itu karena di antara kita banyak yang tidak siap
menghadapi risiko atau lebih tepat disebut suka menjauh dari risiko. Sehingga,
tidak mengherankan, banyak di antara kita yang kemudian takut untuk menjadi
entrepreneur.
Oleh karena inginnya aman-aman saja,
saya kira itu sebabnya mengapa yang sudah jadi karyawan pun sulit untuk berubah
menjadi entrepreneur. Oleh karena itu, saya mengajak bagaimana kalau kita
menjadi entrepreneur. Menurut saya, jika kita punya tekad besar, tak mustahil
hal itu akan terwujud. Saya yakin, kita akan lebih bangga, karena kita akhirnya
punya banyak karyawan, dan bisa menggaji mereka. Cobalah kita jalani.
Pemikiran saya ini memang beda
dengan saat kita sekolah dulu. Di mana setelah kita lulus nanti, mencari kerja,
lalu bekerja keras, dan terus mendapatkan uang. Setelah uang itu kita raih,
uang itu kita tabung.
Jadinya, kita tak pernah belajar
bagaimana untuk berani membuka usaha. Tapi sebaliknya, kita justru lebih diajarkan
bagaimana kita bisa mencari pekerjaan pada perusahaan orang lain atau istilah
lain, menggantungkan nasib kita pada orang lain. Akhirnya apa yang terjadi,
kalau dia terkena PHK. Akibatnya, mereka pun menganggur.
Saya justru berpendapat, bahwa sistem
pendidikan kita semestinya tidak seperti itu. Tapi sebaliknya, sistem
pendidikan kita seharusnya mengajarkan bagaimana kita bisa mandiri. Oleh karena
itulah, menurut saya, di era otonomi sekarang ini tak ada salahnya kalau kita
membangun mental dan emosi kita. Kita harus pula selalu punya keberanian
mengambil risiko. Kita tidak seharusnya takut membuat kesalahan, dan kita tidak
seharusnya takut untuk gagal. Saya yakin, dengan begitu kita akan lebih punya
keberanian membuka usaha.
Bahkan, menurut Robert Kiyosaki,
penulis best seller "Rlch Dad Poor Dad', agar kita bisa menjadi pengusaha, maka kita harus punya
mimpi. Kita harus punya tekad besar, kemauan untuk belajar, dan punya kemampuan
menggunakan dengan benar aset kita yang tak lain merupakan pemberian Tuhan.
Itu sebabnya, mengapa banyak orang
di sekitar kita yang tidak tertarik untuk memiliki bisnis sendiri. Jawabannya,
dapat disimpulkan dalam satu kata: Risiko. Yah, takut menghadapi risiko.
Sehingga, mental dan emosi kita hanya ingin aman-aman saja.
Oleh karena itu, kenapa kita tidak
mau mencoba menjadi pengusaha. Kalau kita punya mimpi dan tekad besar, saya
berkeyakinan, kita bisa menjadi entrepreneur. Apalagi, kalau kita mau mengubah
mental dan emosi kita yang selama ini inginnya selalu menjadi karyawan. Mental
dan emosi untuk selalu aman menerima
gaji, seharusnya kita ubah menjadi mental dan emosi untuk bisa memberi gaji.
Anda berani mencoba?
7
M
|
enjadi karyawan
(employee), bisnis sendiri (self-employeo), menjadi pengusaha (business owner, dan sekaligus sebagai
investor, itu memang bisa menjadi pekerjaan kita. Contohnya, dokter. Selain dia
sudah tercatat sebagai pegawai negri atau sebagai karyawan, dia pada saat
praktik di rumah atau di tempat praktiknya, maka sang dokter itu sudah
mengelola bisnis sendiri.
Nah, apabila dokter itu punya klinik
atau laboratorium, maka dia sebagai layaknya pengusaha. Sedangkan, kalau dia
membeli aset dalam bentuk real estate atau rumah, atau membeli saham, maka
dokter tersebut sebagai investor atau penanam modal. Tapi yang jelas, jika kita
ingin mendapatkan kekayaan atau aset untuk masa depan, saya kira lebih pas atau
cocok kalau kita bisa menjadi pengusaha atau investor. Biasahya, kalau kita
sudah menjadi pengusaha, maka tidak sulit untuk menjadi investor.
Kalau kita sebagai karyawan, maka
kita bekerja untuk orang lain. Sementara, kalau kita mengelola bisnis sendiri,
maka kita bekerja untuk diri kita sendiri, sehingga kalau kita libur tentu
tidak akan dapat duit. Karena apa? Itu karena, dengan mengelola bisnis sendiri
kita bekerja belum menggunakan sistem. Sehingga, tanpa kita terlibat langsung
dalam bisnis itu, maka bisnis tidak bisa jalan.
Jika kita sebagai pengusaha, maka
orang bekerja untuk kita. Artinya, kita sudah menggunakan sistem. Katakanlah, kalau
kita sebagai pengusaha sedang cuti atau libur satu tahun, bahkan waktunya cukup
lama sekalipun, maka bisnis itu tetap jalan. Bahkan, tak menutup kemungkinan
bisnis kita justru lebih maju. Dan, saya kerap kali melihat, bahwa mereka yang
sekarang telah menjadi pengusaha, bisa juga sekaligus sebagai investor. Kalau
kita sebagai pengusaha kecil yang ke semuanya dari yang kecil sampai yang besar
kita urus sendiri, maka begitu kita libur, uangnya juga libur.
Jika kita sebagai karyawan di
perusahaan yang memberikan gaji besar, dan kita bisa menabung, maka setelah
pensiun kita bisa jadi investor. Kalau kita sebagai karyawan dengan penghasilan
pas-pasan, itu bisa dengan memulai usaha atau bisnis kecil-kecilan atau
mengelola bisnis sendiri yang masih kecil. Oleh karena itu, saya berpendapat
kalau sekarang ini posisi kita sebagai karyawan, maka kita sebaiknya berusaha
keras, bagaimana bisa punya bisnis sendiri. Setelah bisnis itu jalan, maka
bagaimana kita berusaha mengembangkan sistem, di mana bisnis kita menjadi
besar. Sampai akhirnya kita bisa menjadi pengusaha.
Dan, setelah itu bukan hal yang tak
mungkin, kalau kemudian kita bisa menjadi investor. Menjadi investor berarti
uang bekerja untuk kita. Maka, kalau kita mau kaya mestinya tidak cukup kita
menjadi karyawan atau sekadar punya bisnis kecil-kecilan, sebaiknya kita harus
berani menjadi pengusaha atau investor, sekalipun menuju arah ke sana bukan hal
yang mudah. Tak sekalipun tantangan yang harus kita hadapi. Tapi yakinlah,
dengan kita memiliki jiwa entrepreneur, mimpi jadi investor akan menjadi
kenyataan.
.
M
|
asalah klasik yang
sering kali jadi ganjalan dalam memulai usaha yakni, kaya ide tapi miskin
keberanian. Ide bisnis memang berjuta pilihan dan bisa muncul kapan saja, oleh
siapa saja. Namun, yang tidak mudah dimiliki orang adalah keberanian untuk
memulai membuat tindakan nyata untuk mewujudkan ide bisnis yang cerdas itu,
menjadi sebuah peluang dan kegiatan yang menantang: memulai usaha. Tak jarang,
ketika ide bisnis tak juga dimulai, keburu diserobot orang lain dan sukses
besar!
Supaya tidak
menggerutu dan sewot, pada bagian ini ditawarkan bagaimana usaha dengan metode
BODOL, BOTOL, dan BOBOL. Ketiga pilihan tip dan trik jitu dalam memulai bisnis
ini bisa dengan mudah Anda aplikasikan dengan kondisi Anda saat ingin memulai
usaha. Tapi yang jadi kunci suksesnya tetaplah keberanian Anda memulai dan
bertindak nyata. Tip dan trik BODOL, BOTOL, dan BOBOL hanyalah pembuka jalan dan
pemacu semangat Anda untuk semakin cepat mewujudkan ide bisnis menjadi nyata, dan
menjadikan Anda sebagai pemilik dan akhirnya berhasil menggenggam kesuksesan
bisnis.
Yang pasti, memulai
bisnis atau mengisi lowongan menjadi pengusaha itu bisa dimulai kapan pun. Di
saat Anda gagal menjadi mahasiswa alias drop out, di PHK dan tak lagi menjadi
karyawan atau di saat habis pensiun di hari tua justru menjadi waktu yang
paling tepat untuk memulai bisnis baru. Justru di saat kita tak punya apa-apa dan
hanya dengan optimisme semangat kita plus ide bisnis yang cemerlang akan
menjadi jalan mulus meraih sukses memulai binis.
Bagian ini juga
akan mengubah pola pikir Anda tentang utang untuk mengembangkan usaha. Utang
bukanlah suatu yang tabu atau bahkan haram dalam mengembangkan usaha, justru
dengan utang atau modal orang lain membuat kita semakin terpacu untuk lebih
cepat memperbesar bisnis kita. Jika bisnis semakin besar akan ada banyak
tenaga kerja yang bisa kita rekrut, dari doa dan rasa terima kasih mereka,
membuat bisnis kita semakin berkembang dan bahkan akan lebih menggurita,
walaupun kita menggunakan uang orang lain.
Menjadi entrepreneur, saya yakin
siapa pun bisa. Hal ini, sengaja 11.~saya ungkap dalam tulisan ini, mengingat
di lapangan kita masih sering melihat bahwa kebanyakan orang Padang, Bugis, atau
keturunan China itu lebih berhasil di bidang bisnis dibanding lainnya. Sehingga
disimpulkan, bahwa hal itu karena sifat keturunan atau bakat.
Saya kira itu bukan satu-satunya.
Justru yang benar, menurut saya, anakanak mereka sejak kecilnya memang telah
belajar secara informal tentang bisnis (yang menjadi dunia orang tuanya) dari
lingkungan keluarganya terus menerus, dan kemudian merekamnya dalam memori
otaknya, yang selanjutnya membentuk pola berpikir dan cara berperilaku.
Dalam konteks ini, saya justru
berpendapat, meski kita tak dapat bakat dagang, bisa saja jadi pedagang atau
wirausahawan. Karena itu, janganlah kita merendah diri hanya karena persoalan
berbakat atau tidak. Menurut saya, untuk menjadi pengusaha itu juga tak
mengenal usia tua atau muda. Kaya atau miskin. Jenius atau tidak. Mahasiswa
atau bukan. Sudah sarjana atau belum. Dan, getar formal seseorang itu, saya
kira, bukanlah jaminan atau faktor penentu satu-satunya untuk berhasil menjadi
pengusaha.
Bahkan, AI Ries, seorang penulis
buku: "Positioning: The Battle of Your Mind, ini pernah mengungkapkan, bahwa lebih dari lima
puluh persenanggota eksekutif puncak di McDonald's Corporation, ternyata juga
Jak bergelar akademis. Namun, mereka mampu meraih kesuksesan yang luar biasa.
-lain itu, untuk menjadi pengusaha,
juga tidak mengenal etnis. Artinya, nis apa pun bisa jadi pengusaha yang
sukses. Maka, sebaik-nya iganlah ada kekhawatiran lainnya yang mungkin masih
terbayang di mak kita atau intinya kita "alergi" dengan dunia usaha.
)bab, sesungguhnya keberhasilan
seseorang menjadi peng-usaha .ngat tergantung pada kemampuan kita untuk
merekayasa diri melalui mgalaman hidup di luar keluarga. Misalnya, bisa melalui
pendidikan au pelatihan atau mentoring. Atau bisa juga kita belajar dari
mgalaman di lapangan atau istilahnya "universitas kehidupan".
)alagi, kalau kita juga mampu
melaksanakan empat tugas pokok 7orang wirausahawan yaitu: tugas kreatif, tugas
manajerial, tugas erpersonal, dan tugas kepemimpinan. Hal tersebut akan lebih
meingkinkan lagi bagi kita, untuk lebih bisa meraih keberhasilan dalam rier
sebagai pengusaha yang sukses.
Maka, sekali lagi, percayalah pada
kemampuan kita. Pemikiran pesiistis yang membuat kita merasa tidak mampu
menjadi pengusaha, itu irus kita buang jauh-jauh. Sebaliknya, kita tidak hanya
yakin sekadar sa menjadi pengusaha, tapi kita pun akan semakin yakin dan mampu
enjadi pengusaha yang sukses.
Saya yakin, dengan kita bersikap
begitu, pasti selalu ada jalan untuk enjadi pengusaha yang sukses. Itu ibarat
air yang tak akan mulai engalir kalau krannya belum diputar. Anda berani
mencoba?
W
|
aktu saya kuliah dulu saya punya
teman yang pandai dan memiliki wawasan dunia bisnis yang lumayan. Ide-ide
rencana usaha yang muncul dari pemikirannya sangat cemerlang. Selalu saja,
ide-ide itu adalah ide bisnis yang menarik, prospektif, dan berpeluang besar
untuk digarap. Semua teman kuliah berdecak kagum dengan lontaran ide-idenya.
Tetapi ide itu tinggal ide saja.
Sampai hari ini belum ada satu pun bisnis yang pernah dijalankannya. Malahan,
terakhir saya ketemu dia, berstatus karyawan sebuah perusahaan publik di
Jakarta. Dia memang terlalu pandai untuk merencanakan sebuah usaha sekaligus
terlalu takut untuk memulai.
Ada juga mahasiswa yang pernah
datang pada saya. Dia menyatakan ingin berwirausaha, kemudian dia mengatakan,
bahwa dirinya belum punya modal dan tidak begitu pandai. Saya katakan pada dia:
"Kebetulan!" Kemudian saya katakan lagi: "Jangan takut, karena
modal utama untuk berbisnis adalah keberanian."
Mengapa saya katakan seperti itu?
Sebab, biasanya kalau terlalu pinter itu malah terlalu berhitung. Orang yang
tahu banyak hal, maka dia akan tahu banyak risiko dan halangan di depannya. Hal
itu menurut saya justru akan menciutkan nyalinya.
Saya malah pernah bilang pada
seorang sarjana yang ingin berwiraisaha. Saya katakan: "Sekarang, abaikan
ijazahmu. Buatlah dirimu seolah-olah tidak punya apa-apa, kecuali semangat dan
keinginan yang kuat."
Saya teruskan: "Mulailah
berwirausaha justru pada saat Anda tidak iunya apa-apa. Saat Anda merasa
tertekan. Saat Anda tidak dapat ierbuat apa-apa dengan ijazah Anda. Saat Anda
kebingungan harus ,ayar kredit rumah. Atau pada saat Anda merasa terhina."
Memang nasihat saya ini agak berbeda
dengan kebanyakan orang. siasanya orang menyarankan, kalau mau usaha sebaiknya
iengumpulkan modal dulu, kemudian cari tempat dan seterusnya. etapi, banyak
orang sukses sebagai wirausahawan justru dimulai dari ebaliknya, hanya punya
semangat dan tidak punya apa-apa. Kondisi ang memaksa mereka harus
"bermimpi" tentang masa depannya, amudian tertantang untuk
menggapainya, dan berusaha keras untuk iewujudkannya.
Anda tentu tahu atau paling tidak
pernah mendengar nama Steve Jobs. -ebelumnya dia bukan siapa-siapa. Jobs
hanyalah anak muda yang emar bercelana jeans belel dan berkantong kempes.
Belakangan, dia iembuat Apple Computer di garasi rumahnya, dan mendirikan
perusaaan yang masuk Fortune 500 lebih cepat dari siapa pun sepanjang sejarah.
Jobs adalah contoh orang yang
berhasil dalam berwirausaha, justru ukan karena kepandaiannya di bangku kuliah.
Tapi, karena ia memiliki aberanian dan keyakinan akan usaha yang digelutinya.
Dia mampu ertindak merealisasi gagasannya dengan meninggalkan lingkungan aliah dan
teman-temannya yang suka berhura-hura.
Tapi, saya tidak menyarankan Anda
untuk mengabaikan pendi-dikan. Hanya saja, saya ingin mengatakan, bahwa untuk
menjadi wirausahawan terlebih dahulu dibutuhkan keberanian memulai
(bertindak), untuk memanfaatkan peluang bisnis yang ada. Hal tersebut harus
segera dilakukan, sebelum orang lain mendahuluinya. Kepandaian akan diperlukan
bila usaha kita sudah berjalan, dan itu bisa kita dapatkan dengan mengikuti
kuliah lagi, atau kita bisa membayar orang-orang pandai sebagai karyawan atau
konsultan.
S
|
aat saya berbicara pada kuliah
kewirausahaan di Fakultas Ekonomi sebuah universitas swasta di Yogyakarta, saya
sempat ditanya para iahasiswa: "Apakah seorang untuk menjadi pengusaha itu
harus iemiliki keterampilan dulu?"
Saya rasa, ini pertanyaan bagus.
Pertanyaan yang sama pernah juga inggap di benak saya, yaitu saat saya baru
memulai menjadi pengsaha. Saat pertanyaan ini saya balikkan pada mereka,
ternyata sebaian besar mahasiswa mengatakan: "Perlu terampil dulu, baru
berani iemulai usaha."
Saya rasa jawaban mereka tidak bisa
disalahkan. Mereka cenderung enggunakan otak rasional. Padahal menurut saya,
untuk menjadi angusaha, kita harus berani dulu memulai usaha, baru setelah itu
emiliki keterampilan. Bukan sebaliknya, terampil dulu, baru berani memulai
usaha.
Sebab, saya melihat di Indonesia,
ini sebenarnya banyak sekali ingangguran yang tidak sedikit memiliki
keterampilan tertentu. Namun, keterampilan atau bekerjakan sayang mereka tidak
punya keberanian memulai usaha. Akibatnya, ng dimiliki apakah itu yang
diperolehnya saat sekolah !belumnya, akhirnya banyak yang tidak dimanfaatkan.
Itu ‘kan saying sekali.
Seperti yang saya alami sendiri,
saat membuka usaha restoran Padang Sari Raja. Saya katakan pada mereka, bahwa
terus terang tidak bisa membuat masakan padang yang enak. Saya penikmat masakan
padang. Tapi saya tidak tahu bumbunya apa saja yang membuat masakan tersebut
enak. Saya katakan pada mereka: "Saya bisanya hanya nggodhog wedang atau merebus air." Itu artinya apa? Saya bisa
punya usaha restoran, karena saya punya keberanian.
Begitu juga, saat saya dulu membuka
usaha Bimbingan Belajar Primagama. Saya belum pernah mengajar atau menjadi
tentor di tempat lain. Bahkan saya belum pernah menjadi karyawan di perusahaan
orang lain. Namun, saya memberanikan diri untuk membuka usaha tersebut. Sebab,
saya berpendapat, kalau kita tidak punya keterampilan, maka banyak orang lain
yang terampil di bidangnya bisa menjadi mitra usaha kita.
Oleh karena itu bagi saya, yang
terpenting adalah keberanian dulu membuka usaha. Apa pun jenisnya, apa pun
namanya. Sebab, sesungguhnya, untuk menjadi pengusaha, keterampilan bukan
segala-galanya. Tetapi keberanian memulai usaha itulah yang harus kita miliki
terlebih dahulu.
Banyak contoh, orang yang sukses menjadi
manajer, tapi ternyata belum tentu sukses sebagai entrepreneur. Sebaliknya,
seseorang yang di awal memulai usaha dengan tidak memiliki keterampilan
manajerial, tetapi ia memiliki keberanian memulai usaha, banyak yang ternyata
berhasil. Orang jenis terakhir ini selain memiliki keberanian, juga mengembangkan
jiwa entrepreneur. Oleh karena itulah saya kira, jiwa entrepreneur harus kita
bangun atau kita bentuk sejak awal.
Ada sebuah pertanyaan menarik dari
seorang peserta "Enterpreneur University" angkatan ketiga saat
mengikuti kuliah perdana. "Saya ~gitu banyak sekali ide bisnis, tapi
nyatanya tak ada satu pun ide bisnis realisir. Akibatnya, saya hanya sekadar
kaya ide, tapi bisnis tak ada?" nya peserta yang kebetulan ibu rumah
tangga itu.
Saya kira, pertanyaan atau kejadian
seperti itu tak hanya dialami oleh ibu Ji, tapi juga cukup banyak dialami oleh
kita semua, bahwa yang .manya ide bisnis itu ada saja. Tapi, yah hanya sekadar
ide bisnis, mentara bisnisnya nol atau tidak terwujud sama sekali. Terkadang
ide yang tidak kita realisir justru sudah dicoba lebih dulu oleh orang lain.
dam konteks ini, saya berpendapat, sebenarnya untuk membuat bisnis memang
dibutuhkan ide. Hanya saja, karena kita hanya kaya ide, namun skin keberanian
untuk mencobanya, maka yang berkembang adalah idenya, sedang bisnisnya nol.
Menurut saya, miskinnya keberanian
itu bermula ketika kita mendapat ndidikan di sekolah atau di bangku kuliah,
yang kita dapat hanyalah teori semata. Jadi, kita terlalu banyak berteori, tapi
miskin praktik. ibatnya, ketika kita kaya ide, miskin keberanian. Artinya,
kalau kita iya menguasai teori, namun kalau tidak bisa dipriktekkan, maka ide
nis sehebat apa pun akan sulit menjadi kenyataan. Yah, seperti halnya kita
belajar setir mobil. Kalau kita hanya teorinya, tapi tak pernah mencoba atau
mempraktikkannya, tentu tetap tidak bisa setir mobil.
Jadi, saya kira, persoalannya
terletak pada, bagaimana kita yang semula hanya kaya teori atau hanya sekadar
bermain logika atau istilah lainnya hanya mengandalkan otak kiri, kemudian bisa
berpikir atau bertindak dengan otak kanan. Saya yakin, jika kita mampu juga
menggunakan otak kanan, maka seperti pada saat setir mobil. Serba otomatis,
tidak lagi harus dipikir, semua sudah di bawah sadar kita.
Kalaupun, di saat kita praktik setir
mobil atau mempraktikkan teori kita itu, terjadi berbagai kendala, seperti di
saat kita memasukkan mobil ke garasi, mobil kita sedikit rusak karena nyenggol
pagar misalnya, saya kira nggak masalah. Begitu juga, ketika kita kecil belajar
bersepeda, mengalami jatuh beberapa kali, itu sudah biasa. Tapi, akhirnya, bisa
juga kita naik sepeda. Artinya, kita baru bisa naik sepeda setelah pernah
mengalami jatuh beberapa kali.
Di bisnis, saya kira itu juga sama.
Kita harus ada keberanian untuk jatuh dan bangun. Sebaliknya, kalau tidak ada
keberanian seperti itu, bisnis sekecil apa pun tak akan ada. Dan, kalau kita
biarkan ide bisnis itu, akibatnya kita hanya kaya ide bisnis, tapi miskin
duitnya. Saya yakin, dengan keberanian itulah akan mendatangkan duit. Oleh
karena itulah, menurut hemat saya, lebih baik kita berani mencoba dan gagal
dari pada gagal mencoba. Anda berani mencoba?
Dalam buku ini, saya
juga ingin mengungkapkan di mana sebenarnya kita bisa menangkap peluang bisnis
di sekitar kita. Istilah populeriya Economic Orbit of Opportunlty (E00). Saya kira ini penting. Oleh (arena, peluang bisnis
itu sebenarnya ada di sekitar kita. Referensinya juga bisa didapat dari
lingkungan kita juga dari membaca, mendengar ;erita orang lain, seminar,
jalan-jalan, atau wisata. Ini dapat membang(itkan inspirasi dan ide-ide bisnis
serta pengembangannya. Namun intuk menangkap peluang itu dibutuhkan keberanian,
kejelian, dan creativitas bisnis.
Bebenarnya di sekitar kita ini
banyak sekali macam bisnis yang bisa jiraih. Hanya saja, kita harus betul-betul
memahami kebutuhan masya-akat konsumen. Sebagai contoh, di beberapa
kota di Amerika Serikat, ,udah banyak bisnis yang dikembangkan dari ide-ide
sederhana seperti )isnis membangunkan orang tidur (morning calh. Aneh, tapi itu nyata. tentu,
pengguna jasa ini harus menjadi member terlebih dahulu dengan nembayar annual fee
dalam jumlah tertentu. Ada juga
bisnis yang di sini masih langka dan belum memasyarakat yakni menyewakan
pakaian dan perlengkapan bayi.
Barangkali sekarang ini belum banyak
yang kita temukan. Namun, saya yakin jika kreatif, akan mampu melihat peluang
bisnis sebanyak-banyakniya dan mampu menangkap satu atau dua di antaranya.
Pendek kata, peluang bisnis tidak akan pernah ada habisnya, selama minat
manusia masih menjalankan hajat hidupnya di dunia ini.
Di mana saja sebenarnya peluang
bisnis ada di sekitar kita? Misalnya, saat Idul Fitri yang membawa tradisi
kirim mengirim parcel dan buah tangan lainnya, walau itu sifatnya musiman,
namun saya melihat itu adalah peluang bisnis. Awalnya musiman, tetapi bila
dikembangkan dan ditekuni dapat dijadikan bisnis permanen bersama berkembangnya
kehidupan sosial masyarakat.
Keterampilan tertentu juga bisa dijadikan
peluang bisnis. Terampil di bidang elektronika misalnya, bisa membuka bisnis
reparasi dan maintenance alat-alat elektronik. AN di bidang komputer bisa membuka bisnis software dan hardware. Terampil di mesin, bisa memulai bisnis dari servis motor atau mobil. Atau
barangkali, punya kreativitas yang berciri khas dan unik, kita bisa merintis
bisnis kreatif, seperti kaos Dagadu itu.
Bahwa produk ini akhirnya jadi
souvenir khas Yogya, itu sebagai bukti bahwa kreativitas bisa jadi peluang
bisnis yang menarik untuk digeluti. Maka, tidak ada salahnya, jika kita juga
mencoba mengembangkan kreativitas yang tidak lazim dan unik, agar bisa
dijadikan peluang bisnis.
Tingkat pendidikan kita juga bisa
menjadi peluang bisnis dengan pengembangan profesi. Misalnya sarjana matematika
membuka kursus matematika. Sarjana Sastra Inggris memulai usaha dengan membuka
kursus bahasa Inggris. Peluang bisnis ini juga ada di lingkungan keluarga. Bisa
dimulai dengan berbisnis makanan atau katering dan keluarga bisa diajak serta,
dan bisnis ini bisa dikelola dari rumah.
Peluang itu juga terdapat di
lingkungan pekerja, organisasi, dan tetangga. Tentu saja, di lingkungan itu
kita banyak teman. Maka, jika punya produk tertentu, kita bisa jual produk
tersebut kepada mereka. Bahkan, relasi kita pun bisa jadi peluang bisnis.
Misalnya, bisa pinjam uang pada relasi untuk modal usaha. Produk yang
dihasilkan, selain bisa dijual pada orang lain, juga pada relasi kita itu.
Dengan begitu, kita tak hanya jeli iencari peluang bisnis, tapi juga mampu
menciptakan pasar.
Begitu pula, jika punya hobi.
Misalnya melukis, bisa jadi pelukis dan ikisan itu bisa kita jual di galeri.
Bagi yang hobi senam aerobic atau Pody language, bisa
berwirausaha buka studio senam. Bahkan, peluang isnis itu juga bisa diraih saat
kita melakukan perjalanan ke luar kota. Ide isnis bisa muncul setelah kita
melihat bisnis di kota lain, dan itu bisa dikembangkan di kota sendiri. Hanya
saja, agar bisnis yang akan lijalankan tidak sia-sia, ada baiknya pastikan dulu
pasarnya.
Tapi, tentu, peluang bisnis itu
hanya bisa diraih, jika kita jeli dan gigih. igat pepatah yang mengatakan;
Tidak ada usaha, tidak ada hasil". oleh karena itu, sebaiknya jangan ragu
di dalam setiap meraih peluang bisnis yang ada di sekitar kita. Soal besar
kecilnya peluang jangan jadi nasalah. Tangkap dulu peluang yang ada. Dan,
jangan khawatir, peluang bisnis yang berikutnya pasti akan mengikuti. Bisnis
itu selalu nengalir, seperti bola salju, dimulai dari yang kecil lalu
menggumpal nenjadi besar.
Saya kira, tidak
sedikit obsesi entrepreneur dalam menekuni bisnisnya, bukan semata karena uang.
Banyak dari mereka yang maju karena visi, yaitu ingin menciptakan lapangan
pekerjaan, dan dari usaha itu mempunyai dampak sosial bagi kesejahteraan
masyarakat. Dan, karena visinya seperti itu, maka dengan berhasil menciptakan
lapangan kerja, atau usahanya memiliki dampak sosial yang positif, maka hal itu
pun sudah merupakan sesuatu yang sangat memuaskan dirinya.
Bahkan, saya merasakan, bahwa dengan
memiliki visi itu, maka kalaupun usaha yang kita jalankan tidak untung, tetapi
tetap jalan, maka hal tersebut bukanlah merupakan permasalahan yang amat
penting.
Selama ini saya jarang melihat,
adanya entrepreneur yang mencapai puncak prestasinya, dengan cara lebih
menempatkan uang sebagai penggerak utamanya. Tapi saya berpendapat,
keberhasilannya karena dia memang lebih punya kemampuan menggerakkan visinya.
Sehingga, sosok entrepreneur seperti ini, selalu saja punya keinginan mengubah
cara kerja dunia.
Mereka selalu kreatif dan inovatif.
Mereka menikmati apa yang dilakukannya. Pendeknya, visi itulah yang sebenarnya
menggerak-kan entrepreneur melakukan sesuatu yang akhimya usahanya meraih
kesuksesan.
Hanya saja, untuk bisa menjadi
entrepreneur yang baik, maka perlu jemiliki kebebasan untuk mengejar visi-visi
tersebut. Sebaliknya, jika tak apat melakukannya, maka kita tidak akan pernah
memperoleh ,tuntungan dari hal tersebut.
Pengusaha yang bisa kita jadikan
contoh memiliki visi luar biasa adalah ill Gates pendiri perusahaan komputer
perangkat lunak tersebut di ania, Microsoft Corp, yang baru-baru ini meraih
gelar Doctor (HC) di ;buah universitas di Jepang. Pengusaha ini termasuk orang
tersukses ada akhir abad ke-20 dalam kategori bisnis. Namun, dari apa yang iya
pahami, keberhasilannya itu karena ia memiliki visi dan komitmen ituk sukses,
dan ternyata Bill Gates sangat menikmatinya. Jelas, ahwa kesuksesannya
nyata-nyata bukan semata-mata karena soal 3ng, tetapi karena memiliki komitmen
yang luar biasa pada visinya. esuatu yang mungkin sulit kita bayangkan
sebelumnya.
Dalam konteks ini, saya sependapat
dengan Frend Smith, pendiri dan EO Federal Express Corporation, bahwa untuk
bisa menjadi entre-eneur sukses, semestinya kita juga memiliki kemampuan
melihat )suatu yang tidak bisa dilihat orang lain. Atau minimal melihat sesuatu
alam cara yang berbeda dari orang lain yang melihatnya secara adisional.
Jadi menurut saya, sebaiknya kita
sebagai seorang entrepreneur, iemiliki kemampuan membuat visi masa depan. Di
samping juga, kita arus mampu menggunakan intuisi, bahkan kalau perlu kita pun
sering iembuat perubahan "revolusioner". Dengan begitu, setidaknya
kita iemiliki kemampuan melihat masa depan dengan lebih baik. Kita harus akin,
bahwa tahun-tahun ke depan akan menjadi masa terbaik,bagi ara entrepreneur.
Maka tak ada salahnya kalau kita berani meraihnya.
Saya percaya, bahwa setiap tahun telah cukup banyak orang
yang masuk dunia bisnis. Mereka umumnya melakukan tiga cara. Yakni, membeli
bisnis yang sudah ada, menjadi partner dalam sebuah franchise, atau dengan
memiliki bisnis baru.
Jika ingin memulai bisnis baru, tentu kita harus bisa
menjawab empat pertanyaan ini. Pertama, produk atau layanan apakah yang akan
kita buat, dan itu untuk siapa? Kedua, mengapa harus usaha itu? Mengapa calon
pelanggan harus membeli dari kita? Apa yang akan kita berikan jika ternyata
produk itu belum ada? Bagaimana kompetisinya? Apa keuntungan yang kita peroleh
dari kompetisi itu? Ketiga, apakah kita mempunyai sumbernya? Apakah kita akan
mendapat order? Apakah order itu datang segera? Keempat, siapa pasar kita?
Lantas dari manakah ide untuk mulai bisnis baru itu berasal?
Hasil sebuah survei di AS, yang tertuang dalam buku The
Origins of Entrepreneurship, memang disebutkan, bahwa 43% pengusaha
itu dapat ide dari pengalaman yang diperoleh saat dia bekerja di industri yang
sama. Mereka tahu operasional suatu usaha dan umumnya punya jaringan kerja
sama. Sebanyak 15% pengusaha dapat ide bisnis saat melihat orang lain mencoba
suatu usaha. Sebanyak 11 % pengusaha dapat ide saat melihat peluang pasar yang
tidak atau belum terpenuhi, 7% pengusaha dapat ide karena telah meneliti secara
sistematik kesempatan berbisnis, dan 3%
pengusaha dapai ide karena hobi atau tertarik akan kegemaran tertentu. Di
Indonesia sendiri bagaimana?
Saya kira dalam konteks ini, kita
tidak harus sependapat dengan hasil data tersebut. Data 43% pengusaha itu dapat
ide dari pengalaman yang diperoleh ketika bekerja di industri yang sama, itu
menunjukkan bahwa dia tipe pengusaha yang hanya berani memulai bisnis baru
karena hanya semata melihat sisi terangnya saja. Menurut saya, jika kita memang
benar-benar ingin memulai bisnis baru, semestinya peluang pasarlah yang lebih
kita jadikan pijakan.
Untuk itulah langkah yang kita
gunakan pun bukannya i~side out approach melainkan outside in approach, yaitu pendekatan dari luar ke dalam. Cara ini
cenderung melihat dahulu, apakah ada pelung bisnis atau tidak. Sebab,
sesungguhnya ide dasar bisnis itu sukses adalah jika kita mampu merespons dan
mengkreasikan kebutuhan pasar. Cara ini biasanya disebut opportunity recognition.
Oleh karena itulah, saya
berpendapat, sebagai pengusaha kita semestinya harus berani memulai bisnis
baru. Hal itu memang bukan hal mudah, karena membutuhkan analisis dan
perencanaan yang serius.
Namun, percayalah bahwa ide memulai
bisnis baru tak terlalu Wit. Ide itu bisa berasal dari mana saja dalam berbagai
cara. Yang pasti, sekali ide bisnis itu dikembangkan dengan jelas, maka bisnis
baru itu niscaya akan berkembang. Apalagi, setelah terlebih dahulu kita adakan
evaluasi dengan teliti, baik itu berkaitan dengar. pelanggan dan kompetisinya.
Mungkinkah kita
memulai bisnis tanpa memiliki uang tunai? Saya kira itu mungkin saja. Mengapa
tidak! Jika kita mampu mengoptimalkan pemikiran kita, maka banyak jalan yang
bisa ditempuh dalam menghadapi masalah permodalan untuk kita bisa memulai
bisnis. Cuma masalahnya, dari mana duit itu berasal? Logikanya, semua bisnis
itu membutuhkan modal uang.
Memang, kebanyakan kita selalu
mengeluhkan ketiadaan modal uang sebagai alasan mengapa kita "enggan"
berwirausaha. Padahal, modal yang paling vital sebenarnya bukanlah uang, tetapi
modal non-fisik, yakni berupa motivasi dan keberanian memulai yang
menggebu-gebu.
Saya yakin, jika hal itu bisa
dipenuhi, maka mencari modal uang bukanlah persoalan yang tidak mungkin, meski
secara pribadi kita tidak memiliki uang. Sementara kita telah tahu, bahwa
peluang bisnis telah ada di depan mata. Tentu, alangkah baiknya jika kita tidak
menundanya untuk memulai berbisnis.
Toh kita tahu, bahwa sebenarnya
banyak sumber permodalan. Seperti uang tabungan, uang pesangon, pinjam di bank,
dan di koperasi atau dari lembaga keuangan, atau dari pihak lainnya. Namun,
jika kita ternyata tidak memiliki uang tabungan, uang pesangon atau katakanlah
belum ada keberanian untuk meminjam uang ke bank atau koperasi, saya kira kita
juga tidak perlu risau. Karena ada cara untuk kita memulai bisnis, meski kita
tidak memiliki uang tunai sekalipun.
Contohnya, kita bisa menjadi seorang
perantara. Misalnya, menjadi perantara jual beli rumah, jual beli motor dan
lain-lain. Keuntungan yang kita dapat bisa dari komisi penjualan atau dari cara
lain atas kesepakati kita dengan pemilik produk. Saya yakin, kita pasti bisa
melakukannya.
Kita bisa juga membuat usaha dengan
cara konsumen melakukan )mbayaran di muka. Dalam hal ini, kita bisa mencari
bisnis di mana )nsumen yang jadi sasaran bisnis kita itu mau membayar atau
engeluarkan uang dulu sebelum proses bisnis, baik jasa maupun Produk, itu
terjadi. Misalnya bisa dilakukan pada bisnis jasa, seperti dustri jasa
pendidikan. Di mana, siswa diwajibkan membayar dulu di depan sebelum proses
pendidikannya itu terjadi.
Bisa juga misalnya, ada orang yang
memesan barang pada kita, namun sebelum barang yang dipesan itu jadi, pihak
konsumen sudah iemberikan uang muka dulu. Artinya, ini sama saja kita telah
diberi iodal oleh konsumen.
Masih ada cara lain memulai bisnis
tanpa kita memiliki uang tunai. contohnya, menggunakan sistem bagi hasil.
Biasanya, cara bisnis model ini banyak diterapkan pada Rumah Makan Padang. Di
mana kita sebagai orang yang memiliki keahlian memasak, sementara patner bisnis
kita sebagai pemilik modal uang.
Kita bekerja sama dan keuntungan
yang didapat pun dibagi sesuai kesepakatan bersama. Atau kita mungkin ingin
cara lain? Tentu masih .da. Contohnya, kita bisa melakukannya dengan sistem
barter dengan iemasok, dan kita pun jika memiliki keahlian tertentu, mengapa
tidak saja menjadi seorang konsultan. Selain itu, bisa saja dengan cara kita mengambil
dulu produk yang akan diperdagangkan, hanya untuk pembayarannya bisa kita
lakukan setelah produk tersebut terjual pada konsumen. Tentu, masih banyak cara
lain untuk kita memulai bisnis tanpa uang tunai.
Oleh karena itu, menurut saya,
sebaiknya kita tidak perlu berkecil hati atau takut dipandang rendah, bila
ternyata kita memang tidak memiliki uang tunai namun berhasrat untuk memulai
bisnis. Saya yakin dengan kita memiliki kemauan besar menjadi seorang
wirausahawan atau entrepreneur, maka setidaknya akan selalu ada jalan untuk
memulai bisnis. Nyatanya, tidak sedikit pengusaha yang telah meraih
keberhasilan meski saat memulai bisnisnya dulu tanpa memiliki uang tunai.
Itu menunjukkan bahwa tidak benar
kalau ada yang mengatakan: "Tak mungkin kita memulai bisnis tanpa memiliki
uang tunai." Kuncinya sebetulnya terletak pada motivasi dan keberanian
kita memulai bisnis yang menggebu-gebu. Hanya saja, untuk cepat meraih sukses,
apalagi tanpa memiliki uang tunai, itu tidak semudah seperti kita membalikkan
telapak tangan. Semuanya membutuhkan perjuangan.
Mitos atau anggapan "Utang ini
Buruk", bisa benar bisa salah. Benar utang
itu buruk, apabila kita berutang terlalu banyak, hanya antuk keperluan
konsumtif. Tetapi apabila utang itu kita manfaatkan intuk melakukan bisnis atau
usaha, maka anggapan utang itu buruk adalah salah. Saya sepakat, kalau kita
mempunyai utang pribadi, sebaikiya disesuaikan dengan kemampuan. Jangan
banyak-banyak. Dan pastikan utang kita itu ada yang membayar.
Dalam berbisnis, kalau bisnis kita mulai berkembang,
pasti sangat nembutuhkan tambahan modal kerja maupun investasi. Kalau kita mau
naju, maka utang untuk bisnis bukan suatu masalah, justru sangat perlu. 4sal kita
bisa menggunakannya secara tepat, hal itu justru akan nembuat bisnis kita lebih
berkembang. Sebagai contoh, kita punya modal Rp10 juta. Dari modal itu kita
untung 20%, maka keuntungan tang kita peroleh Rp2 juta. Namun kalau dari Rp10
juta kita bisa nendatangkan tambahan modal Rp90 juta dari utang, sehingga modal
nenjadi Rp100 juta, maka keuntungan kita yang 20% menjadi Rp20 uta. Dari sini
kita bisa membandingkan berapa keuntungan kita sebelum dan sesudah mendapat
modal dari luar. Itu hitungan sederhana.
Banyak cara untuk mendapatkan utang. Misalnya melalui
bank. Tetapi bank dalam memberikan pinjaman pasti melihat kredibilitas kita.
Kalau bisnis kita baik, mengapa kita takut utang. Karena dengan tambahnya
modal, maka bisnis kita akan menjadi lebih baik. Sehingga dengan berkembangnya
bisnis kita, dampak positifnya dapat membuka lapangan kerja baru.
Kredit modal kerja adalah salah satu bentuk utang yang
bisa kita manfaatkan. Dan modal itu bisa kita pakai terus, karena sistemnya
rekening koran, di mana kita membayar bunga dari saldo pinjaman yang kita
pakai. Setiap jatuh tempo bisa diperpanjang. Bahkan kalau bisnis kita semakin
maju, maka kita dapat mengajukan tambahan kredit lagi sesuai kebutuhan. Yang
penting dalam berutang tidak ada sedikit pun pikiran atau niat untuk ngemplang
atau tidak membayar. Kita harus punya niat baik menepati kesepakatan perjanjian
kredit dengan bank.
Perlu kita ketahui, pihak bank
sendiri dalam operasionalnya selalu menghimpun dana. Kedua fungsi ini harus
seimbang. Dalam penyaluran kredit, pihak bank sendiri mengharapkan adanya
keuntungan demi kelancaran operasional dan peningkatan
kesejahteraan karyawan, serta
perkembangan bank itu sendiri. Sedang bagi kita yang memanfaatkan kredit
sehingga bisnisnya berkembang, maka dampak positifnya, kesejahteraan karyawan
akan meningkat. Di sinilah perlunya, pihak bank dan pengusaha saling kerja
sama, saling memberikan dukungan.
Sebenarnya, seorang yang mempunyai
citra buruk dalam ber-utang, pada dasarnya disebabkan orang tersebut ingkar
janji, tidak bisa membayar atau bahkan ngemplang tidak mau membayar. Tetapi
ada pula citra buruk diciptakan oleh mereka yang tidak percaya untuk mendapatkan
utang. Sehingga sebagai kompensasi kejengkelannya, mereka menyebarkan isu,
bahwa utang itu buruk. Anggapan seperti itu seharusnya tidak perlu terjadi,
karena apa yang kita lakukan itu demi kemajuan bisnis kita. Sayangnya, sebagian
besar masyarakat percaya tentang hal itu. Padahal kalau kita mau eksis dan maju
dalam berbisnis, salah satu jurus yang jitu adalah harus mau dan mampu
memanfaatkan dana dari pihak lain. Untuk melakukan ini memang dituntut
keberanian dan rasa optimis. Bisa saja kita punya rasa optimis justru dengan
modal sendiri, walaupun ada yang mengatakan, bisnis dengan modal sendiri
berarti kita egois, tidak sosial, tidak mau bagi-bagi keuntungan. Dan dari
aspek spiritual, menurut saya, semakin banyak kita melibatkan dana orang lain
untuk mengembangkan bisnis, maka semakin banyak pula arang ikut mendoakan
bisnis kita. Sebaliknya, kalau bisnis kita menggunakan modal sendiri, maka yang
mendoakan bisnis kita hanya kita sendiri. Berani mencoba?
Dalam sebuah program pelatihan
entrepreneur yang diadakan Entrepreneur University, berapa waktu lalu, saya
ditanya peserta, "Bagaimana cara kita berwiraswasta namun tidak punya
modal?" Saya jawab, "Kuncinya, BODOL!" Itu singkatan: berani,
optimis, duit, orang lain.
Maksudnya, bila kita berani menjadi
wirausahawan atau entrepreneur, tentunya kita harus punya keberanian. Tak hanya
berani mimpi, tapi juga berani mencoba, berani gagal, dan berani sukses. Saya
kira hal ini penting dan harus kita miliki. Selain itu, kita juga harus
optimis. Sebab dengan kita tetap optimis, maka kita akan selalu yakin akan masa
depan, yakin pada kemampuan, dan juga menghentikan alur pemikiran yang negatif.
Dan, kita janganlah mudah percaya
pada mitos yang mengatakan, bahwa usaha ini tak mungkin dimulai dengan modal
dengkul. Begitu pula mitos yang juga mengatakan, bahwa modal dengkul berarti
mulai kecil-kecilan. Saya percaya, bahwa kalau kita yakin akan bisnis yang kita
lakukan, pastilah bisa jalan. Kalaupun nanti di tengah jalan kesulitan modal,
anggaplah itu wajar saja dalam bisnis. Sebab, sesungguhnya salah satu ciri
usaha atau bisnis kita berkembang adalah selalu saja kekurangan modal. Bila
bisnis kita bertambah maju dan omzet naik, maka tentu dituntut pula menyediakan
modal tambahan.
Singkatnya, dengan omzet naik, kita
dihadapkan pada kesulitan modal. Kita butuh duit. Duit itu dapat dari mana?
Jika punya warisan dan simpanan banyak tak masalah. Jika tidak ada? Duit itu
bisa saja kita dapat dari duit orang lain atau utang. Apalagi yang namanya
modalnya entrepreneur adalah dengkulnya. Maka tak punya dengkul pun, bisa
meminjam dengkulnya orang lain. Atau katakanlah, akhirnya utang di bank, atau
kita dapat utang berarti itu membuktikan bahwa kita memang dipercaya. Credible.
Sehingga, semakin besar utang kita
pada bank dan tidak macet, maka semakin besar pula kepercayaan bank pada kita.
Sehingga bonafiditas seorang entrepreneur diukur dari seberapa besar utang yang
didapatnya, dan kita semakin dihormati. Sebab, bunga utang kita itu pun
digunakan untuk membiayai operasional bank tersebut, termasuk membayar gaji
karyawannya dan bunga para penabung.
Ingat, bisnis bank salah satu sumber
pendapatannya dari bunga pinjaman. Bahwa dengan kita berutang yang digunakan
untuk mengembangkan usaha, maka tentu saja hal itu tak
mustahil akan menciptakan lapangan
kerja baru. Itu sangat bermanfaat. Apakah itu, namanya tidak mulia?
Bicara soal utang, saya jadi
teringat pada metabolisme tubuh manusia. Agar metabolisme tubuh kita berjalan
baik, tentu saja aliran darahnya juga harus baik dan stabil sesuai kebutuhan
organ-organ tubuh kita. Kalau kurang darah tentu saja perlu diatasi dengan cara
tambahan darah. Nah, utang itulah saya ibaratkan darahnya.
Memang yang namanya utang di bank
ini ada risikonya. Tapi semuanya itu dianggapnya perjuangan. Perjuangan adalah
hari-hari yang dijalani oleh seorang entrepreneur. Saya sendiri sangat merasakan
hal itu. Tapi anggaplah, risiko itu sesuatu yang harus senantiasa
diperhitungkan, namun tidak perlu kita takuti. Asal saja, utang atau tambahan
modal usaha itu betul-betul digunakan untuk kepentingan bisnis dan bukan untuk
kepentingan konsumtif. Memang, kita dituntut pintar dan seefektif mungkin
menggunakannya. Sehingga kita dapat membayar utang tepat waktu.
Saya dan Anda, mungkin sama-sama
yakin betul, bahwa seorang entrepreneur yang cerdas pasti bisa memanfaatkan
utang itu sebaik mungkin. Alasannya adalah dia seorang pekerja keras, tekun,
tak mudah puas, berani bersaing, gerak langkahnya cenderung mengejar prestasi
terbaik, dan berani mengambil risiko, termasuk berutang tadi.
Itu sebabnya, mengapa dia lebih
mampu menangkap dan memanfaatkan peluang apa pun dengan baik, termasuk
tentunya kejeliannya dalam berutang. Maka tak mustahil, kalau seorang
entrepreneur tidak berutang hidupnya pun terasa hampa. Karena baginya, berutang
pun tetap mulia. Ya, itulah entrepreneur.
Selama ini kita masih sering kali
melihat, adanya pengusaha yang selalu "repot-repot" mengundang
pejabat tertentu untuk meresmikan pembukaan usahanya. Sementara, istri pejabat
itu sambil tersenyum seraya menggunting pita. Hadirin tepuk tangan. Itu semua,
tentu saja, selalu ada pamrihnya. Setidaknya, pengaruh pejabat itu akan memuluskan
usahanya kelak.
Namun, di era milenium ketiga ini,
tampaknya hal-hal seperti itu tidak perlu terjadi lagi. Artinya, kita tidak
usah repot-repot seperti itu. Sebaikiya, kita harus bebas dari pengaruh
kekuasaan politik dan pemerintah, apalagi pejabat tertentu. Menurut saya,
justru yang sangat diperlukan Dalam suatu sistem perekonomian terbuka sekarang
ini, adalah penguisaha yang kompetitif dan otonom. Pengusaha semacam inilah adalah
oengusaha yang tidak tergantung pemerintah, tapi lebih tergantung -nekanisme
pasar.
Saya yakin, kehadiran pengusaha yang
kompetitif dan otonom akan merupakan satu elemen yang sangat penting artinya
bagi pertumbuhan Jan perkembangan ekonomi. Sosok seperti ini, cenderung akan
lebih mampu berperan sebagai kekuatan utama yang mendorong pertumbuhan
ekonomi.
Tapi sayangnya, di negara kita ini,
golongan pengusaha yang kompetitif dan otonom semacam ini, ternyata belum
berkembang secara maksimal. Justru, yang saya lihat selama ini, yakni masih
banyak munculnya kelompok-kelompok pengusaha swasta jenis lain yang biasa kita
namakan pengusaha klien (client businessman). Dalam aktivitas
bisnisnya, mereka memang banyak tergantung, dan menjadi kroni pejabat, atau
tergantung pada pengaruh penguasa politik atau pemerintah.
Dalam konteks inilah, saya kira
sebaiknya peranan pemerintah tidak diperbesar. Oleh karena, inefisiensi dalam
birokrasi jelas sudah usang. Hal itu sudah tak cocok lagi dengan kecepatan
bisnis, apalagi di era milenium ketiga ini. Dan, kita sendiri sebagai pengusaha
atau wirausahawan juga perlu banyak belajar dari pengalaman, bahwa sesungguhnya
menjadi pengusaha klien nyata-nyata tidak membuat kita mandiri dalam bisnis.
Sebab, bagaimanapun, kalau kita menjadi
pengusaha yang otonom, akan lebih mampu memperbaiki kredibilitas negara kita.
Bahkan, saya optimis, kita juga akan mampu mengembalikan kepercayaan para
investor asing. Saya yakin, kalau pengusaha yang
kompetitif dan otonom ini berkembang
dengan baik di negara kita, maka tak mustahil pada tahun 2001 mendatang,
perekonomian Indonesia diharapkan bisa pilih kembali. Agaknya, semua harapan
ini masih termasuk wajar. Hanya, bagaimana pemerintah kita menyikapinya.
Kita sebagai pengusaha, memang
dituntut untuk terus berusaha menjadi pengusaha yang otonom. Dengan demikian,
kita akan lebih mampu menjadi pengusaha yang kompetitif. Karena itu, menurut
saya, sekarang ini bukan waktunya lagi bagi kita untuk mengembangkan bisnis
klien, yang juga dikenal sebagai bisnis lobi. Bisnis lobi karena faktor
kedekatan dengan politikus maupun pemerintahan semacam itu, dulu memang banyak
berkembang di negara kita. Sehingga, tak mengherankan kalau lantas banyak
bermunculan kasus KKN. Sementara, kita lihat pengusaha yang benar-benar otonom
menjadi sulit berkembang.
Pengertian otonom yang saya maksud
di sini, bukan lantas hubungan antarperusahaan, itu tidak penting. Hubungan
sinergi dalam bisnis itu, tentu saja tetap diperlukan. Begitu pula hubungan
kita dengan pemerintah, juga tetap harmonis dan transparan. Hanya saja, jangan
lantas bisnis yang kita jalankan sekarang ini semata-semata hanya tergantung
pada pemerintah atau berlindung pada pejabat. Sebab, jika suatu saat pejabat
atau pemerintah itu ganti atau partainya tidak lagi memerintah, akibatnya
bisnis bisa bangkrut atau hancur.
Oleh karena itulah,
ada baiknya kita menjauhi saja bisnis lobi. Dan, lebih baik kita menggalakkan
bisnis yang berhubungan langsung dengan pasar. Sebab, bagaimanapun kita harus
tetap berusaha, bahwa dengan kondisi pasar yang terus bergerak, ternyata pasar
tetap membutuhkan produk kita. Itu lebih penting. Sebab, kalau seorang
pengusaha berhasil menjalankan bisnis pasar, tentu dia akan memiliki
kredibilitas yang tinggi sebagai pengusaha otonom yang sukses.
Saya sependapat kalau ada yang
mengatakan, bahwa untuk meraih sukses bisnis, kita bisa meniru sukses orang
lain, apakah itu strateginya, atau pilihan usaha yang dilakukannya. Selain itu,
saya ingin menambahkan, bahwa untuk kita bisa menjadi pengusaha, sesungguhnya
tidak harus punya pengalaman bisnis yang mumpuni dulu. Logikanya adalah, kalau
kita menunggu sampai punya pengalaman bisnis yang mumpuni, lantas kapan kita
akan memulai usaha?
Dari pengalaman saya sendiri, maupun
pengalaman pengusaha Bob Sadino, juga pengalaman pengusaha-pengusaha lain,
bahwa sesungguhnya pengalaman bisnis yang mumpuni itu bisa kita raih sambil
menjalankan bisnis kita. Maka, jika kita ingin memulai usaha, ada baiknya
jangan banyak dipikir atau pakai rencana yang muluk-muluk. Yakinlah, bahwa
dalam bisnis bisa saja berubah, dan itu bisa kita tangani sambil jalan.
Hanya saja, mungkin ketakutan kita
sementara ini justru karena kita terlalu siap, terlalu banyak yang dipikir,
bahkan terlalu takut pada risiko bisnis. Padahal, menurut saya, dalam praktik
bisnis, yang terjadi sesungguhnya banyak berbeda dengan apa yang pernah
dipikirkan. Sehingga tak mengherankan kalau kita kemudian banyak menemukan
jalan keluar untuk mengatasi semua kesulitan bisnis yang kita alami.
Jadi, sesungguhnya tidak ada alasan
bagi kita untuk memulai usaha, karena alasan pengalaman bisnis kita terbatas.
Katakanlah, dengan kita piawai menarik pelajaran dari setiap kejadian, saya
yakin hal itu justru membuat kita tambah piawai dalam bisnis.
Dan, kalau kita lihat di lapangan,
banyak usaha yang ternyata dimulai dengan nol. Misalnya, uang tidak punya, itu
bisa diatasi dengan pinjam orang lain. Kemudian pengalaman bisnis tidak punya
bisa ditanya pada orang lain. Bahkan ide pun tak punya, bisa pakai ide orang
lain. Begitu juga tempat usaha yang tak ada, dan masih banyak lagi.
Apa artinya semua itu? Artinya, kita
bisa menggunakan "kepunyaan" orang lain. Justru dari keadaan semacam
inilah, akan membuat kita mendapat banyak pelajaran dalam berbisnis. Pemikiran
itu menurut saya hal yang paling penting untuk memulai bisnis.
Oleh karena itu, menurut saya,
sesungguhnya belajar bisnis sambil jalan atau jalan sambil belajar, di dunia
usaha itu sama saja, yang penting kita telah berusaha dengan memulai
usaha. Menurut Bob Sadino dengan
melangkah seperti itu, paling tidak kita sudah selangkah lebih maju dalam
berbisnis. Kita tidak lagi hanya berjalan di tempat, yang berarti tidak ke
mana-mana atau tidak melakukan bisnis apa pun.
"Saya sukses karena saya
melangkah. Bukan mengangan-angankan langkah," kata Bob Sadino yang juga
memulai usaha dari nol. Tentu saya sependapat dengan Bob, yang kini memiliki
banyak supermarket dalam grup Kem Chick's itu. Artinya, dengan melangkah, maka
ada kemungkinan kita sukses, di samping ada pula kemungkinan gagal. Namun
dengan tidak melangkah, maka kita tidak pernah akan sukses. Maka tak ada
salahnya kita belajar bisnis sambil jalan.
Salah satu tugas kita sebagai
pengusaha, selain memiliki keterampilan interpersonal, leadership, dan managerlal, juga harus mampu
melakukan tugas kreatif. Saya yakin, selama pengusaha itu kreatif, maka
usahanya akan tetap eksis dan berkembang maju.
Jadi intinya, menjadi pengusaha itu
memang harus kreatif. Seolah tiada hari tanpa kreativitas. Karena itulah, kini
saatnya kita untuk terus kreatif. Ini mengingat macamnya usaha di Indonesia
belum sebanyak di Amerika Serikat ataupun di negara lain. Di Amerika Serikat
misalnya, ada bisnis yang masih langka dan belum memasyarakat di Indonesia,
yakni bisnis menyewakan pakaian dan perlengkapan bayi. Jadi sebenarnya banyak
macam usaha yang bisa kita kerjakan, asal kita mau kreatif.
Di dalam kita memilih usaha juga
harus kreatif. Begitu juga sewaktu kita menjalankan usaha itu pun harus
kreatif. Maka, tak ada salahnya kalau suasana di perusahaan itu harus
diciptakan iklim yang kondusif untuk kita kreatif. Ide-ide kreatif yang semula
tak pernah kita pikirkan, akan cenderung muncul.
Hanya saja memang kreatif itu
memerlukan proses, yakni proses kreatif. Jadi pada awalnya, untuk kreatif itu
perlu persiapan, meski secara tidak formal. Tinggal, bagaimana kita sendiri
membuat suasana kerja itu kreatif.
Dalam prosesnya, ternyata itu juga
membutuhkan konsentrasi kita. 'adahal, yang mungkin terjadi pada saat kita
melakukan konsen-trasi idalah menemui hambatan atau jalan buntu. Sehingga
akibatriya, kita ak bisa berbuat apa-apa, atau mengalami frustasi. Dan,
sebenarnya rustasi itu merupakan bagian dari proses kreatif itu sendiri.
Dalam kondisi inilah, menurut saya
sebaiknya kita tidak menyerah atau ~utus asa. Jangan berhenti sampai di situ.
Tapi, kita harus yakin, bahwa )ada saatnya nanti wawasan atau iluminasi akan
muncul. Kemudian, kita ielewati proses kreatif berikutnya, yaitu inkubasi atau
pengendapan iasuk ke dalam alam bawah sadar. Pada saatnya, yaitu pada kondisi
ang tidak disengaja, bisa saja muncul iluminasi. Itu artinya ide kreatif -lah
kita temukan.
Lantas yang perlu kita jalankan
adalah mengolah atau menjalan-kan ide reatif itu menjadi nyata, demi kemajuan
bisnis kita. Bahkan menurut aya, untuk memberikan kepuasan pada pelanggan, kita
pun harus ienggunakan pendekatan yang kreatif. Termasuk juga bagaimana kita
iencari modal atau dana untuk pengembangan usaha, peningkatan egiatan produksi,
perbaikan desain, pemasaran, dan lain sebagainya.
Oleh karena itulah, orang kreatif
itu sebenarnya adalah sama dengan rang yang berani mengambil risiko. Hanya
tinggal seberapa besar ebenarnya kualitas kreativitas itu akan memengaruhi
risiko usaha yang ijalankan.
Bahkan, saya berpendapat, bahwa
seseorang yang berani berpikir reatif, berarti dia sudah berani mengambil
risiko. Dan saya yakin, tianya engusaha yang berani mengambil risiko itulah
yang usahanya dapat erkembang maju, baik untuk saat ini ataupun untuk masa
depan.
Sebagai pengusaha, saya banyak
bertemu teman-teman pengusaha yang menjalankan bisnis dengan gaya yang
berbeda-beda. Ada teman pengusaha yang menggunakan manajemen atau yang kita
sebut sebagai gaya berwirausaha "manajerial", tetapi ada juga yang
menjalankan bisnisnya dengan menggunakan gaya "kejuraganan".
Saya kira, dengan gaya berwirausaha
apa pun yang kita terapkan dalam bisnis kita, yang penting bisnis kita tetap
bisa dijalankan dan maju. Itu semua memang tergantung pada diri kita
masing-masing. Asal kita mantap dengan gaya tersebut, ya lakukan saja. Sebab,
kalau kita sudah mantap, maka bisnis yang kita jalankan sekarang ini tentu akan
semakin mantap meraih kesuksesan.
Sudah banyak terbukti, bahwa
pengusaha yang menggunakan gaya berwirausaha "kejuraganan" terbukti
usahanya sukses. Gaya ini menempatkan 4 fungsi manajemen, yakni produksi,
pemasaran, sumber daya manusia, dan keuangan, terpusat pada pengusahanya. Teman
saya sendiri sukses luar biasa dengan gaya tersebut.
Para juragan biasanya lebih suka
bekerja seperti karyawan saja, dan jangan heran kalau kita kemudian menjadi
sulit untuk membedakan perannya. Bisa sewaktu-waktu menjadi pengusaha atau
pemilik bisnis, bisa juga sebagai karyawan, sebagai keuangan, dan lain
sebagainya. Itu sekali lagi karena ke-4 fungsi manajemen dilakukannya sendiri.
Sementara karyawannya yang bekerja di perusahaannya, hanya berfungsi
melaksanakan tugas atau delegasi teknis saja.
Sementara itu, ada teman saya yang
lain asyik menjalankan bisnisnya dengan begitu gigih menggunakan gaya
berwirausaha "manajerial". Artinya ke-4 fungsi manajemen
didelegasikan kepada para manajer di perusahaannya. Dan, ternyata gaya
"manajerial" ini pun sama-sama bisa berhasil meraih sukses.
Gaya manajerial ini kalau kita amati
memang cenderung membuat kita lebih berani mendelegasikan wewenang dan tanggung
jawab pada manajer atau karyawan kita. Kita juga lebih mendorong mereka untuk
memberikan peluang meningkatkan prestasi. Pemberdayaan seperti ini memang tak
ada pada gaya "kejuraganan".
Menghadapi 2 pilihan itu, akhirnya
memang tergantung kita sendiri. Kita mau pilih gaya berwirausaha yang mana yang
kita suka. Apakah kita akan memilih yang "manajerial", ataupun yang
"kejuraganan"? Yang penting semua itu tergantung kemantapan kita.
Peluang bisnis bagi wanita,
sebenarnya sangat besar. Bukan hanya untuk saat ini, tapi juga untuk saat yang
akan datang. Bahkan, peluang bisnis bagi entrepreneur wanita itu sebenarnya
lebih besar daripada entrepreneur laki-laki.
Itu karena dia punya kelebihan.
Kelebihannya adalah terletak justru pada "kewanitaannya". Di mana,
sosok entrepreneur wanita itu lebih unggul dalam negosiasi. Itu mungkin karena
keluwesan atau fleksibilitasnya. Atau istilah Candida G. Brush, professor assistant dari Management Pollce of Boston University, entrepreneur wanita lebih kooperatif,
informal, dan lebih mudah membangun kesepakatan dengan pihak lain. Sebaliknya,
entrepreneur laki-laki cenderung lebih kompetitif, lebih terkesan formal, dan
lebih suka berpikir sistematik.
Selain itu, menurut saya,
entrepreneur wanita juga cenderung lebih peka intuisi bisnisnya. Sehingga saya
yakin, jika memang mampu mengembangkan kelebihannya itu, tentu bisnisnya juga
akan berkembang luar biasa. Seperti kalau kita lihat, keberhasilan entrepreneur
wanita seperti Dr. Martha Tilaar, Moeryati Soedibyo, Poppy Dharsono, Dewi
Motik, dan Nyonya Suharti.
Hanya saja, sayangnya saya melihat
entrepreneur wanita umumnya dikenal terlalu hati-hati dalam berbisnis, dan
bahkan terlalu takut untuk mengambil risiko.
Sehingga, jika kelemahan itu tidak berhasil dikelola dengan baik, maka jelas
akan mengakibatkan jumlah entrepreneur wanita yang terjun ke dunia usaha saat
sekarang ini, relatif kecil.
Contohnya, anggota IWAPI (Ikatan
Wanita Pengusaha Indonesia) yang jumlahnya relatif lebih sedikit daripada kalau
kita bandingkan dengan anggota KADIN atau HIM atau organisasi serupa yang
"laki-laki". Mungkin hal itu bisa saja karena kebanyakkan bisnis yang
dimiliki entrepreneur wanita, lebih sedikit daripada jika mereka bekerja pada
suatu perusahaan. Seperti yang diungkapkan oleh sebuah riset dari Institute for
Women's Policy Research di Washington DC.
Sementara, Marger Lovero, direktur
dari Entrepreneurial Center at Manattanvile College mengatakan, bahwa entrepreneur wanita itu sulit
berkembang maju, juga karena mereka cenderung mempertahankan bisnis kecilnya.
Sebab, baginya selama ini yang terpenting bukan pada usaha bagaimana membuat
bisnisnya menjadi besar, tapi lebih pada keinginan untuk mencoba men-support
dirinya sendiri atau mandiri, membawa keseimbangan dan fleksibilitas dalam
mengatur waktu kesehariannya. Tapi kalau dia bekerja di perusahaan lain,
fleksibilitas itu tak didapatkannya.
Dalam konteks inilah, barangkali ada
baiknya sekarang ini bisnis di kalangan entrepreneur wanita, perlu untuk terus
didorong pada kegiatan bisnis industri rumah tangga, yang lebih memungkinkan
bisnis atau jiwa entrepreneur bisa terus berkembang. Oleh karena itulah, saya
kira meski keberanian wanita di dalam menekuni dunia usaha tidak sebesar keberanian
yang dilakukan entrepreneur laki-laki, namun jika entrepreneur wanita ingin
berkembang bisnisnya, dia semestinya berani mengambil risiko, dan lebih berani
membentuk jaringan bisnis yang lebih luas lagi.
Dalam dialog bisnis yang diadakan
oleh Assosiasi Manager Indonesia (AMA) Yogyakarta beberapa waktu lalu, ada
seorang peserta dialog yang menanyakan kepada saya, tentang bagaimana faktor
keberuntungan dan faktor timing menentukan keberhasilan dalam bisnis?
Seberapa penting faktor
keberuntungan itu bagi pengusaha? Orangorang China punya kebiasaan, jika ingin
terjun ke dalam bisnis, maka kita harus punya hoki atau keberuntungan yang
besar. Kalau tidak punya, maka bisnis kita akan bangkrut.
Kalau ternyata kita tidak punya
keberuntungan, maka disarankan kita jangan mendirikan bisnis. Padahal, menurut
saya, yang namanya keberuntungan atau hoki itu sebenarnya adalah bagian dari
hidup yang tidak dapat kita kontrol. Tidak dapat kita duga. Dan, sesungguhnya
itulah hidup. Bagaimana kita tahu, bahwa kita punya keberuntungan, kalau kita
belum pernah mencobanya. Keberuntungan harus dibuktikan, bukan hanya
diangan-angankan.
Saya berpendapat, bahwa bisa saja
kita punya keberuntungan. Hanya saja, oleh satu keadaan tertentu, keberuntungan
itu bisa saja lantas pergi. Berbeda dengan timing, dalam setiap kegiatan bisnis yang kita lakukan, maka kita
bisa mengontrolnya. Artinya, timihg lebih sedikit bisa dikendalikan daripada keberuntungan.
Oleh karena itulah, menurut saya,
memang mungkin saja bisnis itu bisa kita mulai atau kita ambil saat ini. Tetapi
bisa saja, kalau kita mulai sejak lima tahun lalu. Sehingga timihg ini sedikit
bisa kita kontrol. Jelas, hal itu menunjukkan, bahwa peluang bisnis itu
sesungguhnya datangnya tidak mengenal waktu.
Hari ini bisa saja saatnya kita
mengambil peluang bisnis itu. Dan kalau ditunda, tak mustahil akan diambil
orang lain dan kita kehilangan peluang bisnis itu. Saya kira, orang pertama
yang menjual minuman Aqua di Indonesia, yakni Tirto Utomo, juga membutuhkan
perjuangan sekitar 8 tahun untuk bisa eksis seperti sekarang ini.
Mungkin saja, waktu produk itu
pertama kali dimunculkan, belum saatnya atau tlmh7g-nya kurang tepat. Sebab,
sebagian besar yang membeli produk Aqua tersebut adalah orang asing. Tapi
ternyata, dari waktu ke waktu, orang Indonesia mulai menggemari minuman Aqua
itu. Sehingga, orang kemudian mengenal air putih dengan menyebut
"aqua".
Begitu juga pada teh botol, yang
pertama kali diperkenalkan oleh Pak Sosro. Di mana, pada saat itu Teh Sosro
masuk di pasar, juga bukan pada timing yang tepat. Sehingga, produk itu untuk
bisa sampai dikenal dan digemari masyarakat, membutuhkan perjuangan yang
keras,.
Jadi saya kira, ada atau tidaknya keberuntungan
di dalam kita berbisnis, sebaiknya tidak terlalu kita pikirkan hal itu, karena
memang tidak bisa kita kontrol. Tapi sebaiknya dengan tbning. Hal tersebut bisa
kita kontrol sebaik mungkin. Tinggal bagaimana timing itu tepat, dan mudahmudahan
itu sesuai dengan keberuntungan kita.
Lowongan untuk jadi pengusaha, saya
kira sampai kapan pun masih terbuka luas, tidak terbatas. Artinya, kapan saja,
sekarang atau besok, kita bisa saja menjadi pengusaha. Bahkan, kalau kita ingin
cepat menjadi pengusaha, bisa juga kita lakukan hari ini. Misalnya, cukup kita
datang ke notaris, buat CV atau PT, maka jadilah kita pengusaha sekaligus
direktur di perusahaan kita sendiri. Dan, tak perlu ada upacara pengangkatan
segala, sebab siapa lagi yang mengangkat kita kalau bukan kita sendiri.
Namun, coba saja kalau kita bekerja
pada perusahaan milik orang lain, maka untuk bisa menjadi direktur membutuhkan
waktu lama. Itu pun masih sangat tergantung pada keputusan atasan kita.
Padahal, menurut saya, untuk menjadi pengusaha sekaligus direktur, tidak harus
membutuhkan pengalaman kerja. Oleh karena, pada dasarnya, lowongan untuk kita
menjadi pengusaha itu tidak terbatas.
Maka, semestinya kita harus
"jadi" dulu. Itu setidaknya, dengan kita sudah menjadi direktur di
perusahaan kita sendiri, merupakan langkah awal memulai bisnis. Dan, ternyata
membuat bisnis itu lebih mudah daripada kita mencari pekerjaan. Sehingga, dari
"sukses" itulah menjadikan diri kita tumbuh rasa percaya diri. Dan,
setelah kita percaya diri, maka kita akan bisa melakukan sesuatu.
Banyak contoh di masyarakat, bahwa
seseorang mendapatkan jabatan, baik itu di pemerintahan ataupun swasta, padahal
dia tidak punya pengalaman sebelumnya. Dan ternyata, dia bisa juga melaksanakan
pekerjaan itu dengan baik. Artinya, kepercayaan diri atau "pede" kita
bertambah saat kita mendapat kesuksesan. Meski, katakanlah bisnis ,rang kita
dirikan itu hanya meraih sukses-sukses kecil. Namun, itu bukanlah suatu
masalah. Justru, hal itu akan membuat kita lebih :ermotivasi untuk bisa meraih
sukses bisnis yang lebih besar.
Saya kira, kita memang sebaiknya
tidak mengabaikan sukses-sukses (ecil itu. Percayalah, bahwa sesungguhnya dari
sukses-sukses kecil itu ikan menjadi kesuksesan yang luar biasa pada bisnis kita
di masa Jepan.
Memang, bagi kita yang terbiasa
berpikir linier, pasti akan mengatakan, )ahwa percaya diri dulu baru kita
sukses. Kalau kita setuju dengan )endapat, percaya diri dulu baru seseorang
meraih sukses, lantas kapan ;ita bisa jadi pengusaha?
Robert T. Kiyosaki dalam bukunya
"Cash Flow Quadrant' berpendapat, bahwa sebenarnya sukses itu guru yang
buruk. Tapi itu berlaku untuk diri kita sendiri. Artinya, sebagai entrepreneur,
kita memang sebaiknya tidak berguru pada kesuksesan kita sendiri. Sebab, hal
itu akan membuat kita menjadi kurang bersemangat, menjadi tidak kreatif,
menjadikan kita lengah atau sombong, menjadikan kita lupa diri, bahkan tak
menutup kemungkinan kesuksesan yang kita raih akan menjadi bumerang bagi diri
kita sendiri. Sukses itu, menurut saya, bukan berarti "waktunya untuk
menikmati".
Memang, kesuksesan kita itu bisa
menjerumuskan kita. Apalagi, kalau kita terlalu membanggakan kesuksesan itu,
akan membuat kita lupa diri. Oleh karena itu, agar kesuksesan itu tidak menjadi
bumerang bagi kita sendiri, maka kita memang harus pandai-pandai mengelola
kesuksesan itu. Namun, tentu saja, orang lain bisa saja belajar dari kesuksesan
kita. Itu boleh. Bahkan, itu bisa menjadikan kesuksesan bisnis seseorang. Sebab,
pada dasarnya belajar dari kesuksesan orang lain itu sah-sah saja. Pendeknya,
kalau seseorang belajar kesuksesan orang lain, itu memang bisa menjadi guru
yang baik. Meski kita sebetulnya juga bisa belajar banyak pada orang yang
gagal.
Dalam konteks inilah, menurut saya,
agar bisnis kita tetap langgeng bahkan bisa berkembang lebih baik di masa
mendatang, ada kalanya kita harus
menyadari hal ini. Atau lebih tepatnya, sebagai entrepreneur seharusnya lebih
menilai, bahwa kegagalan itu sebetulnya sebagai pelajaran yang terbaik. Oleh
karena itulah, saya kira kita sebaiknya janganlah terlalu takut dengan
kegagalan. Kita belajar paling banyak tentang diri kita ketika kita gagal, jadi
jangan takut gagal. Sebab, kegagalan itu sebenarnya adalah proses kita untuk menjadi
sukses. Saya yakin, yang namanya entrepreneur itu sebetulnya tidak bisa sukses
tanpa mengalami kegagalan.
Untuk itu, pada saat kita ingin
memulai bisnis atau di saat bisnis kita mulai berkembang, tapi kemudian
tiba-tiba bangkrut atau mengalami kegagalan, saya kira hal itu janganlah
membuat kita patah semangat. Justru, saat itulah jiwa entrepreneur kita harus
bangkit kembali. Sebab, menurut pengalaman saya dan rekan pengusaha lainnya,
merek baru sukses, setelah mereka pernah mengalami kegagalan paling tidak
sampai tujuh kali. Kalau kita baru gagal dua atau tiga kali, saya kira itu
wajar-wajar saja bagi seorang entrepreneur.
Mestinya, entrepreneur tidak akan
pernah mendapatkan pelajaran tanpa melakukan langkah-langkah yang berarti. Baik
itu langkah yang gagal maupun itu yang sukses. Langkah- langkahnya dimulai dari
langkah kecil sampai langkah besar. Dengan perkataan lain, saya mengatakan,
sebuah perjalanan 1.000 km itu sebenarnya dimulai dari langkah kecil. Kalau
kita tidak berani memulai atau mengembangkan bisnis, kapan kita akan punya
bisnis, atau kapan bisnis kita berkembang. Saya menemukan kata-kata menarik
buat kita renungkan bersama yaitu, "Memulai itu mengalahkan tidak
memulai." Artinya, orang yang berani memulai atau mengembangkan bisnis,
itu lebih baik daripada orang yang sama sekali tidak berani memulai atau
mengembangkan bisnis.
Rezeki itu sebenarnya sudah ada yang
mengatur-Nya. Saya kira, itu memang benar. Dan, sebagian besar kita berpendapat
demikian. Oleh karena sejak lahir setiap orang itu membawa rezeki
sendiri-sendiri. Tapi, apakah kita itu bisa meningkatkan rezeki kita sendiri?
Dan, apakah kita tak bisa merencanakannya? Saya berpendapat, meski rezeki itu
sudah ada yang mengatur-Nya, namun kita harus tetap aktif merencanakannya.
Tanpa direncanakan, rezeki itu akan sulit kita raih. Saya kira, rezeki itu
membutuhkan peluang untuk mendatanginya.
Menurut saya, mana mungkin rezeki
itu datang kalau setiap harinya kita tak punya aktivitas apa-apa. Hanya pasrah
saja. Dan, kita terlalu yakin, bahwa rezeki itu tak perlu dikejar, pasti akan
datang sendiri. Saya tak sependapat dengan prinsip ini. Sebab, bagaimanapun
kalau pada diri kita tak ada kegairahan bekerja, dan hanya selalu memimpikan
rezeki itu datang, maka rezeki itu pun akan sulit datang atau justru malah
menjauh. Tapi sebaliknya, jika tekun bekerja, dan kreatif berwirausaha, saya
yakin, pasti rezeki akan datang. Bisnis kita pun akan lebih cepat berkembang.
Apalagi, kalau kita berani memilih
profesi seperti pengusaha, dokter, notaris, pengacara, pelukis, seniman, dan
lain-lain. Profesi ini saya lihat sangat berpeluang mendatangkan rezeki yang
relatif besar atau tidak linier. Sebab, profesi ini berbeda dengan orang yang
digaji atau seperti karyawan. Artinya, jika saat ini kita misalnya, sedang
menekuni dunia usaha atau sebagai pengusaha, maka jelas sangat memungkinkan
sekali bagi kita untuk mendatangkan rezeki yang relatif besar. Sementara, kalau
saja kita sekarang ini bekerja ikut orang lain atau setiap bulannya digaji
tetap, maka jelas peluang akan datangnya rezeki yang relatif besar, menjadi
kecil. Oleh karena itu, rezeki besar itu datangnya mencari tempat yang pas, dan
ini bisa kita rencanakan. Tinggal, kita berani atau tidak.
Bicara soal rezeki, saya jadi teringat
pengalaman rekan saya. Dia seorang notaris, saya lihat, dalam menjalankan
profesinya, dia hanya menggunakan motor. Lantas, ganti mobil. Itu pun mobil
lama. Namun, ketika saya sarankan agar dia "berani" ambil mobil baru
secara kredit, dia terkejut. Apalagi, ketika saya sarankan mobil lamanya dijual
saja, untuk bayar uang muka.
Setiap bulannya `kan harus bayar
angsuran? Itu pertanyaannya. Saya jawab, "Nah itulah rezeki akan mengikuti
rencana Anda. Kalau Anda menggunakan mobil bagus pasti klien Anda lebih
percaya. Oleh karena performance atau penampilan dibutuhkan dalam bisnis Anda. Apalagi
Anda mau bekerja keras dan kreatif menjaring klien, saya yakin Anda pasti mampu
membayar angsurannya." Rupanya, dia mengikuti saran saya. Apa yang yang
terjadi selanjutnya? Rezeki notaris itu ternyata mengalir deras. Kliennya kian
bertambah. Selain bisa membayar angsuran, dia pun masih punya kelebihan rezeki
itu. Dan, kepercayaan dirinya akan profesinya semakin mantap.
Kejadian ini, di antaranya yang
membuat saya percaya, bahwa rezeki itu sesungguhnya akan datang mengikuti
rencana utang kita. Rezeki itu juga akan datang sesuai pengambilan risiko
bisnis kita. Sehingga, pada saat kita ambil risiko bisnis yang kecil, rezeki
yang mengalir pun kecil.
Sebaliknya, bila kita berani ambil
risiko yang besar, maka rezeki yang mengalir pun akan besar.
Peter F. Drucker berpendapat, bahwa
setiap orang dapat saja berkarier menjadi entrepreneur. "Tidak ada yang
misterius," begitu katanya. Meski, menjadi entrepreneur sekarang lain
dengan entrepreneur dulu. Mungkin saja, kehidupan entrepreneur itu lebih mudah
beberapa tahun yang lalu. Di mana, membuat tetangga sebagai pelanggan begitu
mudah. Begitu juga, saat kita mau mengembangkan produk lokal. Tapi saya rasa, sekarang
sudah beda. Tuntutan pasar semakin banyak, dan kualitas pun harus kita
tingkatkan. Begitulah jika kita ingin hidup.
Tapi saya yakin, jika saat ini kita
mau menekuni karier sebagai entrepreneur prospeknya sangat bagus dan sangatlah
luas. Artinya, kita bisa kapan saja memulai bisnis. Dan, kita bisa jual produk
atau jasa apa pun. Sedang, berapa jenis usaha yang bisa kita lakukan, tentu
saja juga tergantung kemampuan kita.
Namun, dari sebuah survei
mengungkapkan, bahwa rata-rata sekitar 44% entrepreneur yang terjun dalam dunia
bisnis selama lebih dari 6 tahun, telah memiliki beberapa jenis bisnis yang
tidak saling berhubungan atau tumpang tindih. Sementara 35% lagi entrepreneur
hanya memiliki satu jenis bisnis, dan 21 % lagi memiliki beberapa jenis bisnis
yang masih ada hubungan atau rangkaian.
Lantas bagaimanakah agar kita bisa
menjadi entrepreneur yang sukses? Dari berbagai pengalaman, saya melihat, bahwa
ada 4 karakter seseorang bisa menjadi entrepreneur sukses, yaitu Pertama,
adanya keinginan. Di mana, dia menggunakan keinginannya untuk membuat sesuatu
yang besar dari hal yang kecil. Selain itu juga ada keinginan membuat sesuatu
yang belum ada sebelumnya, dan melakukan keinginan sesuai dengan cara yang
ingin mereka lakukan.
Kedua, adanya intuisi. Kesempatan
jadi entrepreneur adalah sama untuk semua orang. Tidak ada tes IQ. Bahkan, jika
kita tidak pintar pun tak menghalangi untuk jadi entrepreneur. Artinya, setiap
entrepreneur yang sukses adalah mereka yang telah belajar mengembangkan
intuisinya.
Ketiga, dia punya kemampuan untuk
terus hidup walau punya utang. Jadi, semua entrepreneur telah bertahan melewati
kariernya yang naik turun. Mereka pernah sukses, pernah gagal. Pernah
menghasilkan uang, atau kehilangan uang, dan lain-lain. Bahkan, utang pun selalu
ada di setiap bisnisnya. Saya rasa, ini adalah kenyataannya. Sebab, bagaimanapun
seorang entrepreneur harus belajar beradaptasi dengan utang.
Keempat, Selalu optimis. Misalnya
saja, ada peluang bisnis, namun karena ada alasan yang lebih logis, peluang itu
tidak dikejarnya. Sebab, ia telah mempertimbangkan dengan intuisinya, dan
menutupinya dengan optimisme. Jadi, menurut saya, entrepreneur itu adalah
pencipta sekaligus pelaku bisnis. Dia membuat hidupnya dengan mengatasi
berbagai alasan untuk tidak mengejar peluang bisnis, dan kemudian meyakinkan
orang lain untuk mengikuti caranya.
Oleh karena itu, menurut saya, kalau
kita memang ingin sukses berkarier sebagai entrepreneur, maka pastikan saja
kita memiliki ke-4 karakter tersebut. Dan, sebaiknya jangan pernah kita merasa
ragu untuk melangkah. Anda berani mencoba?
Ada satu pertanyaan yang menarik
untuk kita simak dari seorang 17.peserta Entrepreneur University angkatan
ketiga di Jakarta beberapa waktu lalu. "Kenapa sih Pak, saya ini kok tak
ada keberanian dalam berbisnis. Rasanya sulit sekali. Apalagi saya cukup punya
duit, keahlian dan ide bisnis. Apa mungkin saya bisa berbisnis?" ujarnya.
Saya yang ditanya soal masalah yang satu ini, sambil bercanda balik bertanya. "Apakah
Bapak ketika masuk kamar mandi juga harus berpikir lebih dahulu satu atau dua
jam sebelumnya?" tanya saya. Dia agak terkejut mendengarnya, Pikirnya kok
aneh pertanyaan saya ini. "Ah ... nggak perlu saya pikir dong, Pak. Masak masuk kamar mandi saya
harus pikir dulu satu atau dua jam sebelumnya. Wah, Bapak ini gimana sih,"
jawabnya bersemangat. Mendengar jawaban spontan itu, serentak peserta yang
sebagian besar ibu rumah tangga, karyawan, pensiunan, dosen, dan bahkan ada
yang bergelar master serta doktor itu tertawa lepas. "Yah, seperti itulah,
kalau kita mau bisnis," jawab saya singkat. "Nggak usah terlalu dipikir-pikir."
Saya berpendapat, kenapa energi kita
habis hanya untuk berpikir dan berpikir terus mau bisnis apa, tapi tidak ada
wujudnya. Saya kira, kalau kita mau bisnis saja sudah terlalu banyak dipikir,
bisa saja bisnis itu tidak akan terwujud. Padahal mungkin kita ada keinginan
jadi pengusaha. Oleh karena itulah, kita harus memiliki keberanian memulai
bisnis apa pun yang kita inginkan. Misalnya saja, ketika kita mau memulai
bisnis tapi menghadapi kendala tak punya modal, Nggak usah bingung pakai
saja jurus BODOL. Apa itu Bodol? Saya singkat dari kata "Berani, Optimis,
Duit, Orang, Lain?" Maksud saya, dalam bisnis kita harus punya keberanian.
Kita harus optimis. Nah, kalau nggak punya duit, kita
bisa `pakai' atau pinjam duitnya orang lain. Saya yakin, asal bisnis kita
jelas, dan punya prospek bagus, pasti ada saja orang yang meminjamkan duit
atau modal pada kita. Pinjam duit pada orang lain untuk bisnis, saya kira
sah-sah saja. Bahkan sering saya menyarankan, walaupun punya duit sebaiknya
jangan dipakai duit sendiri untuk bisnis.
Kalau kita punya duit atau modal,
tapi kita tidak ahli di bidang bisnis yang akan kita jalankan, saya rasa kita
bisa saja pakai jurus BOTOL. Singkatan apa pula ini? Berani, Optimis, Tenaga,
Orang, Lain. Artinya, selain kita tetap memiliki keberanian dan optimis, kita
pun bisa memakai tenaga orang lain atau kita bisa mencari orang yang ahli di
bidangnya, sehingga bisnis kita bisa jalan. Pendeknya tak harus bisnis itu kita
jalankan dengan tenaga sendiri. Kalau ide bisnis pun ternyata tidak punya, maka
jurus BOBOL bisa kita lakukan. Singkatan Berani, Optimis, Bisnis, Orang, Lain.
Jadi, kita harus berani dan optimis dalam melalui bisnis dengan meniru bisnis
orang lain.
Nah, kenapa kita merasa sulit dan
tak berani memulai bisnis, padahal setiap saat kita memiliki keberanian masuk
kamar mandi. Kita masuk kamar mandi tanpa banyak pikir. Kalau lantas airnya
kurang hangat atau terlalu dingin, kita juga bisa mengaturnya. Seperti halnya
bisnis. Kalau bisnis yang kita jalankan kurang berkembang, kita bisa atur. Bisa
kita perbaiki mana yang kurang. Dan kalaupun kita tak punya modal, tak punya
keahlian atau tak punya ide, maka bisa saja memanfatkan kepunyaan orang lain.
Tapi yang penting, bisnis kita tetap jalan. Justru kekurangan bisnis kita di
sana sini akan membuat kita dewasa dalam berbisnis. Jiwa entrepreneur kita pun
akan semakin berkembang.
Oleh karena itu, bagi kita yang mau
memulai bisnis tapi tak punya keahlian, atau mungkin juga tak punya ide bisnis,
saya sarankan coba saja kita menerapkan jurus Bodol, Botol, dan Bobol. Anda
berani mencoba?
Bisnis supermarket atau swalayan,
memang saat ini sedang tren. JJBanyak pihak yang mencobanya. Barangkali bisnis
ini menjanjikan untung besar. Tapi yang jelas, permintaan konsumen akan
kebutuhan pangan dan sandang terus meningkat dan belum bisa dipenuhi oleh
swalayan yang ada.
Sebagai entrepreneur, saya ikut
mencobanya. Saya beri nama Pro Market Swalayan. Saya gulirkan awal Desember
2001 lalu. Sebenarnya, tujuan saya mendirikan Pro Market Swalayan bukan
semata-mata mencari untung atau membuat diri saya 'kaya' secara pribadi. Bukan
itu. Tapi, saya berharap kehadiran Pro Market Swalayan akan menciptakan
'kekayaan' baru, yaitu akan banyak menciptakan lapangan kerja baru.
Pertimbangan lain adalah Pro Market Swalayan bukan semata-mata hanya sebagai
bisnis ritel saja, tapi juga bisnis properti. Adanya Pro Market Swalayan juga
akan menaikan harga properti di sekitarnya. Jadi ada dampak positif pada
lingkungannya. Lihat saja, ketika pagi hari di sekitar jalan Diponegoro sibuk
dengan kegiatan perkantoran, perbankan, dan bisnis lainnya, tapi begitu malam
tiba, suasana jalan di pusat kota Yogyakarta ini terlihat sepi, seolah tak ada
kegiatan bisnis sekalipun masih terlihat sejumfah pedagang kaki lima.
Atas pertimbangan itulah, yang
menguatkan tekad saya dan memberikan keyakinan bahwa saat sekarang inilah saya
perlu mencoba bisnis ritel ini. Apalagi, saya melihat, belum ada Swalayan besar
di sekitar jalan P. Diponegoro Yogyakarta. Nah begitu, saya buka Pro Market,
ternyata suasana jalan ini di malam hari menjadi `hidup'. Jalan menjadi lebih
ramai, dan saya yakin akan memancing pengusaha lain untuk ikut meramaikan
dengan bisnis-bisnis lainnya.
Peluang bisnis ritel ini memang
masih menganga. Keuntungannya sangat menantang, tak kalah dibandingkan dengan
bisnis lainnya. Tapi, lantaran bisnis ini bagi saya masih relatif baru, maka
ketimbang buntung, saya lebih baik mencari mitra bisnis yang profesional di
bidangnya. Sebab, bagaimanpun, kalau bisnis ini dikelola secara profesional tak
mustahil akan menjadi core business baru dalam kelompok bisnis grup Primagama. Sekalipun sesungguhnya bisnis
ini tak mudah, namun berbekal optimisme saya yakin, Pro Market Swalayan akan
berkembang.
Terus terang, optimisme itulah yang
membuat saya yakin semakin percaya diri. Semula saya tak yakin bisnis baru ini
muncul, karena saya tak punya pengalaman. Tapi berbekal pengalaman saya membuka
restoran Padang Prima Raja, yang juga sama sekali tak ada pengalaman tapi
akhirnya berhasil saya wujudkan, maka jiwa entrepreneur saya pun bergerak juga
untuk mewujudkan swalayan ini. Dan, akhirnya terwujud juga. Sekalipun untuk
suksesnya bisnis ini, waktu jualah yang akan membuktikannya.
Memang, seusai membuka bisnis ritel
pertama ini saya sempat diledek oleh teman-teman pengusaha maupun relasi
lainnya. "Mau bikin apa lagi?" tanya mereka. Mendengar pertanyaan
itu, saya tersenyum. Tapi yang jelas, dalam benak saya sesungguhnya masih
banyak mimpi lain yang belum terwujud sampai sekarang ini. Misalnya, ingin
punya hotel. Tapi terkadang muncul keinginan lain yaitu punya stasiun televisi
swasta. Dan tiba-tiba ada keinginan lain lagi, yaitu punya lapangan golf.
Tapi itu semua merriang baru mimpi,
boleh, 'kan? Saya kira, begitu juga Anda pasti punya mimpi yang tinggi. Namun
yang terpenting dari semua ini adalah sebagai pengusaha kita ingin menciptakan
banyak lapangan kerja dengan kita mengembangkan bisnis.
Ada satu petuah bisnis menarik yang diajarkan Robert T.
Kiyosaki, penulis buku "Rich Dad, Poor Dad", yang jadi best
seller. Petuah itu bunyinya, "Setelah kita sukses membangun
bisnis maka jangan lupa beli properti. Selain kita punya penghasilan dari
bisnis yang kita jalankan, kita juga akan mendapat untung dari gain kenaikan
nilai properti itu." Saya kira, Kiyosaki benar. Petuah itu sebenarnya
merupakan kata kunci yang menjadi sebab, mengapa orang kaya makin kaya. Oleh
karena orang kaya yang cerdas selalu membeli properti yang setiap waktu akan
terus berlipat nilainya, itulah yang membuatnya semakin kaya.
Namun, jauh sebelum membaca buku itu, sebagai
entrepreneur saya sudah mempraktikkan ajaran itu sejak dulu. Oleh karena itu,
ada petuah tambahan yang bisa saya berikan untuk Anda dalam membeli properti,
dari hasil keuntungan dari sukses bisnis yang Anda bangun. Dalil bisnisnya
berbunyi, "Kalau Anda berniat membeli properti, janganlah sesuai kemampuan
dana yang tersedia. Bahkan lebih baik belilah properti dengan utang bank. Oleh
karena semakin sedikit uang yang Anda keluarkan untuk membeli properti, semakin
besar keuntungan Anda."
Jelasnya, kalau kita punya dana Rp400 juta janganlah
membeli properti pas senilai dana yang kita punya. Bukankah membeli properti
tidak harus tunai. Bisa dengan cara kredit.
Jadi sebaiknya pecahlah Rp400 juta Anda untuk 4 properti, misalnya
masing-masing cukup Anda bayar uang muka pembeliannya besar Rp100 juta, sisanya
Rp300 juta dari bank. Nah, kalau Anda hanya membeli satu properti senilai Rp400
juta, maka lima tahun kemudian Anda hanya akan menerima keuntungan berlipat-nya
harga dari satu properti saja. Tapi kalau empat properti, lima tahun kemudian
satu properti Anda yang semula Rp400 juta telah berlipat menjadi Rp2 miliar.
Sehingga 4 properti menjadi 8 miliar.
Barangkali Anda bertanya, mengapa
membeli properti dengan utang lebih menguntungkan? Ada baiknya kita simak saran
bisnis dari Dolf De Roos, konsultan ayah kaya Robert T. Kiyosaki. Dalam
bukunya, "Real Estate Riches" Dolf menulis, "Saya tidak membeli
properti untuk membeli tanahnya, karena itu tidak produktif. Saya tidak membeli
properti untuk membangun gedung karena butuh maintenance. Dan, saya tidak membeli properti untuk disewakan karena butuh manajemen.
Alasan terkuat saya membeli properti adalah untuk mendapatkan utang. Alasanya
sederhana, "Jumlah utang selalu sama, tapi nilai aset terus
melambung."
Dengan memetik petuah bisnis
tersebut, saran saya, kita sebaiknya jangan takut berutang ke bank kalau untuk
membeli properti. Ubahlah mindset, bahwa utang akan
mengundang masalah bagi Anda. Memang untuk belajar memupuk rasa percaya diri
dalam berutang bolehlah memulai dengan nilai kecil. Tapi, sekali Anda berhasil
bukan Anda yang mencari utang ke bank, tapi sebaliknya bank yang justru akan
mencari Anda supaya mengambil utang.
Tak salah kalau lantas muncul canda
di kalangan entrepreneur bahwa, "Kalau Anda hanya berani utang Rp50 juta,
Andalah yang punya masalah. Tapi kalau Anda sudah berani utang Rp50 miliar,
bank yang akan punya masalah. Percayalah, semakin sering kita berani utang,
maka bank akan semakin percaya pada bisnis kita." Anda berani mencoba?
Ada sebuah referensi menarik yang
pernah saya baca, bahwa I-ikebanyakan bisnis di negara barat,
khususnya Amerika, adalah bisnis keluarga. Hanya saja, bisnis semacam itu bisa
jadi besar atau jadi satu kekuatan ekonomi, asal saja ada kekompakkan dalam
keluarga.
Selain itu, mereka juga harus
memiliki jiwa entrepreneur. Memang tujuan paling urgent bagi bisnis keluarga
adalah dapat menghasilk'an keuntungan, dan memberikan yang terbaik bagi
anak-anaknya.
Saya akui, memang ada kekuatan dan
kelemahan dari bisnis keluarga. Kekuatannya, yaitu ada suatu kepercayaan lebih
pada keluarga itu sendiri dibandingkan pada orang lain. Dan, jika pemilik atau
anggota keluarga bisa melayani langsung pada pelanggan atau konsumen tentu
mereka akan merasakan pelayanan khusus.
Sementara, kelemahannya adalah
bisnisnya akan terganggu jika ada masalah keluarga masuk dalam operasional
bisnis. Sebab, bagaimanapun yang namanya bisnis keluarga, tentu banyak
berkaitan dengan emosi, perlakuan, keamanan, di samping soal produktivitas,
keuntungan dan pencapaian tujuan bisnis itu sendiri.
Contohnya, ada pasangan suami istri
jadi pengusaha. Maka, bisnis mereka akan berhasil jika mereka bisa jadi partner
bisnis yang baik. Tapi jika tidak, pengalaman yang menyakitkan akan mereka
alami.
Menurut pakar entrepreneurship,
Charles Kuehl, kelemahan suami istri yang sama-sama pengusaha itu, yaitu mereka
akan terlalu sering bersama-sama. Perbincangan di rumah kerap kali didominasi
masalah bisnis. Jika terjadi perceraian, mengakibatkan suramnya bisnis mereka.
Sedangkan keuntungannya adalah
pasangan keluarga ini biasa-nya dapat bekerja lebih lama untuk bisa membuat
bisnisnya sukses. Dan mereka juga dapat berganti shift berjaga di rumah dan di
kantor.
Lantas bagaimana jika dalam bisnis
tersebut anak-anak mereka juga ikut serta? Saya rasa, hal ini sah-sah saja.
Oleh karena hal itu sudah merupakan bagian dari hidup mereka. Meski ada juga
pakar yang berpendapat, bahwa bisnis seperti itu kerap kali tak bisa berkembang
dengan baik bila telah dimiliki oleh generasi kedua.
Menurut saya, kemungkinan itu
terjadi kalau generasi kedua tadi memang tak memiliki jiwa entrepreneur. Atau
karena mereka memang tak ingin berada di bawah bayang-bayang kesuksesan orang
tuanya.
Oleh karena itu, menurut saya, tidak
ada masalah jika kita ingin mengembangkan bisnis keluarga, asal saja tetap ada
kekompakkan dan jiwa entrepreneur yang terus dikembangkan. Apalagi, bisnis
keluarga ini mempunyai fleksibilitas tinggi, terutama dalam operasional
bisnisnya.
Namun, bagaimanapun kita harus
menyadari, bahwa bisnis keluarga itu ada kelemahannya, dan bagaimana kita bisa
menutupinya. Tapi saya yakin, jika kita menjadi entrepreneur sejati pasti akan
mampu mempertimbangkan, mana yang terbaik untuk dipilih demi masa depan bisnis
keluarga.
Jika anak kita ingin bisnis seperti
profesi yang digeluti orang tuanya, bagaimana sebaiknya sikap kita sebagai
orang tua menghadapi hal itu. Apakah kita apriori atau ingin ikuti saja
keinginannya. Saya rasa, kasus ini tak sedikit dialami kalangan pengusaha,
termasuk saya sendiri, yaitu ketika anak saya yang masih duduk di bangku SMP
juga punya keinginan jadi pengusaha Warnet.
Menurut saya, hal itu wajar terjadi,
karena barangkali anak kita sudah terbiasa dengan atmosfer bisnis. Meski, tak
sedikit pula anak pengusaha yang sama sekali tidak ingin bercita-cita jadi
pengusaha, karena dia tahu ayahnya sangat sibuk. Sedangkan, untuk mendidik
sendiri pun tidak mudah. Masalahnya, adalah faktor kedekatan emosional sangat
besar, dan itu terkadang menjadi kendala perkembangan anak itu sendiri.
Sementara itu, saya melihat belum
adanya sekolah yang bisa menyiapkan seseorang jadi pengusaha. Sehingga, jika
anak kita ingin jadi pengusaha, maka dirasa perlu ada orang lain yang kita
percaya untuk menjadi pembimbingnya atau mentornya.
Hanya, di dalam kita melibatkan
mentor dari keluarga, tetap harus direncanakan dengan baik. Dan, agar berhasil,
menurut Patricia Schiff, kolumnis di "Entrepreneur Magazine", kita
harus memperhatikan faktorfaktor di bawah ini.
Faktor pertama, kita harus tahu
siapa orang yang menjadi mentornya. Memiliki keterampilan dan dapat memberikan
bimbingan, memang merupakan syarat utama. Dan kita sebagai orang tua,
semestinya harus lebih dulu percaya sebelum mentor tersebut kita libatkan di
dalam membimbing anak kita.
Faktor kedua, apa yang harus kita
ketahui pada mentor. Artinya sebelum mentor dari luar keluarga itu menentukan
aturan-aturan dalam memberikan bimbingan, sebaiknya kita perlu menjelaskan
pada mentor tersebut, apa saja yang menjadi ruang geraknya, dan apa saja yang
menjadi tanggung jawabnya. Misalnya saja, dia harus dapat mendidik sikap
disiplin pada anak kita.
Faktor ketiga, adalah apa saja yang
tidak boleh dilakukan mentor, Misalnya, dia tidak semestinya mencoba melakukan
"sabotase" pada proses mentoring itu sendiri. Sebab, sebenarnya inti
dari mentoring adalah bagaimana memberikan masukan bagi kemampuan anak kita di
bidang bisnis. Sehingga proses tersebut nantinya, akan menjadikan anak kita
lebih matang dalam bisnis.
Oleh karena itulah, saya kira,
program mentoring semacam itu sebaiknya kita rencanakan untuk jangka waktu
terbatas, 5 atau sampai 10 tahun. Sebab, saat inilah, kita sebagai pengusaha
akan pensiun atau istirahat. Sementara, anak kita di saat itu telah siap
menjadi pengusaha.
33
Setelah Pensiun, Mau Apa?
Rasanya memang bahagia, setelah kita
sudah tahu bahwa kita pensiun dengan dapat uang pensiunan. Apalagi kalau uang
pensiunan kita itu gede jumlahnya. Singkatnya, tidak berkerja pun kita dapat
duit. Kita tinggal ambil bunga dari deposito yang kita miliki di bank.
Tapi berdasarkan pengalaman
teman-teman yang baru pensiun dan kini mengikuti pendidikan entrepreneurship,
Entrepreneur University, katanya pensiun itu enaknya hanya tiga bulan.
Mengapa? Yah, karena kegiatan kita setiap hari banyak dihabis-kan dengan
bangun-tidur, nonton N, bercanda dengan cucu, dan lain-lain. Habis mau apa
lagi, karena memang tak ada kegiatan. Tanpa kerja pun kita nggak pusing,
sementara duit masih cukup di bank. Semula pikirnya, duit adalah
segala-galanya. Namun ter-nyata yang banyak kita jumpai di lapangan, mereka
merasakan enaknya masa pensiun itu hanya tiga bulan. Setelah itu menurut
pengakuannya, mereka menjadi stres. Oleh karena nggak ada kegiatan dan waktunya habis di rumah untuk bersantai
ria. Padahal, sebelumnya mereka terbiasa bekerja. Akibatnya setelah pensiun
pikirannya jadi sumpek, jenuh, dan stres.
Menurut saya, sebaiknya jika kita
sudah pensiun, tak ada salahnya kita punya berbagai kegiatan. Di antaranya,
kita bisa aktif di organisasi sosial, aktif di organisasi keagamaan, terjun
dalam dunia bisnis. Dan, mungkin justru di
saat itulah kita belajar memulai usaha. Kita bisa meniru semangat wirausaha
Kolonel Sanders, yang di saat di usia 62 tahun dia nekad buka usaha Kentucky
Fried Chicken. Artinya, faktor usia itu bukanlah menjadikan masalah bagi kita
untuk belajar memulai usaha. Usia bukanlah menjadi penghalang untuk menjadi
lebih sukses, sekalipun sebelumnya kita sudah banyak pengalaman menjadi
karyawan atau sebagai profesional. Pendeknya, para pensiun belum terlambat
untuk memulai usaha.
Memang ada pensiunan yang bercerita
pada saya, bahwa seusai ia menjalankan pensiun, yang muncul dalam benaknya
hanyalah memikirkan akhirat saja. Saya kira wajar. Tapi, setelah mengikuti
pendidikan Entrepreneur University (EU) atau setelah terkena virus
entrepreneur, dia tidak hanya berpikir akhirat saja, tapi kepentingan dunia pun
juga ikut dipikirkan, yaitu misalnya dengan jalan berwirausaha.
"Saya ikut kuliah sebenarnya
juga untuk memberikan contoh pada anak saya, ini Iho walaupun bapak sudah
pensiun tapi tetap mau belajar berwirausaha," katanya. Bahkan tak hanya
itu saja, menurut pengakuannya, setelah kuliah lagi di EU semangat hidupnya
berani bergairah. Apalagi masuk EU tak ada tes, dan tak ada ujian. "Hidup
saya ini betulbetul bergairah. Itu karena sentuhan jiwa entrepreneur pada diri
saya," tambahnya. Padahal ketika pertama kali masuk EU tidak punya usaha
sama sekali, tapi kini setelah terkena virus entrepreneur, dia sudah punya tiga
unit usaha.
Saya kira, masih banyak contoh para
pensiunan yang semula tak bersemangat lagi beraktivitas, kini saya melihat
mereka sudah ada yang mulai aktif berwirausaha dengan membuka rumah makan,
bisnis warnet, bisnis jasa pendidikan, percetakan buka bisnis design grafis,
dan lainlain. Oleh karena itulah, saya mengajak para pensiunan, yuk kita
mencoba berani berwirausaha. "Usia boleh tua, tapi semangat berwirausaha
tetap muda." Anda berani mencoba?
.
O
|
rang Jawa punya
idiom tepat untuk melukiskan pentingnya kecerdasan emosional dalam melakukan
sesuatu untuk mewujudkan sebuah keinginan atau impian. Ngundung, artinya melakukan suatu tindakan dengan keteguhan
hati. Jadi, kalau kita sudah ngundung, sesuatu yang kita yakini bakal tercapai dengan
mengedepankan intuisi atau optimisme dalam bertindak akan membuat sesuatu yang
semula kita angankan benar-benar menjadi kenyataan atau cepat terwujud.
Kebiasaan untuk
selalu ngundung sangat penting bagi seorang entrepreneur dalam memulai atau mengembangkan
bisnis. Oleh karena dengan demikian seorang entrepreneur akan lebih sering
memaksimalkan peran otak kanannya ketimbang hitungan-hitungan rasional yang
hanya membuat kita mandeg dan takut
melangkah. Kembali dalam budaya Jawa ada pepatah, rawe-rawe rantas, malang-malang
tuntas, yang boleh
ditafsirkan bahwa jika kita sudah yakin pada pilihan dan langkah kita dalam
hidup, apa pun yang terjadi untuk mencapainya kita harus bersikap optimis maju
terus pantang mundur.
Dengan
mengedepankan kecerdasan emosi kita dan lebih menggunakan otak kanan, kita
akan menjadi orang yang pemberani, karena memang hanya orang pemberani ayng
sukses menjadi entrepreneur. Sejak kita sekolah, kita cenderung diarahkan
selalu menggunakan otak kiri dan kita pun terbentuk menjadi pribadi yang selalu
berpikir lurus dan serba linear, urut. Sehingga, meskipun pandai, kita tidak
akan pernah jadi orang yang berani, selalu berhitung dan selalu takut
melangkah.
Yang pasti,
keberanian seorang entrepreneur untuk membuka usaha itu sama dengan keberanian
menghadapi risiko. Kalau kita selalu berhitung dan mengedepankan otak kiri, risiko
akan selalu dilihat sebagai bahaya, karena itu harus dijauhi, tapi kalau dengan
pandangan otak kahan, maka risiko justru sebuah peluang meraih rezeki. Oleh
karena itu harus didekati. Risiko besar maka peluang rezekinya pun besar, tapi
kalau risikonya kecil jelas rezekinya pun kecil, itu hal yang pasti.
M
|
engapa kecerdasan emosional seorang entrepreneur juga
saya ungkap dalam buku ini? Itu karena, saya sendiri ikut merasakan, bahwa
kesuksesan bisnis memang sangat berkaitan langsung dengan kecerdasan emosi
entrepreneurnya. Maka, tak ada salahnya kalau faktor kecerdasan emosional itu
perlu kita ke depankan. Bahkan, itu mutlak kita miliki. Hal itu, saya pikir
juga merupakan langkah tepat di dalam setiap kita ingin meraih keberhasilan
bisnis, juga dalam kehidupan sehari-hari.
Orang yang pertama mengenalkan kecerdasan emosional
adalah Daniel Goleman. Dalam bukunya "Emotional Intelligence" atau
EQ, ia mengungkapkan, bahwa ada 5 wilayah kecerdasan emosi yaitu: mengenali emosi
diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenal emosi orang lain, dan
membina hubungan. Artinya, jika kita memang mampu memahami, dan melaksanakan
kelima wilayah utama kecerdasan emosi tersebut, maka semua perjalanan bisnis
apa pun yang kita lakukan akan lebih berpeluang berjalan mulus.
Harus dipahami, bahwa ada perbedaan antara kecerdasan
emosional dengan kecerdasan intelektual (IQ). Goleman mengungkapkan, bahwa
kecerdasan intelektual itu sesungguhnya merupakan keturunan seseorang yang
tidak dapat diubah, karena pembawaan sejak lahir. Sedang
kecerdasan emosional tidak demikian.
Saya sendiri sependapat dengan Goleman, yang akhirnya menyimpulkan, bahwa
kecerdasan emosional adalah merupakan jembatan antara apa yang kita ketahui,
dan apa yang kita lakukan. Dengan semakin tinggi kecerdasan emosional, kita
akan semakin terampil melakukan apa pun yang kita ketahui benar.
Saya yakin, entrepreneur yang
memiliki kecerdasan emosional optimal, akan lebih berpeluang mencapai puncak
keberhasilannya. Sosok semacam ini sangat kita perlukan guna membangun
masyarakat entrepreneur Indonesia. Entrepreneur yang memiliki kecerdasan
emosional optimal, akan tetap menganggap, bahwa krisis itu adalah sebuah
peluang.
Itulah sebabnya mengapa entrepreneur
itu harus tetap jeli dalam memanfaatkan emosinya. Sebaliknya, jika seseorang
secara intelektual cerdas, kerapkali justru bukanlah seorang entrepreneur yang
berhasil dalam bisnis dan kehidupan pribadinya. Dia harus yakin, bahwa di dalam
dunia bisnis saat ini maupun di masa mendatang, kecerdasan emosional akan lebih
tetap berperan.
Maka dengan memiliki kecerdasan
emosional yang optimal, akan lebih bisa mentransformasikan situasi sulit.
Bahkan, kita juga semakin peka akan adanya peluang entrepreneur dalam situasi
apa pun. Kalau kita memiliki kecerdasan emosional yang optimal, saya yakin akan
mampu mengatasi berbagai konflik.
Orang yang benar-benar
mengoptimalkan EQ, akan lebih jeli dalam melihat sebuah peluang. la akan lebih cekatan dalam bertindak dan lebih punya
inisiatif. Atau, ia pun akan lebih siap dalam melakukan negosiasi bisnis. Lebih
mampu melakukan langkah strategi bisnisnya, memiliki kepekaan, daya cipta, dan
komitmen yang tinggi. Bahkan, ada pakar yang mengungkapkan, bahwa keberhasilan
seseorang dalam bidang bisnis, 80% ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya.
Banyak orang yang sukses menjadi
entrepreneur meski nilai akademiknya sedang-sedang saja. Hal ini disebabkan,
mereka yang lulus dengan nilai sedang itu sebagian besar memiliki kecerdasan
emosional optimal. Lantaran kecerdasan emosional yang optimal inilah yang
justru mendorongnya untuk menjadi entrepreneur yang kreatif. Contohnya adalah
Bill Gates, seorang supermiliader di Amerika Serikat. Dia adalah pemilik
perusahaan perangkat lunak Microsoft. Saat Bill Gates kuliah di Harvard
Business School, ia merasa tidak mendapat pengetahuan apa-apa. Akhirnya ia
putuskan berhenti kuliah. Namun meski drop-out dari Harvard, Bill dikenal
sebagai penyumbang dana terbesar bagi universitasnya.
Hal yang sama juga terjadi pada
Steven K. Scout. Saat ini dia dikenal sebagai miliader di Amerika Serikat.
Ketika masih di sekolah, Steven tidak pintar. Dia tidak populer di sekolahnya.
Namun, sekarang Steven berhasil menjadi pengusaha yang bergerak di bidang
bisnis pemasaran nomor satu di Amerika Serikat.
Saya yakin, entrepreneur itu memang
perlu kecerdasan emosional yang optimal. Nilai akademis saat studi tidak harus
tinggi. Sulit bagi seseorang untuk menjadi entrepreneur, meski memiliki
kecerdasan intelektual tinggi, tetapi kecerdasan emosionalnya rendah. Lantas,
apakah Anda ingin memiliki kecerdasan emosional yang optimal? Itu bisa
dipelajari, dilatih, dan bisa dikembangkan. Oleh karena semuanya itu proses
yang membutuhkan waktu, ketekunan, dan semangat tinggi. Berani mencoba?
Silakan.
E
|
mosi bisnis bagi entrepreneur sangat penting perannya.
Apalagi, dalam mengatasi tantangan persaingan bisnis di Milenium ketiga ini.
Oleh karena, emosi memicu kreativitas inovasi kita. Emosi juga meng-aktifkan
nilai-nilai etika, mendorong atau mempercepat penalaran kita dalam berbisnis.
Bahkan tak hanya itu, emosi juga akan memotivasi kita, dan membuat kita nyata
dan hidup.
Saya setuju dengan pendapat Josh Hammond, bahwa emosi
adalah sesuatu yang punya makna penting bagi perusahaan. Menurutnya, emosi
adalah pengorganisasi yang hebat dalam bidang pikiran dan perbuatan. Dan
meskipun demikian, emosi tidak dapat dipisahkan dari penalaran dan
rasionalitas.
Pendapat hampir serupa diungkapkan Robert K. Cooper yang
mengatakan, bahwa pada umumnya, emosi lebih jujur dari pada pikiran atau
nalar. Menurutnya, emosi juga memiliki kedalaman dan kekuatan, sehingga dengan
bahasa Latin, misalnya, emosi dikatakan sebagai motus anima, yang artinya
"jiwa yang menggerakkan kita".
Mengapa saya melukiskan gambaran begitu, terutama bagi
seorang entrepreneur yang setiap harinya selalu menghadapi tantangan di dalam
menggeluti bisnisnya? Itu karena, selama ini kita mungkin belum menyadari atau menghargai secara sebenarnya makna
penting emosi itu sendiri.
Kita lebih menangkap pengertian
emosi dari makna konvensional. Sehingga, emosi dianggap sebagai lambang
kelemahan, bahkan tak boleh ada dalam bisnis, harus dihindari, dan
membingungkan. Kita juga cenderung suka menghindari orang yang emosional, hanya
pikiran yang diperhatikan dan suka menggunakan kata-kata tanpa emosi.
Tidak hanya itu, emosi juga
dikatakan mengganggu penilaian yang baik, mengalihkan perhatian kita, tanda
kerentanan, menghalangi mekanisme kontrol, memperlemah sikap-sikap yang sudah
baku, menghambat aliran data objektif, merumitkan perencanaan manajemen, dan
mengurangi otoritas.
Padahal, emosi itu sendiri menurut
Cooper adalah sumber energi. Sementara rekannya, Voltaire berpendapat emosi
adalah "bahan bakar". Sehingga, berbisnis tanpa disertai dengan
emosi, seolah tanpa ada gairah. Saya sendiri juga merasakan hal yang seperti
itu.
Hal itu juga akan membuat kita tak
lagi memiliki keberanian berwirausaha, apalagi bersaing, Padahal, dunia bisnis
penuh persaingan. Mereka yang bisa eksis usahanya adalah mereka yang menang
dalam persaingan. Maka tak ada salahnya, kita harus pandai-pandai mengerahkan
sumber energi ini dalam kehidupan, termasuk di dalam bisnis kita.
Sebenarnya, telah banyak studi yang
mengungkapkan, bahwa emosi penting sebagai "energi pengaktif" untuk
nilai-nilai etika, misalnya kepercayaan, integritas, empati, keuletan, dan
kredibilitas serta untuk modal sosial. Hal tersebut dapat berupa kemampuan
membangun dan mempertahankan hubungan-hubungan bisnis yang menguntungkan, serta
didasarkan pada saling percaya.
Saya yakin, wirausahawan atau
entrepreneur akan lebih minat ke sesuatu yang punya makna penting daripada
makna konvensionl. Oleh karena, seorang wirausahawan adalah seseorang yang
memiliki visi bisnis, dan selalu ingin mengubahnya menjadi realita bisnis.
Dia tahu, bahwa mengubah visi
menjadi realita lebih berupa kerja keras daripada nasib baik. Begitu juga
halnya dengan emosi. Bukan lambang kelemahan, tapi dianggapnya sebagai lambang
kekuatan dalam bisnisnya. Sehingga, meski persaingan bisnis di era milenium
ketiga bakal ketat, namun dia akan tetap terus bergerak maju.
H
|
asil penelitian Daniel Goleman,
pengarang "Emotional Intelligence", itentang otak dan ilmu perilaku
yang dimuat "The New York Times", menarik untuk dikaji. Dikatakannya,
sesungguhnya kita memiliki 2 otak, satu yang berpikir (otak berpikir) dan satu
yang merasakan (otak emosional). Biasanya, otak berpikir itu kita sebut otak
kiri, dan otak emosional kita sebut otak kanan. Maksudnya, apa-apa yang kita
ketahui ada di otak berpikir, dan apa-apa yang kita rasakan ada di otak
emosional. Saya kira, dikotomi emosional dengan berpikir kurang lebih sama
dengan istilah "hati" dengan "kepala".
Sebenarnya mana yang lebih dulu
terjadi? Menurut penelitiannya itu, Goleman menyebutkan, bahwa otak emosional
ternyata terjadi lebih dulu sebelum otak berpikir. Lantas, sebenarnya apa segi
manfaat yang bisa kita petik dari penelitiannya itu, khususnya bagi kita yang
bergerak di dunia usaha?
Saya kira, penelitian ini
mengingatkan kita, bahwa di dalam kita menggeluti dunia usaha, sebaiknya bisa
menyelaraskan antara otak berpikir dengan otak emosional. Keselarasan kedua
otak itu bagi kita sangat dibutuhkan, terutama di dalam kita mengambil
keputusan penting dalam bisnis. Keselarasan itu akan membuat kita lebih tepat
dan bijaksana dalam mengambil keputusan bisnis terlebih di
saat persaingan bisnis seperti sekarang ini yang kerap kali menghadapkan kita
kepada rentetan pilihan-pilihan cukup banyak.
Apalagi, kedua otak tersebut, yang emosional dan yang
berpikir, pada umumnya bekerja pada keselarasan yang erat, saling melengkapi,
saling terkait di dalam otak. Di mana, emosi memberi masukan dan informasi
kepada proses berpikir atau pilciran rasional. Sementara pikiran rasional
memperbaiki dan terkadang memveto masukan emosi tersebut.
Tapi sebaliknya, jika saja keduanya tak ada keselarasan
atau katakanlah otak emosionallah yang dominan serta menguasai otak berpikir,
maka keseimbangan kedua otak itu akan goyah. Kita akan cenderung tidak bisa
berpikir jernih, suka bertindak gegabah dan sering melakukan kesalahan fatal
dalam setiap mengambil keputusan penting dalam bisnis. Kalau dominan otak
berpikir, maka kita hanya sekadar bersikap analitis, dan mengambil tindakan
tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain. Akibatnya menimbulkan hilangnya
kegairahan dan antusiasme bisnis.
Oleh karena itu, kita jangan sampai kehilangan
keselarasan kedua otak tersebut. Sebab, seperti juga yang ditegaskan oleh Dr.
Damasio, seorang ahli neurologi, bahwa perasaan atau emosi biasanya sangat
dibutuhkan untuk keputusan rasional. Otak emosional kita akan menunjukkan pada
arah yang tepat. Maka, adalah tindakan yang tepat, jika mulai sekarang kita
bisa mengatur emosi kita sendiri.
Dalam konteks ini, saya berpendapat dengan pakar
manajemen, Dr. Patricia Patton. Yang mengatakan, bahwa untuk mengatur emosi,
kita bisa melakukan dengan cara belajar, yaitu: Pertama, belajar mengidentifikasi
apa yang biasanya memicu emosi kita dan respons apa yang bisa kita berikan. Kedua, belajar dari kesalahan,
belajar membedakan dalam segala hal di sekitar kita yang dapat memberikan
pengaruh dan yang tidak memberikan pengaruh pada diri kita. Ketiga, belajar
selalu bertanggung jawab terhadap setiap tindakan kita. Keempat, belajar
mencari kebenaran, belajar memanfaatkan waktu secara maksimal untuk menyelesaikan
masalah, dan kelima, belajar menggunakan kekuatan sekaligus kerendahan hati.
Saya sendiri juga merasakan, bahwa
dampak positif dari terciptanya keselarasan kedua otak itu juga akan
memunculkan tindakan-tindakan produktif, membuat kita semakin mantap dalam
berbisnis, dan pada akhirnya akan berdampak positif bagi kemajuan bisnis kita.
Singkatnya, keselarasan itu sangat
berkaitan dengan pemberdayaan diri kita. Di mana, kita mesti bisa mengontrol
diri, dan menggunakan akal sehat. Dan, tentu saja, keselarasan itu tidak akan
berwujud kalau kita masih juga memegang teguh sifat mementingkan diri sendiri.
Sehingga, seorang wirausahawan yang bisa menyelaraskan otak berpikir dan otak
emosional, akan sangat mungkin lebih berhasil dalam bisnisnya. Boleh jadi
peluang menjadi wirausahawan yang kompeten, bernilai, profesional, dan bahagia
akan lebih bisa dicapai. Meski tak mudah kita menyelaraskan kedua otak
tersebut, tapi saya yakin, kita harus berani mencobanya.
U
|
paya mencerdaskan atau memberdayakan
otak kanan itu saya i,Arasakan semakin hari semakin penting. Baik itu untuk
kepentingan kehidupan kita sehari-hari, maupun kegiatan bisnis. Hanya saja,
bagaimana sebaiknya cara kita mencerdaskan otak kanan itu? Serta, latihan apa
yang perlu kita lakukan?
Saya kira, sebaiknya kita bisa
melakukan hal-hal berikut. Pertama, kita harus lebih banyak menyukai kegiatan
atau hobi di alam terbuka. Misalnya: berenang, memancing, bersepeda,
berjalan-jalan, lari-lari, berkemah, atau hiking. Kegiatan ini dapat
mencerdaskan otak kana.n. Kedua, melatih diri untuk berpikir divergen atau
menyebar, loncat-loncat, bukan linier, berpikir yang aneh-aneh, dan suka humor.
Sehingga, kita akan lebih mudah menemukan ide-ide kreatif.
Ketiga, mengaktifkan kemampuan bawah
sadar kita. Latihan sederhana, misalnya bisa kita lakukan yaitu: di saat kita
menerima pelajaran, mata dalam keadaan terpejam, atau mendengarkan radio sambil
memejamkan mata tetapi tidak tidur.
Keempat, bisa lewat pendekatan
religius, misalnya yang saya alami sendiri, yakin melakukan dzikir dalam hati.
Dzikir dalam hati dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja. Dzikir itu akan membuat
sesuatu itu terjadi. Sementara, intuisi yang tajam akan menunjukkan sesuatu itu
terjadi. Cara lain yaitu dengan melakukan sholat malam, atau Tahajjud, dan
shalat minta petunjuk atau Istikharah. Puasa juga dapat mencerdaskan otak
kanan.
Berdasarkan pengalaman di dalam
pelatihan kewirausahawan, saya berkal-kali mencoba melakukan tes indikator
minat otak pada peserta pelatihan. Ternyata mereka umumnya lebih dominarl otak
kiri. Itu karena, selama mereka menuntut ilmu sejak masuk SD sampai perguruan
tinggi, yang dicerdaskan hanya otak kiri.
Dalam konteks ini, jika kita ingin
mencerdaskan otak kanan, maka otak kiri otomatis semakin cerdas. Sebaliknya,
jika otak kiri yang dicerdaskan, otak kanan tidak otomatis tambah cerdasnya.
Sebab, otak kanan berkaitan dengan munculnya gagasan-gagasan baru, gairah, dan
emosi.
Sementara, otak kiri sangatlah
berkaitan dengan hal-hal yang logis, linier, dan rasional. Namun, itu bukan
berarti peran otak kiri diabaikan begitu saja. Otak kiri, saya kira tetap
penting. Memang, ada saatnya seorang entrepreneur itu harus bisa menyeimbangkan
pemanfaatan otak kanan dan otak kirinya.
Oleh karena itu, sebagai seorang
entrepreneur, maka kita harus terus berusaha mencerdaskan otak kanan, selain
bermanfaat mempertajam intuisi kita, juga akan meningkatkan daya kreativitas
kita. Kita lebih percaya diri, dan optimis dapat memenangkan persaingan bisnis.
Saya kira tidak hanya itu saja. Kita
pun akan lebih jadi sabar dan tabah di dalam setiap menghadapi berbagai cobaan
hidup maupun bisnis. Kita akan merasa lebih nyaman dengan hal-hal yang kita
lakukan, dan tak mustahil laju keberhasilan bisnis kita bakal meningkat.
O
|
tak kanan memang makin menjadi
penting saat ini. Bukan karena kita "sirik" otak kiri, tetapi karena
betul-betul dirasakan kebutuhannya, khususnya oleh entrepreneur. Terlebih
lagi, karena ilmu manajemen yang selama ini ada, yang lebih didasarkan logika
dan rasional, ternyata tidak selamanya mampu mengatasi setiap persoalan bisnis.
Dan, mengapa harus otak kanan? Oleh
karena, di otak kanan itulah sarat dengan hal-hal yang sifatnya eksperimental,
divergen, bukan penilaian, metaforikal, subjektif, nonverbal, intuitif,
diffuse, hollstic, dan reseptif. Sementara kita sadar, otak kiri cenderung
bersikap objektif, presisi, aktif, logioal, verbal, penilaian, linier,
konvergen, dan numerical. Padahal, jika kita mampu memberdayakan otak kanan,
maka ada kecenderungan akan mampu menyelesaikan setiap masalah dalam bisnis,
bila dibandingkan kalau kita dengan hanya mengandalkan otak kiri.
Dengan kita mampu memberdayakan otak
kanan. Maka setiap memecahkan persoalan dalam bisnis, kita pun akan dapat
melihat secara keseluruhan, dan kemudian memecahkan berdasarkan firasat,
dugaan, atau intuisi. Intuisi ini adalah kemampuan untuk menerima atau
menyadari informasi yang tidak dapat diterima oleh kelima indra kita.
Tampaknya ada yang khawatir dengan intuisi, karena mereka
pikir intuisi bisa menghalangi pemikiran rasional. Sebenarnya intuisi justru
berdasarkan pada pemikiran yang rasional dan tidak dapat berfungsi tanpanya.
Saya sependapat dengan Robert Bernstrin, yang menyatakan, bahwa hanya intuisi
yang dapat melindungi kita dari orang-orang paling berbahaya, orang-orang yang
tidak mampu bekerja dan cuma pinter ngomong.
Lalu? Seorang entrepreneur yang mampu memberdayakan otak
kanannya, biasanya juga cenderung memilih manajemen yang berstruktur luwes dan
spontan, serta pada struktur yang sifatnya sama.
Lain halnya bila dia lebih mengandalkan otak kirinya.
Maka dia akan lebih cenderung pada struktur hierarki dan pada kondisi manajemen
yang berstruktur. Mengandalkan otak kiri juga cenderung membuat penyelesaian
masalah dipecahkan satu per satu berdasarkan logika.
Kenyataan ini pernah kita alami saat studi dulu. Kita
lebih banyak diajarkan atau dilatih oleh guru kita untuk selalu berpikir dengan
otak kiri. Misalnya kita selalu dituntut berpikiran logis, analistik, dan
berdasarkan pemikiran edukatif. Padahal hal tersebut ada kelemahannya. Kita tak
dapat menggunakannya, bila data tak tersedia, data tak lengkap, atau sukar
diperoleh data.
Maka, jika kita termasuk kategori otak kiri dan tidak
melakukan upaya tertentu untuk memasukkan beberapa aktivitas otak kanan, maka
akan menimbulkan ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan tersebut dapat
mengakibatkan kesehatan mental dan fisik yang buruk, seperti mudah stres, mudah
putus asa atau patah semangat.
Tapi dengan kita mampu memberdayakan otak kanan kita,
maka kita juga akan lebih intuitif dalam menghadapi setiap masalah yang muncul.
Tentu saja hal tersebut berbeda
dengan mereka yang hanya mengandalkan otak kiri, yang cenderung bersifat
analistis. Yang jelas, kedua belahan otak tersebut sama pentingnya. Jika kita
mampu memanfaatkan kedua otak ini, maka kita akan cenderung
"seimbang" dalam setiap aspek kehidupan, termasuk urusan bisnis.
Bagaimana kalau kenyataannya dalam
bisnis kita sehari-hari, kerap kali masih diharuskan untuk memutuskan, memilih,
dan mengambil keputusan, dari beberapa alternatif yang faktor-faktornya tidak
diketahui? Tentu saja, jika proses berpikir kita masih dominan ke otak kiri
yang cenderung bersifat logis, linier, dan rasional, tentu kita akan menyodorkan
berpuluh-puluh pilihan.
Sebaliknya jika proses berpikir kita
dominan ke otak kanan yang cenderung acak, tidak teratur, dan intuitif, saya
yakin kita dengan antusias yang kuat akan memilih satu pilihan dan berhasil.
PAaka, tak ada salahnya jika kita mau memberdayakan otak kanan.
S
|
ungguh saya sempat tertegun, ketika
membaca pidato pengukuhan Prof Dr. dr. Hari K. Lasmono, MS, Guru Besar Ilmu
Pisikologi Fakultas Psikologi Universitas Surabaya beberapa waktu lalu. la mengungkapkan, bahwa untuk kita bisa sukses dalam
bisnis maupun karier, tak cukup hanya mengandalkan IQ (Intelligence Quotien6 dan EQ (Emotional Quotien4, tapi juga AQ
(Adversity Quotient).
Mengapa AQ penting? Menurut pakar
SDM, Paul G. Stoltz, Phd, AQ merupakan perpaduan antara IQ dan EQ. Jadi AQ bisa
saja kita artikan sebagai keandalan mental. Sementara, Daniel Goleman pernah
mengatakan, banyak pengusaha ber-IQ tinggi, namun usahanya cepat jatuh.
Sedang, yang ber-IQ biasa-biasa saja justru berkembang. Lantas, ia mengenalkan
kecerdasan Emosi (EQ). Di mana EQ merefleksikan kemampuan kita berempati pada
orang lain, mengontrol kemampuan hati, dan kesadaran diri. Sehingga Goleman
yakin EQ lebih penting dari IQ.
Tapi kenyataannya, seperti IQ, tak
semua orang mengambil keuntungan dari EQ. Karena kurangnya ukuran valid dan
metode definitif untuk mempelajarinya, membuat EQ sukar dipahami. Bahkan
beberapa orang ber-IQ, tinggi dan punya semua aspek EQ, ternyata akan jatuh
pula. Itu sebabnya mengapa Stoltz, berani mengatakan, bahwa IQ dan EQ tidak
menentukan kesuksesan seseorang, meskipun keduanya memainkan 109
Carat Gilct 'Tudi Pen9usaha
peranannya. Lantas, mengapa
pengusaha bisa bertahan, meski di saat krisis ekonomi sekali pun, sedang
pengusaha lain yang rata-rata pintar menyerah akibat badai krisis? AQ itulah
kuncinya.
Untuk memahami AQ, kita
menggambarkannya dengan - pendaki gunung. Ada 3 katagori, yang pertama adalah "Clunbe?'. Tipe orang ini, akan terus mendaki sampai puncak
tanpa mempertimbangkan lebih jauh keuntungan atau kerugian, ketidak-beruntungan
atau keberuntungan. Tipe pengusaha "Climbe? ini, juga cenderung tak pernah mempermasalahkan usia,
gender, ras, ketidakmampuan fisik atau mental, atau berbagai rintangan lain
mencapai puncak kesuksesannya.
Tipe yang kedua adalah pengusaha "Campe?. Dia mengompromikan hidupnya. Dia bekerja keras tapi
hanya sebatas yang mampu dia lakukan. Sebenarnya kesuksesan bisa diraih lebih
baik lagi, tapi dia cenderung untuk tidak mau mencapainya. Dia sudah cukup puas
dengan apa yang sudah diraihnya.
Terakhir tipe ketiga, pengusaha
"Qultte?juga mengompromikan hidupnya, namun tidak berusaha sekeras
"Camper". Dia lebih memilih bisnis yang mudah, tanpa gejolak. Tapi,
jika dalam bisnis menghadapi kesukaran, ia cenderung lebih mudah terkena
depresi, atau frustasi. Pendeknya, disadari atau tidak, pengusaha "Qultte?
lebih memilih melarikan diri dari pendakiannya. Padahal, sebetulnya dia punya
potensi untuk mencapai sukses.
Dengan melihat 3 tipe pengusaha di
atas, saya berpendapat bahwa jika kita ingin eksis sebagai pengusaha, maka
sebaiknya kita harus berusaha menjadi pengusaha "Climber', dan bukan "Campe? maupun "Quitte?. Sebab, hanya tipe "Cllmbe? yang benar-benar bisa mengisi hidupnya. Sebab,
mereka mempunyai perasaan yang kuat mencapai tujuan dan semangat untuk
melakukannya. Baginya, tak ada kata menyerah dalam kamusnya. Dia punya kebijaksanaan
dan kedewasaan untuk memahami kapan harus maju dan kapan harus mundur.
Namun demikian, "Climbe? itu juga manusia. Kadang mereka punya keraguan,
kesepian dan pertanyaan dalam perjuangannya. Karena itu, tak mengherankan
terkadang pengusaha tipe "Cllmbe? bergabung juga dengan "Camper' untuk merenung kembali, mengisi ulang energi untuk
berjuang lagi. Sedangkan pengusaha tipe "Quitte? memilih untuk tidak
melakukan apa-apa. Nah, bagaimana Anda sendiri, mau pilih tipe yang mana?
R
|
upanya kita tak cukup hanya berbekal
kecerdasan intelektual (IO) dan kecerdasan emosional (EQ), untuk bisa meraih
sukses, baik dalam bisnis maupun karier. Kita juga harus punya kecerdasan
adversity (AO). Sebab, hal itu akan memungkinkan kita lebih mampu mengatasi
tantangan dalam bisnis, sekalipun itu perlu banyak energi, dedikasi, dan
pengorbanan.
Senapas dengan perkembangan bisnis
itu sendiri, ternyata belakangan itu bergulir pendapat yang menyatakan,
kesuksesan karier maupun bisnis itu, masih perlu lagi dilengkapi dengan
kecerdasan spiritual atau spiritual intelligence (SO). Mengapa demikian? Oleh
karena, di dalam kecerdasan spiritual inilah terkandung banyak aspek, seperti
aspek keberanian, optimisme, kreativitas, fleksibel, dan visioner.
Menurut saya, seharusnya memang
demikian. Dengan kita juga memiliki kecerdasan spiritual, maka kita cenderung
lebih berani "ngundung" (bahasa Jawa:
berjalan dengan keteguhan hati) dalam setiap menggeluti bisnis apa pun. Kita
juga tidak mudah ragu pada setiap keputusan bisnis yang kita buat. Bahkan, saya
berani mengatakan, bahwa jika kita ingin sebagai pengusaha sekaligus pemimpin,
maka seharusnya memang memiliki kecerdasan spiritual yang baik.
Berani "ngundung", yang
saya maksudkan di atas, bisa mengandung pengertian bahwa beraninya itu karena
kita punya kecerdasan spiritual. Sementara, "ngundung"-nya, karena
kita memiliki kecerclasan adversity (AQ). Dengan begitu, kita akan lebih berani
jalan terus. Tidak mudah terombang-ambing oleh isu-isu negatif di kanan kiri.
Sehingga, saya berani menyimpulkan, berani "ngundun#' itu merupakan gabungan antara aspek kecerdasan
adversltydan kecerdasan spiritual.
Saya percaya, hal itu akan membuat
kita semakin bersemangat di dalam berbisnis. Tidak ada kata yang lebih tepat,
kecuali: "Saya akan melangkah terus ke depan". Dengan kita berani
"ngundung'` akan membuat kita tidak mudah menyerah. Karena kita telah
percaya atas diri kita sendiri dan tidak terlalu ambil pusing pendapat orang
lain pada bisnis yang kita pilih dan jalani.
Dengan berani "ngundung”' akan membuat kita kreatif, dan tidak takut gagal.
Bahkan, kita rela mencoba lagi dan pantang putus asa. Pokoknya,
"ngundung'' jalan terus. Dengan begitu, kita akan memiliki daya lentur.
Bahkan, terkadang kita tidak melihat kegagalan, tapi hanya kita anggap sekadar
rintangan kecil yang tak mengenakkan kita di dalam meraih sukses bisnis.
Untuk mewujudkan keberanian
"ngundungr' itu, kita sebaiknya mau melakukan pendekatan spiritual. Saya
yakin, di sinilah ada suara hati yang merupakan kebenaran sejati. Sehingga,
kalau hati nurani kita benar-benar ingin melakukan sesuatu, maka kita pun harus
yakin, bahwa bisnis yang akan dan sedang kita jalankan saat ini, bukanlah untuk
menipu. Bisnis yang kita jalankan, sebenarnya juga bukanlah hanya sekadar untuk
kepentingan diri sendiri, tapi juga punya makna sosial karena pekerjaan bisnis
kita begitu banyak menyejahterakan orang lain.
D
|
unia entrepreneur merupakan dunia
tersendiri yang unik. Itu sebabnya, mengapa entrepreneur atau wirausahawan
dituntut selalu kreatif setiap waktu. Dengan kreativitasnya, tidak mustahil
akan terbukti bahwa ia betul-betul memiliki citra kemandirian yang memukau
banyak orang karena mengaguminya, dan selanjutnya akan mengikutinya.
Memang, kita akui bahwa menjadi
entrepreneur kreatif di saat krisis ekonomi merupakan suatu tantangan yang
sangat berat. Digambarkan seseorang yang akan terjun menjadi entrepreneur
kreatif, ia harus bekerja 24 jam sehari, dan 7 hari dalam seminggu. Hal semacam
itu masih harus ia lakukan paling sedikit untuk kurun waktu kurang lebih 2
tahun pertama. Berjuang tanpa henti dengan berbagai tekanan fisik maupun
psikis.
Apalagi dalam melakukan bisnis
modern, tidak mungkin dapat hidup dan berkembang tanpa kemampuan menciptakan
sesuatu yang baru pada setiap harinya. Walaupun itu hanya merupakan gabungan
dari berbagai unsur yang telah ada, ke dalam bentuk baru yang berbeda. Dari
kreativitas akan muncul barang, jasa atau ide baru sebagai inovasi baru, untuk
memenuhi kebutuhan pasar yang terus berkembang. Dan dari kreativitas itu pula
akan muncul cara-cara baru, mekanisme kerja atau operasi kerja untuk
meningkatkan efisiensi dan produktivitas.
Pada dasarnya, kita semua kreatif.
Tentu saja, dengan kualitas dan kuantitas yang berbeda-beda. Saya sependapat
dengan Raudsepp, seorang peneliti dari Princeton Research Inc, yang mengatakan,
bahwa kernampuan kreatif itu terdistribusi hampir secara universal kepada seluruh umat di muka bumi ini. Kreativitas
bak sebuah sumber mata air, yang tentunya jangan sampai kita biarkan sumber
mata air itu mengering. Kita harus tetap belajar dan menggali terus kreativitas
tersebut.
Oleh karena itu, jika Anda termasuk
dalam golongan orang yang selalu ingin tahu, kemudian dapat melihat suatu
peristiwa dan pengalaman untuk dijadikan sebuah peluang, di mana orang lain
tidak melihatnya, kemudian memiliki keberanian berpikir kreatif dan inovatif,
maka saya rasa lebih baik bersiaplah Anda untuk menjadi entrepreneur. Itu sebabnya,
mengapa ada yang menyebut wirausahawan itu sama dengan orang aneh. Namun, kita
jangan berprasangka buruk dengan perkataan tersebut. Sebab, di balik kata itu
tersembunyi kekuatan yang dimiliki seorang entrepreneur dari kebanyakan orang.
Banyak contoh yang dapat memberikan
gambaran kepada kita, bahwa tidak ada sesuatu yang tidak mungkin dilakukan
wirausahawan. Keluarkan semua ide atau gagasan Anda. Anda tidak perlu takut
diremehkan atau dihina orang lain. "Ide gila" yang Anda sampaikan itu
boleh jadi suatu waktu akan mengundang kekaguman banyak orang. Orang lain akan
gigit jari ketika melihat keberhasilan Anda, dan mungkin saja mereka akan
berguman: "Mengapa hal seperti itu dulunya tidak terpikirkan oleh
saya?"
Kalau Anda berani tampil beda. Itu
berarti, Anda akan memiliki jiwa entrepreneur. Saya setuju pendapat yang
mengatakan, bahwa keberhasilan entrepreneur itu diibaratkan seperti kesabaran
dan ketenangan seorang aktor
akrobatik dalam meniti tambang tipis hingga sampai ke tujuan, ia bukannya
menghabiskan waktu dengan perasaan khawatir, tapi konsentrasinya tertuju pada
tujuannya. Dan, yang lebih penting bagi kita adalah sebaiknya kita jangan malu
akan kesalahan yang kita buat. Seorang entrepreneur memang tidak menyukai
kesalahan, tapi ia tetap akan menerimanya sepanjang hal itu dapat memberikan
pelajaran berharga.
la harus mampu meloloskan diri dari
situasi-situasi yang hampir tidak mungkin diatasi. Sebab dalam era global
sekarang ini, kegiatan usaha yang kita jalankan hampir 90% justru tidak sesuai
rencana. Oleh karena itu, kita harus luwes dengan rencana yang telah kita buat.
Bisa berpindah dari satu rencana ke rencana lainnya. Dan, saya berpendapat
bahwa seorang entrepreneur juga tidak boleh gampang berputus asa. la harus yakin dengan kreativitasnya, pasti ada jalan
yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
B
|
agaimana sebaiknya sikap yang diambil seorang
entrepreneur, apabila kegiatan bisnisnya terkena dampak krisis ekonomi?
Sebagai pimpinan perusahaan, dalam menghadapi masalah
ini, saya kira kita harus menjadi entrepreneur sejati atau seorang entrepreneur
yang cerdas emosinya. Entrepreneur yang saya maksud di sini adalah entrepreneur
yang tidak mudah panik. Sebab, kalau panik, justru akan mengakibatkan sesuatu
hal yang lebih parah lagi. Misalnya, kalau pimpinannya panik, maka karyawannya
pun ikut panik. Itu ibarat sebuah bandul, jika titik pusat bandul itu bergerak,
akibat bola yang berada di bawahnya akan ikut bergerak lebih lebar.
Berpikir optimistis seperti seorang akrobatik yang tengah
meniti tambang itulah barangkali sikap yang tepat bagi seorang entrepreneur,
terutama dalam menghadapi krisis ekonomi. Saya kira, kita pun cerdik
sebagaimana seorang pesulap yang melepaskan diri dari ikatan.
Dalam kaitan ini, saya juga sependapat dengan entrepreneur
dari Negara Paman Sam, Don L. Gevirts, bahwa entrepreneur itu harus secara
terus menerus dapat melihat peluang yang tidak dapat dilihat oleh orang lain,
tidak pernah merasa puas, dan bisa mengeksploitasi sekecil apa pun perubahan
yang ada.
Sebagai seorang entrepreneur, saya
sendiri lebih memandang krisis ekonomi itu bukan sebagai krisis. Tapi
sebaliknya, saya pandang sebagai siklus? Mengapa? Ibarat sebuah roda, sekali
waktu tiba di bawah, dan suatu saat akan kembali ke atas. Saya yakin hal itu.
Saya sendiri sangat merasakan, bahwa
entrepreneur itu ibarat menjadi kapten kesebelasan dalam pertandingan sepak
bola. Saya harus menjadi inspirator tim sekaligus menjadi playmakel-yang handal.
Saya harus tahu, kapan harus
menjemput bola, dan kapan harus melepas bola. Bahkan, saya pun harus tahu
bagaimana cara memanfaatkan bola liar atau bola muntah di depan gawang. Oleh
karena itu, saya menyadari, bahwa saya pun harus selalu memiliki winnihg commitment atau komitmen untuk menang, atau komitmen untuk
berhasil secara tepat dan memadai.
Dengan cara ini, saya akan tetap
optimis dalam menerjuni bisnis. Saya tidak boleh mudah terkejut oleh kesulitan.
Bahkan dengan adanya kesulitan itu, seharusnya saya semakin optimis untuk
mencari pemecahannya, dan semakin menumpuk sifat ketabahan. Artinya, dengan
memiliki sifat tabah, kita akan tetap siap menghadapi segala kemungkinannya,
terutama manakala orang lain mudah putus asa saat menghadapi krisis.
Memang saya akui, dalam kondisi
seperti itu, ada kelompok yang pesimis, loyo, atau tidak bergairah dan bersikap
menyerah pada nasib. Selain itu, ada juga kelompok yang tidak bisa berbuat
apa-apa.
Dalam kondisi krisis, saya yakin,
bahwa saya sendiri maupun para entrepreneur yang lain, masih tetap merasa yakin
ada prospek bisnisnya di masa depan. Dengan kata lain, entrepreneur memang
dituntut tetap tangguh yang didukung oleh spirit, wawasan, pengetahuan, dan keterampilan
manajerial yang handal, serta mampu menyesuaikan dengan perubahan yang sangat
cepat.
Selain itu juga, seorang entrepreneur
harus bisa lebih jeli memanfaatkan situasi. Bagaimana dengan adanya krisis
ekonomi ini bisa dimanfaatkan untuk selalu mencari peluang.
Oleh karena itulah, saya yakin,
bahwa bermacam-macam peluang muncul pada saat kita sedang krisis. Saat dalam
kondisi normal dan baik, itu memang bagus, akan tetapi pada saat dilanda krisis
kalau dapat kita harus lebih bagus lagi. Kita semua harus meyakini hal itu.
P
|
ada masa krisis ekonomi,
entrepreneur atau wirausahawan perlu mengembangkan kecerdasan emosional. Dengan
begitu, la akan mampu melihat peluang bisnis yang ada di sekitarnya.
Entrepreneur yang cerdas emosinya tentu juga memiliki "intuisi" yang tajam. la dapat menangkap sesuatu yang tidak dapat dilihat
orang lain. Walaupun data tidak lengkap, ia biasanya dapat mengambil konklusi
yang pas.
Dalam kondisi apa pun, entrepreneur
juga harus merupakan orang yang action oriented, bukan no action, dream only. Untuk itu diperlukan kesanggupan berpikir secara detail
terhadap hal-hal yang penting. Bila kemudian muncul risiko, dia siap menanggung
risiko apa pun atas aktivitas bisnisnya. Namun secepat itu pula, dia akan
berbenah diri dan melangkah maju untuk lebih balk.
Entrepreneur semacam itu sangat kita
butuhkan. Entrepreneur yang cerdas emosinya. Dengan kita berani mengambil
risiko, maka akan lebih terbuka dalam mengambil peluang. Sebab, kalau kita baru
berusaha setelah "pasarnya" diamankan, itu bukanlah seorang
entrepreneur.
Entrepreneur harus punya "keberanian"
yang menakjubkan untuk menjadi untung. Harus berani memanfaatkan setiap
"ancaman" menjadi "peluang". Bukan sekadar berusaha
menghindar dari "ancaman". Dalam kasus ini saya banyak belajar dari
entrepreneur cerdas bernama
Konosuke Matsushita dari negeri
Sakura, pendiri Matsushita Electric. Ltd, Jepang.
Dalam biografinya, ia menceritakan,
bahwa pada saat Jepang dilanda krisis ekonomi, Matsushita tetap optimis dan
berpikir positif. Dia tetap saja melakukan kegiatan yang dilakukannya seperti
sebelum krisis ekonomi terjadi. Dia bersikap biasa-biasa saja. Dan dia juga
tidak mudah terpengaruh oleh isu. Sebab hal-hal semacam itu akan dapat
memperparah keadaan, karena proses bisnisnya menjadi tidak lancar lagi.
Sebagai entrepreneur ketika
menghadapi krisis, Matsushita tidak pernah panik. Sikapnya biasa-biasa saja.
Seolah-olah seperti tidak ada krisis. Matsushita tetap optimis terhadap
kegiatan bisnisnya. Sikap seperti itu biasa saja kita tiru, dan masih relevan
dengan kondisi saat ini.
Krisis ekonomi jangan kita jadikan
alasan untuk tidak memulai atau mengembangkan bisnis. Bila krisis berakhir, apa
yang Anda lakukan. Tetap menjadi pemain atau sekadar penonton? Sebab, ada masa
pascakrisis yang diyakini pertumbuhannya akan cepat sekali. Oleh karena itu,
sebaiknya kita mencuri start sejak sekarang, untuk memulai atau mengembangkan
bisnis yang prospektif di masa depan. Anggap saja sekarang ini tidak ada
krisis.
P
|
erubahan serba cepat dan kacau
sungguh kita rasakan sekarang ini, dan kita melihatnya, bahwa perubahan
tersebut hampir terjadi dari segala aspek. Sebagai manajer maupun entrepreneur,
kita akhirnya tidak hanya sekadar pandai menendang bola saja, yang bisa diposisikan
seperti apa pun sekehendak kita dengan begitu mudah. Namun juga kita harus bisa
seperti menendang kucing. Sedang kucing itu dapat meloncat dan lari. Sehingga,
tidak mengherankan kalau lantas i!mu manajemen yang masih aktual pun tidak
mampu lagi mengatasi kekacauan tersebut.
Kekecewaan itu berarti banyak ketidakpastian.
Hari ini tidak ada hubungannya dengan hari kemarin. Hari depan menjadi tidak
pasti, tidak bisa diramalkan. Kondisi semacam ini menjadikan kita hidup dalam
era lonjakan kurva, tidak linier dan tidak karuan. Sehingga, pengetahuan dan
juga pengalaman akhirnya tidak dapat menjamin keberhasilan bisnis kita di masa
depan.
Kalau sudah begitu keadaannya, saya
berani mengatakan, bahwa kita tidak perlu lagi menghafal ilmu-ilmu manajemen
yang hanya sekadar teoritis. Kita justru harus lebih kreatif bertanya. Karena
bertanya itu tidak akan pernah usang. Sementara, yang namanya sebuah jawaban
pengetahuan itu mudah ketinggalan zaman.
Begitu juga pengalaman. Keadaan yang
serba cepat dan kacau itu akhirnya membuat pengalaman itu bukan lagi menjadi
guru yang baik. Padahal, selama ini kita lebih percaya pada mitos, bahwa
pengalaman adalah guru yang terbaik. Oleh karena itu, dalam kondisi semacam
ini, bagaimana kalau kita bebas saja dari ilmu pengetahuan dan pengalaman.
Mungkin saja, ide saya ini Anda anggap aneh. Tapi itulah yang namanya
entrepreneur identik dengan orang aneh.
Tom Peter, mengatakan bahwa
perubahan serba cepat dan kacau itu pertanda zaman edan. Sehingga di era global
sekarang ini, suka atau tidak suka, kita harus berani berakrab-akraban dengan
kekacauan. Apalagi kita juga sedang menuju milenium ketiga. Sebab tidak
mustahil pendekatan yang tidak sistematis atau tidak akademis, justru yang
nantinya bisa menyelesaikan kekacauan.
Contohnya, Lembah Silikon di Amerika
Serikat. Dahulu kawasan itu berkembang pesat dan sangat membanggakan banyak
orang. Hal itu karena, Lembah Silikon telah menjadi besi sembrani yang menarik
begitu banyak perusahaan yang berkecimpung dalam bisnis komputer dan
elektronik. Tapi sekarang yang terjadi adalah sebaliknya. Banyak perusahaan di
sana menjadi bangkrut. Lembah ini berubah menjadi kuburan masal perusahan
besar. Kejadian tragis ini ternyata juga dialami oleh negara kita. Dulu, banyak
pengusaha dan bank yang sangat berjaya, kini pada kelimpungan dan akhirnya
bangkrut.
Sementara itu, dengan semakin banyak
belajar ilmu manajemen, kerap kali membuat kita justru semakin bertindak
hati-hati dalam segala urusan bisnis. Kita tidak punya keberanian untuk
bertindak. Dalam pikiran kita yang ada hanyalah ketakutan dan ketakutan. Kalau
sudah begitu, mana mungkin kita punya semangat kerja yang tinggi dan
kompetitif.
Pengalaman bisnis pun semakin sulit
diterapkan, bahkan kerap kali tidak jalan lagi. Perubahan serba cepat dan kacau
itu membuat kita sadar, bahwa saat sekarang ini bukan lagi kita hanya
bermodalkan pengetahuan yang sarat dengan teori semata.
Tetapi, saat ini justru dibutuhkan
orang yang buta teori atau jauh dari mental sekolahan. Nyatanya, orang yang
jauh dari mental sekolahan itulah yang justru bisa meraih sukses. Hal itu
karena, mereka tidak hanya semata-mata mengandalkan pada teori, namun mereka
lebih mementingkan ketangguhan, keuletan, dan tahan banting. Sehingga, semua
perubahan yang serba kacau dan cepat justru dianggapnya sebagai tantangan.
Tantangan itulah yang dapat membangkitkan motivasinya.
D
|
alam situasi ekonomi sesulit apa
pun, saya rasa seorang entrepreneur atau wirausahawan harus tetap optimis
dalam menggeluti bisnisnya. Sebab, sesungguhnya keberanian seseorang
entrepreneur dalam menggeluti bisnisnya adalah terletak pada optimisme. Dengan
tetap optimis, kita akan tetap termotivasi dan cemerlang dalam memanfaatkan
setiap peluang bisnis.
Bukan sebaliknya, pesimis. Sebab,
sikap pesimis itu akan membuat semangat berwirausaha kita menjadi runtuh. Hal
semacam itu jelas kalau bakal merugikan kita. Saya rasa wajar manakala dalam
menggeluti bisnis kita, ada saja masalah yang timbul pada setiap harinya.
Tinggal bagaimana sikap kita masing-masing.
Bila kita menghadapinya tidak dengan
pikiran yang segar, dengan tidak optimis, maka tentu saja kita akan dihadapkan
pada situasi pikiran yang rumit, terlalu tegang dan akhirnya bisa stres
sendiri. Bahkan, ide atau gagasan kita yang cemerlang tiba-tiba berhenti, dan
pada akhirnya merembet pada sikap kurang percaya diri. Sehingga dalam setiap
kita melakukan negosiasi bisnis akan selalu grogi.
Tetapi coba bandingkan, bila kita
tetap punya optimisme yang tinggi, meski diterpa "angin keras" apa
pun kita tetap optimis, baik dalam bisnis maupun kehidupan sehari-hari, maka
kita akan menjadi seorang yang selalu optimis dalam mengarungi masa depan. Kita
pun menjadi tidak mudah terkejut oleh berbagai kesulitan apa pun. Bahkan kita
akan tertantang dan selalu berusaha mencari jalan pemecahannya yang terbaik.
Dengan pemikiran yang optimis itu,
kita juga akan lebih bisa meng¬gunakan imajinasi untuk meraih kesuksesan atau
keberhasilan. Dengan demikian, optimisme akan meningkatkan kekuatan atau
kemampuan kita dalam berusaha dan akan menghentikan alur pemikiran yang
negatif. Namun kalau kita cenderung suka berpikir negatif, maka pasti akan
memenuhi banyak kesukaran. Justru dengan optimisme, kita selalu akan terdorong
untuk berpikir positif. Saya rasa berpikir positif adalah suatu cara yang
terbaik untuk mempromosikan percaya diri, dan menghimpun energi positif. Sebab
pikiran kita merupakan sumber-sumber ide atau gagasan yang paling berharga jika
kita mau berpikir secara positif. Itu sebabnya, mengapa sikap mental positif
(positive mental attitude) seorang entrepreneur itu menjadi penting.
D
|
alam acara pemberian penghargaan
terhadap Lembaga Bimbingan Belajar Primagama oleh Museum Rekor Indonesia
(MURI), saya benar-benar "dianggap" oleh rekan saya yang juga
direktur MURI, Jaya Suprana.
Dalam acara yang diselenggarakan
pada hari jumat 2 Juli 1999 yang lalu, saya dicap sebagai "orang
gila" oleh Jaya Suprana. "Betapa tidak", kata Pak Jaya,
"Usaha yang dibuka Pak Purdi saya nilai sebagai usaha edan-edanan. Pak
Purdi memang demikian "gila" berani membuka usaha yang saya nilai
sebagai industri bimbingan belajar terbesar di Indonesia," tutur pakar
kelirumologi tersebut. Lebih lanjut dikatakannya "Karena itulah, saya rela
menyerahkan sendiri sertifikat MURI ini kepada Pak Purdi. Padahal, saya
sebenarnya sudah janjian dengan Presiden Habibie. Tapi karena ada acara ini,
acara di Bina Graha saya batalkan," demikian kelakar Bos Jamu Jago itu.
Yah begitulah Pak Jaya. Bahkan, saya
juga dibilang "gila", karena begitu cepat dalam mengembangkan bisnis
pendidikan ini. Dan memang, pada usia 18 tahun pada 10 Maret 2000 yang lalu,
Primagama telah berkembang lagi, dengan memiliki 181 cabang di 96 kota yang
tersebar di 16 provinsi.
"Saya salut sama Pak Purdi.
Sebagai seorang wirausahawan, ia selalu melakukan hal-hal yang tidak rasional dan
terlalu berani. Tidak punya modal cukup, berani buka usaha. Terlalu optimis
terhadap ide-ide rencana usahanya, dan mengambil risiko adalah pekerjaan
biasa," demikian kata Pak Jaya lagi dalam kesempatan pidatonya.
Entrepreneur lain yang disebut Pak
Jaya adalah Tirto Utomo, yang rupanya lebih gila lagi. Tirto Utomo bisa menjual
air (aqua) lebih mahal dari bensin. Dan bisnis Tirto saat ini pun berkembang
sangat pesat.
Jaya Suprana mengatakan begitu,
karena memang faktanya demikian. Banyak usaha yang dimulai dari ide-ide gila, dan
keberanian yang luar biasa. Bagi orang awam, perilaku wirausaha memang terasa
aneh dan sulit dicerna. Tetapi bila dilihat dari sisi motivasi, mereka memang
orang¬orang yang memiliki motivasi yang tinggi (high achieve dalam meraih
sesuatu. Tak lekang karena panas, tak lapuk karena "hujatan".
Padahal, belum tentu memiliki kepandaian dan keterampilan yang memadai untuk
memulai usahanya.
Entrepreneur itu adalah pemberani,
walaupun belum tentu ia orang pandai. Orang pandai justru belum tentu berani.
Hal ini mungkin karena terlalu berhitung. Banyak wirausaha yang lahir bukan
karena pandai, tetapi karena berani. Berani memulai usahanya. Berani meraih
peluang. Tidak pernah takut.
Menurut Marianne Williamson,
ketakutan kita yang paling mendalam bukan karena kurang memadai. Ketakutan yang
paling mendalam adalah karena kita terlalu kuat. Sisi terang, bukan sisi gelap
yang membuat kita takut. Dari kalimat tersebut dapatlah diambil kesimpulan,
bahwa makin tahu banyak hal, maka makin membuat orang takut mencoba. Sehingga
teman saya yang seorang akuntan, dan ingin berwirausaha, ia akan selalu
menghitung feasibilitynya dan tidak pernah memulai usahanya. Sementara, peluang
yang sama telah direbut orang lain.
Saya tidak menyarankan untuk tidak
menghitung rencana usaha Anda. Tetapi, keberanian untuk memulai nampaknya harus
didahulukan. Ada teman saya yang ingin membuka usaha retail atau warung
kelontong. Yang dia hitung dan bayangkan, adalah akan membutuhkan modal yang
banyak, tempat yang bagus, dan bayangan yang serba menakutkan. Dan, pada saat
bertemu dengan saya, dia saya sarankan membuka retaifnya dulu baru berpikir
kemudian. Ternyata betul juga, begitu retaif nya dibuka, banyak orang yang
menitipkan barang (konsinyasi), di mana hal tersebut tak pernah dipikirkan.
Kemudian ada petugas bank yang menawarkan pinjaman uang untuk meningkatkan
modal. Dan, banyak kesempatan yang datang silih berganti, yang tidak pernah
diduga sebelumnya.
Keberanian seorang entrepreneur
untuk berwirausaha itu sama dengan keberanian menghadapi risiko. Kalau dengan
negative thinking, risiko sama dengan bahaya. Tetapi kalau positive thinking,
maka risiko itu sama dengan rezeki. Risiko yang didapat pun kecil. Contohnya,
tukang cuci piring, risikonya hanya memecahkan piring, maka penghasilan pun
kecil. Yang berisiko besar, penghasilannya pun akan besar. Sehingga, seberapa
besar rezeki yang dinginkan, sama dengan seberapa besar Anda mengambil risiko.
S
|
aya sependapat dengan Gerry Robert,
penulis buku "The Millionaire Mindset", bahwa kita sebaiknya setiap
saat untuk selalu berpikir kemungkinan sukses atau successibility thinking.
Jadi, kita tidak hanya cukup berpikiran positif saja seperti dikatakan Norman
Vincent Peale. Dan, saya kira kita pun tidak hanya cukup sekadar possibility thinking
seperti yang disarankan Robert Schuller.
Mengapa demikian? Sebab, dengan
selalu berpikir kemungkinan sukses kita akan lebih bersikap mawas diri.
Tindakan-tindakan yang kita bangun cenderung penuh dengan kepercayaan dan
keyakinan diri. Bahkan, kita akan lebih memiliki perspektif jauh ke depan.
Tegasnya, berpikir kemungkinan sukses itu sama halnya dengan sukses (success)
ditambah kemungkinan (possibility).
Bill Gates (44 tahun) tanpa dia
terbiasa succesibility thinking, tentu tidak mungkin berani mendirikan
perusahaan Microsoft. Padahal saat itu, dia masih berusia 19 tahun.
Di perusahaan komputer itu, dia
angkat dirinya bukan hanya sebagai direktur, atau manajer, tapi lebih dari itu,
sebagai Presiden Direktur. Jabatan itu dipegangnya selama 25 tahun. Dan memang,
pada akhirnya, ia membuktikan, bahwa bisnisnya mampu meraih sukses yang luar biasa,
dan banyak dikagumi orang. Kini, namanya tercatat orang terkaya di dunia.
Dalam kaitan inilah, mungkin saja
Anda akan bertanya. Sesungguhnya, seseorang itu, apakah untuk mendirikan
perusahaan juga harus succesibillty thinking? Ataukah kita harus memiliki rasa
percaya diri dulu atau sebaliknya? Kalau saya pribadi berpendapat, seseorang
itu harus berpikir kemungkinan sukses dulu atau succesibility thihkihg, untuk
mendirikan perusahaan, barulah kita memiliki rasa percaya diri.
Katakanlah, jika ada peluang bisnis,
dengan kita berpikir kemungkinan sukses dulu, akan membuat kita memiliki
keberanian membuat perusahaan berupa CV, PT, atau Lembaga. Kita tinggal datang
ke notaris, kita bisa mengangkat diri kita menjadi direktur pada perusahaan
yang kita dirikan. Itu sama saja kita sudah berpikir kemungkinan sukses.
Di dalam melakukan kegiatan bisnis,
kita dapat mendeklarasikan berpikir kemungkinan sukses setiap hari, dengan
sesuatu yang diyakini, yang kita anggap dapat mengubah kita. Misalnya hari ini,
kita mendeklarasi¬kan bahwa kata favorit saya adalah "mungkin".
Saya percaya, pada apa yang mungkin.
Saya melihat kemungkinan-kemungkinan di mana-mana. Saya memfokuskan pada apa
yang benar, terang, dan indah. Saya melihat yang terbaik dalam setiap situasi,
dan dalam setiap orang.
Dan, pada hari berikutnya, kita bisa
saja mendeklarasikan, bahwa "saya orang yang bersemangat". Saya
percaya, saya sukses karena saya ditakdirkan untuk sukses. Saya menolak hal-hal
yang tidak baik. Saya bersemangat tentang diri saya dan potensi saya. Deklarasi
semacam ini setiap harinya bisa berganti-ganti sesuai dengan yang kita
kehendaki.
Selain kita menggunakan model
pendekatan deklarasi berpikir kemungkinan sukses di dalam bisnis setiap hari,
kita juga dapat melakukan model pendekatan religius, misalnya dengan melakukan
dzikir dalam hati, yang juga bisa kita lakukan kapan saja, dan di mana saja.
Saya yakin, hal itu semua akan menjadikan kita lebih mudah meraih sukses.
Bahkan, bisnis yang kita jalankan juga akan lebih berpeluang berkembang.
Memang, semua itu membutuhkan
kemauan keras. Maka, bila kita berkeinginan menjadikan diri kita untuk selalu
berpikir kemungkinan sukses, bisa saja kita memprogram ulang diri kita sendiri,
dengan jalan kita menyediakan waktu untuk selalu berpikir kemungkinan sukses.
Mau dicoba?
B
|
anyak orang berpendapat bahwa, sudah
seharusnya sistem pendidikan kita direvisi kembali. Sebab, selama ini sistem
tersebut cenderung mengajarkan kita untuk takut berbuat sesuatu. Kita jadi
takut berbuat salah. Sebagai contoh, ketika kita sekolah dulu, selalu kita
diharuskan oleh guru kita untuk mengerjakan segala sesuatu tidak boleh salah.
Padahal, semakin banyak kita membuat kesalahan, maka kita akan banyak belajar
dari kesalahan itu.
Begitu juga saat sekolah dulu kita
selalu diharuskan menghafal pelajaran dan menghitung angka, dan bukan bagaimana
berkomunikasi dengan baik, bagaimana praktik memimpin, dan bagaimana praktik
bekerja sama. Sehingga ada yang berpendapat bahwa sistem pendidikan kita di
sekolah selama ini sebetulnya 'memiskinkan kecerdasan enterpreneur' kita
sendiri.
Apalagi bagi kita yang ingin
menggeluti dunia bisnis, maka akan selalu dihantui perasaan takut untuk berbuat
sesuatu dalam bisnis. Padahal di dalam kita menjalankan bisnis, tak ada
salahnya kita belajar dari kesalahan-kesalahan yang pernah kita perbuat.
Artinya, kita harus berani berbuat sesuatu. Kita jangan takut memulai atau
mengembangkan bisnis kita. Itulah sebenarnya manfaat kalau kita benar-benar
memitiki kecerdasan entrepreneur, saya singkat Entre-Q.
Jika kita memliki Entre-Q biasanya
cenderung memiliki perilaku atau kepribadian yang aneh-aneh. Itu menurut ukuran
orang pada umumnya. Sebab yang membedakan seseorang itu entrepreneur atau bukan
antara lain terletak pada Entre-Q. Misalnya dia akan menjadi seorang
entrepreneur yang cenderung memiliki keberanian, dan itu sangat `menonjol'
dibandingkan orang pada umumnya.
Saya juga melihat, bahwa sebagian
besar entrepreneur yang memiliki Entre-Q mempunyai prinsip bahwa, setiap
menghadapi tantangan bisnis dan kehidupan selalu dengan mengedepankan semangat
dan spritualnya. Itu biasanya dia bangun sendiri dari pemikiran-pemikirannya,
yang itu bisa dia pelajari dari orang lain, atau dia temukan sendiri.
Entrepreneur yang memiliki Entre-Q biasanya juga selalu komit atau konsisten
dengan apa yang dia lakukan. Dan, dia akan selalu punya keinginan untuk terus
belajar dari pengalaman bisnisnya baik pahit maupun manis.
Sehingga tak mengherankan, kalau
sosok pengusaha seperti ini biasanya punya kelebihan berpikir yang tidak linier
atau tidak teratur. Dia juga cenderung tak hanya cerdas dalam emosi atau
keberaniannya, tapi dia juga cerdas dalam kreativitasnya, intuisinya dan
spiritualnya.
Apakah Entre-Q itu bisa kita
kembangkan? Saya kira bisa saja. Caranya, dengan memperbanyak pengalaman secara
langsung. Maksud saya, kita harus banyak praktik, banyak mencoba. Begitu juga
halnya dalam bisnis. Kalau Robert Kiyosaki dalam bukunya "Rich Dad's Guide
to Investing", lebih suka menyebut bahwa kita tidak hanya cukup memilki
School Smart, tapi kita juga harus memilki Street Smart.
Menurut saya, "School Smart itu
penting, Academic Smartjuga penting. Tapi untuk mengembangkan jiwa
entrepreneur, Street Smart dan Entre-Q lebih penting."
.
Dalam mengembangkan
usaha, kta harus lihai menempatkan posisi kita sebagai pemimpin sebuah usaha.
Kata kunci yang terpenting yang harus dikembangkan adalah bagaimana menjadi
pemimpin yang bisa bersinergi, bisa bekerja sama dengan pihak lain. Pihak lain
itu bisa mitra bisnis-bisnis maupun bawahan. Jika sebagai usaha dan pernimpin
kita bisa menjadi sinergi dan kerja sama, maka bisnis kita akan lebih maju dan
berkembang.
Memang dengan
menempatkan karyawan atau mitra bisnis sebagai bagian dari sinergi bisnis kita
secara egaliter, maka konsep dan maju mundurnya usaha yang kita bangun bisa
dikembangkan dengan sinergi pikiran yang lebih brilian. Untuk itu, jelas dibutuhkan
peran para manajer yang berjiwa entrepreneur.
Manajer berjiwa
entrepreneur? Benar, yakni mereka yang suka tantangan dan selalu berpikir
kreatif dan mau bekerja serta berpikir keras menciptakan pengembangan ide-ide
bisnis baru. Meskipun kondisi perusahaan sudah pada posisi optimum, tapi dengan
adanya manajer-manajer yang berjiwa entrepreneur bukan sekadar bersikap yesman
pada atasan maka kondisi perusahaan tak bisa dijaga kestabilan kondisinya.
Bukan suatu hall
yang mustahil, justru di masa depan para manajer itu mampu mengembangkan bisnis
sendiri dan akan menjadi pesaing usaha kita. Buat saya itu no problem, ndak
masalah. Justru dengan berhasilnya para karyawan bekas anak buah menjadi
pengusaha merupakan bukti, bahwa kita sebagai mantan bosnya adalah pemimpin
atau pengusaha yang berhasil menghasilkan pengusaha baru. Bagi saya itu suatu
kebanggaan tak temilai dalam hidup.
M
|
ensyukuri apa yang kita peroleh dari
hasil bisnis, walau tak sebesar seperti yang kita harapkan semula, saya kira,
itu penting. Setidaknya, ini merupakan langkah kita pertama menjadi
entrepreneur yang bijak. Namun, tentunya kita tetap memiliki kemauan untuk
mengembangkan bisnis kita seoptimal mungkin. Sehingga, hasil yang kita peroleh
juga akan bisa lebih maksimal, meskipun persaingan di dunia bisnis makin
kompleks.
Untuk mewujudkannya, kita mungkin
tak hanya cukup memanfaatkan otak kita sendiri, tapi ada baiknya juga
memanfaatkan otak orang lain. Sebab, kita harus menyadari benar, bahwa setelah
bisnis yang kita rasakan berkembang cukup pesat, dan kita menjadi orang nomor
satu di perusahaan yang kita dirikan, tentu saja tak bisa semua kegiatan bisnis
bisa kita jalankan dengan otak kita sendiri.
Maka, sudah sewajarnya kalau kita
memanfaatkan otak orang lain, yang oleh William E. Heinecke, penulis buku
"The Enterpreneur 21 Golden Rules for the Global Business Manage?, disebut
"work with other People's Brain". Menurut, entrepreneur terkemuka
yang sukses mengembangkan bisnis Pizza Hut tersebut, seorang entrepreneur yang
bersedia bekerja dengan memanfaatkan otak orang lain, sesungguhnya adalah
entrepreneur sejati.
Saya sendiri juga merasakan, bahwa
memanfaatkan otak orang lain dalam bisnis, khususnya di era milenium ketiga
ini, merupakan hal yang sangat penting. Acapkali itu lebih baik ketimbang harus
semuanya kita jalankan sendiri. Katakanlah, kita akan mudah menangkap peluang
bisnis dengan bantuan otak orang lain. Oleh karena itu, jangan apa-apa
dikerjakan sendiri. Akibatnya, kita bisa jadi pemurung, kebanyakan kerja, dan
sulit bagi kita bisa menikmati penghidupan yang layak sebagai seorang
entrepreneur.
Saya yakin, jika kita berhasil
memanfaatkan otak orang lain dengan baik, sebenarnya juga sebagai upaya positif
kita menghindari sikap keras kepala kita sendiri. Dan, itu akan lebih mudah
membuat kita mau mendengarkan dengan hati yang terbuka apa yang dikatakan orang
lain. Pada akhirnya, sikap ini pulalah yang akan menciptakan hubungan kerja
harmonis. Maka kita sebagai entrepreneur yang memiliki perusahaan, alangkah
bijaknya kalau kita juga jangan mudah "alergi" dengan apa yang
dikatakan orang lain.
Selain itu, jika kita bisa
memanfaatkan otak orang lain dengan baik, sesungguhnya juga kemajuan yang
positif bagi bisnis kita sendiri. Bahwa, kita pun ternyata mampu mengangkat
diri kita sebagai pemimpin perusahaan yang benar-benar memiliki kemampuan
profesional dan kecerdasan emosional. Niscaya, bisnis kita akan tetap eksis dan
lebih berkembang pesat di saat ini maupun di masa mendatang.
Dan, perlu diingat bahwa memanfaatkan
otak orang lain, itu bukan merupakan kelemahan kita sebagai entrepreneur. Tapi
sebaliknya, hal itu justru menunjukkan, bahwa kita benar-benar telah memiliki
intelektualitas, kecerdasan emosional, kecintaan pada diri sendiri, maupun
perusahaan.
P
|
anggilan boss itu memang sudah biasa
di dalam dunia usaha walaupun mungkin maksudnya untuk menghormati. Namun,
menurut saya, sebetulnya panggilan boss itu lebih terkesan ada maunya, ada
pamrihnya. Saya sendiri tidak bangga dengan panggilan itu. Risih rasanya. Saya
tidak ingin jadi boss. Saya ingin menjadi entrepreneur leader, seorang
entrepreneur yang juga seorang pemimpin.
Dalam hal ini, John C. Maxwell, yang
menyoroti perbedaan antara boss dan pemimpin mengatakan, seorang pemimpin lebih
punya itikad baik, lebih bijak, baik dalam sikap dan tingkah lakunya. Dia lebih
bisa melatih atau mendidik pengikutnya. Dia juga bisa sebagai teladan bagi
pengikutnya. Katakanlah, seorang karyawan yang baru masuk menjadi cepat
berkembang, karena pemimpin mampu menimbulkan rasa antusiasme pada karyawannya.
Tetapi lain halnya, dengan seorang
boss. Boss lebih mirip dengan juragan. Seorang boss itu lebih banyak maunya
sendiri, egoismenya tinggi, dan sikap atau tingkah lakunya lebih terkesan
menggiring pekerjanya dan kerap menimbulkan rasa takut pada anak buahnya.
Karena sikap itu menyangkut pola rasa dan pola pikir, sehingga pengaruh sikap
boss semacam itu, menurut seorang pakar kepribadian, Dale E. Galloway, akan
membuat anak buahnya menjadi gelisah, menderita, melukai hati, dan bahkan bisa
mendatangkan musuh.
Seorang boss juga lebih tergantung
pada wewenang, terutama wewenang struktural. Kalau tidak memiliki lagi
wewenang, maka pengaruhnya tidak ada. Bahkan orang lain tidak lagi respek pada
dia, manakala sudah tidak menjadi boss lagi. Itulah memang konsekuensinya kalau
seseorang lebih menggunakan wewenang struktual. Jadi orang lebih terpengaruh
pada boss yang punya wewenang tersebut, dan bukan pada hubungan moral seperti
yang lebih baik dilakukan seorang pemimpin.
Dan, saya kerap melihat, bahwa
seorang boss cenderung suka menyalahkan anak buahnya, karena dia memang lebih
suka menetapkan kesalahan tanpa menunjukkan jalan keluar, dan boss itu tahu
bagaimana itu dilakukan. Tapi lain halnya dengan seorang pemimpin, dia lebih
suka memperbaiki kemacetan yang dilakukan bawahannya atau pengikutnya dan bisa
menunjukkan cara mengatasinya.
Boss juga lebih suka mengatakan
"Aku", sementara pemimpin lebih suka mengatakan "Kita".
Perbedaannya tak hanya itu. Boss juga lebih suka mengatakan "Jalan!"
jadi lebih bersikap otoriter. Sangat berbeda dengan cara pemimpin dalam
menggerakkan karyawannya lebih bersikap egaliter, maka tak mengherankan lebih
cenderung mengatakan "Mari kita jalan!"
Oleh karena itulah, dalam
mengembangkan bisnis kita dan dalam menghadapi persaingan bisnis yang semakin
keras saat sekarang ini, saya kira memang dibutuhkan entrepreneur-entrepreneur
leader. Keberhasilan bisnis kita akan lebih sukses karena tinclakan dan
keputusan strategis yang diambil oleh entrepreneur leader
Sebab, dalam kepemimpinannya mereka
lebih menekankan pada hubungan manusiawi, sehingga orang-orang di bawahnya
termotivasi dan lebih mampu menggunakan pemikiran dan wawasan kreatifnya.
Sebaliknya, boss tidak mampu menumbuhkan sikap semacam itu. Maka, jadilah
entrepreneur leader.
M
|
elakukan hal-hal yang benar (doing
the right things), berani menghadapi risiko dan memiliki motivasi untuk selalu
nomor satu. Ide-ide bisnisnya orisinal, dan menaruh mata ke masa depan serta
memiliki perspektif jauh ke depan penuh kepercayaan diri. Itu salah satu profil
seorang pemimpin.
Walaupun banyak yang menganggap
pemimpin itu menyukai segala bentuk macam tantangan, karena rasa optimis yang
selalu dimilikinya. Cukup menarik buat saya. Sebab yang saya amati dan rasakan,
pemimpin bukan hanya mampu menggerakkan orang lain, melainkan juga berani
mengambil pola pikir yang tidak populer sekalipun, mampu memberikan solusi, dan
memiliki semangat untuk menjadi selalu yang terdepan.
Setelah diteliti, ternyata dalam
menjalankan bisnis saat ini maupun masa datang, memang seharusnya kita tak
hanya memiliki manajer biasa-biasa saja, tapi sudah seharusnya memiliki manager
leader, manajer yang punya jiwa pemimpin. Mengapa? Sebabnya adalah persaingan yang
serba kompetitif, situasi bisnis yang kompleks dan sulit diramalkan
keberlangsungannya, sehingga sangat dibutuhkan sosok manajer seperti itu. Kalau
tidak, kita akan kalah bersaing. Akibatnya, bisnis yang kita jalankan akan
sulit maju.
Saya setuju pendapat pakar manajemen
yang mengatakan, kalau pemimpin itu selalu melakukan hal-hal yang benar,
sementara manajer hanya mampu melakukan hal-hal dengan benar (doihg the thihgs
ngh4. Di mana, seorang pemimpin dalam melakukan hal-hal yang benar tidak
terlalu mempedulikan caranya. Itu tak terlalu penting baginya. Sebab, bagi
seorang pemimpin, hal-hal yang menyangkut urusan pelaksanaan idenya itu adalah
tugas manajer. Pemimpin selalu berpikir loncat-loncat, dan jangkauannya sering
kali panjang, bisa membingungkan bawahan untuk mengikutinya.
Lain halnya dengan manajer.
Jangkauan ide atau gagasannya pendek, dan wawasannya relatif kering.
Kewajibannya adalah bagaimana melakukan tugasnya dengan benar. Manajer baru
jalan setelah ada planning dulu, sudah ada program kerja atau prototypenya.
Wajar kalau ada yang berpendapat bahwa pada dasarnya manajer itu tiruan,
sementara pemimpin itu adalah orisinal.
Itu mengingat, ide atau gagasan
seorang pemimpin tidak pakai planning. Responsibilitasnya memang tidak setiap
saat muncul. Bila ternyata ide-ide bisnis yang dijalankannya itu nanti benar
atau salah, urusan belakang. Baginya yang terpenting telah menemukan ide bisnis
yang cemerlang.
Kita bisa juga lihat, bahwa manajer
dalam rangka mempertahankan proses atau kontinuitas kerjanya cenderung menerima
status quo. Statusnya ingin aman-aman saja. Bahkan, kalau perlu menghindar dari
risiko. Tapi, sebaliknya dengan pemimpin. la justru menentang status quo, dan
lebih berani menghadapi risiko. Perbedaan lainnya, adalah seorang manager itu suka
bertanya, bagaimana dan kapan terhadap sesuatu hal. Sedang pimpinan lebih suka
bertanya apa dan mengapa. Selain itu, pimpinan lebih terkesan ingin menjadi
pribadinya sendiri, dan menguasai lingkungannya. Sementara, manager adalah
"tentara baik" yang klasik, dan menyerah kepada lingkungan.
Manajer dalam menjalankan
aktivitasnya juga sangat bergantung pada pengawasan. Di ingin selalu mengelola
dan mempertahankan bisnis yang sudah ada, serta lebih berfokus kepada sistem
dan struktur. Sementara, pemimpin lebih merupakan sosok yang justru mampu
membangkitkan kepercayaan bawahannya atau relasinya. Itu sebabnya, mengapa
fokus seorang pemimpin lebih kepada orang, dan bukan pada sistem dan struktur.
Oleh karena itu, jika kita sekarang
berada pada posisi manajer, sebaik¬nya tidak menafikan atau menghilangkan
nuansa-nuansa atau jiwa kemimpinan. Agar segala keputusan yang diambil tidak
kering, lebih tenang dalam menjalankan bisnis, mampu mengantisipasi hal-hal
yang tak pasti, enerjik, antusias, memiliki integritas, tegas tapi adil, visi
bisnisnya lebih jelas, dan mampu memproyeksikan bisnis ke masa depan.
S
|
iapa yang tak kenal dengan kelompok
musik anak muda dari Yogja, Sheila on 7? Tentu, Anda semua pernah mendengarkan
lagu hitsnya yang berjudul "DAN". Konon, album pertamanya itu terjual
lebih dari 1 juta keping. Kita tentu bangga dengan kesuksesan mereka.
Judul lagu "Dan" itu cukup
menarik buat saya. Namun, "Dan" dalam tulisan saya ini artinya
sinergi. Sebab, yang saya ungkap kali ini bukanlah asyiknya mendengarkan lagu
"Dan", namun bagaimana pentingnya sebuah sinergi dalam dunia bisnis.
Saya yakin, kita bisa menjadi entre¬preneur tangguh atau terdepan, bila kita
bisa bersinergi. Bekerja sama dengan pihak lain, demi kesuksesan bisnis kita.
Mungkin Anda bertanya, apa benar
bersinergi itu menguntungkan kita? Sebab, tak sedikit kasus yang menunjukkan
bahwa bersinergi dengan orang lain justru membuat bisnis kita sulit berkembang.
Saya sudah menduga, pasti pertanyaan Anda seperti itu. Memang, tak selamanya
bersinergi itu negatif. Tapi bisa sebaliknya, bersinergi membuat bisnis kita
maju dan kita mampu memanfaatkan peluang bisnis. Konsep bisnis kita menjadi
brilian, selama sinergi yang saya maksud itu positif.
Setelah diteliti, ternyata memang
sinergi itu bisa negatif dan bisa positif. Untuk kita menjadi terbaik, tentu
kita harus mencari rekan bisnis yang positif. Ini menunjukkan, bahwa kita akan
memiliki kekuatan, potensi kuat dan mampu meyakinkan prospek bisnis kita.
Dengan sinergi positif, saya yakin kita akan memiliki pemikiran jauh ke depan
penuh kepercayaan diri, sehingga mampu mengantisipasi hal-hal yang tidak pasti.
Apalagi, dalam era global, dunia
bisnis berputar cepat, terkadang tidak rasional, tidak pasti, sehingga
menghadapi hal itu kita memang harus memiliki sinergi atau kekuatan kerja sama
yang sangat tinggi. Saya yakin, hal itu akan menjadikan kita menjadi
entrepreneur yang selalu optimis atau memiliki sense of optimism yang tinggi.
Tapi juga bisa sebaliknya, bila sinergi itu negatif, maka bisnis apa pun yang
kita jalankan tidak akan berhasil.
Keyakinan saya pun bertambah dengan
pengalaman ini. Saya pernah diajak bisnis pom bensin dengan teman pengusaha.
Tap setelah lewat proses panjang, ternyata sulit juga terealisir. Saat itu saya
belum yakin, apakah karena itu sinerginya negatif? Empat tahun kemudian saya
ketemu lagi sama teman pengusaha tadi, yang kini buka bisnis komputer. Dia
mengajak saya lagi bisnis showroom atau jual beli komputer.
Rupanya, saya dan teman saya itu
sama-sama belum percaya bahwa sinergi kami negatif. Kami coba lagi, tapi gagal.
Bisnis itu sampai kini belum terealisir juga. Contoh lain, artis Camelia Malik.
Saat dia bersuamikan Reynold, pasangan ini tidak cocok dan tidak dikaruniai
anak. Tapi, setelah berpisah dan mereka menemukan pasangan masing¬masing,
ternyata cocok dan dikaruniai anak. Jadi tak ada sinergi positif.
Begitu juga hubungan sinergi antara
owner dengan eksekutif. Bisa positif, bisa juga negatif. Namun, bagi kita yang
percaya pada sinergi, jumlah satu ditambah satu bukan hanya dua. Bisa sepuluh,
seratus, bahkan seribu. Saya sendiri tidak meragukan hal ini. Tapi setidaknya, dengan
kita memiliki kecerdasan emosi optimal dan intuisi yang tajam, saya yakin, kita
akan semakin pintar memilih rekan bisnis yang bersinergi positif. Dan tidak
mustahil, entrepreneur yang memiliki kemampuan tersebut akan sangat
menguntungkan bagi bisnis maupun kehidupannya.
T
|
eori kepemimpinan berdasarkan gen
mengungkapkan, bahwa pada, dasarnya setiap orang itu sama. Begitu pula halnya,
di dalam mendambakan perhatian positif. Saya melihat salah satu upaya untuk
mewujudkan hal itu adalah jika kita berhasil menerapkan hubungan yang lebih
mengedepankan aspek humanis dan harmonis dalam komunikasi antara level
struktural atau yang lebih dikenal dengan hubungan egaliter. Saya merasa yakin,
bahwa hubungan semacam ini segi manfaatnya sangat besar, bila kita benar-benar
berhasil menerapkannya di perusahaan kita masing-masing.
Hanya saja, hubungan ini akan
berjalan bila diawali oleh pimpinannya. Kita sebagai seorang wirausahawan atau
entrepreneur yang juga adalah seorang pemimpin, memang perlu memberikan suri
teladan terlebih dahulu akan pentingnya hubungan egaliter ini pada lingkungan
kerja kita, pada staf kita. Sebab, hubungan egaliter itu akan membuat kita
semakin paham pada suatu bentuk komunikasi yang transparan dan jujur. Begitu
halnya dalam hubungan intrapersonal. Di mana, hubungan antara pimpinan dengan
staf tak ada lagi jarak yang tajam. Namun, sikap saling menghormati tetap
terjaga.
Menurut saya, dampak positif lain
dalam hubungan egaliter itu adalah kita akan lebih dapat meningkatkan
kecerdasan emosional kita. Terutama pada hal yang berkaitan dengan soal membina
hubungan dengan orang lain, dan
mengenali emosi orang lain. Dengan begitu, kita akan lebih mudah menyelaraskan
diri (harmonizihg) dengan orang lain.
Itu penting kaitannya dengan bisnis.
Sebab, hubungan semacam ini akan memungkinkan kita lebih memiliki rasa percaya
diri yang kuat. Segala ide, pemikiran dan gagasan bisnis kita juga akan semakin
baik. Sehingga hal itu, tidak mustahil akan membuat kita cenderung lebih
kreatif, dan akhirnya kita akan lebih produktif. Begitu pula halnya dengan
semangat kita dalam berwirausaha juga akan semakin bergairah. Dan, sukses akan
mudah tercapai.
Dengan begitu, saya rasa hubungan
pimpinan dengan staf tidak harus melewati dulu birokrasi yang berbelit-belit.
Ruang kerja bisa kita buat sekedemikian rupa, kalau perlu terbuka, sehingga
komunikasi dua arah (two way traffic communioation) antara pimpinan dengan staf
akan lebih mudah tercipta.
Kita tentu mengerti, bahwa pimpinan
dalam mengembangkan bisnisnya tak bisa sendiri. Membutuhkan bantuan staf. Maka,
sebaiknya, kita seba¬gai seorang entrepreneur tak perlu ragu lagi menerapkan
hubungan harmonis semacam itu.
Apalagi di saat sekarang ini, jelas
tak hanya menuntut kita piawai atau jeli di dalam melihat dan meraih peluang
bisnis, tapi kita juga harus pintar pula menerapkan bentuk hubungan kerja yang
harmonis. Tim kerja di perusahaan kita akan semakin kompak dan solid.
Hubungan egaliter itu, saya rasa
perlu karena hubungan ini akan lebih mengondisikan kita untuk mau mendengarkan
pendapat orang lain. Kepercayaan diri kita maupun staf juga akan tumbuh.
Padahal kita tahu bahwa kepercayaan itu adalah faktor paling penting di balik
setiap tindakan kreatif.
Namun, kultur ini tak ada
kolerasinya bahwa yang pantas menerapkan¬nya adalah harus mereka yang memiliki
intelektualitas tinggi. Justru yang terpenting adalah bagaimana kita bisa
memimpin. Memimpin adalah suatu yang berkaitan dengan mengelola orang-orang
yang pintar. Namun, itu bukan berarti kita harus menjadi orang paling pintar
atau profesional.
Memang, entrepreneur itu harus
didampingi profesional, agar bisnisnya lebih berkembang. Sebab cara berpikirnya
sering kali meloncat-loncat. Sementara, seorang profesional pemikirannya
cenderung yang lurus¬lurus atau yang aman-aman. Maka cukup riskan, bila dia
lantas mencoba menjalankan bisnisnya seorang diri alias one man show. Kualitas
manajemennya akan kurang baik. Maka, seorang entrepreneur dan profesional harus
memiliki hubungan yang harmonis.
Apalagi dalam waktu dekat ini kita
akan memasuki milenium ketiga yang kemungkinan besar dunia bisnis kita
cenderung akan penuh dengan hyper-competition, suatu persaingan yang sangat
ketat. Maka, tanpa ada hubungan seperti itu di lingkungan kerja atau perusahaan
kita, maka tentu saja target bisnis kita akan sulit tercapai.
Oleh karena itu, tak ada salahnya
bila kita berani mencoba menerapkan hubungan egaliter ketimbang hubungan yang
terlalu mengedepankan jarak atau gap antara pimpinan dengan staf. Sebab,
hubungan seperti ini akan membuat suasana kerja menjadi tidak kondusif
atau,tidak enjoy. Kreativitas juga bisa mandeg dan prestasi kerja pun akan
menurun. Itu sebabnya, mengapa hubungan egaliter itu perlu.
J
|
ika setiap saat kita selalu
menanyakan, "Apa hak-hak saya?" itu artinya kita termasuk golongan
bawahan. Sedang, jika kita lebih suka bertanya "Apa tanggung jawab
saya?" itu berarti termasuk golongan pemimpin. Wajar saja, mestinya memang
demikian. Selain itu, seorang bawahan biasanya orang yang bekerja lebih
terdorong oleh emosinya. Sementara, seorang pemimpin, bekerja, atau berbisnis
lebih karena terdorong oleh karakternya.
Saya juga melihat, jika seorang
bawahan merasa senang, biasanya ia melakukan pekerjaan atau tugasnya dengan
benar. Itu lain dengan pemimpin. Dia akan selalu berusaha melakukan segala
pekerjaannya dengan benar, kemudian dia akan merasa senang dengan prestasi
kerjanya itu. Pendeknya, bawahan itu bekerja atau melaksanakan tugas karena
terdorong oleh kesenangan, dan bukan terdorong oleh komitmen seperti biasa
dilakukan oleh seorang pemimpin.
Perbedaan lain yang cukup menonjol
antarkeduanya, menurut pakar leadership, John C. Maxwell, yaitu seorang bawahan
itu sukanya selalu menunggu momentum, barulah dia mau bergerak. Sikapnya lebih
mengendalikan tindakan, dan berhenti ketika masalah timbul. Sementara, kalau
kita sebagai pemimpin, maka kita akan lebih cenderung menciptakan momentum.
Sedang, tindakannya lebih mengendalikan sikapnya, dan seorang pemimpin justru
akan meneruskan usahanya ketika masalah timbul.
Saya juga melihat, memang benar
seorang bawahan itu jika membuat keputusan apa pun selalu berdasarkan
popularitas. Berbeda dengan pemimpin yang setiap membuat keputusan apa pun,
termasuk dalam bisnisnya, adalah lebih berdasarkan ada prinsip dan bukan
popularitas. Sehingga, tidak mengherankan kalau seorang pemimpin itu tidak suka
bersikap murung dalam menggeluti bisnisnya. Sebaliknya, dia akan selalu mantap
menekuni bisnisnya.
Karena itu, saya berpendapat,
sekarang ini kita lebih baik menjadi ikan besar di kolam kecil daripada harus
menjadi ikan kecil di kofam besar. Artinya, kita lebih baik menjadi pemimpin,
walau bisnis kita kecil dan anak buah kita sedikit, daripada kita harus ikut
orang lain sekalipun bisnisnya sudah besar. Memang, menjadi seorang pemimpin
tidaklah mudah. Tapi yakin saja, sebab kita masing-masing memiliki kapasitas
kepemimpinan.
Saya yakin, jika bekerja pada perusahaan
besar sebagai bawahan, tentu kita tidak bisa berbuat banyak, atau tidak bisa
memengaruhi kebijakan perusahaan. Naiknya karier kita pun jelas membutuhkan
waktu yang lama. Tapi lain halnya, kalau kita bekerja pada perusahaan yang
masih kecil, maka peluang untuk mengembangkan bisnis lebih besar. Sehingga
karier kita pun akan cepat berkembang pula. Kita jadi punya andil untuk
mengembangkan usaha menjadi besar, dan akhirnya kita akan lebih cepat jadi
pemimpin perusahaan.
Kasus pemutusan hubungan kerja (PHK)
tidak akan membuat kita berhenti bekerja, kalau kita mempunyai jiwa
kepemimpinan. Tapi sebaliknya, kalau kita terus menerus menjadi bawahan,
akibatnya kita tidak punya keberanian menjadi pemimpin. Kita juga tidak akan
memiliki keberanian untuk mencoba punya bisnis sendiri. Akhirnya sekarang, kita
hanya memiliki dua pilihan: kita menyerah saja menjadi bawahan atau kita tetap
berusaha untuk menjadi seorang pemimpin.
Saya rasa, kita sendirilah yang bisa
"memotret diri" kita sendiri, dan bukan orang lain. Dan, kita memang
harus bisa tumbuh sendiri, tidak soal seberapa besar perusahaan atau bisnis
yang dipimpin. Tapi yang penting, kita dengan sadar telah membangun diri kita
menjadi pemimpin. Anda berani memimpin?
M
|
emajukan perusahaan, saya kira, itu
bukan hal yang mustahil. Asal kita mau berusaha mewujudkan keinginan tersebut.
Di antaranya, perusahaan yang kita geluti sekarang ini harus diusahakan
memiliki manajer yang benar-benar berjiwa entrepreneur.
Itu sangat penting. Sebab, jika
tidak, akan berakibat pada perusahaan atau bisnis kita sendiri, yakni akan
berada pada posisi stabil atau status quo. Kondisinya hanya begitu-begitu saja.
Tapi lain halnya, kalau perusahaan
kita itu memiliki manajer yang berjiwa entrepreneur, maka saya yakin bisnis
yang kita jalankan akan lebih berpeluang cepat berkembang. Dan, kita juga akan
lebih siap meng¬hadapi persaingan bisnis yang ketat di era globalisasi.
Selain itu, manajer berjiwa
entrepreneur akan membuat perusahaan kita lebih kreatif dan inovatif. Sebab,
bisnis yang sudah mencapai titik optimum itu biasanya jika tidak disentuh
dengan manajer berjiwa entre¬preneur, akan mengalami kondisi yang menurun.
Saya sendiri merasakan bahwa, jika
suatu perusahaan itu memiliki manajer yang berjiwa entrepreneur, juga akan
selalu siap menghadapi setiap perubahan dalam bisnis.
Dan, perubahan tersebut bagi manajer
berjiwa entrepreneur, adalah bagian dari pekerjaannya. Sedangkan, risiko yang
timbul pun bagian dari pekerjaannya, Persis seperti yang dikatakan oleh Willim
Ahmanson, bahwa dalam bisnis itu, tidak ada jalan lurus yang dapat ditempuh
dari tempat satu ke tempat lain.
Maka, dalam konteks inilah, saya
melihat bahwa bisnis itu memang ada tiga komponen, yakni meliputi: investor
(orang yang mencari risiko), entrepreneur (orang yang mengambil risiko), dan
manajer (orang yang menghindar dari risiko). Dan, dalam keadaan kondisi bisnis
yang baik, jiwa entrepreneur menjadi hal penting. Apalagi di saat kita harus
menghadapi krisis ekonomi, tentu saja akan lebih penting lagi.
Karena itu, kita bisa melihat,
bagaimana orang-orang Barat yang bergerak di dunia usaha juga terus melakukan
pengembangan bentuk¬bentuk intuisi, yang saya tahu itu sangat banyak membantu
dalam pengembangan usahanya. Itu juga pertanda, bahwa dia memiliki jiwa
entrepreneur.
Adapun ciri-ciri manajer yang
berjiwa entrepreneur memang tidak hanya itu. Menurut J. A. Schumpeter dalam
bukunya "The Entrepreneur as lnnovato?, manajer yang berjiwa entrepreneur
juga merupakan sosok yang berambisi tinggi di dalam mengembangkan bisnisnya,
enerjik, percaya diri, kreatif dan inovatif, senang dan pandai bergaul,
berpan¬dangan ke depan, bersifat fleksibel, berani terhadap risiko, senang
mandiri dan bebas, banyak inisiatif dan bertanggung jawab, optimistik, memandang
kegagalan sebagai pengalaman yang berharga (positif), selalu berorientasi pada
keuntungan, dan gemar berkompetisi.
Berbeda dan manajer yang tidak
berjiwa entrepreneur. Maka, dia akan cenderung berpikir sangat rasional, suka
kemapanan, dan tidak menginginkan adanya perubahan. Kerap kali terjadi seorang
manajer akan mengalami kesulitan dalam mengikuti gaya berpikir seorang
entrepreneur. Dia juga akan kesulitan mengikuti setiap langkalrlangkah bisnis
entrepreneur.
Hanya saja, seorang manajer yang
memiliki jiwa entrepreneur itu bisa jadi akan menjadi entrepreneur sejati. Dan,
sebaiknya manajer perusahaan kita yang berjiwa entrepreneur itu, kita beri lagi
sebuah tantangan yang lebih besar, misalnya mengelola unit usaha kita yang
lain. Atau, bisa juga dia keluar dari perusahaan kita.
Lantas berbekal jiwa entrepreneur
yang dimilikinya, dia memberanikan diri mendirikan perusahaan sendiri. Itu
lebih baik. Sebab tindakannya akan membantu menciptakan lapangan kerja.
Entrepreneur-entrepreneur baru juga akan semakin sering bermunculan.
Memang, pada akhirnya bisa saja dia
akan menjadi pesaing kita sendiri, pesaing perusahaan kita, jika ternyata
bisnis yang digelutinya sama dengan kita. Anggap saja, itu sebagai "bumbu
penyedap" dalam kita menggeluti bisnis.
.
J
|
anganlah Anda
menaruh telur dalam satu keranjang, kalau ter¬gunjang dan jika semua telur
pecah, hilang semua harapan tanpa sisa. Dalam konteks entrepreneur, petuah itu
bisa dijabarkan menjadi janganlah menaruh harapan pada satu usaha. Seorang
pengusaha akan semakin diakui kepiawaiannya bila sudah berhasil membuka usaha
dan berjalan mulus, pikiran untuk merintis usaha kedua, ketiga dan keempat.
Janganlah puas untuk mempunyai satu perusahaan sebagai satu-satunya sumber
penghasilan saja.
Bisnis itu seperti
roda, kadang di atas, kadang pula di bawah. Seiring berjalannya waktu, tak
semua jenis usaha bisa bertahan dan langgeng. Untuk itu, sebagai back up sangat
dianjurkan seorang pengusaha merintis usaha tanpa harus memikirkan, ada
kaitannya antara usaha baru dengan usaha sebelumnya. Sebagai business owner,
sebaiknya pengusaha itu tidak perlu fokus pada usahanya. Memang saat perintisan
usaha, fokus memang perlu, tapi setelah usaha berjalan dan para staf atau
manajer bisa menjalankannya, pemilik tak perlu fokus memikirkan masa depan
usaha itu, lebih baik memikirkan ide untuk membuka usaha baru lainnya. Semakin
banyak usaha baru yang bisa dibuka semakin banyak lapangan kerja bisa tersedia
dan tenaga yang bisa ditampung pun semakin banyak.
Yang tak kalah
penting, apa pun dalam bisnis hendaknya terus mengembangkan konsep melayani
lebih banyak orang. Oleh karena dengan semakin banyaknya orang yang bisa
dilayani, bisa ditebak, akan semakin banyak rezeki yang bisa kita petik. Kalau
kita melayani ratusan maka kita bisa berharap jutaan rupiah bisa kita dapat,
kalau jutaan orang yang bisa kita layani lewat usaha kita, maka miliaran rupiah
bisa kita peroleh, begitu seterusnya, jadi jangan lelah melayani karena itu
akan berbanding lurus dengan rezeki.
Jangan lupa, kalau
sudah banyak rezeki banyak pulalah beramal. Janganlah berpikir negatif pada
para peminta sumbangan yang datang, justru kita diingatkan untuk menyumbang.
Bahkan boleh ditafsirkan, menyumbang itu ibarat seorang pengusaha yang sedang
belajar berinvestasi, memberikan dana tanpa berpikir kepastian. Itu tanda kita
berani menghadapi risiko, itulah yang menjadi ciri entrepreneur sejati.
B
|
arangkali kita semua tahu, bahwa
salah satu tugas seorang entrepreneur adalah tugas kepemimpinan. Memang idealnya,
entrepreneur adalah sekaligus seorang pemimpin. Paradigma baru, pemimpin yang
baik adalah pemimpin yang mampu memberikan pelayanan pada orang yang
dipimpinnya atau bawahannya. Maksud saya, entrepreneur sebagai pemimpin, juga
sekaligus sebagai orang yang mau melayani. Jangan sampai kemudian terbalik,
bahwa pemimpin itu justru rninta dilayani.
Dalam konteks inilah, barangkali
kita perlu kembali menyadari, bahwa sebagai entrepreneur, apalagi yang baru
saja membuka bisnis, maka sesungguhnya sangatlah perlu mengutamakan pelayanan.
Misalnya, bagaimana kita melayani konsumen. Bagaimana konsumen puas dengan
layanan kita. Dan, bagi kita yang memiliki perusahaan sudah relatif maju, maka
konsumen biasanya diberikan pelayanan oleh karyawan kita. Sedang karyawan
dilayani oleh manajernya, dan para manajer semestinya dilayani oleh direksi.
Sedangkan, direksi dilayani oleh pemilik bisnisnya.
Tentu kita akan bertanya, lantas
siapa yang melayani si pemilik bisnis? Jawabannya bisa sangat banyak. Tapi yang
jelas, menurut saya konsep melayani memang mudah diucapkan, tapi sangat berat
untuk dilaksanakan.
Sebagai entrepreneur yang sudah
cukup lama menggeluti dunia bisnis, pasti akan selalu berhubungan dengan banyak
orang. Apalagi kita sebagai seorang pemimpin perusahaan, tentunya melayani
banyak orang adalah pekerjaan yang harus dilakukan. Melayani banyak orang
artinya bisnis kita jalan. Saya kira, melayani itu harus mengalahkan diri kita
dulu sebelum memberikan pelayanan kepada orang lain. Melayani berarti tidak
boleh pilih kasih. Pelayanan bisa berarti kita melayani orang-orang di
lingkungan bisnis kita. Dan, kita tak mungkin bekerja tanpa harus saling
melayani.
Melayani bawahan berarti memberikan
perhatian pada bawahan kita. Melayani manajer berarti memberikan penghargaan pada
mereka. Dan, melayani konsumen adalah pekerjaan kita yang utama. Perusahaan
yang ingin berkembang, maka pelayanan adalah segala-galanya. Bisnis melayani
banyak orang akan mendatangkan banyak omzet.
Saya sependapat dengan Robert T.
Kiyosaki, dalam bukunya yang ke-4 berjudul "Rich Kid, Smart Kid. Dalam
buku tersebut dikatakan, bahwa jika kita membangun sebuah bisnis yang melayani
ribuan orang, sebagai timbal balik dari bisnis kita, maka kita akan menjadi
jutawan. Nah, kalau kita melayani jutaan orang, maka kita pun akan menjadi
miliarder. Oleh karena itu, kita sebagai entrepreneur harus selalu siap
melayani banyak orang, dan jangan alergi melakukannya. Percayalah, dengan kita
semakin melayani banyak orang, maka rezeki yang datang pun semakin banyak pula.
B
|
isnis, biasanya dimulai dengan
coba-coba, kadang malah asalan-asalan. Dimulai dengan modal seadanya, tempat
seadanya, dengan orang yang sama-sama belajar dari nol. Saya kira, dari memulai
yang serba kekurangan inilah yang akan membuat kita semakin cerdas dalam
berbisnis. Proses bisnis ini akan memberikan pengalaman bisnis yang semakin
hari mencerdaskan kita.
Belajar dari pengalaman bisnis
setiap hari dan kebutuhan akan kemajuan bisnis kita, mulailah kita memberikan
sentuhan manajemen, walaupun itu masih sangat sederhana. Sudah ada bagi-bagi
pekerjaan atau bagi-bagi fungsi. Ada yang pegang keuangan, ada yang sudah mulai
jadi bagian pemasaran. Ada yang bagian produksi, ada juga yang ngurusi
karyawan. Malah terkadang ada beberapa pekerjaan masih dirangkap satu orang.
Ini adalah proses menuju bisnis yang sesungguhnya. Artinya, bisnis yang
memiliki sistem yang baik. Dengan sudah adanya sistem, kita sebagai pengusaha
memiliki banyak waktu luang. Oleh karena, sistem sudah berjalan dengan baik.
Ketika sebelum ada sistem, pengusaha cenderung mengelola perusahaan dengan full
time. Kini, setelah ada sistem, cukup dengan part time.
Oleh karena itu, menurut saya, jika
perusahaan kita sudah memiliki sistem yang baik, dan bisnis kita relatif
berkembang, maka kesempatan kita untuk mengembangkan bisnis sangat terbuka
luas, termasuk membuka bisnis baru. Berdasarkan pengalaman saya, lebih mudah
membangun bisnis yang ke-2, ke-3, dan seterusnya, daripada ketika memulai
bisnis yang pertama. Karena, di saat memulai bisnis yang pertama kita belum
punya apa-apa. Sementara, membangun bisnis yang ke-2, ke-3, dan seterusnya
lebih mudah karena bisnis kita yang pertama sudah memiliki sistem yang baik.
Saya kira, perlu dipertimbangkan matang-matang jika kita ingin mencoba
membangun bisnis yang ke-2, seharusnya bisnis kita yang pertama sudah memiliki
sistem yang baik.
Dengan aktivitas kita yang
sebelumnya full time, dan sebagai entrepreneur menjadi part time, dimungkinkan
kita memiliki banyak waktu luang. Banyaknya waktu luang itu, membuat kita
sebagai entrepreneur akan lebih fokus dalam menciptakan bisnis-bisnis baru.
Menciptakan bisnis baru itu berarti kita telah menciptakan sumber penghasilan
baru. Jika perusahaan kita memiliki sistem yang baik, maka manajer dan karyawan
akan bekerja sesuai dengan apa yang kita inginkan. Sehingga, banyak pekerjaan
yang sudah terbagi habis oleh para profesional di lingkungan bisnis kita. Dalam
konteks inilah, entrepreneur tidak harus fokus. Justru yang harus fokus adalah
orang¬orang yang mengelola bisnis kita. Hanya mungkin, kita harus ikut fokus di
awal berdirinya bisnis tersebut. Setelah bisnis kita kelihatan jalan, yah cari
fokus yang lain.
Sebagai entrepreneur, sebaiknya kita
tidak hanya memiliki satu sumber penghasilan saja. Tetapi bagaimana, kita dapat
menciptakan banyak sumber penghasilan. Ibarat kita punya telur sepuluh menetas
sembilan, itu lebih baik daripada hanya mempunyai satu telur yang menetas.
Dengan kita membuat bisnis yang ke-2, ke-3, dan seterusnya, kita berharap
mendapatkan penghasilan yang ke-2, ke-3, dan seterusnya. Sehingga, dengan kita
memiliki banyak sumber penghasilan, maka kita sebagai pengusaha mempunyai
peluang untuk memiliki kebebasan finansial.
Semangat kita menciptakan bisnis
ke-2, ke-3, dan seterusnya akan punya dampak sosial, yaitu menciptakan lapangan
kerja, membagi-bagi keuntungan, dan lain-lain. Artinya, kita sebagai
entrepreneur memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Silakan mencoba!
S
|
aya berpendapat bahwa sebenarnya
keberanian kita memberikan , sumbangan pada orang lain atau pihak lain yang
kita berikan secara ulus ikhlas adalah sama halnya dengan kita telah memiliki
jiwa mtrepreneur atau jiwa wirausaha. Saya yakin, pasti Anda bertanya, :enapa
demikian? Padahal kita tahu bahwa sebagian uang yang kita niliki telah kita
sumbangkan pada orang lain. Tapi, saya melihat, sikap virausahawan yang seperti
itu pertanda bahwa dia telah memiliki suatu :eberanian mengambil risiko yang
harus selalu dimiliki oleh seorang virausahawan. Dan, sebagai wirausahawan kita
tetap memiliki cepedulian sosial.
Hanya saja, masing-masing
wirausahawan di dalam memberikan 3umbangan tentu saja besarnya berbeda-beda.
Tergantung keikhlasan -nasing-masing. Barangkali sudah selayaknya kalau cukup
berhasil 9alam bisnis kita lantas memberikan sumbangan yang cukup berarti, itu
wajar saja. Berbeda halnya dengan mereka yang pendapatannya masih reelatif
kecil. Namun sekali pun pendapatan kecil sebaiknya kita juga membiasakan untuk
menyumbang.
Oleh karena itu, saya kira, kita tak
perlu berpikir negatif kalau tiba-tiba di kantor kita kedatangan tamu yang
minta sumbangan. Berpikir positif saja. Justru kita seharusnya berterima kasih
pada sang tamu yang minta sumbangan pada kita, bahwa di tengah kesibukan kita
sehari-hari dalam menjalankan bisnis, ternyata masih ada orang yang
mengingatkan kita atau yang mengetuk hati kita untuk ikhlas memberikan
sumbangan.
Dalam konteks inilah, mengapa saya
menganggap bahwa sesungguhnya pemberian sumbangan ini adalah langkah positif
dan langkah maju. Bahkan, bisa saya artikan kalau kita berani menyumbang, maka
kita tidak akan takut lagi berinvestasi. Kita juga tidak akan takut lagi
memulai atau mengembangkan bisnis. Karena, kita sudah terbiasa terlatih dengan
ketidaktakutan memberikan sumbangan. Berani menyumbang dan berinvestasi
merupakan keberanian kita untuk menghadapi risiko dan ketidakpastian.
Singkatnya kalau kita berani
menyumbang pasti kita telah memiliki keberanian memulai bisnis atau
mengembangkan bisnis, dan memiliki keberanian berinvestasi. Sesungguhnya
keberanian kita memberikan sumbangan mudah-mudahan akan membantu melancarkan
bisnis yang kita jalani saat ini. Percayalah, banyak menyumbang banyak rezeki.
H
|
aruskah saya membuka rumah makan
padang?" Itulah pertanyaan yang sempat muncul dalam benak saya saat itu.
Ketika ide semacam ini saya coba lontarkan pada orang lain, mereka malah
pesimis dan menanyakan: "Mengapa Anda harus membuka bisnis rumah makan
padang, padahal bisnis seperti itu 'kan sudah menjamur. Apakah punya prospek
bagus?"
Dengan adanya berbagi komentar
tersebut, membuat saya semakin tertantang untuk membuktikannya. Padahal,
sebelumnya saya sama sekali belum pernah terjun ke bisnis rumah makan, tetapi
hal itu saya anggap saja sebagai peluang bisnis.
Sebagai entrepreneur, saya harus
berani mencoba untuk membuktikan¬nya, dan sanggup mengambil keputusan yang
tepat. Namun saat ini saya tetap optimis, bahwa ide tersebut bisa terealisir.
Pada akhirnya saya mengambil keputusan, bahwa saya harus berani mencoba bisnis
ini. Saya yakin peluang pasar tetap ada, khususnya untuk kalangan masyarakat
menengah ke atas.
Ternyata, bisnis ini berwujud dan
jalan, bahkan di masa krisis pun, saya optimis bisnis rumah makan tetap
prospektif. Kenyataannya, tamu semakin banyak, ada menteri, tokoh masyarakat,
artis, dan kalangan pengusaha.
Di dalam mengambil keputusan,
pertimbangan intuisi saya rupanya lebih peka dari pertimbangan rasional. Memang
sebagai entrepreneur kita harus berani menggunakan intuisi secara efektif, baik
untuk mengambil keputusan dalam bisnis maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Meskipun kemungkinan kita tidak menya-dari prosesnya, bahwa setiap keputusan
yang kita buat dengan menggunakan intuisi ini hanya salah satu contoh dari sekian
banyak pengalaman yang saya alami.
Saya merasakan betul, betapa
tajamnya sentuhan intuisi itu. Hal itulah yang barangkali memungkinkan saya
membiarkan data intuisi itu melengkapi data lain, yang akhirnya saya gunakan
dalam membuat keputusan. Sehingga, saya semakin yakin, bahwa dalam menggeluti
bisnis maupun kehidupan ini, sebaiknya kita tetap menggunakan intuisi. Sebab,
intuisi akan ikut membuka pikiran dan memberikan nilai tambah bagi emosi kita, dan
intuisi memberdayakan kita agar semakin produktif dan aktif dalam setiap
situasi.
Intuisi menjadi sangat penting,
tidak hanya untuk kepentingan sekarang, namun juga untuk kepentingan masa
depan. Sebab, diperkirakan tantangan bisnis di masa mendatang, relatif berbeda
dengan sekarang. Perubahannya sangat cepat dan serba kacau, tidak menentu,
sehingga sulit bagi kita untuk memprediksikannya.
Suatu tantangan dengan tingkat
turbulensi yang tidak menentu semacam ini, jelas akan membuat intuisi kita
semakin berperan dalam setiap mengambil keputusan. Kemungkinan ilmu manajemen
yang sekarang kita geluti, masih sulit untuk bisa memecahkan berbagai tantangan
yng akan terjadi di masa mendatang. Padahal, kita tentunya tetap berharap,
bahwa bisnis yang kita jalani sekarang ini harus tetap terus berkembang.
Kita sebagai entrepreneur, disukai
atau tidak, harus tajam dalam intuisi. Kita harus mampu berpikir cepat, dan
akhirnya mampu mengambil keputusan yang tepat. Saya melihat ada sesuatu yang
unik pada intuisi, yakni berlawanan dengan proses nalar. Proses intuisi itu
tidak linier (bermacam-macam pola), sedang proses rasional adalah linier. Itu
sebabnya, mengapa kebanyakan entrepreneur dalam setiap mengambil keputusan atau
langkah dalam bisnisnya, sering membuat kejutan, tidak rasional, dan berani
menghadapi risiko.
Oleh karena itu, saya setuju
pendapat yang mengatakan, bahwa antara intuisi dan irasionalitas, saling
berkaitan. Sebagian keputusan yang kita ambil merupakan campuran berbagai macam
ingatan, gagasan, perasaan, dan fakta yang kadang-kadang saling bertentangan.
Sehingga, "sen¬tuhan" intuitif itu memungkinkan kita membiarkan data
intuisi itu melengkapi data lain yang akan kita gunakan untuk mengambil
keputusan.
Menurut Quin Spitser dan Ron Evans,
intuisi adalah analisa kilat dari fakta menggunakan pengetahuan dan pengalaman
sebagai filter. Dalam bisnis, memang dikenal adanya intuisi bisnis. Di dalamnya
ada wawasan, pengalaman, mental, dan perasaan, tapi ada juga wawasan yang luas,
pengalaman banyak, dan mental yang dalam. Intuisi ada empat tingkatan, yaitu
bisa muncul melalui fisik, emosi, mental, dan spiritual.
Banyak cara mengembangkan intuisi,
di antaranya seperti yang dikembangkan oleh Robert K. Cooper, PhD, yaitu:
terjun ke dalam pengalaman, kerahkan kemampuan sedikit lebih banyak, tetap
terbuka terhadap segala kemungkinan, atasi rasa takut, kenali dan cari cara
untuk mengatasi apa pun yang menghalanginya. Selain itu Cooper juga
menyarankan, supaya peluang pengindraan harus keluar dunia bisnis, berikan
perhatian ekstra kepada tanggapan pertama terhadap pertanyaan-pertanyaan,
perhatikan bagaimana intuisi berkomunikasi dengan diri kita, luangkan waktu
beberapa menit saja dalam sehari untuk catatan kecerdasan emosional, dan jangan
lupa memperluas rasa percaya diri. Anda berani mencoba?
.
D
|
alam bisnis,
intuisi atau mengedepankan peran otak kanan ketimbang hitungan rasional
adalah penting. Untuk itu, ketajaman intuisi seorang entrepreneur mestinya
terus diasah. Kadang dalam menjalankan usaha apalagi yang sudah berjalan lama
akan terjadi status quo atau kejenuhan. Bagian ini akan memberi solusi
bagaimana mengatasi kejenuhan dalam usaha, selain memikirkan ide usaha baru,
tak ada salahnya seorang pengusaha bisa melakukan jamming. Seperti dalam musik
jazz, musisi bisa melakukan jams session alias melakukan improvisasi bunyi dan nada
musik yang berbeda.
Seperti dalam musik
jazz, dalam bisnis juga perlu adanya harmoni dalam melakukan improvisasi. Untuk
itu, sebaiknya antara pemilik usaha dan para manajer dan staf harus ada
kesamaan harmoni dan simponi, agar ide-ide bisnis yang hendak diciptakan
selaras dan 'enak dinikmati' serta tidak terkesan main send iri-sendiri. Kalau
antara pemilik usaha, para manajer dan para staf terjadi harmoni dan kompak
dalam melakukan jammihg atau improvisasi, pasti akan muncul gagasan-gagasan
baru yang segar, sehingga membuat bisnis terus maju dan penuh gairah. Bisnis
menjadi arena kehidupan yang menyenangkan dan menantang untuk diarungi. Itulah
dunia entrepreneur.
Tolok-ukur
kesuksesan sebuah usaha adalah terus bergerak maju dan berkembang mengikuti
perubahan zaman. Dengan terus menggunakan kepekaan kita terhadap kondisi dan
tuntutan pasar yang berubah, kita juga harus bersikap terbuka menerima ide-ide
baru, dengan begitu kita semakin tangkas menangkap ide-ide bisnis baru dan
tampil sebagai pelopor atau trendsetter dalam bisnis itu. Menjadi yang pertama dan
utama, di situlah sukses awal bisnis bisa dipetik!
D
|
alam menghadapi dan menjawab kondisi
ekonomi yang terus berkembang, cenderung berfluktuatif, dan tidak menentu
sekarang ini, maka saya pikir sebaiknya kita melakukan jamming. Tom Peter,
mengungkapkan bahwa perubahan yang serba cepat dan cenderung kacau itu pertanda
zaman edan.
Sehingga, disukai atau tidak
disukai, kita harus berani akrab dengan kekacauan. Saya yakin, jika kita punya
keberanian yang besar untuk melakukan jammihg akan sangat mungkin membantu
bisnis kita untuk terus berkembang.
Menurut John Kao, pakar
kewirausahaan terkemuka yang pernah mengajar di Harvard Business School dan
Stanford University, jamming itu identik dengan improvisasi inilah akan
memunculkan banyak ide-ide bisnis yang kreatif dan inovatif. Dan hal ini akan
sangat menguntungkan bagi kemajuan bisnis kita.
Hanya masalahnya sekarang adalah,
apakah "pemain lain" atau katakanlah manajer dan karyawan kita itu
bisa kompak atau tidak dalam melakukan jamming. Saya berpendapat bahwa jamming
akan berhasil, jika di bawahnya kompak. Ini penting. Mengingat, bahwa setiap
manajer maupun karyawan adalah mitra kreatif dalam bisnis kita. Dengan begitu,
kita sebagai entrepreneur akan lebih siap menghadapi setiap perubahan, dan akan
lebih siap lagi mengatasi krisis, jika kita berhasil melakukan jamming.
Memang, tidak setiap perusahaan itu
berani melakukannya. Antara lain, karena masih adanya perasaan takut dengan
munculnya perubahan. Masih adanya keinginan untuk mempertahankan status quo.
Tapi, saya pikir, jika sesuatunya tidak jelas ke depan, maka lebih baik
jamming. Sehingga, kita akan lebih bisa leluasa untuk bertindak luwes dalam
berbisnis pada situasi apa pun.
Jamming atau improvisasi menurut
saya, bukanlah seni yang hanya dimiliki musisi jazz. Tapi jamming juga harus
dimiliki oleh entrepreneur yang memiliki intuisi yang tajam. Dan, kalaupun
misalnya, manajer atau karyawan kita juga melakukan jamming dengan melontarkan
ide-ide kreatif yang dapat dilaksanakan, itu juga positif.
Anggap saja, ide-ide kreatif yang
berbeda-beda dalam perusahaan kita seperti bunga yang berwarna-warni yang
semerbak harum. baunya. Namun, tentu saja semua ide-ide bisnis kreatif itu
harus tetap terkoordinasi dengan baik. Pendeknya, kita sebagai entrepreneur
harus bisa memimpin atau mengkoordinasikan semua itu.
Kita lihat saja, bagaimana para
musisi jazz itu mampu bermain dalam sebuah struktur. Mereka bersepakat tentang
siapa yang akan bermain, dan kapan memulainya. Karena ada yang memimpin, maka
mereka menjadi kompak, sehingga melahirkan irama-irama musik yang terdengar
merdu. Sebaliknya, jika terjadi ketidakkompakan itu justru akan menimbulkan
kebisingan. Sebab, musik jazz sebagaimana halnya bisnis memang menggambarkan
serangkaian perilaku kita yang seimbang. Artinya, setiap permainan walaupun
eksperimental, namun kesemuanya tetap masih bisa diatur sedemikian rupa. Begitu
juga dalam bisnis.
Saya rasa,
"permainan-permainan" semacam ini akan sangat mungkin terjadi. Ada
baiknya, hal itu janganlah sebagai hambatan di dalam kita menggeluti bisnis.
Tapi, justru hal itu akan lebih membuat kita dinamis, penuh semangat, dan tekun
dalam berbisnis. Oleh karena itu, di era global yang terus menerus menuntut
kita untuk melakukan hal-hal baru secara lebih cepat seperti sekarang ini, ada
baiknya selalu melakukan jamming. Anda berani mencoba?
Z
|
aman semakin maju, dan waktu terasa cepat. Itu
barangkali, yang kita rasakan saat ini. Maka, agar kita tidak ketinggalan,
zaman, sebaiknya entrepreneur harus lebih mampu bergerak cepat, lebih proaktif,
dan berani mengambil risiko. Dengan demikian, kita akan lebih mudah
mengantisipasi kemungkinan munculnya berbagai kendala bisnis yang mungkin
terjadi. Bukan bersikap seperti dulu, yang hanya reaktif dan menghindari
risiko.
Saya jadi teringat dengan Rupert
Murdoch, yang melangkah cepat dalam bisnisnya. Pada saat bos perusahaan lainnya
masih terlelap tidur, ia selalu menjadi penelepon pertama untuk melakukan
negosiasi bisnis. Dengan bergerak cepat, ia mampu mengambil keputusan lebih
cepat dari pesaingnya. Bagi Murdoch, bergerak lamban adalah milik mereka yang
kalah. Langkah semacam ini, saya kira menunjukkan, jika kita tidak bertindak
dan bergerak, maka bisnis yang kita geluti sekarang akan sulit bergerak maju.
Karena, pada dasarnya, bergerak adalah awal kesuksesan bisnis kita.
Dalam konteks ini, saya sependapat
dengan Matthew J. Kiernan, penulis The Commandements or the 21st Century
Management' yang mengatakan, bahwa dalam bisnis telah terjadi pergeseran
paradigma. Jika, di abad ke-20, bisnis kita lebih terkesan stabil dan bisa
diprediksi, namun di abad ke-21 atau di era milenium ketiga ini, perubahannya
cenderung terputus-putus.
Begitu pula, bisnis kita yang dulu
lebih didasarkan ukuran dan skala, tapi kini lebih pada kecepatan dan
responsif. Kepemimpinan, kalau dulu banyak dilakukan dari atas, kini dilakukan
semua orang. Maka, tak mengherankan bila dalam menjalankan bisnis di era
milenium ketiga ini, memang dituntut untuk lebih luwes, tidak kaku. Sebab,
perjalanan bisnis lebih dikendalikan oleh visi dan nilai-nilai. Dibandingkan
sebelumnya yang semata-mata hanya dikendalikan peraturan dan hierarki.
Selain itu, kalau kita dulu di dalam
menjalankan bisnis selalu membu¬tuhkan kepastian, tapi kini harus lebih toleran
terhadap ambiguitas atau memiliki sikap mendua. Soal informasi bisnis demikian
juga, yang sebelumnya hanya untuk pucuk pemimpin, tapi kini disebarkan ke semua
orang. Sehingga, saat ini bisnis tak tagi mengandalkan pada analisis
kuantitatif, namun lebih pada kreativitas dan intuisi.
Tanpa itu, saya kira bisnis yang
kita jalankan sekarang ini akan banyak tersendat atau sulit untuk maju. Bahkan
kalau dulunya kita berkeyakinan, bahwa masing-masing perusahaan bisa mandiri,
tapi sekarang terasa sulit. Oleh karena pada dasarnya, perusahaan-perusahaan
akan saling tergantung satu dengan yang lainnya.
Pergeseran paradigma bisnis di era
milenium ini, juga akan mengajak kita kalau dulu hanya berfokus pada organisasi
intemal, tapi kini kita harus lebih fokus pada lingkungan yang kompetitif. Juga
dari integrasi vertikal ke integrasi maya. Seperti Amazon.com, toko buku
virtual pertama dan terakbar di dunia maya. Bahkan kalau dulu kita hanya
bersaing untuk pasar masa kini, tapi sekarang kita justru lebih tertantang
untuk menciptakan pasar masa depan. Oleh karena itu, kita jangan lagi hanya
mengandalkan pada keunggulan kompetitif yang berkesinambungan tapi justru harus
terus-menerus mencari keunggulan.
Saya yakin, dengan kepekaan kita
terhadap kondisi tersebut, maka kita akan lebih siap menghadapi kondisi yang
berubah-ubah, lebih terbuka menerima ide-ide baru. Bahkan, kita akan lebih
piawai dalam mengambil kesempatan bisnis, lebih berani mengambil risiko, dan
tentu saja akan lebih siap meraih keberhasilan. Anda berani mencoba?
G
|
olf sebagai olah raga atau sport
yang tak hanya untuk kesehatan saja, tapi secara psikologis kita juga akan
mendapatkan suasana yang hampir sama dengan kegiatan bisnis. Misalnya, ketika
kita harus memukul bola, bola bisa jauh atau dekat, lurus atau kiri-kanan, bisa
masuk ke lubang, tapi bisa juga tak masuk ke lubang. Bisa sukses, bisa gagal.
Begitu juga dalam menekuni bisnis. Bisnis kita bisa saja sukses, tapi bisa juga
gagal.
Dalam olah raga golf, ketika kita
gagal memasukkan bola ke lubang, maka kegagalan itu bisa saja kita perbaiki
pada saat itu juga, walaupun mungkin sudah masuk dalam hitungan atau penilaian.
Soal penilaian tentu saja berbeda saat kita masih sekolah dulu. Katakanlah,
kalau saat sekolah dulu kita mendapatkan nilai 8 atau nilai 9 tentu saja nilai
itu sudah bagus. Sementara, di golf berbeda. Justru nilai 8 atau nilai 9 itu
jelek. Lantas, nilai yang terbaik adalah 1, atau yang biasa disebut hole in
one. Sedang nilai baik lainnya 2, 3, 4, 5 tergantung jaraknya (par-nya). Itu
sama artinya, permainan kita bagus kalau saja saat kita memukulnya paling
sedikit atau banyak melakukan kesalahan atau kegagalan.
Sedang kalau dalam bisnis kegagalan
itu bisa berisiko finansial. Tapi dalam golf, kegagalan itu biasa kita artikan
bahwa, bola lari kanan-kiri, bola masuk kolam, bola hilang, mukulnya banyak.
Tentu kalau kita jelek kita akan penasaran dan ingin mengulangi supaya mainnya
lebih bagus.
Jika kita main bagus, juga akan
membuat kita penasaran untuk mengulangi lagi.
Manfaat lain dengan kita rajin
berolahraga golf, kita akan oisa ambil hikmahnya pada aspek manajemennya. Dalam
konteks inilah, saya melihat bahwa manajemen golf itu sendiri sangat baik untuk
kita pelajari. Misalnya, bagaimana kita menggunakan berbagai alat pemukul bola
atau stik. Alat tersebut seperti kita ketahui punya fungsi yang berbeda, yang
membuat jarak pukulannya juga berbeda. Termasuk kejelian kita mau pakai stik
nomor berapa untuk memukul bola golf itu. Memang, tak sedikit tantangan atau
hambatan yang harus kita lakukan. Misalnya saja, bagaimana cara memukulnya,
kalau bola itu masuk bunker atau pasir. Belum lagi, menghadapi arah angin yang
kencang. Dan setiap kita bermain akan mendapatkan suasana yang berbeda. Sama
dengan bisnis kita.
Nah, kalau saat ini sebagai
entrepreneur, tak ada salahnya kita mempelajari manajemen golf sehingga kita
pandai dalam memilih staf atau karyawan. Kita juga akan semakin banyak relasi
atau lebih mudah berhubungan dengan orang lain, dan membuat kita lebih mudah
cepat akrab. Jelas, manfaatnya kita akan bisa melakukan lobi-lobi
bisnis.'Selain itu bukan hal yang tak mungkin, segala keputusan bisnis bisa
kita lakukan dari lapangan golf. Dalam mengelola perusahaan, kita bisa juga
melakukan dari lapangan golf. Misalnya dengan menggunakan teknologi seperti HP,
itu kita bisa manfaatkan untuk bisnis.
Oleh karena itulah, ketika kita
sering melihat orang yang sehari-harinya di lapangan golf, namun ternyata
bisnisnya tetap saja jalan. Sehingga tak mengherankan kalau kita lantas
berkomentar, "Orang itu hobinya bisnis, tapi pekerjaannya main golf."
A
|
da sebuah manajemen yang menarik di
Indonesia, setidaknya itu menurut saya, yaitu manajemen restoran padang.
Mengapa demikian? Itu karena model manajemen ini menerapkan transparansi dalam
keuangan dan pembagian keuntungannya lewat sistem bagi hasil.
Dampak dari model manajemen ini,
memang tidak hanya pada faktor manajerial semata, tetapi juga berdampak pada
faktor pelayanan. Di mana, pelayanan yang serba cepat menjadikan Restoran
Padang dikenal. Kita pun bebas memilih menu. Menu pun bervariasi, begitu juga
minumannya. "Menu Nano-Nano" begitulah, banyak orang yang menyebut
buat aneka menu yang dihidangkan dan pasti dijamin halal.
Selain itu kelebihan Restoran Padang
adalah selain pelayanan cepat, juga lebih terkesan fleksibel. Artinya, hidangan
yang kita pesan itu bisa saja dimakan di restoran tersebut, tapi kita bisa juga
meminta karyawan Restoran Padang untuk membungkusnya dan kita santap di rumah.
Dan satu lagi, masakan padang punya rasa yang khas, dan memenuhi selera hampir
semua masyarakat dari berbagai negara. Selain itu, faktor kebersihan ruangan
juga selalu mendapat prioritas.
Dalam manajemen, di mana ada manajer
dan karyawan. Pada karyawan sendiri ada yang bagian dapur induk (koki), book
keeper (pembukuan), pantry (buat minuman), palung (pembawa makanan), teller
(pembayar pemasok), kasir, walter dan waitress Saya juga melihat, selain
transparan model manajemen bagi hasil itu telah menjadikan restoran padang
punya ciri khas sendiri.
Dan yang menarik lainnya adalah
hubungan antara pemilik modal dengan manajemen lebih sebagai mitra. Karena apa?
Mereka tidak mendapatkan gaji, namun mereka mendapatkan bagian dari keuntungan
bersih restoran tersebut. Jadi, dalam memberikan keuntungan itu, memang ada
pembAgian untuk penanam modal sendiri dan ada pula bagian keuntungan
manajemennya atau karyawannya. Itu biasanya dibagikan setelah keuntungan 2,5%
untuk zakat.
Sedang pendapatan karyawan adalah
dengan sistem poin. Jadi setiap karyawan punya poin atau nilai. Dan biasanya
perhitungannya dilakukan setiap 100 hari sekali. Nilai tertinggi ada pada
karyawan yang bekerja di dapur induk (koki). Mengapa demikian? Karena pada
bagian inilah yang mampu memberikan nilai rasa menu makanan maupun minuman yang
dihidangkan.
Saya kira, manajemen semacam ini
akan membuat mereka yang bekerja di restoran padang selalu punya semangat
tinggi. Dengan semakin tinggi semangat mereka bekerja, menjadikan hasil yang
diterima banyak. Kalau malas hasilnya pun sedikit. Selain itu, sistem
keuangannya yang selalu transparan menjadikan setiap karyawan level apa pun
tahu berapa omzet yang diraih perusahaan dalam setiap harinya. Sehingga hal itu
menjadikan karyawan akan lebih termotivasi untuk maju. Di samping itu,
manajemen padang juga mendidik karyawan lebih kompak bekerja. Sebab, tanpa ada
kekompakan mereka bekerja hasil yang diraih berkurang. Bahkan, bukan tak
mungkin hal itu menimbulkan dampak pada pelayanan maupun rasa.
Oleh karena itu, saya kira manajemen
padang ini bisa sebagai alternatif, dan cukup bagus untuk kita terapkan pada
sektor jasa maupun produksi lainnya. Dan, satu hal lagi yang menarik adalah,
karyawan restoran padang dengan manajemen seperti itu, tidak membuat setiap
karyawan menanyakan kapan SK (surat keputusan) pengangkatan kerja itu
dibagikan. Mereka juga tidak akan menanyakan kapan naik gaji. Sebaliknya,
justru mereka akan berupaya bagaimana harga poinnya bisa selalu naik. Karena harga
poin itulah yang akan menentukan jumlah penghasilan setiap bulan. Jadi yang
menentukan penghasilan adalah dirinya sendiri. Anda berani mencoba?
D
|
alam bisnis, laju dan majunya
perusahaan terkadang tergan-tung pada dari sudut mana kita melihat suatu
peristiwa yang kita alami dalam menjalankan usaha kita sehari-hari. Hal itu
pula yang saya alami dalam 25 tahun terakhir ini, jangan dikira, sebelum
akhirnya memiliki 600-an cabang Bimbel Primagama dan membuka puluhan usaha
lain, banyak sekali moment bisnis saya alami dengan beragam peristiwa tragis.
Akan tetapi hal itu justru mempertajam intuisi kita dalam mengembangkan usaha.
Cerita berikut bisa menjadi pengalaman bagi Anda betapa suatu tragedi terhadang
tak selamanya jadi halangan untuk mengembangkan usaha.
Dahulu ketika saya ingin
mengembangkan cabang baru Primagama di kota Solo, ada satu tragedi menarik yang
bisa saya ceritakan untuk pembaca. Kisahnya bermula dari mencari tempat usaha.
Setelah survei sana-sini, kami menemukan lokasi strategis untuk cabang pertama
Primagama di Solo, yakni sebuah rumah di Jalan Honggowongso. Akan tetapi
kondisi rumah tidak siap pakai, esok harinya saya perintahkan tukang untuk
membawa perlengkapan bangunan dan pertukangan untuk merenovasi rumah itu. Semua
perlengkapan dibawa dengan colt pickup dari Yogjakarta menuju Solo.
Rupanya dalam perjalanan ke Solo, di
Klaten, mobil pengangkut material itu malah menabrak pohon, barang bawaan jadi
rusak dan hancur. Saya sempat marah dengan sopir waktu itu. "Memangnya
kamu tidak melihat ada pohon nyebrang jalan kok sampai kamu tabrak?"
Kejadian itu memang sempat menjadi diskusi di kantor Primagama Yogja. Itu
pertanda buruk, jangan buka cabang di Solo dulu, itu musibah yang kata orang Jawa
ma/atl, bawa sial. Jadi sebaiknya ditunda dulu keinginan buka cabang di Solo,
belum juga mulai tapi sudah terjadi musibah, begitu komentar banyak teman
kantor.
Tapi waktu itu, dengan pola pikir
otak kanan, saya justru punya pandangan lain. Kasus tabrakan itu dalam
pandangan otak kanan saya justru ujian dalam bisnis. Dan biasanya ujian itu
adalah harga tebusan untuk meraih sukses yang lebih besar. Kalau belum-belum
sudah kena musibah, saya yakin Tuhan justru menjanjikan barokah rezeki besar
menanti di depan kalau kita berhasil melaluinya. Oleh karena itu, saya
perintahkan untuk jalan terus dan tetap membuka cabang Primagama, Solo, ya di
Jalan Honggowongso.
Alhamdulillah, intuisi otak kanan
dalam melihat peluang bisnis saya tak keliru. Justru sampai sekarang di Solo
yang kini sudah menjadi hampir 10 outlet bimbingan, menjadi salah satu kelompok
outlet Primagama paling gemuk dan paling banyak siswanya. Coba, kalau dahulu
saya memenuhi saran banyak orang untuk membatalkan buka cabang di Solo, cerita
sukses dari Cabang Solo tak akan terjadi dan boleh jadi sampai sekarang.
Primagama tak akan pernah punya cabang di Solo, karena percaya takhayul bisnis
yang temyata terbukti tidak benar.
Dalam mind set otak kanan, tidak
ikut arus dan berani menentang pola pikir lama yang menjadi keyakinan banyak
orang. Boleh jadi, saat melihat musibah yang kita hadapi dalam perjalanan
bisnis dengan cara pandang yang berbeda, bisa jadi kunci sukses kita. Tak
jarang justru musibah bisa berbuah barokah! Untuk itu, saya selalu menyarankan
kepada banyak teman, kalau memang kita yakin pada intuisi kita bahwa apa yang
kita lakukan benar dan akan mencapai sukses, kita harus menjalani target bisnis
kita dengan ngundung (keteguhan hati - istilah Jawa). Ya, kalau memang sudah
mau, ya harus dilakukan dengan keteguhan hati. Sudah banyak saya buktikan kalau
memang kita benar dan punya keteguhan hati, pasti kita bisa meraih sukses.
Satu lagi bukti, bahwa keyakinan dan
optimisme yang menjadi intuisi, mengantar kita menuju sukses bisnis. Beberapa
tahun lalu ketika saya membuka sekolah Entrepreneur University dengan konsep
tanpa nilai, tanpa ujian dan diwisuda setelah siswa terbukti berhasil menjadi
pengusaha itu sempat membuat Dirjen Dikti keberatan dan mengirimkan surat
teguran kepada saya. Intinya saya tidak diperbolehkan menggu¬nakan istilah
University pada sekolah entrepreneur itu. Oleh karena untuk menggunakan istilah
University harus banyak aturan formal yang dipenuhi.
Saya tidak takut dengan teguran itu.
Dengan santun saya balas surat teguran itu dan di surat tersebut saya jelaskan
bahkan Universty dalam Entrepreneur University itu hanya sebuah nama. Apalah
artinya sebuah nama? Karena, argumen saya, Laksamana Sukardi juga bukan seorang
laksamana dan Christine Hakim juga bukanlah seorang hakim peng¬adilan.
Alhamdulillah sampai sekarang surat teguran itu juga tak dibalas lagi dan
sampai sekarang EU sudah berkembang di banyak kota di Indonesia. Dan telah
melahirkan ribuan pengusaha baru yang jauh lebih berguna bagi bangsa ini,
daripada banyak lulusan universitas-universitas pada umumnya. Otak kanan
kembali membuktikan bisa meng-ubah bencana atau ancaman, justru menjadi peluang
yang gemilang.
.
G
|
ajah mati
meninggalkan gading, macan mati meninggalkan belang, pengusaha mati? Mestinya
meninggalkan nama besar dan sukses bisnis. Nah, berbeda dengan belajar di
sekolahan umumnya, mencotek itu dilarang dan ada hukuman bagi pelakunya. Tapi
dalam sekolah menjadi pengusaha, mencotek bisnis orang lain boleh-boleh saja,
tak jarang banyak ide bisnis baru muncul dan improvisasi ide bisnis lain yang
lebih dulu ada. Jadi, menjadi pengusaha dengan mencontek bisnis orang lain itu
sah-sah saja!
Pada bagian ini ada
beberapa sosok pengusaha atau model bisnis atau juga trik pemasaran yang
menarik untuk dipertimbangkan sebagai bahan contekan dan mungkin bisa
menginspirasi Anda menciptakan binsis baru yang cerdas dan lebih menarik dari
yang sudah ada sebelumnya. Misalnya, gaya Tensia, di mana lewat perusahaan
Tensia ide produk bisnis yang cemerlang, jangan berhenti tak bisa produksi
karena belum punya pabriknya, kita bisa minta si Tensi membuatkan atas nama
perusahaan kita. Akhirnya, ibarat tukang jahit, Tensia bisa kemeja dengan
banyak desain dari meng-inspirasi saya, kalau kita bisa BOPOL alias modal
Berani Optimis
membuat beragam
kaos atau berbagai merek. Ini sekaligus membuat bisnis dengan gaya Pabrik Orang
Lain!
Bisa pula kita
belajar pengalaman Hotel Marcopolo di Jakarta dalam membangun citra positifnya
buat para konsumen dari hal-hal sepele: Seluruh karyawan di semua lini dilarang
menerima tip dari tamu. Bahkan saya pemah memberi bellboy, sekadar bakpia
oleh-oleh makanan khas Yogya, pun ditolak dengan halus. Bayangkan, tak hanya No
Tipping tapi juga No Bakpia! Pelayanan yang bagus dan sikap bersih para karyawannya
membuat citra Hotel Marcopolo diterima positif oleh para tamu, akibatnya,
tingkat hunian hotel berbintang ini stabil, rata-rata 90%!
Memang tak semua
pengusaha itu ingin bisnisnya besar dan banyak cabang. Pak Widadi (65) pemilik
warung Soto Kadipiro, salah satu ikon kuliner yang wajib dicicipi kalau Anda
bertandang ke Yogya, malah rnenulis besar-besar di warung sotonya "Tidak
buka cabang di Jakarta atau Kota lainnya". Ini sosok pengusaha yang nrimo,
tak heran karena dia punya filosofi hidup, "Kamulyaning urip iku, dumunung
ono tentreming ati" Lebih jauh soal konsep dan filosofi bisnis Pak Widadi
bisa Anda simak di bagian ini.
U
|
ntuk kesekian kalinya, saya mencoba
menikmati sajian masakan di Rumah Makan Padang Sari Bundo di Jalan Juanda, Jakarta.
Rumah makan yang ngetop ini menjadi favorit banyak kalangan. Mulai dari
mahasiswa, wartawan, eksekutif sampai menteri. Bahkan, presiden pernah
merasakan nikmatnya makanan Ranah Minang ini. Padahal harganya cukup mahal
dibanding dengan rumah makan sejenisnya. Namun, siapa tidak kenal dengan Rumah
Makan Padang Sari Bundo ini, rumah makan Padang terlaris di Jakarta, yang
memiliki delapan puluh karyawan dan beromzet dua puluh lima juta per harinya
itu.
Dibanding rumah makan yang baru
berdiri, biasanya karyawannya banyak yang muda-muda, Sari Bundo yang didirikan
sejak tahun 1968 ini, ternyata sebagian besar usia karyawannya rata-rata sudah
cukup umur, bahkan ada yang ikut kerja sejak rumah makan ini berdiri. Maka tak
mengherankan, banyak di antara mereka yang sudah punya cucu.
Saya melihat loyalitas mereka
bekerja di Sari Bundo, karena paling tidak manajemen bagi hasil yang
diterapkan. Dengan sistem seperti itu, seperti kebanyakan restoran padang,
manajemen di sini terbuka atau transparan. Faktor kekeluargaan demikian kuat.
Dan, kebersamaan antara sesama profesi, hubungan baik pimpinan dan karyawan,
juga ikut menjadikan rumah makan ini tetap bertahan.
Dalam operasional rumah makan ini,
pemasukan dan pengeluaran setiap harinya semua karyawan ikut mengetahui. Sehingga,
ada rasa memiliki, dan akhirnya mereka pun optimal dalam bekerja. Bila laba
perusahaan sedikit, mereka semakin tertantang untuk kerja keras, dengan harapan
bisa meraih untung lebih banyak lagi.
Mereka percaya bahwa antusiasme
bekerja seperti "mukjizat" di dalam setiap menggeluti bisnis,
termasuk bisnis rumah makan Padang. Sehingga, wajar kalau karyawan di sini
sangat yakin bahwa bila usaha meningkat, maka kesejahteraan mereka ikut
meningkat pula.
Soal upah bagi mereka prinsipnya
adalah berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Sehingga, mulai pimpinan
sampai karyawan memiliki rasa tanggung jawab untuk tetap mempertahankan, bahkan
meningkatkan "brand image" dari Sari Bundo.
Dan, anehnya, bila ada
saudara-saudara pemilik rumah makan Sari Bundo ini, ingin membuka cabang dengan
memakai merek Sari Bundo, tidak menjadi masalah. Boleh-boleh saja. Agaknya,
manajemen Sari Bundo Jalan Juanda Jakarta ini, masih percaya, bahwa membantu
orang lain untuk berhasil itu perlu. Barang kali, hal itu membuat manajemen Sari
Bundo jalan Juanda Jakarta lebih tertantang lagi untuk semakin maju di dalam
menggeluti bisnisnya, agar tidak tersaingi dengan Sari Bundo lainnya.
Diperbolehkannya, saudaranya membuka
cabang di Jakarta atau pun di daerah lain, itu jadi bukti bahwa manajemen Sari
Bundo, tidak menerapkan sistem franchise atau waralaba. Bahkan, pada mereka pun
tidak dipungut biaya sesen pun. Hanya sebelumnya mereka harus izin. Meski
demikian, yang terbesar dan teramai didatangi tamu tetap Sari Bundo Jalan
Juanda Jakarta itu.
Saya mencatat, setidaknya ada empat
hal pokok mengapa dia tetap bisa bertahan sampai sekarang meski di saat krisis
ekonomi sekalipun, selain menerapkan manajemen terbuka tadi, juga karena:
Pertama, rasa masakan. Setiap menu yang ada memang lezat rasanya. Bumbunya
sangat terasa. Ikan masih segar, terasa enak saat dimakan.
Kedua, rasa layanan. Layanannya
memang serba cepat. Dengan pengunjung yang banyak tanpa diimbangi dengan
layanan cepat, tentu akan mengecewakan pengunjung. Hanya dalam waktu satu
menit, tamu bisa langsung menikmati berbagai menu yang terhidang di sini. Sari
Bundo benar-benar memberikan service bagi para pelanggan atau orang yang
dilayani, sehingga mereka merasa seperti "raja" yang harus dihormati.
Sari Bundo lakukan ini semua karena, mereka sangat mengerti, bahwa pelanggan
adalah orang-orang yang menjadi sumber pendapatan, yang menjaga kelangsungan
usaha atau bisnisnya.
Ketiga, lokasinya yang srategis.
Manajemen Sari Bundo menyadari, bahwa lokasi rumah makan yang strategis juga
akan lebih mendekatkan dengan konsumen. Meski, bangunannya tidak terkesan mewah
dan besar, namun penggemar masakan padang tidak terlalu sulit mencarinya,
karena lokasinya memang sangat strategis, di jalan Juanda Jakarta. Apalagi tamu
dilayani dengan ramah.
Keempat, nama Sari Bundo yang
terkenal. Tamu yang menikmati sajian masakan padang di rumah makan yang
terkenal, seperti Sari Bundo, membuat para tamu merasa mantap. Artinya, sebelum
mereka ke Sari Bundo seolah belum makan masakan Padang.
Kalau kesemua faktor tersebut tetap
dipertahankan oleh manajemen Rumah Makan Padang Sari Bundo, maka pengunjung
akan tetap ramai. Omzet akan meningkat, apalagi manajemen Sari Bundo tahu
persis, bahwa bisnis ini didirikan untuk sukses menjual produknya. Itu akan
jauh lebih mudah kalau citra yang dipancarkan selama ini tetap dipertahankan,
bahkan kalau mungkin ditingkatkan.
Hanya masalahnya, mampu tidak Sari
Bundo mempertahankan kualitas produknya, pelayanannya, demi kestabilan
usahanya. Itu juga penting. Namun, saya yakin, manajemen Sari Bundo paham
sekali akan hal itu. Sebab Sari Bundo sebagai rumah makan yang sukses akan
terus menerus bertanya, "Bagaimana saya bisa paling baik melayani
keinginan, kebutuhan, dan keperluan pelanggan saya?" Yah, begitulah
Manajemen Sari Bundo.
66
Club The Fish Market
S
|
aat saya ada tugas di Jakarta
beberapa waktu lalu, saya sempat mampir ke sebuah restoran, yang bagi saya
unik. Nananya: Restoran Club The Fish Market. Restoran pasar ikan ini terletak
bersebelahan dengan Club Store, di dekat CaW
Uniknya, dan itu menarik bagi saya,
adalah dalam ruang restoran itu ada ratusan jenis ikan laut dan ikan tawar yang
masih segar-segar. Bahkan, saya lihat ada juga seperti ikan hiu, ikan kue, ikan
pari, lobster, dan lain¬lain. Bagi tamu yang ingin menikmati sajian di restoran
ini, dipersilakan memilih sendiri jenis ikan apa saja yang ingin dinikmatinya.
Nah, setelah ikan itu diambil dan dibeteti (dibersihkan), dicuci dan dimasukkan
plastik, kemudian ditimbang berapa berat ikan tersebut. Setelah itu, kita
langsung bayar.
Kita ambil tempat duduk. Dan,
pelayan langsung menanyakan, ikan yang kita pilih itu mau dimasak apa? Tentu,
terserah kita. Apakah ikan itu mau dibakar, digoreng atau dibuat sop. Setelah
itu, sambil menunggu ikan tersebut itu diolah, kita bisa pesan nasi dan
minuman. Nah, tak lama kemudian, sajian ikan tersebut telah tersaji di meja
makan kita. Dan tentu sudah siap kita santap. Jangan lupa, setelah kita makan,
kita mesti bayar lagi nasi dan minuman yang kita pesan tadi, serta cooking
fee-nya.
Ada sebab, mengapabanyak tamu yang
tertarik pada restoran ini? Menurut saya, karena restoran ini tidak hanya
menjual makanan, tapi juga menjual atmosfer. Manajemen restoran ini mampu
berkomunikasi dengan baik terhadap setiap tamu yang datang. Sehingga,
menjadikan restoran ini memiliki citra tersendiri.
Tamu yang banyak datang di Restoran
Club The Fish Market ini, seolah tak mempedulikan harganya. Bagi mereka yang
terpenting, berada di restoran ini seperti sedang rekreasi. Saya sempat
merenungkan apa yang saya lihat ini. Apakah tidak mungkin model restoran
seperti ini berdiri di Yogyakarta?
Saya yakin, jika restoran semacam
ini muncul di kota pariwisata tersebut, tentu sangat tepat dan menarik. Hal itu
mengingat Yogyakarta memiliki banyak potensi laut, dengan berbagai jenis ikan
dari Laut Selatan. Sehingga, tak mustahil hal ini bisa menjadi peluang bisnis
yang menarik bagi kita semua. Siapa mau mencoba?
67
No Tipping No Bakpia
S
|
oal, tipping atau memberikan tip di
hotel tentu bukan hal baru lagi. Telah membudaya. Apalagi, bila kita sebagai
tamu hotel, pasti akan tahu dan harus tahu bahwa memberi tip itu wajib. Kalau
tidak, maka bell boy yang semula ramah mengantar kita membawakan barang ke
kamar hotel, akan tetap berdiri di pintu kamar. Apalagi, kalau bukan menunggu
tip dari kita. Setelah tip diberikan, dia baru pergi.
Barangkali, kejadian yang saya alami
kali ini sebaliknya. Saat saya menginap di Hotel Marcopolo, di jalan Cik
Ditiro, Jakarta Pusat, semua bell boy maupun karyawan bagian lainnya menolak
tip. Bahkan, ketika saya bawa oleh-oleh kue khas Yogya, bakpia, juga ditolak
halus. "Maaf pak, kami tidak dapat menerima apa pun dari tamu," ujar
mereka. Manajemen hotel ini rupanya melarang tamunya memberi tip dalam bentuk
apa pun. Bukan hanya no tipping, tapi juga no bakpia.
Hal itu semakin membuat saya merasa
enjoy bila menginap di sana. Bahkan, saat ada keperluan bisnis yang harus
tinggal lama di Jakarta, saya memilih tinggal di Marcopolo tiga bulan lamanya.
Sehingga, saya tidak sempat menghitung sudah berapa kali saya menginap di sana.
Tapi yang jelas, saya pernah menginap pertama kali di Hotel Marcopolo sejak
sepuluh tahun lalu.
Hotel yang accoupancy room-nya
rata-rata 90% ini, sampai kini menjadi langganan saya, baik saat ada
kepentingan bisnis maupun keluarga di Jakarta. Larangan itu tentu ada
maksudnya. "Hotel bagus yang mampu memberikan pelayanan terbaik bagi
setiap tamu yang datang", itulah motto hotel ini yang memang sangat cocok
buat keluarga, meski banyak juga kalangan busihessman merasakan nyamannya
menginap di hotel ini. Pokoknya aman dan nyaman. Tak ada gangguan atau godaan
apa pun. Sehingga, setiap tamu yang menginap di sini akan selalu enjoy. Dan,
sang suami yang menginap di hotel ini membuat sang istri di rumah merasa lebih
lega.
Manajemen hotel ini sengaja
memberikan citra tersendiri pada hotelnya dan secara tidak langsung membentuk
citra kharisma tersendiri yang dapat mempersuasi atau memengaruhi lingkungan
beserta orang-orang yang terlibat di dalamnya. Maka tak mengherankan, sikap
tegas dan disiplin ditegakkan di hotel ini. [3agi karyawan yang diketahui
terbukti menerima tip akan dikeluarkan. Ada yang berpendapat, bahwa sikap
manajemen seperti ini terkesan arogan, defensif serta kaku.
Namun saya rasa, sikap itu perlu
juga untuk citra positif perusahaan. Hanya masalahnya, kalau kondisi ini tidak
dipertahankan justru merupakan bumerang. Sebab, belum tentu semua tamu
menanggapi positif secara cepat dan tepat akan masalah ini.
Saya melihat, tampaknya manajemen
Hotel Marcopolo mengacu juga pada salah satu jurus seperti yang ada dalam buku,
"Siasat Bisnis Rupert MurdocM`, yang menyebutkan bahwa selama kita berhati
lunak, maka kita akan tetap menempati peringkat kedua. Lunak hati akan menuntun
sebuah perusahaan pada kesengsaraan. Maka tak meng¬herankan, Marcopolo mengatur
karyawannya dengan sikap tegas dan disiplin. Tidak ada konsep tengah baginya.
Pilihannya hanya sedikit. Kinerja karyawan mau bagus atau dipecat!
Selain itu, ada budaya kerja lain
yang saya kagumi di hotel ini, yakni: Pertama, ciri khas pelayanannya. Di mana
segala fasilitas yang disediakan pada kondisi ready. Sehingga kita tak diberi
kesempatan complaint. Kedua, harga bersaing mulai dari sewa kamar, restoran dan
drugstore, makan pagi (breakfas4 di kamar dan untuk makan malam (dinne4 dengan
prasmanan lengkap, kita hanya membayar harga yang sangat murah yang sulit kita
temui di Jakarta. Drugstore-nya yang mirip mini market mungkin merupakan
drugstore terbesar dan termurah di Jakarta.
Saya sempat merenungkan observasi
ini. Tibalah pada hipotesa saya yang mungkin dapat diakui atau diterima semua
pihak, bahwa salah satu kunci sukses meraup banyak tamu semua pihak, bahwa
salah satu kunci sukses meraup banyak tamu adalah karena kejeliannya menaruh
kepentingan tamu di tempat pertama dan menaruh kepentingan manajemen Marcopolo
sendiri di tempat kedua. Artinya, tamu tidak akan termotivasi menginap di sana
kalau kepentingannya diposisikan di tempat kedua.
Sehingga tak mengherankan, semua
energi karyawan Marcopolo dipusatkan pada kepentingan tamu. Mereka lebih mengutamakan
pelayanan tamu, sehingga tamu merasa seperti tinggal di rumah sendiri. Mereka
yakin hal itu akan membuat citra harum bagi hotel berbintang dua tersebut.
68
Bisnis Mbah Mo
A
|
nda penggemar bakmi godhog (rebus)
khas Yogya? Bila ya, pasti pernah mencicipi bakmi godhog Mbah Mo di Dusun Code,
tiga kilometer arah timur kota Bantul Yogyakarta, atau kurang lebih 15
kilometer arah selatan kota Yogya.
Mbah Mo, nar5ia panggilan Mbah Atmo,
juga berfungsi sebagai "merek dagang" dari jasa, produk, sekaligus warungnya.
la membuka dagang¬annya mulai pukul 5 sore hingga pukul 10 malam. Ingin tahu
siapa pelanggannya? Sebagai gambaran, 90% pelanggannya datang dari Yogyakarta,
Magelang, Klaten, bahkan Jakarta. Kebanyakan pelang¬gannya menggunakan roda
empat.
Berbagai merek mobil dari yang mewah
hingga mobil kuno, parkir berderet-deret di depan "outlet-nya" silih
berganti. Saya sempat heran siapa dan apa yang membuat mereka tahu ada
"bakmi super enak" di tengah perkampungan pedesaan ini. Padahal untuk
menjangkau tempat ini, harus dilalui ruas jalan yang tidak lebar dan tidak
begitu bagus.
Pada sebuah gang di Dusun Code yang
belum beraspal itu, semua pelanggan datang untuk mencoba atau membebaskan
"rasa kangennya" terhadap bakmi buatan Mbah Mo, yang menurut saya
memiliki ciri khas yang tiada duanya. Ramuan Mbah Mo yang spesial bagaikan koki
hotel berbintang itu, merupakan jasa sekaligus produk yang memiliki kelebihan
dibanding produk sejenis (deferential advantage). Hal itu masih ditambah lagi
dengan kemasan suasana (atmosphere) pedesaan yang "ngangeni".
Menurut Mbah Mo, promosi pun tak
pernah ia lakukan. Saya kira proses yang terjadi adalah pemasaran tradisional
dari mulut ke mulut (word by mouth) alias getok tular tentunya
"kesadaran" Mbah Mo, bahwa produk yang berkualitas adalah kekuatan
pemasarannya. Dan karena itulah setiap malamnya, Mbah Mo mengais omzet dengan
menghabiskan 10 kilometer mie, dan 10 ekor ayam.
Bisnis Mbah Mo dirintis sejak 1986.
Memang, bertahun-tahun sebelumnya Mbah Mo pernah berjualan pecel dengan konsumen
tetangga dan warga sekitar. Untuk terjun ke bisnis barunya ini, Mbah Mo harus
melakukan magang atau mentoring, guna menimba pengalaman membuat bakmi. Orang
yang dijadikan mentor untuk membuat bakmi yang lezat adalah kakak iparnya
sendiri, yang juga berjualan bakmi dan tinggal di Yogyakarta.
Pengalaman Mbah Mo yang mendapat
mentoring dari kakak iparnya ini, mengingatkan saya pada apa yang dikatakan
Steven R. Covey, bunyi¬nya: "Kalau Anda memberikan ikan pada seseorang,
berarti Anda memberi makan sehari. Kalau Anda memberi pancing pada seseorang,
berarti Anda memberi makan seumur hidup."
Pandangan Covey ini oleh rekannya,
Raymond W.Y. Kao, dikembang¬kan menjadi: "Seandainya Anda memberi pancing,
kemudian mendidik cara memancing, dan sekaligus menanamkan tanggung jawab
moral, maka Anda berarti ikut membangun suatu negara."
Saya melihat, ternyata tradisi
mentonhg merupakan cara ampuh untuk alih pengetahuan, alih keterampilan,
sekaligus transfer budaya, dan etos kerja entrepreneur. Seperti halnya Mbah Mo,
tradisi mentoring sebenar¬nya dapat dikembangkan dalam masyarakat, bila kita
ingin melahirkan lebih banyak lagi wirausahawan baru dalam masyarakat.
69
Tak Suka Bisnis Besar
A
|
nda penggemar soto? Kalau, ya, pasti
Anda telah mengenal atau bahkan telah menjadi pelanggan tetap Soto Kadipiro,
yang terletak di jalan Wates Yogyakarta itu. Di restoran yang didirikan 1921
oleh Pak Karto Wijoyo (alm.j, dan sejak 1975 dikelola putra sulungnya, Pak
Widadi (60 tahun) sampai sekarang ini, secara terbuka memaparkan tulisan besar
pada sebuah papan yang dipasang di restoran tersebut. Isinya, "Tidak buka
cabang di Jakarta dan di kota lainnya."
Menurutnya, ia sengaja tak buka
cabang di kota lainnya, meski banyak pihak yang menawarinya kerja sama. Hal
itu, katanya, ia ingin hidup tentram dengan bisnisnya sekarang.
Selain itu, ingin tetap memegang
teguh nasihat orang tuanya, yaitu untuk selalu hidup sederhana, ulet, sabar,
jujur dan bisnis, dan nrimo dengan apa yang diperoleh sekarang. Maka tak
mengherankan, filosofinya berbunyi, "Kamulyaning urip iku, dumunung ono
tentreme ati" Artinya, sesungguhnya kebahagiaan orang hidup itu hanya pada
ketentraman hati.
Saya kira, tak sedikit pengusaha
atau entrepreneur kita yang justru lebih senang bisnisnya tidak terlalu besar,
seperti Pak Widadi dengan Soto Kadipiro-nya. Artinya, dia sama sekali tak suka
kalau bisnisnya jadi besar. Karena, dia merasa bisa menikmati asyiknya
berbisnis dan merasa tentram. Dan sebenarnya masih banyak contoh pengusaha kita
lainnya yang seperti itu.
Contoh ini justru menarik bagi saya.
Dan, setelah saya kaji lebih jauh, ternyata sikap mereka tak suka bisnis besar,
karena Pertama, mereka masih ada perasaan takut kehilangan suasana
kekeluargaan.
Jadi, mereka itu sudah telanjur
kentaf dengan suasana kekeluargaan seperti itu, apalagi di awal-awal tahun
pengembangan bisnisnya. Di mana, dia tahu potensi setiap karyawannya. Bisa
bekerja langsung dengan mereka, dan bahkan bisa mengatur operasional kegiatan
bisnisnya. Sebab, jika bisnisnya berkembang besar, tentu suasana seperti itu
akan berubah. Dia tak lagi bisa langsung bekerja dengan karyawannya. Dan, tentu
saja hal ini akan menyulitkannya untuk mempertahankan suasana kekeluargaan.
Kedua, mereka lebih senang dengan
posisinya sekarang. Bisa tetap memegang kendali bisnisnya dan tanpa adanya
delegasi. Ketiga, karena mereka lebih senang pada upaya pemberdayaan sumber
daya manusianya atau karyawannya, dan bukan pada kontrol.
Tipe pengusaha seperti ini biasanya
visinya sederhana. Dan misinya lebih pada aspek kekeluargaan. Sebab, baginya
aspek kesejahteraan yang diinginkannya, dan hal itu bisa diraihnya tanpa harus
lebih dulu menunggu bisnisnya besar. Sehingga, tidak mengherankan sosok
pengusaha seperti ini lebih condong suka memelihara pasar lama, yang dia
jadikan sebagai bagian dari sifat kekeluargaan.
Oleh karena itulah, agar bisnisnya
tetap seperti sekarang, mereka biasanya tak ada keinginan membuka cabang di
luar kota, seperti Soto Kadipiro tersebut. Dengan begitu otomatis mengurangi
pelanggannya, dan jam operasionalnya. Soto Kadipiro hanya buka pukul 08.00
sampai 14.00 WIB.
Rupanya orang seperti Pak Widadi
termasuk orang yang percaya pada Craig J. Cantoni, seorang pakar entrepreneur
yang berpendapat, bahwa, "Bisnis besar hanya akan mengurung kita dalam
kotak-kotak organisasi sempit dan hanya menyisakan sedikit ruang untuk kita
bisa berkreasi dan meraih kesenangan."
70
Berkembang dengan Franchise
B
|
aru saja saya membuka cabang
Primagama dengan sistem franchise di tiga kota, yaitu Pekanbaru,
Sampit-Kalimantan Tengah, dan Tangerang. Sebelumnya, cabang yang ada selama ini
kami buka dengan dikelola sendiri. Sistem ini, saya kira sangat tepat untuk
kita kembangkan. Di saat ekonomi mulai membaik, usaha kita bisa tetap
berkembang meski tidak dengan menyiapkan dana sendiri. Justru dengan sistem
franchise, kita akan mendapatkan dana awal dan royalti.
Franchise adalah pemberian hak pada
seseorang dalam penggunaan merek, untuk menjalankan usaha dalam kurun waktu
tertentu. Sistem ini lebih menguntungkan untuk mengembangkan usaha kita dibanding
cara yang lainnya. Oleh karena, ketika kita menggunakan sistem franchise
terhadap usaha kita, maka jelas orang lain membayar merek dan royalti tiap
bulannya pada kita. Biayanya lebih rendah daripada cara lainnya, dan kita tak
perlu mengalokasikan uang atau modal untuk tempat usaha dan yang lainnya.
Selain, tak perlu merogoh kocek
untuk investasi lagi, ternyata keuntungan yang bisa dipetik oleh kita sebagai
pemilik merek dari cara berekspansi model ini, cukup besar. Bahkan, kerap kali
usaha yang dikelola dengan cara ini lebih maju ketimbang kita membuka cabang
sendiri. Ternyata sistem ini, juga lebih mudah segera menciptakan lapangan
kerja. Jika kita tahu manfaat sistem ini, mengapa kita tidak berani mengembangkan sistem franchise dalan
bisnis kita agar bisa lebih berkembang?
Menurut saya, bisnis franchise cukup
menjanjikan. Maka, sebelum kita membuat sistem ini, kita harus jeli dan
hati-hati dalam menentukan pewaralabanya. Dapatkah dia atau pewaralaba
menjalankan usaha yang kita jalankan? Dapatkah dia memperoleh keuntungan
menjalankan usaha kita? Begitu juga lokasi waralaba pun perlu kita cermati.
Dapatkah usaha kita sukses di daerah tersebut? Apakah usaha kita menarik orang
lain?
Sebagai seorang entrepreneur, saya
sendiri melihat sebenarnya begitu banyak produk lokal yang bisa dikembangkan
dengan sistem franchise. Menurut hasil pemantauan Asosiasi Waralaba Indonesia,
kini tak kurang dari 292 perusahaan lokal yang menyelenggarakan waralaba.
Saya kira, upaya itu positif.
Bahkan, saya punya keyakinan bahwa bisnis waralaba merek lokal akan jauh lebih
berkembang, karena sebenarnya begitu besar potensi merek lokal. Misalnya di
Yogya: Soto Pak Sholeh, Soto Kadipiro, Sate Samirono, Ayam Goreng Ny. Suharti,
Bakmi Mbah Mo, Bakmi Kadin, SGPC, dan Bakpia Patuk. Sebenarnya masih banyak
produk merek lokal lain yang tidak harus berwujud makanan, yang ternyata sangat
memungkinkan juga untuk masuk ke bisnis waralaba.
Jika merek lokal tersebut masuk
bisnis waralaba, maka tak mustahil, tak hanya menjadi produk nasional, tapi
juga produk global. Hanya saja, kita belum mencobanya. Untuk membantu
mengembangkan sistem ini, memang perlu ada semacam lembaga yang mengembangkan
atau menyiapkan sistem franchise mulai dari persiapan awal sampai jadi. Kita
bisa sebagai konsultannya atau lembaga yang mengantarkan franchise.
Ini sebenarnya merupakan peluang
bisnis yang menarik kita kembangkan. Hanya saja, hal itu perlu diikuti dengan
membuat Standard Operating Procedure (SOP), Guaranteed Income Level, Complete
Trainning & Continued Support, dan lainnya yang merupakan rangkaian dari
proses franchise itu sendiri. Tentu saja, produk yang diwaralabakan itu harus
merupakan produk yang disukai atau dibutuhkan oleh pasar.
Cara mengembangkan bisnis dengan
melibatkan nama besar sekaligus penularan trik-trik dagang dalam memperoleh
keuntungan itu, sekarang memang telah ada. Seperti misalnya, merek lokal Es
Teler 77, Mie Tek¬Tek, dan Ayam Goreng Mbok Berek Ny. Umi. Sementara,
McDonald's, Pizza Hut, Kentucky Fried Chicken (KFC) dan English First yang merupakan
waralaba asing justru telah mendahului dari pada merek lokal dan ternyata
produk itu memikat pasar.
Bisnis franchise ini sebenarnya tak
hanya menguntungkan pemilik merek saja, tapi bagi yang menggunakan merek
tersebut juga memetik untung cukup besar. Walaupun, untuk membeli merek
tersebut, kita mesti merogoh kocek yang tidak sedikit, kendati tidak semahal
fee franchise asing. Baik itu, untuk membayar fee franchise, sarana pendukung
plus pelatihan atau training bagi karyawan.
Saya yakin, dana yang dikeluarkan
pembeli merek itu akan cepat kembali. Sebab dalam sistem ini, semuanya telah
ada hitungannya secara rasional. Oleh karena itulah, jika Anda mengembangkan
bisnis ke depan, maka cara yang paling cepat dan menguntungkan adalah model
franchise.
71
Belajar dari Bank Mega
T
|
erus terang, saya ancungkan jempol
buat Bank Mega, yang ternyata saat ini tetap eksis, meski di saat krisis
ekonomi sekalipun. Setahu saya, memang pergantian manajemen yang terjadi sejak
1996 lalu, terbukti telah meningkatkan kinerja bank itu. Setidaknya, ini
terlihat dari perjalanan bisnisnya yang berhasil meraih prestasi demi prestasi,
baik dalam skala nasional, regional, maupun intemasional.
Prestasi pertama yang diraih Bank
Mega adalah keberhasilannya mendapatkan peringkat pelayanan terbaik di antara
34 Bank (pemerintah, swasta, dan asing). Keberhasilan ini sekaligus mengawali
pencanangan tahun 1999 sebagai "Tahun Service Excellence". Selaras
dengan itu, kualitas pelayanan terus dikembangkan dari waktu ke waktu, berdasarkan
kebutuhan nasabah.
Mengagumkan sekali bahwa di dalam
mengantisipasi kondisi pasar yang segera mengglobal, ternyata bank ini dengan
langkah pasti dan meyakinkan, berhasil juga meraih prestasi berskala
internasional. Di mana oleh SGS Yarsley International Certification Services
Ltd., United Kingdom, bank ini dinyatakan layak menerima sertifikat ISO 9002.
Dengan keberhasilannya ini, maka
nasabah akan memperoleh standar pelayanan yang sama (cepat, lancar, dan tanpa
masalah) pada semua Outlet Bank Mega di seluruh kantor cabangnya. Sehingga di
tahun 2000 ini, tak mengherankan, kalau
lantas manajemennya menerapkan sebagai "Tahun Operational
Excellence".
Kini, pada tahun 2000, bank ini juga
merencanakan buka cabang baru yang semula jumlahnya hanya 31 akan berkembang menjadi
90 cabang. Tahun 2001 akan dikembangkan lagi menjadi 140 cabang. Bahkan, saya
dengar pada bulan Maret tahun 2000 lalu Bank Mega melakukan go publlc. Memang
konsekuensinya, strategi pengembangan pelayanan yang dijalankannya harus
memenuhi standar-standar yang diakui secara umum, dan diterima masyarakat.
Karena, bagaimanapun setiap gerak kinerjanya pasti akan terus diamati dan
dievaluasi publik.
Menarik untuk kita amati adalah,
Bank Mega justru berhasil dikembang¬kan di saat krisis ekonomi. Hal itu, mengingatkan
saya, pada orang yang menggali atau membuat sumur pada saat musim kemarau. Di
mana saat menggali sumur pada saat musim kemarau itu agar bisa meraih kedalaman
tertentu sampai air itu mengalir, tentunya membutuhkan tenaga atau kerja keras
yang tinggi.
Nah, saya melihat, ternyata Bank
Mega itu begitu piawai di dalam menggali "sumur". Yakni, menggalinya
di saat musim kemarau tiba, atau di saat krisis ekonomi terjadi. Sehingga,
begitu musim penghujan tiba, air sumur yang mengalir pun semakin deras. Itu
terbukti dengan pertumbuhan Bank Mega sebagai retail banking tergolong pesat.
Bahkan, kini Bank Mega yang terlihat tetap eksis, tampak terus tumbuh, dan
malahan bertekad menjadi salah satu dari 10 bank terbaik.
Sedangkan, soal banyaknya bank-bank
lain yang bermasalah, dan banyak tutup, itu karena memang dulunya mereka suka
berlomba-lomba menggali sumur justru di saat musim penghujan. Akibatnya, ketika
musim kemarau tiba atau muncul krisis ekonomi, yang terjadi adalah: mereka
"kehabisan air". Akhirnya, bangkrut atau tutup.
Oleh karena itu, saya kira wajar dan
tidak ada salahnya bagi kita yang berkeinginan meraih sukses bisnis, bisa saja
belajar dari apa-apa yang terbaik dari Bank Mega. Misalnya, jika kita ingin
menggali sumur, ada baiknya, dilakukan di musim kemarau bukan sebaliknya
dilakukan di musim penghujan.
Begitu pula halnya, sekalipun
terjadi krisis ekonomi, jangan jadikan hal itu sebagai alasan bagi kita untuk
tidak memulai bisnis, dan jangan pula membuat kita berhenti mengembangkan
usaha. Keraguan atau ketakutan itu justru harus kita buang jauh-jauh. Maka,
kita janganlah setengah-setengah di dalam mengembangkan usaha yang kita geluti
sekarang ini.
72
“Tukang Jahit” ala Tensia
P
|
ernah suatu kali saya diajak
seorang peserta "Entrepreneur
University" ke Jakarta. Tujuannya kita ingin melihat bagaimana perusahaan
Tensia Manufacturing yang terletak di kawasan Cibubur, Jakarta, dalam
menjalankan bisnisnya.
Apa yang saya lihat sungguh di luar
dugaan. Bukan karena yang saya lihat perusahaan yang cukup besar, tapi yang
membuat saya kagum adalah kegiatan bisnisnya, yaitu membuatkan produk consumer
good atau home care bermacam-macam merek. Perusahaan itu menjalankan bisnisnya
dengan membuatkan produk atau barang-barang kebutuhan rumah tangga, seperti:
shampo, pembersih lantai, pembasmi serangga, parfum, sabun mandi, dan
lain-lain. Mereknya pun berbagai macam, ada merek impor, ada pula yang lokal,
yang iklannya sering kita jumpai di media massa.
Saya jadi tahu, ternyata perusahaan
ini bekerja seperti layaknya "tukang jahit". Di mana perusahaan lain
bisa meminta Tensia untuk membuatkan produk yang mereka inginkan. Ini memberi
keuntungan, bahwa apabila kita ingin memasarkan suatu produk tertentu, kita
tidak mesti harus membuat sendiri, tapi dapat memesan melalui perusahaan
semacam Tensia tersebut. Hanya saja, kita tidak semudah itu pesan padanya.
Tentu saja, itu karena ada persyaratan, yaitu antara lain tidak boleh memalsu
produk orang lain dan ada batas minimal order.
Menurut saya, sebagai seorang
entrepreneur sebetulnya bisa membuka bisnis dengan cara "menjahitkan"
seperti ala Tensia itu. Asal saja kita punya ide bisnis, saya kira ide bisnis
apa pun, misalnya kita ingin membuat produk tertentu maka kita tidak harus
punya pabrik terlebih dahulu. Kita bisa "menjahitkan" pada perusahaan
semacam ini, yang saya kira ada beberapa perusahaan yang juga bergerak di
bidang yang sama. Perusahaan tersebut memang hanya membuatkan produk yang kita
pesan dan tidak ikut memasarkan supaya netral. Karena bisa saja dia membuat
produk yang sama, tetapi merek berbeda, sehingga persaingan itu terjadi di
pasar. Kalau kita tak punya gudang pun perusahaan itu bisa menyiapkan
gudangnya. Sedangkan distribusinya, dia bisa juga mencarikannya.
Saya pikir mereka cukup kreatif.
Tensia menciptakan peluang bisnis yang kita garap. Artinya, tanpa kita punya
pabrik sendiri, kita bisa pesan untuk dibuatkan produk tertentu, seperti yang
kita inginkan. Hanya saja kita memang harus berani memasarkannya. Setelah pasar
berkembang, kita bisa buat sendiri. Sebab, tanpa punya pasar, tentu apa pun
jenis produk yang kita "jahitkan" kalau tidak laku, kita akan rugi.
Pendeknya, pasar dulu yang kita
ciptakan, setelah pasar berkembang baru pabrik kita bangun. Dengan demikian,
kita bisa saja memulai usaha sekalipun tak punya pabrik sendiri. Ide bisnislah
yang menjadi sangat penting untuk kita miliki. Artinya, begitu ide bisnis
muncul, kita "menjahitkan" pada pihak lain, dan setelah itu kita
pasarkan. Anda berani mencoba?
73
Nyontek Bisnis, Sah-Sah Saja
A
|
pa boleh kita menyontek bisnis atau kesuksesan
pengusaha lain? Saya kira dalam dunia usaha, itu sah-sah saja. Apalagi bagi
kita yang baru belajar memulai usaha. Saya sendiri ketika pertama kali buka
usaha sewaktu mahasiswa dulu, saya juga bingung mau usaha apa. Saya lihat, Sky
Mulyono sukses besar buka bimbingan belajar di Jakarta. Saya pikir, kenapa saya
tidak buka bimbingan belajar di Yogya.
Waktu itu saya belum punya
pengalaman bisnis. Pokoknya saya buka saja. Saya tak pernah menghitung-hitung,
apakah bisnis itu feasible atau tidak. Karena saya yakin kalau usaha Sky
Mulyono bisa sukses, maka saya pun bisa sukses. Pendeknya saya memberanikan
membuka usaha bimbingan belajar itu, baru hitungan bisnisnya menyusul. Bukan
sebaliknya, kita banyak hitungan bisnis, tapi akhirnya usaha tak pernah
muncul-muncul, dan hanya sekadar ide. Akhirnya saya buka bimbingan belajar
Primagama. Begitu juga, ketika saya buka restoran Padang Prima Raja, saya juga
meniru kesuksesan restoran Padang Sari Ratu di Jakarta.
Ini beda dengan tradisi sistem
pendidikan kita di sekolah. Jadi yang namanya nyontek dilarang keras. Padahal,
menurut saya orang nyontek itu kreatif. Nyontek dalam bisnis itu sah-sah saja.
Maka Bambang Rahmadi nyontek membuka McDonald-nya lewat franchise bisa sukses.
Begitu juga pengusaha Pizza Hut,
Kentucky Fried Chiken, dan masih banyak usaha lainnya.
Usaha mereka makin jadi besar juga
bukan karena modal besar. Sebaliknya mereka sukses dari modal kecil. Memang tak
sedikit tantangan atau kegagalan yang dialaminya. Tapi semuanya dilalui dengan
sabar karena mereka ingin meraih sukses dalam usahanya.
Saya yakin, kita pun bisa demikian.
Kalau orang lain maju usahanya, kita semestinya harus maju pula. Oleh karena
itu menurut saya "Kita tak usah khawatir dengan risiko bisnis kalaupun itu
muncul". Hadapilah dengan sabar dan penuh percaya diri. Kita harus yakin
pada usaha kita.
Memang benar apa yang pernah
dikatakan Peter F. Drucker, bahwa, "Sebenarnya tiap orang dapat belajar
jadi entrepreneur sukses." Sebab untuk jadi entrepreneur tidak ada yang
misterius. Buktinya coba kalau kita jeli, sebenarnya peluang bisnis di depan
mata kita, yang kita jalankan. Namun, memang akhirnya kembali pada kita.
"Beranikah kita untuk mencoba peluang tersebut?"
.
M
|
enjadi pengusaha adalah pilihan karier yang menantang
dan bisa diraih oleh siapa pun tanpa syarat gelar dan bukan karena bakat atau
keturunan! Kalau saja, 25-an tahun yang silam saya tidak memilih drop out dari
UGM boleh jadi di Indonesia tidak akan pernah ada bimbingan belajar yang
berkembang menjadi bisnis nasional dengan outlet kini sampai 520-an di hampir
semua provinsi di tanah air. Oleh karena kecewa pada sistem pendidikan dan
perkuliahan waktu itu, saya keluar dan mendirikan Primagama yang kini menjadi
holding company dengan beragam usaha.
Meski hanya ranking
40 dari 50 murid dan hanya lulusan SMP, Sukyatno Nugroho MBA, kini menjadi Raja
Es Teller terbesar di tanah air dengan usaha Es Teller 77-nya yang menggurita.
Kalaupun gelar MBA di belakangnya itu bukan kepanjangan dari master business administration
yang diburu banyak eksekutif puncak dewasa ini, tapi singkatan dari °Manusia
Bisnis Asal-asalan". Buktinya, meski merasa asal-asalan, bisnisnya kini
menjadi pengusaha sukses dan terdepan di pasar bisnis tersebut. Banyak
pengusaha sukses lain yang bisa menginspirasi Anda lewat bagian ini.
Yang jelas, sukses
mereka para pengusaha besar yang terbukti bisa sukses tanpa gelar menginspirasi
saya untuk mengganas dan terus mencetak pengusaha baru dan menebarkan konsep
pendidikan yang tidak lazim: Entrepreneur University, sebuah pendidikan calon
pengusaha yang dilakukan tanpa nilai, tanpa gelar dan mereka yang sudah
nyata-nyata berhasil menjadi pengusaha bisa diwisuda tanpa gelar. Gelamya, ya
pengusaha! Oleh karena yang berhak menentukan sukses seorang pengusaha bukan
melalui akreditasi suatu lembaga, melainkan masyarakat! Anda sepakat bukan?
74
Mega Entrepreneur
K
|
egairahan kita untuk menciptakan
pengusaha baru, terutama yang bisnisnya sudah mapan, memang sudah mulai tampak
sekarang ini. Hanya saja, menurut saya, hal itu sebaliknya harus lebih
digalakkan lagi.
Dan itu sebagai salah satu sebagai
pertanda, bahwa sesungguhnya pengusaha kita tidak sekadar antusias dalam
memajukan bisnisnya, tapi juga mempunyai tanggung jawab sosial yang tinggi.
Sosok pengusaha seperti inilah, pantas kita sebut sebagai Mega Entrepreneur.
Saya sendiri mengakui bahwa pola
pikir pengusaha kita yang setiap harinya terbiasa berotak bisnis, lantas juga
harus mempunyai jiwa sosial, itu bukanlah tugas ringan. Setidaknya, jika kita
sadar betul, bahwa sesungguhnya ikut memikirkan atau mendorong munculnya
pengusaha baru, sama pentingnya dengan upaya memajukan bisnis kita. Maka dari
itu tak ada salahnya kita melakukannya.
Saya optimis, kehadiran pengusaha
baru di dunia usaha kita, akan menambah kegairahan dunia usaha kita. Dan, tak
mustahil pengusaha baru itu pun nantinya akan menciptakan pengusaha baru lagi.
Sehingga, kehadiran Mega Entrepreneur tidak hanya sekadar menciptakan lapangan
kerja tetapi juga bisa menciptakan pengusaha baru. Langkah Mega Entrepreneur
seperti itu pada akhirnya juga akan berdampak pada tumbuhnya perekonomian kita
yang lebih baik.
Karena itu, mengapa saya berani
mengatakan bahwa sosok Mega Entrepreneur itu sesungguhnya adalah sosok
pengusaha yang benar¬benar memiliki tugas mulia. Maka tak ada salahnya bagi
kita untuk berbuat seperti Mega Entrepreneur.
Sebenarnya menurut saya, sudah
banyak pengusaha kita telah mempunyai kesadaran untuk membimbing karyawannya,
manager-nya, saudaranya, atau relasinya untuk dijadikan pengusaha. Dalam hal
ini, pengusaha membimbingnya dan merangkap menjadi mentor-nya. Cara lain
misalnya pengusaha bisa memberikan franchise atau menjual merek pada orang
lain.
Saya yakin dengan hal tersebut,
dunia usaha kita akan bergairah, jika kita memiliki Mega Entrepreneur. Selain
itu hal tersebut juga akan makin menumbuhkembangkan perekonomian kita. Kalaupun
pengusaha baru yang kita ciptakan itu misalnya, ternyata usahanya bisa melebihi
usaha kita semestinya kita harus bangga dan bersyukur. Sebab pada dasarnya
kehadiran pengusaha itu masing-masing telah membawa rezekinya sendiri-sendiri.
75
Menciptakan Pengusaha Baru
S
|
aya sepakat dengan Peter Drost, penulis buku "Reformasi
Pengajaran" yang mengungkapkan, bahwa pendidikan di Indonesia tampaknya
hanya untuk orang yang pandai-pandai saja, atau yang menonjol nilai
akademiknya. Sedangkan pendidikan yang betul-betul diprioritaskan untuk orang
yang nilai akademisnya sedang-sedang atau rendah, ternyata belum digarap secara
serius.
Sedangkan pendidikan di universitas
kita sekarang ini terutama yang mengutamakan nilai akademis sebagai indikator
keberhasilan cende¬rung menghasilkan tukang-tukang seperti: "tukang
insiyur, tukang dokter", dan lain sebagainya. "Tukang-tukang"
tersebut hanya pandai mencari pekerjaan, tetapi bukan menciptakan pekerjaan.
Padahal menurut saya, di era otonomi daerah saat ini, pendidikan
entrepre-neurship sangat dibutuhkan. Karena dengan pendidikan tersebut,
sebenarnya akan banyak menciptakan pengusaha-pengusaha baru. Itu tak bisa
ditawar-tawar lagi. Tak hanya penting, tetapi sangat mendesak. Maka sebaiknya
iklim menekuni dunia usaha harus diciptakan.
Melihat kondisi ini, saya kira perlu
ada upaya menciptakan pengusaha baru. Sebab menurut saya, menjadi pengusaha itu
bukan diajarkan tetapi dididik dalam pengertian nonformal. Sehingga perlu ada
solusi, yaitu bagaimana kita membuat pendidikan untuk menciptakan orang jadi
pengusaha. Apalagi di Indonesia dalam kaitannya dengan pemberlakuan otonomi
daerah, tentu akan sangat banyak dibutuhkan pengusaha-pengusaha baru yang
muncul di daerah.
Menurut saya, hal itu bisa diberikan
lewat model pendidikan yang bukan saja mengandalkan pada pengetahuan atau otak
berpikir, tetapi juga otak emosional. Termasuk bagaimana mencerdaskan emosi
kita, dan bagaimana menyelaraskan otak berpikir dengan otak emosional.
Sementara universitas yang ada, hanya menciptakan calon pencari kerja, bukan
pencipta kerja.
Padahal, semestinya di negara kita
membutuhkan banyak pengusaha. Dan kita sebaiknya jangan punya perasaan khawatir
dengan bermunculannya pengusaha baru. Karena nantinya, mereka akan menciptakan
lapangan kerja baru. Kalau kemudian negara kita lebih banyak pengusahanya
daripada pekerjanya, maka kita bisa mengimpor tenaga kerja dari luar negeri.
Bukan sebaliknya, kita harus mengekspor tenaga kerja kita ke luar negeri
seperti sekarang ini.
Sebenarnya sudah ada beberapa
pengusaha kita, yang tidak hanya sekadar memikirkan tetapi juga telah
menciptakan orang-orang untuk menjadi pengusaha baru. Saya sendiri juga telah
melakukan. Misalnya ada manager di perusahaan saya yang punya jiwa
entrepreneur, maka saya tidak ragu memandirikan dia dengan tanggung jawab pada
usaha baru. Apalagi jika dirinya mempunyai potensi besar menjadi pengusaha.
Oleh karena itu saya katakan bahwa
keberadaan universitas yang mendidik calon pengusaha itu sangat mendesak
sekali. Kalau perlu universitas yang mendidik calon pengusaha itu tidak perlu
mengguna¬kan aturan formal. Misalnya tanpa status, tanpa akreditasi, tanpa
dosen, tanpa ijazah, tanpa gelar. Dan wisudanya pun dilakukan setelah mereka
benar-benar membuka usaha dalam waktu tertentu.
Sedang calon mahasiswa atau
mahasiswinya, diutamakan justru yang mempunyai IP (indeks prestasi) atau NEM
(nilai ebtanas murni) sedang dan rendah. Sebab bisa jadi dengan paradigma
pemikiran pendidikan seperti ini akan menjadi model pendidikan di Indonesia di
masa datang. Dan bukan tidak mungkin, hal itu juga akan menjadi model
pendidikan di dunia, khususnya bagi pendidikan calon pengusaha.
Maka saya kira sudah saatnya, sekarang
ini disiapkan universitas yang mendidik orang menjadi pengusaha, melalui
"kurikulum dan sistem" yang diciptakan sendiri oleh pengusaha.
76
Yuk! Menjual Perusahaan!
Meraih Mimpi Bersama, Berkali-kali
D
|
alam banyak kesempatan seminar atau
berbicara di kelas sekolah entrepreneur yang saya kelola, sering saya sarankan,
"Kalau ingin kaya raya, jangan lama-lama jadi karyawan, buruan jadi
pengusaha!" Memang setelah lebih dari lima tahun, upaya serius dan sengaja
yang saya lakukan dalam menebarkan virus entrepreneur itu ke seluruh penjuru
tanah air, sudah ribuan peng-usaha baru yang lahir sebagai alumni siswa kelas
entrepreneur tersebut. Namun, sekarang muncul pertanyaan baru dari sebagian
alumni yang sudah jadi pengusaha, meski sudah membuka usaha sendiri dan punya
usaha yang mulai berjalan, kok ndakjuga kaya raya? Apa yang salah?
Ini memang soal pilihan waktu, mau
masuk jalan tol yang cepat atau jalur normal yang kata orang Jawa, alon-alon
waton kelakon. Biar lambat asal selamat dan tercapai dan tercapai tujuannya.
Buat yang cari aman, memang konsep alon-alon waton kelakon akan banyak dipilih.
Maksud saya, dalam konteks bisnis kalau orang memulai usaha dan hanya
mengharapkan untung dari laba usaha hasil menjual produk bisnisnya, maka untuk
bisa dapat uang bernilai miliaran, misalnya, akan butuh waktu yang lebih lama.
Lain ceritanya kalau kita tidak cuma
bisa mengembangkan usaha kita dengan tujuan membuat laris produknya, tapi
kemudian dengan larisnya produk kita, perusahaan yang memproduksi produk laris
itu bisa kita jual. Ya, menjual perusahaan adalah solusi cepat untuk bisa dapat
untung lebih besar. Bahkan jangankan menjual perusahaan yang sudah jadi,
apalagi sudah punya nama besar. Ide atau gagasan usaha yang brilian pun bisa
kita jual.
Betapa menggiurkannya menjual
perusahaan? Kita bisa kutip laporan Majalah Forbes tahun 2005 yang akhir-akhir
ini muncul di semua pemberitaan televisi soal belum terbayarnya ganti rugi
warga Sidoarjo korban lumpur Lapindo karena Lapindo mengaku kesulitan keuangan.
Anehnya, Aburizal Bakrie, pemilik Lapindo, ternyata mengutip Forbes justru
habis menjual tiga buah perusahaannya dan memperoleh uang Rp33 triliun dari
penjualan itu. Hanya menjual tiga perusahaan bisa mengantungi Rp33 triliun
lebih?
Jangankan Bakrie Brother's Group
sampai saat ini faktor utama yang membuat maju dan lajunya perkembangan usaha
Primagama yang saya rintis sampai memiliki 600 cabang di seluruh Indonesia
karena kita jual secara franchise. Dengan begitu, bukan hanya dana segar dalam
jumlah besar bisa kita dapat dari penjualan brand usaha kita (goodwilh tapi
dengan menjual perusahaan secara franchise, kita tetap bisa memetik laba usaha
dalam bentuk royalty fee. Ini yang disebut menjual perusahaan berkali-kali.
Menurut hemat saya, dalam dua sistem
penjualan perusahaan yakni dengan menjual putus artinya dengan mengalihkan hak
milik seluruhnya dan seumur hidup usaha kita dibandingkan dengan menjual dengan
konsep franchise atau menjual merek dan sistem usaha, yang bisa dilakukan
berkali-kali maka menjual dengan konsep franchise lebih saya sarankan dan lebih
mudah dilakukan.
Oleh karena berbeda dengan menjual
putus, kalau perusahaan sudah kita jual dan hak milik beralih, kita tak punya
kewenangan apa-apa lagi, sementara dana yang didapat bisa habis tanpa mungkin
sempat dibuat usaha baru untuk menggantikan usaha yang sudah kita jual. Berbeda
dengan menjual konsep franchise, karena boleh dibilang kita hanya menjual merek
dagang dan nama baik usaha kita plus sistem kerja yang bagus dalam waktu
tertentu tanpa kehilangan perusahaan.
Dan, kalau waktu "sewa
merek" sudah habis kita bisa mendapat dana lagi dari perpanjangan sewa itu
atau dari pemakai baru merek usaha kita, jadi peluang mendapatkan dana besar
bisa berulang kali. Sehingga kita sebut sistem franchise sebagai menjual perusahaan
berkali-kali untuk satu merek usaha. Ini jelas lebih menguntungkan dan
menantang bukan?
Menurut pengalaman saya, sejak usaha
dibuka, sebaiknya pengusaha sudah memikirkan atau menyiapkan usaha itu ke depan
untuk bisa dijalankan dengan sistem franchise dan dijual usahanya. Ini memang
sebuah pola pikir, mindset baru dalam berwirausaha. Jadi janganlah berpuas diri
kalau seorang pengusaha sudah bisa merintis usaha dan bisa sukses diterima
pasar. Akan lebih bagus kalau kita juga bisa membagi mimpi kita pada banyak
orang dengan menjual perusahaan kepada banyak orang.
Memang untuk bisa menjual perusahaan
kita ada beberapa "prasyarat" yang mesti kita bangun dan garap dengan
optimal, mulai dari logo perusahaan yang menarik dan tentu dengan kemasan dan
promosi bisnis yang bagus dan memikat. Jangan lupa pula siapkan sistem dan manajemen
usaha yang praktis dan mudah digunakan. Memang, kita perlu membuat training,
pelatihan untuk mencetak tenaga operasional handal di lapangan untuk mengisi
cabang-cabang usaha baru yang kita jual. Kalau semuanya sudah siap, tentu bukan
masalah sulit lagi untuk menjual usaha kita.
Pada prinsipnya, semua jenis usaha
bisa kita jual secara franchise. Yang pasti buatlah bisnis yang unik, belum
banyak dibuat dan merupakan terobosan baru dalam satu jenis usaha, apakah
restoran, jasa, layanan kesehatan atau kecantikan, ataupun jutaan ide bisnis
lainnya. Yang pasti dengan menjual perusahaan, kita tidak saja lebih cepat kaya
raya tapi, akan banyak orang yang mampu meraih mimpi mereka. Dengan menjual
perusahaan kepada banyak orang, kita bersama-sama meraih mimpi¬mimpi dalam
hidup kita yang lama tertunda. Jadi, Yuk, kita jual perusahaan dan bersama-sama
meraih mimpi dalam hidup kita.
7 komentar:
Kami disetujui pemerintah dan pemberi pinjaman kredit bersertifikat Perusahaan kami tidak menawarkan pinjaman mulai dari pribadi untuk pinjaman industri untuk orang yang tertarik atau perusahaan yang mencari bantuan keuangan pada tingkat bunga dinegosiasikan 2% kesempatan untuk membersihkan dept Anda., Mulai atau meningkatkan bisnis Anda dengan pinjaman dari pinjaman perusahaan kami diberikan di Pounds (£), dollar ($) dan Euro. Jadi mengajukan pinjaman sekarang orang yang tertarik harus menghubungi kami untuk informasi lebih lanjut. Mengisi informasi data peminjam. Hubungi kami sekarang melalui: jenniferdawsonloanfirm20@gmail.com
(2) Negara:
(3) Alamat:
(4) Kota:
(5) Sex:
(6) Status Pernikahan:
(7) Bekerja:
(8) Nomor Ponsel:
(9) Penghasilan Bulanan:
(10) Jumlah Pinjaman Dibutuhkan:
(11) Jangka waktu pinjaman:
(12) Tujuan Pinjaman:
Terima kasih atas pengertian Anda karena kami berharap untuk mendengar dari Anda segera.
E-Mail: jenniferdawsonloanfirm20@gmail.com
KABAR BAIK!!!
Nama saya Aris Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu untuk Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran dimuka, tetapi mereka adalah orang-orang iseng, karena mereka kemudian akan meminta untuk pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, sehingga hati-hati dari mereka penipuan Perusahaan Pinjaman.
Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan digunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan, telah dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.
Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda menuruti perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan bercerita tentang Ibu Cynthia, dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia, Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening mereka bulanan.
Sebuah kata yang cukup untuk bijaksana.
Hello Everyone, nama saya Jane alice seorang wanita dari Indonesia, dan saya bekerja dengan sebuah negara kompensasi bersatu, dan kami telah mendengar dan juga meminjam dari perusahaan pinjaman, dengan cepat saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan seluruh Indonesia untuk mencari pinjaman Internet Sangat hati-hati Berhati-hatilah untuk tidak jatuh di tangan scammers dan fraudstars, ada banyak kreditur kredit palsu di sini di internet dan beberapa di antaranya asli dan nyata,
Saya ingin melempar testimonial tentang bagaimana Tuhan menuntun saya ke pemberi pinjaman yang sebenarnya dan dana pinjaman Real telah mengubah hidup saya dari rumput menjadi Grace, setelah saya tertipu oleh beberapa kreditor kredit di internet, saya kehilangan banyak uang untuk membayar biaya pendaftaran. . , Garansi, pajak, dan setelah pembayaran saya masih belum mendapat pinjaman saya.
Setelah berbulan-bulan berusaha mendapatkan pinjaman di internet dan jumlah uang yang dihabiskan tanpa mendapat pinjaman dari perusahaan mereka, maka saya menjadi sangat putus asa untuk mendapatkan pinjaman dari kreditor kredit genue online yang tidak akan meningkatkan rasa sakit saya jadi saya memutuskan untuk Hubungi teman saya yang baru saja mendapatkan pinjaman online, kami mendiskusikan kesimpulan kami mengenai masalah ini dan dia bercerita tentang seorang wanita bernama Mr. Dangote yang adalah CEO Dangote Loan Company.
Jadi saya mengajukan permohonan untuk jumlah pinjaman (Rp400.000.000) dengan tingkat bunga rendah 2%, tidak mengurus se umur saya, karena saya mengatakan kepadanya apa yang ingin saya gunakan untuk membangun bisnis saya dan pinjaman saya telah disetujui dengan mudah. Tanpa stres dan semua persiapan yang dilakukan dengan transfer kredit dan dalam waktu kurang dari 24 jam setelah mendapatkan sertifikat yang diminta, telah disimpan ke bank dan impian saya masuk. Jadi saya ingin saran yang memerlukan panggilan pinjaman cepat sekarang atau email di Dangotegrouploandepartment@Gmail.com
Dia tidak tahu bahwa saya melakukan ini. Saya berdoa agar Tuhan memberkati dia atas hal-hal baik yang telah dia lakukan dalam hidup saya. Anda juga bisa menghubungi saya di ladyjanealice@gmail.com hari yang menyenangkan info lebih lanjut ..
Kabar baik!! pencari pinjaman !!!
Nama saya Alfred Daniel Nehemia dari bali Indonesia, roti CEO Daniel di Malaysia, Pertama-tama saya akan mengatakan bahwa Tuhan harus memberkati wanita jane karena mengenalkan saya kepada perusahaan pinjaman yang jujur dan halal sehingga saya benar-benar percaya bahwa Anda memberi tahu rekan kerja yang saya miliki Ide bagus untuk memulai bisnis tunggal saya sendiri karena mendapat pekerjaan tidak mudah jadi saya pergi ke bank untuk mendapatkan pinjaman (Rp800 juta) tapi mereka semua meminta uang muka setara dengan jumlah pinjaman saya tapi satu-satunya properti yang saya miliki adalah motor saya, yang membuat saya merasa kecewa
Jadi saya mencari perusahaan pinjaman online tapi kebanyakan curang dan curang, saya hampir kehilangan harapan dan kepercayaan diri sampai saya membaca artikel tentang lady jane tapi saya tidak sempat menutup tapi membaca artikelnya jadi saya mencoba pencarian online lain yang disebut craigslist. org dimana saya melihat iklan perusahaan Dangote Loan jadi saya memutuskan untuk melamar dan menghubungi lady jane juga
Dangote Loan Company memberikan pinjaman dengan suku bunga 2% dan tidak kurang dari Rp20 juta
Saya mengikuti prosedur di sana, memberikan semua yang diminta, saya juga sangat takut, tapi untuk kemuliaan tuhan, doa saya dijawab dan uang pinjaman saya ditransfer kepada saya tanpa masalah.
jadi jangan buang waktu anda kontak Dangote perusahaan pinjaman Via dangotegrouploandepartment@gmail.com
Anda juga bisa mencari di google untuk informasi lebih lanjut, ini nyata dan sangat nyata atau hubungi saya juga melalui email di alfreddaniel324@gmail.com dan juga di BBM: 7AEA8FA5
Saya adalah Ibu Nur Amalina, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka adalah banyak scammers dan pemberi pinjaman pinjaman palsu di internet. Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana Tuhan menolong saya dengan mengarahkan saya kepada pemberi pinjaman asli, setelah itu saya telah scammed oleh beberapa pemberi pinjaman di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan menggunakan teman saya yang kemudian menyebut saya sebagai pemberi pinjaman yang sangat andal bernama Mrs. Charity meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 750 juta rupiah Indonesia (Rp750.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan dan hanya dengan suku bunga 2% saja.
Saya sangat terkejut saat memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya ajarkan dikirim langsung ke akun saya tanpa penundaan. Karena saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, silakan hubungi dia melalui email: (charitywhitefinancialfirm@gmail.com) dan dengan rahmat Tuhan dia tidak akan mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda memenuhi persyaratannya.
Anda juga bisa menghubungi saya di email saya: (nuramalinasofiyani05@gmail.com) Akan melakukan yang terbaik untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya yang saya kirim langsung ke rekening bulanan. Itulah alasan Tuhan Yang Mahakuasa akan selalu memberkatinya.
KABAR BAIK!!!
Nama saya Aris Mia, saya ingin menggunakan media ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman sangat berhati-hati, karena ada penipuan di mana-mana, mereka akan mengirim dokumen perjanjian palsu untuk Anda dan mereka akan mengatakan tidak ada pembayaran dimuka, tetapi mereka adalah orang-orang iseng, karena mereka kemudian akan meminta untuk pembayaran biaya lisensi dan biaya transfer, sehingga hati-hati dari mereka penipuan Perusahaan Pinjaman.
Beberapa bulan yang lalu saya tegang finansial dan putus asa, saya telah tertipu oleh beberapa pemberi pinjaman online. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan digunakan teman saya yang merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Ibu Cynthia, yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan dari Rp800,000,000 (800 juta) dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau stres dan tingkat bunga hanya 2%.
Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan bahwa jumlah yang saya diterapkan, telah dikirim langsung ke rekening bank saya tanpa penundaan.
Karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik, sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman apapun, silahkan menghubungi dia melalui email nyata: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com dan oleh kasih karunia Allah ia tidak akan pernah mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman jika Anda menuruti perintahnya.
Anda juga dapat menghubungi saya di email saya: ladymia383@gmail.com dan Sety yang memperkenalkan dan bercerita tentang Ibu Cynthia, dia juga mendapat pinjaman baru dari Ibu Cynthia, Anda juga dapat menghubungi dia melalui email-nya: arissetymin@gmail.com sekarang, semua akan saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya bahwa saya kirim langsung ke rekening mereka bulanan.
Sebuah kata yang cukup untuk bijaksana.
Saya Widya Okta, saya ingin memberi kesaksian tentang karya bagus Tuhan dalam hidup saya kepada orang-orang saya yang mencari pinjaman di Asia dan sebagian lain dari kata tersebut, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara. Apakah mereka mencari pinjaman di antara kamu? Maka Anda harus sangat berhati-hati karena banyak perusahaan pinjaman yang curang di sini di internet, tapi mereka tetap asli sekali di perusahaan pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban penipuan pemberi pinjaman 6-kredit, saya kehilangan banyak uang karena saya mencari pinjaman dari perusahaan mereka.
Saya hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari hutang saya sendiri, sebelum saya dibebaskan dari penjara dan teman saya yang saya jelaskan situasi saya, kemudian mengenalkan saya ke perusahaan pinjaman yang andal yaitu SANDRAOVIALOANFIRM. Saya mendapat pinjaman saya sebesar Rp900.000.000 dari SANDRAOVIALOANFIRM dengan tarif rendah 2% dalam 24 jam yang saya gunakan tanpa tekanan atau tekanan. Jika Anda membutuhkan pinjaman Anda dapat menghubungi dia melalui email: (sandraovialoanfirm@gmail.com)
Jika Anda memerlukan bantuan dalam melakukan proses pinjaman, Anda juga bisa menghubungi saya melalui email: (widyaokta750@gmail.com) dan beberapa orang lain yang juga mendapatkan pinjaman mereka Mrs. Jelli Mira, email: (jellimira750@gmail.com). Yang saya lakukan adalah memastikan saya tidak pernah terpenuhi dalam pembayaran cicilan bulanan sesuai kesepakatan dengan perusahaan pinjaman.
Jadi saya memutuskan untuk membagikan karya bagus Tuhan melalui SANDRAOVIALOANFIRM, karena dia mengubah hidup saya dan keluarga saya. Itulah alasan Tuhan Yang Mahakuasa akan selalu memberkatinya.
Posting Komentar