Tunggu tubang erat kaitannya dengan dasar filosofis atau pandangan hidup
masyarakat Semendo, karena itu untuk mendapat suatu pengertian yang
mendalam tentang tunggu tubang perlu mengetahui sejarah lahirnya tunggu
tubang dan terbentuknya daerah Semende.
Menurut para pemuka adat Semende yang penulis temui, memberikan informasi yang berbeda mengenai asal usul semende dan oraang yang pertama mendirikan semende termasuk nama dan dari mana asalnya. Pada tulisan ini akan penulis kemukakan perebdaan itu. Pendapat pertama orang yang pertama kali mendiami daerah Semende (dahulu masih hutan belantara) adalah Puyang Ngawak, kemudian disusul oleh empat orang pendatang yang ingin menetap di daerah tersebut, ke empat orang tersebut adalah :
1. Puyang Redia Sakti
2. Puyang Raja Ngekap
3. Puyang Nakanadin, dan
4. Puyang Nuh Macan.
Keempat orang itu kemudian diangkat menjadi anak oleh Puyang Ngawak, dan diberi gelar Awak Perhuli Empat. Diantara keempat orang itu hanya Redia Sakti yang perempuan yang berasal dari daerah Besemah. Keempat orang ini kemudian mengadakan musyawarah, dalam musyawarah itu diantaranya menetapkan nama daerah yang akan dijadikan tempat tinggal. Dalam musyawarah, Redia Sakti mengusulkan nama daerah tersebut dengan “Same –Ende-nye” artinya milik bersama, tanggung jawab, pengurusan, dan pemeliharaannya secara bersama. Nama ini selanjutnya disetujui oleh ketiga orang yang lain dan Puyang Ngawak. Salah satu alasan dari Puyang Redia Sakti mengusulkan nama tersebut adalah ia ingin membuat daerah yang nantinya dapat diberikan kepada keturunan yang tetap, tidak boleh dijual atau dihabiskan seperti di daerah Besemah, yang dikuasai oleh saudara laki-laki.
Dari istilah Same Endenye inilah, keempat orang ini membuat segala tatanan atau aturan yang akan diberlakukan di daerah ini, diantaranya termasuk menetapkan anak perempuan yang tertua untuk mengurusi harta dengan diawasi dan dibimbing oleh saudaranya yang laki-laki, yang dinamakan dengan tunggu tubang. Adapun harta yang menjadi ketetapan adalah sawah dan rumah.
Istilah Same Endenye, kemudian berkembang menjadi “Samende, Semende”, dan didalam perkembangan ketatanegaraan selanjutnya menjadi Semendo, yang dikenal banyak masyarakat sekarang. Istilah Semendo sebenarnya tidak tepat sebab tidak dapat diartikan dan tidak sesuai dengan pandangan masyarakat.
Pendapat lain yang dikutip dari bukunya Jagad Besemah lebar semende panjang oleh KH.Thohlon A.Rauf bahwa pendiri adat semende adalah syek Nurqodim al-Baharudin. Untuk mengetahui siapa Syek Nur Qadim Al-Baharudin perlu mengetahui sejarah Muzakarah ulama berikut ini;
Pada bulan Agustus 2007 lalu Panitia Mudzakarah Ulama Serumpun Melayu
membentuk Tim Pelacakan Sejarah. Tugasnya adalah menemukan fakta apakah
benar pada abad ke 17 masehi telah berkumpul para ’Ulama di Sumatera
Selatan untuk bermudzakarah? Sejumlah pertanyaan penting yang harus
dijawab antara lain : apa latar belakangnya mudzakarah tersebut; siapa
saja tokohnya; dimana lokasinya; dan apa isi mudzakarah tersebut;
hasil-hasilnya; serta pengaruhnya terhadap ummat Islam khususnya di
Rumpun Melayu?Menurut para pemuka adat Semende yang penulis temui, memberikan informasi yang berbeda mengenai asal usul semende dan oraang yang pertama mendirikan semende termasuk nama dan dari mana asalnya. Pada tulisan ini akan penulis kemukakan perebdaan itu. Pendapat pertama orang yang pertama kali mendiami daerah Semende (dahulu masih hutan belantara) adalah Puyang Ngawak, kemudian disusul oleh empat orang pendatang yang ingin menetap di daerah tersebut, ke empat orang tersebut adalah :
1. Puyang Redia Sakti
2. Puyang Raja Ngekap
3. Puyang Nakanadin, dan
4. Puyang Nuh Macan.
Keempat orang itu kemudian diangkat menjadi anak oleh Puyang Ngawak, dan diberi gelar Awak Perhuli Empat. Diantara keempat orang itu hanya Redia Sakti yang perempuan yang berasal dari daerah Besemah. Keempat orang ini kemudian mengadakan musyawarah, dalam musyawarah itu diantaranya menetapkan nama daerah yang akan dijadikan tempat tinggal. Dalam musyawarah, Redia Sakti mengusulkan nama daerah tersebut dengan “Same –Ende-nye” artinya milik bersama, tanggung jawab, pengurusan, dan pemeliharaannya secara bersama. Nama ini selanjutnya disetujui oleh ketiga orang yang lain dan Puyang Ngawak. Salah satu alasan dari Puyang Redia Sakti mengusulkan nama tersebut adalah ia ingin membuat daerah yang nantinya dapat diberikan kepada keturunan yang tetap, tidak boleh dijual atau dihabiskan seperti di daerah Besemah, yang dikuasai oleh saudara laki-laki.
Dari istilah Same Endenye inilah, keempat orang ini membuat segala tatanan atau aturan yang akan diberlakukan di daerah ini, diantaranya termasuk menetapkan anak perempuan yang tertua untuk mengurusi harta dengan diawasi dan dibimbing oleh saudaranya yang laki-laki, yang dinamakan dengan tunggu tubang. Adapun harta yang menjadi ketetapan adalah sawah dan rumah.
Istilah Same Endenye, kemudian berkembang menjadi “Samende, Semende”, dan didalam perkembangan ketatanegaraan selanjutnya menjadi Semendo, yang dikenal banyak masyarakat sekarang. Istilah Semendo sebenarnya tidak tepat sebab tidak dapat diartikan dan tidak sesuai dengan pandangan masyarakat.
Pendapat lain yang dikutip dari bukunya Jagad Besemah lebar semende panjang oleh KH.Thohlon A.Rauf bahwa pendiri adat semende adalah syek Nurqodim al-Baharudin. Untuk mengetahui siapa Syek Nur Qadim Al-Baharudin perlu mengetahui sejarah Muzakarah ulama berikut ini;
Untuk menjawab berbagai pertanyaan awal di atas, maka dalam tim ini dibentuk dua bidang tugas. Pertama, bertugas untuk menggali fakta dari literatur atau tulisan sejarah di buku, internet, serta asip-arsip kuno di perpustakan dan di masyarakat. Kedua, melalui wawancara langsung dengan pakar sejarah dari Perguruan Tinggi, Musium Purbakala, serta tokoh masyarakat yang merupakan keturunan dari pelaku sejarah. Juga dilakukan tinjauan langsung ke lokasi sejarah di daerah Perdipe. Tim ini bekerja sekitar dua bulan sejak dibentuk. Kemudian hasil penelitian ini telah disampaikan pada Musyawarah Pleno ke 1 DP3MU September 2007 lalu di Auditorium Yayasan AKUIS Pusat, Banyuasin, Sumatera Selatan.
Berdasarkan Hasil Pelacakan Sejarah yang telah dilakukan, maka ada beberapa bukti sejarah yang ditemukan :
1. Pada tahun 1650 masehi atau 1072 hijriyah telah bertemu sekitar 50 ’Ulama di Perdipe, Sumatera Selatan.
2. Mereka berasal dari wilayah Rumpun Melayu yang meliputi Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaka, Fak-Fak- Papua, Ternate, dan Kepulauan Mindanau.
3. Hasil Mudzakarah ini memunculkan perluasan dakwah Islam yang berakibat terkikisnya faham anismisme dan budaya jahiliyah di masyarakat.
4. Munculnya kader-kader mujahid yang mengadakan perlawan terhadap penjajah Eropa.
5. Terjadinya perluasan wilayah Islam yang ditandai dengan munculnya Kesultanan yang baru yang masing-masing saling bekerjasama secara baik. http://arjaenim.blogspot.com/
0 komentar:
Posting Komentar