Rabu, 30 Oktober 2013

PENYELESAIAN HADITS MUKHTALIF MENURUT AL SYAFI’I











I.                 PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Mukhtalif hadits adalah istilah yang tidak asing lagi ditelinga kita. Ada beberapa ulama yang popular dalam masalah ini, karna mereka mempunyai solusi tersendiri dalam penyelesaian ikhtilaf fi al hadits. Solusi yang mereka sajikan itu tentu juga tidak terlepas dari kritik, guna agar masalah jauh lebih gambalang atau dengan adanya kritis tentu bagi orang yang sesudah mereka akan mudah memunculkan teori baru dalam penyelesaian mukhtalif hadits.
Menurut sejarah al Syafi’i adalah orang yang pertama merumuskan teori tentang penyelesaian hadits mukhtalif , oleh karna itu penulis mencoba menjelaskan metode penyelesaian yang dikemukakan oleh al Syafi’i, selain ini sebagai tugas perkuliahan juga antusias penulis untuk membahasnya.

B.     Rumusalan Masalah
Adapun yang akan dibahas disini sebagai berikut:
1.      Bagaimana biografi al Syafi’i ?
2.      Bagaimana penyelesaian hadits mukhtalif menurut al Syafi’i?
3.      Apa contoh hadits mukhtalif yang dikemukan al Syafi’i?












I.       PEMBAHASAN


A.      Biografi Imam Syafi’i
Syafi’i[1] adalah seorang faqih yang membuat sebuah koridor bagi peran akal dalam fiqih dan memberikan sebuah pemetaan dalam penggunaan qiyas. Syafi’i adalah seorang ulama yang pertama kali memberikan kriteria hadits, menerangkan metode memahami al-Quran dan Hadits, sekaligus menerangkan tentang permaslahan nasikh dan mansukh. Dengan usaha dan ketekunannya—terutama dalam bidang ushul fiqh—beliau meletakkan dasar-dasar serta kaidah yang di jadikan sebagai patokan untuk melakukan penggalian (istinbath) hukum dan memberikan dasar-dasar penakwilan.[2]
Kebanayakan ahli sejarah berpendapat bahwa Syafi’i lahir di kota Gaza, Palelstina. Pendapat ini pula yang di pegang oleh mayoritas fuqaha dan pakar sejarah ulama fiqih. Namun, di tengah-tengah pendapat yang populer ini, terdapat juga pendapat lain. Sebagian ulama menyatakan bahwa Imam Syafi’i  lahir di Asqalan. Sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari kota Gaza. Bahkan ada yang berpendapat bahwa ia lahir di Yaman. Meski demikian, mayoritas ulama lebih berpegang kepada pendapat yang mengatakan bahwa ia lahir di Gaza.[3] Mengomentari pendapat yang mencari titik tengah dari perbedaan yang ada tentang tempat kelahiran  sang Imam, sejarawan al-Himawi berkata: “Pentakwilan seperti ini bagus, jika memang riwayat-riwayat tersebut sahih”.[4]
Mengenai tanggal lahiranya, para ahli sejarah sepakat bahwa Syafi’i ra lahir pada tahun 150 H,[5] di tahun ini pula wafat seorang ulama besar yang bernama Imam Abu Hanifah, berkenaan dengan hari kelahiran sang Imam, sebagian kalangan menambahkan bahwa Imam Syafi’i  lahir di malam wafatnya Imam Abu Hanifah. Nampaknya, penambahan ini hanya untuk menguatkan pendapat mereka yang menyatakan bahwa di saat seorang Imam wafat, maka lahirlah seorang Imam yang lain.[6]
Al Syafi’i telah memberikan banyak sumbangsih bagi perkembangan keilmuan. Beliau banyak menurunkan pengetahuannya kepada masyarakat dan hal ini beliau lakukan di saat berada di Baghdad. Kiprah sang Imam dalam hal keilmuan telah mengantarkannya menempati posisi yang terhormat di kalangan ulama. Sang Imam juga berkiprah di Mekkah dengan menghadirkan sebuah fiqih dengan warna baru yang mengarah kepada hal-hal yang bersifat universal menggantikan fiqih yang bersifat parsial, beliau muncul dengan membawa pokok-pokok permasalahan menggantikan cabang-cabangnya yang sempit.[7]
al Syafi’i rihlah dari Gaza pergi ke Mekkah umur enam tahun, ia ke Baghdad pada tahun 95 H dan menetap disana selama dua tahun, kemudian ia ke Mekah, kemudian ia kembali ke Baghdad tahun 98 H menetap disana satu bulan. Dan ia pergi ke Mesir 199 H sampai ia wafat pada hari Jum’at, bulan Rajab, tahun 204 H.[8]
Abu U’baid berkata tentang al Syafi’i: “ Saya tidak pernah melihat seseorang yang sangat cerdas daripada al Syafi’i.” Yunus Abdul A’la berkata: “Jika umat ini berkumpul mungkin sama cerdasnya dengan al Syafi’i.”[9]
Guru Imam Syafi’i diantaranya: Muslim ibn Khalid al Zanji, Daud ibn Sulaiman al ‘Aththar, ‘Abdul ‘aziz al Majusy, Muhammad ibn ‘Ali ibn Syafi’, Sufyan ibn ‘Uyainah, Ibrahim ibn Sa’d, Ibrahim ibn Muhammad ibn Yahya, Ibrahim ibn Ja’far, dan lain-lain.[10]
Sedangkan Muridnya diantara lain: al Humaidi, Abu ‘Ubaid, Ahmad ibn Hanbal, Abu Ya’qub Yusuf al Buwaithi, Abu Tsur, Harmalah ibn Yahya, Abdul ‘Aziz al Makiy, al Karabisi, Ibn Rawaih, al Harits ibn Suraij al Niqal, Yunus ibn Abdul ‘Ala dan lainnya.[11]

B.       Penyelesaian Mukhtalif Hadits
Sejauh pengetahuan kami, belum menemukan defenisi khusus yang disajikan  oleh al Syafi’i tentang ikhtilaf al Hadits, tetapi setelah melihat karyanya seperti al Risalah dengan berbagai tanya jawab di dalamnya, dan sajian al Umm yang menarik untuk dikaji secara mendalam, maka kami ambil kesimpulan; hadits mukhtalif menurut al Syafi’i adalah: Hadits yang membahas satu topik, ada perbedaan dan perselisihan makna seolah-olah maksudnya tidak pada satu arah tujuan, tetapi dapat diselesaikan secara gamblang dengan metode yang sesuai diterapkan pada hadits tersebut.
Mengenai penyelasaian hadits mukhtalif yang disajikan oleh al Syafi’i, kutipan berikut ini keterangan darinya:
كُلّمَا احتمل حديثان أَنْ يَسْتَعْمِلاَ معا إستعملا معا، ولم يعطّل واحد منهما الأخر، كما وصفتُ في أمر الله بقتال المشركين حتّى يؤمنوا، وما أمر بهِ مِن قتال أهل الكتاب من المُشْرِكِيْن حتّى يُعْطُوا الجزيّةَ.[12]
و في الحديث ناسخٌ ومنسوْخٌ كما وصفت في القبلةِ المنسوخةِ باستقبال المسجد الحرام، فإذا لمْ يحْتملِ الحدِيْثانِ إلاّ الإختلافَ كما اخْتلفت القبْلةُ نحو بيتِ المقدس والبيت الحرامِ كانَ أحدهما ناسخاً والأخرُ منْسوْخاً، و لا يستدلّ على الناسخ والمنسوْخِ إلاّ بخبرٍ عن رسول الله أو بقول أو بوقتٍ يدُلُّ عل أنّ أحدهما بعد ألأخر فيعلم أنَّ الأخر هو الناسخ، أو بِقول مَنْ سمع الحديث أو العامَّةِ كما وصفتُ أو بوجحه أخر لا يبيّن فيه الناسخ و المنسوخ، وقدْ كتبتُ في كتابي، وما ينسب إلى الإختلاف من الأحاديث ناسخ ومنسوخ فيصار إلى الناسخ دون المنسوخ،[13] ومنها ما يكون الإختلاف في الفعل من جهة أنّ الأمرين مباحان كاختلاف القيام و القعود وكلاهما مباح، ومنها ما يختلف ومنها مالايخلومن أن يكون أحد الحديثين أشْبهَ بمعنى كتاب الله أو أشبه بمعنى سنن النبيّ صلّى الله عليه وسلّم ممّا سوى الحديثين المختلفين أو أشبه بالقياس فأيّ الأحاديث المختلفة كان هذا فهو أولاهما عندنا أن يصار إليه،[14] ومنها ما عده بعض من ينظر في العلم مختلفا بأنّ الفعل فيه اختلف أو لم يختلف الفعل فيه إلّا باختلاف حكمه او اختلف الفعل فيه بأنه مباح فيشبه أن يعمل به بأنّه القائل به ومنها ما جاء جملة وأخر مفسّرا، واذا جعلت الجملة على إنّها عامّة عليه رويت بخلاف المفسّر، وليس هذا اختلافا إنّما هذا ممّا وصفت من سعة لسان العرب. وأنّها تنطق بالشيء منه عامّا تريد به الخاصّ ، وهذان يستعملان معا، قد أوضحتُ من كلّ صنف من هذا ما يدلّ على ما في مثل معناه إن شاء ألله وجماع هذا أن لا يقبل إلاّ حديث ثابت كما لا يقبل من الشهود إلاّ مَنْ عرف عدله، فإذا كان الحديث مجهولا أو مرغوبا عمّن حمله كان كما لم يأت، لأنّه ليس بثابت.[15]
Maksudnya: Ketika ada kandungan dua hadits menuntut agar keduanya diamalkan secara kompromi (al Jam’u), maka kompromikan-lah keduanya, salah satu dari kedua hadits itu tidak boleh meng-alpakan hadits yang lain. Sebagaimana pada penjelasanku; bahwa Allah menyuruh memerangi orang musyrik hingga ia beriman. Dan Ia memerintahkan memerangi orang musyrik dari ahli kitab hingga mereka bayar pajak.[16] Dalam hadits (juga) terjadi nasikh dan mansukh, sebagaimana contoh telah aku sebut tentang masalah kiblat menghadap ke Ka’abah. Jadi apabila dua hadits benar-benar ikhtilaf/kontradiksi sebagaimana masalah kiblat, dari baitu al Maqdis ke masjid Haram, niscaya salah satu dari dua hadits itu me-nasakh-kan yang lain, dan yang lain di mansukh-kan. Hendaklah menentukan nasikh dan mansukh itu berpedoman kepada khabar atau perkataan Rasulullah, atau berpedoman pada historis yang menunjukkan bahwa salah satu dari dua hadits tersebut datang belakangan dari hadits lawannya kontradiksi. Dengan demikian dapat diketahui bahwa yang datang belakangan itu me-nasakh-kan yang datang lebih dulu. Atau berpedoman pada perkataan seseorang atau umumnya periwayat  hadits, atau berpedoman kepada keterangan lain—yang mana keterangannya tidak menjelaskan secara jelas tentang naskh-mansukh, tetapi jika difahami dengan cermat maka disitu ada keterangan yang menjelaskan naskh dan mansukh— seperti yang telah aku sifatkan di belakang, aku tulis dalam kitabku. Jadi apabila hadits yang sifatnya kontradiksi itu memang cocok untuk diberlakukan—untuk penyelesaiannya dengan menggunakan—nasikh dan mansukh, maka hendaklah    menggunakan atau mengamalkan hadits yang me-nasakh dan hadits yang mansukh tidak diamalkan. Dan ada beberapa hadits kontradiksi-nya pada perbuatan yang mubah, seperti kontradiksi hadits mengenai berdiri dan duduk dalam shalat. Diantara hadits-hadits yang kontradiksi itu ada maknanya menyerupai makna firman Allah, atau menyerupai makna hadits yang lain yang bukan kontradiksi,  atau lebih serupa dengan kias, maka menurut kami hadits ini lebih utama diamalkan. Sebagian ahli ilmu memandang hadits bertentangan, disebabkan pengamalan padanya juga kelihatan bertentangan. Atau hukumnya kelihatan bertentangan. Sebagiannya hadits  ada yang datang secara ijmal/global (maknanya) dan ada yang datang secar mufassar (rinci), jadi apabila yang ijmal itu tetap atas ijmalnya, pasti kelihatan bertentangan dengan yang mufassar tadi. Menurut kami hal yang seperti tidak bertentangan, ini hanya bentuk alusinasi  orang Arab saja, kadangkala ia menuturkan kata umum tetapi maksudnya khusus. Oleh karnanya, dua hadits yang kelihatan bertentangan seperti ini harus diamalkan keduanya. Mengenai hadits-hadits seperti ini akan dijelas dalam beberapa karanganku ini, insya Allah. Semua ini tidak diterima kecuali pada hadits yang Tsabit—yakni hadits yang bisa dijadikan hujjah—sebagaimana saksi, yaitu tidak diterima keculi bagi orang yang sudah diketahui keadilannya. Apabila periwayat hadits tidak diketahui ihwal-nya, maka keberadaan hadits itu sama dengan tidak ada. Karna hadits itu tidak tsabit yakni tidak bisa dijadikan hujjah.[17] 
Dari keterangan diatas dapat dijelaskan; penyelesaian hadits-hadits yang kelihatan kontradiksi menurut al Syafi’i ada tiga.
1.         Penyelesaian dengan cara kompromi (al Jam’u), yaitu mengamalkan kedua hadits terebut.[18]
Beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika mengompromikan hadits:
a.       Menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh dan kajian kebahasaan, seperti memerhatikan mujmal dan mubayyan, mutlak dan muqayyad, ‘amm dan khash, hakikat dan majaz, dan lainnya.
b.      Kontekstual, yakni sisi keterkaitan dengan keadaan dan situasi ketika itu.
c.       Pemahaman Korelatif
d.      Menggunakan Ta’wil[19]
Mari kita meninjau cara al Syafi’i mengompromikan hadits mukhtalif dengan cara kontektualitas; dapat kita lihat ketika ia menyelesaikan permasalahan hadits tasyahhud yang kelihatan kontradiksi. Ia ditanya: “bagaimana pendapat anda terhadap riwayat yang berbeda tentang tasyahhud dari Nabi S.A.W?, Ibn Mas’ud berbeda tasyahhudnya, Abu Musa, jabir dan yang lain juga berbeda dari sebagian lafaznya. Bahkan Umar mengajarkan semua yang berbeda dari riwayat mereka semua di sebagian lafaz. Begitu juga riwayat ‘Aisyah. Begitu juga tasyahhud Ibn Umar juga berlainan dengan riwayat yang lain. Terkadang sebagian riwayat lafaznya lebih panjang daripada sebagian lain.[20]
Jawabannya: seluruh redaksi tasyahhud merupakan kalimat yang bermaksud untuk mengagungkan Allah. Rasulullah mengajarkan kepada mereka. Mungkin, beliau mengajari seseorang lalu orang itu menghapalnya, dan mengajari yang lain lalu ia-pun menghapalnya. Dalam periwayatan secara makna yang paling diperhatikan adalah tidak berubahnya makna. Jadi di dalamnya tidak ada penambahan, pengurangan, dan perbedaan makna kata yang berakibat pada perubahan makna redaksi. Karna perubahan makna adalah hal yang tidak diperkenankan.[21] Barangkali Nabi memperkenankan mereka membaca tasyahhud sesuai yang dihapalnya. Karna tidak mengandung makna yang mengubah sesuatu dari hukumnya. Barangkali periwayat bersifat longgar sehingga ia mengucapkan tasyahhud sesuai hapalan mereka, sesuai yang terilhamkan dalam hati mereka, dan sesuai yang diperkenankan untuk mereka.[22]
2.         Apabila hadits yang kelihatan kontradiksi itu, tidak bisa diselesaikan melalui kompromi, menurut al Syafi’i penyelesaiannya menggunakan nasakh.[23] Yakni diberlakukan hukum nasikh dan mansukh pada dua dalil yang kontradiksi tersebut.
Menurutnya; Hendaklah menentukan nasikh dan mansukh itu berpedoman:[24]
a.          Kepada khabar atau perkataan Rasulullah
b.        Asbabu al Nuzul
c.          Berpedoman pada historis yang menunjukkan bahwa salah satu dari dua hadits yang kontradiksi itu datang belakangan dari hadits yang berlawanan dengannya.
d.         Berpedoman pada perkataan seseorang atau beberapa periwayat hadits.
e.          Berpedoman kepada penjelasan lain, yang mana keterangannya tidak menjelaskan secara jelas tentang naskh-mansukh, tetapi jika difahami dengan cermat, ada keterangan yang menjelaskan naskh dan mansukh.  Jadi, Apabila hadits yang sifatnya kontradiksi itu memang cocok untuk diberlakukan—untuk penyelesaiannya dengan menggunakan—nasikh dan mansukh, maka hendaklah  menggunakan atau mengamalkan hadits yang me-nasakh sedangkan hadits yang mansukh tidak diamalkan. Demikian-lah menurut al Syafi’i.[25]
3.         Kemudian menurutnya—al Syafi’i—apabila upaya penyelesaian dengan cara kompromi tida bisa, dengan cara naskh-pun juga tidak bisa, maka hendaklah  menggunakan penyelesaian dengan cara tarjih, yakni mencari yang lebih kuat diantara dua hadits tersebut.[26]
Dalam al Risalah al Syafi’i menjelaskan: “Jika kandungan makna hadits tidak mendekati teks kitabullah penjelasannya, maka yang paling utama untuk kita jadikan pegangan adalah yang paling sahih.”[27] Adapun tolak ukur men-tarjih menurutnya antara lain:
1)      Periwayat hadits harus lebih memahami sanad, lebih masyhur ilmunya, dan dhabith.
2)      Hadits itu diriwayatkan dari dua jalur atau lebih, sementara hadits yang ditinggalkan itu diriwayatkan dari satu jalur, juga memerhatikan syahid dan muttabi[28]-nya.[29]
3)      Hadits yang kita pegang lebih mendekati makna al Qur’an, atau makna Sunnah Rasulullah yang lain.
4)      Hadits yang dipegang karna sudah mutawatir.
5)      Lebih sahih dalam qiyas.
6)      Telah menjadi pegangan sahabat Rasulullah.[30]
Jadi, menurutnya—al Syafi’i—apabila salah satu diantara dua hadits kontradiksi itu ada maknanya menyerupai makna al Qur’am, atau menyerupai makna hadits lain yang bukan kontradiksi, atau lebih menyerupai qias, maka hadits ini diutamakan dari hadits yang tidak ada kesesuaiannya.[31]
Jika dilihat dari kutipan pendapat al Syafi’i diatas—kutipan dari al Umm—ia tidak menyebut; membiarkan (tawaqquf) hadits-hadits yang kontradiksi, dalam arti kata tidak diamalkan dalil-dalil yang kontradiksi itu.[32]
Al Syafi’i juga menyatakan: cara penyelesaian yang ia sajikan itu diberlakukan pada hadits yang tsabit yakni hadits yang dapat diterima sebagai hujjah. Adapun hadits yang tidak tsabit tidak perlu selesaikan kontradiksinya, karna sudah mardud/ditolak juga.[33]

C.      Contoh Ikhtilaf al Hadits
Diantara contoh ikhtilaf al Hadits yang disebut oleh al Syafi’i adalah tentang tasyahhud yakni, Redaksi tasyahhud dari Umar ibn al Khaththab ra:
التحيّات لله الزاكيات لله الطيّبات الصلواة لله السلام عليك أيّها النبيّ ورحمة الله وبركاته السلام علينا وعلى عباد الله الصالحين أشهد أن لا إله إلاّ الله وأشهد أنّ محمّدا عبده ورسوله.
Hadits ini kelihatan redaksinya bertentangan dengan redaksi Ibn Umar ra:
التحيّات المباركات الصلوات الطيّبات لله سلام عليك أيّها النبيّ ورحمة الله وبركاته سلام علينا وعلى عباد الله الصالحين أشهد أن لا إله إلّا الله وأشهد أنّ محمّدا رسول الله.[34]
Adan masih ada hadits yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat lain, seperti Ibn Mas’ud misalkan, yang mana redaksinya berbeda satu sama lain, tapi telah dikompromikan oleh al Syafi’i sebagaimana telah pemakalah jelaskan di belakang.
Contoh lain hadits riwayat dari Ibn ‘Abbas:
أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلّم وضأ وجهه ويديه ومسح برأسه مرّةً مرّة
Hadits ini bertengan dengan hadits riwayat dari Maula ‘Utsman ibn ‘Affan:
أنّ النبيّ صلى الله عليه وسلّم توضّأ ثلاثا ثلاثا.[35]
Contoh kompromi menggunakan kaidah ushul kaidah ushul Fiqh (mutlak dan muqayyad):
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ عَنْ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْمُغِيرَةِ قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ أَبِي نُعْمٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كَسْبِ الْحَجَّامِ وَعَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَعَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ[36] 
Hadits ini bertantangan dengan hadits berikut:
 حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنُونَ ابْنَ جَعْفَرٍ عَنْ حُمَيْدٍ قَالَ سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ عَنْ كَسْبِ الْحَجَّامِ فَقَالَ احْتَجَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَمَهُ أَبُو طَيْبَةَ فَأَمَرَ لَهُ بِصَاعَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَكَلَّمَ أَهْلَهُ فَوَضَعُوا عَنْهُ مِنْ خَرَاجِهِ وَقَالَ إِنَّ أَفْضَلَ مَا تَدَاوَيْتُمْ بِهِ الْحِجَامَةُ أَوْ هُوَ مِنْ أَمْثَلِ دَوَائِكُمْ
Contoh kompromi dengan cara melihat kontekstual:

 
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا الزُّهْرِيُّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيعَ حَاضِرٌ لِبَادٍ وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا يَبِيعُ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا يَخْطُبُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ وَلَا تَسْأَلُ الْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفَأَ مَا فِي إِنَائِهَا[37]
Hadits ini bertentangan dengan hadits berikut:

 حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ مَوْلَى الْأَسْوَدِ بْنِ سُفْيَانَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ وَهُوَ غَائِبٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ فَسَخِطَتْهُ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا لَكِ عَلَيْنَا مِنْ شَيْءٍ فَجَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ فَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ ثُمَّ قَالَ تِلْكِ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِي اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ فَإِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ.[38]
Contoh kompromi dengan pemahaman korelatif:
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ شَهِدَ عِنْدِي رِجَالٌ مَرْضِيُّونَ وَأَرْضَاهُمْ عِنْدِي عُمَرُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَشْرُقَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ[39]
Hadits ini bertentangan dengan hadits berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَا حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ وَأَقِمْ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي قَالَ مُوسَى قَالَ هَمَّامٌ سَمِعْتُهُ يَقُولُ بَعْدُ وَأَقِمْ الصَّلَاةَ للذِّكْرَى[40]
Contoh kompromi dengan menggunakan ta’wil:
أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ قَالَ حَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ عُمَرَ بْنِ قَتَادَةَ عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَسْفِرُوا بِالْفَجْرِ
Hadits ini bertentangan dengan hadits berikut:
و حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ وَإِسْحَقُ بْنُ مُوسَى الْأَنْصَارِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا مَعْنٌ عَنْ مَالِكٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصَلِّي الصُّبْحَ فَيَنْصَرِفُ النِّسَاءُ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ مَا يُعْرَفْنَ مِنْ الْغَلَسِ و قَالَ الْأَنْصَارِيُّ فِي رِوَايَتِهِ مُتَلَفِّفَاتٍ
Contoh nasikh-mansukh:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا مُعَرِّفُ بْنُ وَاصِلٍ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّ فِي زِيَارَتِهَا تَذْكِرَةً[41].
Bertentangan dengan dengan hadits berikut:
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ قَالَ حَدَّثَنَا شُعَيْبٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ قَالَ سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ آخِرَ الْأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرْكُ الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتْ النَّارُ[42]
Beranjak dari seluruh keterangan diatas, selanjutnya pemakalah akan menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan, berkaitan dengan mukhtalif al hadits ini, berikut pertanyaan serta jawaban kami:
Yusman Rendi Wardani; ada dua pertanyaan: [1] “Anda menyebutkan contoh yang disebut oleh al Syafi’i tentang al Jam’u, yakni tentang memerangi orang musyrik hingga ia beriman, dan yang lain menjelaskan perangi orang musyrik hingga ia membayar pajak, jadi contoh ini kelihatan rancu”. [2] apa saja syarat hadits jika mengkompromi, menaskh dan mentarjihkannya?
Jawaban kami untuk pertanyaan pertama: wahai Yusman! Jika anda mengatakan contoh yang di sebut oleh al Syafi’i itu kelihatan rancu, tetapi kami tidak melihat ada kerancuan padanya. Sesungguhnya al Syafi’i membuat contoh itu, karna dua hadits itu sesuai dengan topik pembahasan yakni “Ikhtilaf al Hadits”, secara lahiriah dua hadits itu kelihatan kontradiksi, yakni hadits pertama memerintahkan memerangi orang musyrik sampai ia beriman, sedangkan hadits kedua perintah memerangi orang musyrik hingga ia bayar pajak. Kedua hadits tersebut dapat dikompromikan, yaitu dengan melihat sisi kontektualtas hadits itu, hadits pertama menyuruh memerangi kaum musyrik hingga beriman yaitu ditujukan kepada kafir al hirb yakni kafir yang memerangi Islam dan tidak mau tunduk kepada Islam serta ia terus berupaya untuk menghancurkan Islam dengan berbagai upaya. Jadi mereka ini jika dibiarkan amat berbahaya bagi Islam dan umatnya, maka diperintahkan memerangi mereka hingga beriman guna menghindari kejahatan mereka. Sedangkan hadits kedua ditujukan kepada kaum musyrik/kafir al Zimmi, yakni kafir yang tidak mau beriman tetapi tunduk kepada Islam, mereka berada di daulat Islamiyyah, mereka tidak memusuhi Islam dan umatnya. Jadi mereka tidak terlalu berbahaya karna tidak memusuhi Islam, hanya saja mereka tidak mau beriman. Maka mereka harus bayar pajak, dan tidak boleh diperangi apabila telah bayar pajak. Dengan demikian, dua hadits itu tidak kontradiksi apalagi rancu. Karna yang dikatakan “Rancu” adalah kacau, tidak jelas, tidak teratur baik berfikir, bahasa atau pernyataan.[43]
Jawaban pertanyaan kedua: adapun syarat untuk mengkompromi, me-nasakh atau men-tarjih hadits yang kontradiksi adalah harus sama status hadits tersebut dari segi kualitas. Dalam arti kata harus sama-sama kualitas sahih, atau sama-sama berkualitas hasan. Jika kontradiksi itu antara hadits sahih dengan hadits hasan, atau sahih dengan hadits dha’if, maka hadits sahih-lah yang kita pilih, sedangkan hadits hasan apalagi dha’if dikalahkan oleh hadits sahih. Jika yang kontra itu hadits hasan dengan dha’if, maka hadits dha’if kalah oleh hadits hasan.
Pertanyaan dari Siti Hawa: “Jelaskan tentang Syahid dan Muttabi’”. Jawaban: Syahid secara bahasa menyaksikan. Secara istilah satu  hadits yang matannya sama dengan hadits lain dan sahabat yang meriwayat hadits tersebut berlainan. Muttabi’ secara bahasa mengikuti, yang mecocoki. Secara istilah adalah hadits yang sanadnya menguatkan sanad hadits lain dari hadits itu juga, dan sahabat yang meriwayatkannya adalah satu.[44] Contoh:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ[45]
Hadits ini yang kita teliti muhkarrijnya adalah al Bukhari, diriwayat dari Ibn Umar sahabat Nabi S.A.W., kemudian kita mencari hadits lain yang hampir sama redaksi dan maksudnya dengan hadits diatas, maka kita harus melakukan komparasi (al i’tibar). Maka hasil yang kita dapati sebagai berikut:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ أُغْمِيَ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ[46]
Perbedaan dua hadits itu pada sanadnya, pada hadits pertama setelah Ibn Umar adalah Abdullah ibn Dinar, pada hadits kedua setelah Ibn Umar adalah Nafi’. Maka status hadits kedua sebagai muttabi’ bagi hadits pertama. Dan apabila kita menemukan riwayat lain yang sama redaksi dan maknanya dengan hadits diatas, tetapi diriwayatkan dari sahabat lain; Abu Hurairah misalkan, maka hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ini dinamakan  syahid hadits pertama diatas.
Pertanyaan Muhammad Hafiz dari Malaisia: ‘Berikan contoh hadits yang sesuai dengan al Qur’an”. Jawaban: adapun contoh hadits yang sesuai dengan al Qur’an sebegai berikut:
و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ........فَلَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ ............
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَاعَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ.............
 حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ حَدَّثَنِي سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا ........

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَلَّامٍ الْجُمَحِيُّ حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ يَعْنِي ابْنَ مُسْلِمٍ عَنْ مُحَمَّدٍ وَهُوَ ابْنُ زِيَادٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ........
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَوْدِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَعِيلَ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنَا زَائِدَةُ بْنُ قُدَامَةَ حَدَّثَنَا سِمَاكُ بْنُ حَرْبٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَاءَ أَعْرَابِيُّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبْصَرْتُ الْهِلَالَ اللَّيْلَةَ فَقَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ قُمْ يَا بِلَالُ فَأَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا قَالَ أَبُو عَلِيٍّ هَكَذَا رِوَايَةُ الْوَلِيدِ بْنِ أَبِي ثَوْرٍ وَالْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ وَرَوَاهُ حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ فَلَمْ يَذْكُرْ ابْنَ عَبَّاسٍ وَقَالَ فَنَادَى أَنْ يَقُومُوا وَأَنْ يَصُومُوا[47].
Beberapa hadits diatas sesuai dengan firman Allah terdapat dalam surat al Baqarah [2] ayat: 185: “.......فمن شهد منكم الشهر فاليصمه....
Pertanyaan dari Muhammad Hafizin: “Pemakalah menjelaskan bahwa al Syafi’i tidak memakai metode tawaqquf, tetapi mengapa disebut juga dalam makalah pada nomor empat?” Jawaban: Saudara Hafizin, kami menulis tawaqquf pada nomor empat, kami tidak bermaksud mengatakan al Syafi’i menyatakan tawaqquf metode penyelesaian hadits mukhtalif. Tetapi maksud kami adalah untuk memberi informasi agar lebih diperhatikan oleh audiens. Karna kami pernah mendengar ustaz mengatakan: bahwa tawaqquf termasuk metode yang disajikan al Syafi’i, padahal al Syafi’i tidak menyatakan itu. Untuk lebih jelas perhatikan ungkapan al Syafi’i: “Kami tidak menemukan hadits-hadits Rasulullah yang bertentangan, kecuali kami dapat menyingkap titik pertentangannya, dalam hal tersebut, kami tidak menemukan hadits yang bertentangan kecuali ada sisi kemungkinan yang membuat hadits-hadits itu tidak bertentangan satu sama lain”. [48]
Pertanyaan Lirafni Zilhayati: “Jelaskan tentang al Sabiq dan al Lahiq, apakah haditsnya sahih atau tidak?. Jawaban: Mahmud Thahan menjelaskan secara istilah al Sabiq dan al Lahiq adalah: “Dua orang sama-sama meriwayatkan dari seorang syaikh, salah satu diantara keduanya lebih dulu wafat sedangkan yang satunya lagi belakangan wafatnya dan jarak wafat antara keduanya jauh”[49]. Jadi yang duluan wafat dinamakan al Sabiq dan yang kemudian wafat dinamakan al Lahiq. Salah satu faidah mengetahuinya agar tidak disangka bahwa hadits al Lahiq adalah munqathi’.
Adapun mengenai apakah hadits berkategorikan al Sabiq dan al Lahiq sahih atau tidak, kita perlu takhrij, meneliti sanad dan matan hadits itu dulu, yakni melakukan kritis terhadap sanad dan matan hadits tersebut, serta dengan memerhatikan syahid dan muttabi’nya juga, setalah itu baru ambil kesimpulan berdasarkan hasil penelitian. Maka ketika itu kita akan tahu kualitas hadits itu, apakah ia sahih, hasan, sahih lighairihi, hasan lighairihi, dha’if ringan atau dha’if berat.
Pertanyaan dari Shabirin: “Bagaimana jika telah dilakukan tarjih ternyata hasilnya sama, status hadits masih seimbang, bisakah dijadikan hujjah atau tidak?” Jawaban: karna kita membahas seorang tokoh, maka pemakalah menyebut tokohnya lebih dulu. Al Syafi’i, setiap ia men-tarjih hadits, ia tetap dapat menyelesaikannya, dan selalu menemukan hadits yang rajih dan hadits yang marjuh (lihat kutipan dari al Risalah diatas). Ini menunjukkan ilmunya sangatlah luas.
Namun, apabila seandainya kita yang men-tarjih, dan ternyata kita menemukan hasil  bahwa hadits itu sama-sama kuat, dan hadits tersbut memang tidak bisa dikompromikan, maka hemat kami lebih baik kita merujuk pendapat ulama lain, yaitu dengan memilih salah satu dari dua hadits  yang kontradiksi itu, tanpa mengabaikan hadits yang satunya. Seperti halnya dengan do’a iftitah, jadi kita dapat memakai keduanya dengan tidak mengkompromikan keduanya. Misalkan, pada shalat zuhur kita memakai bacaan menurut riwayat pertama, kemudian pada shalat asar memakai bacaan menurut riwayat yang kedua.
Disini kami lebih memilih ini daripada tawaqquf. Hemat kami tawaqquf secara praktis tidak ada, yang ada hanya teori saja. Mungkin terjadi tawaqquf bagi orang yang dangkal ilmunya, dan tidak memahami cara menyelesaikan ikhtilaf al Hadits.







II.         KESIMPULAN

Dari keterangan diatas pemakalah menarik kesimpulan; bahwa al Syafii adalah pelopor dalam masalah ikhtilaf al Hadits, hal ini dapat kita lihat dalam karyanya “ Ikhtilaf al Hadits”. Dalam karyanya itu ia menyajikan tiga metode menyelesaikan hadits mukhtalif  yakni: metode kompromi, nasikh dan mansukh, dan metode tarjih. Kemudian sajian-nya itu dikembangkan oleh para ulama, namun ada juga ulama lain yang menyajikan metodenya sendiri.
Selain menyajikan metode penyelesaian hadits mukhtalif, al Syafi’i juga menyebutkan hal-hal yang harus difahami dalam menggunakan masing-masing metode. Misalkan dalam mengkompromikan hadits, ia menggunakan beberapa cara, yakni: menggunakan kaidah Ushul Fiqh dan kajian kebahasaan, melihat kontektual hadits, melihat sisi korelasi hadits yang kelihatan kontradiksi, dan menggunakan pena’wilan makna hadits.
Demikian juga, dalam menggunakan metode naskh dan tarjih, al Syafi’i menyajikan beberapa hal yang menjadi tolak ukur, jadi tidak bisa seenaknya saja. Selain dari itu al Syafi’i juga meyebutkan contoh-contoh hadits mukhtalif serta menyelesaikannya dan semuanya dapat ia selesaikan, diantara ungkapan al Syafi’i adalah: “Kami tidak menemukan hadits-hadits Rasulullah yang bertentangan, kecuali kami dapat menyingkap titik pertentangannya, dalam hal tersebut, kami tidak menemukan hadits yang bertentangan kecuali ada sisi kemungkinan yang membuat hadits-hadits itu tidak bertentangan satu sama lain”.
Demikianlah kesimpulanya kami buat sesingkat-singkat mungkin, semoga ada manfaatnya bagi kita makalah ini.








DAFTAR PUSTAKA

‘Itr, Nuruddin.  Manhaj al Naqd Fi Ulum al Hadits,Catakan II, (Damsiq: Daru al Fikr, 1979)
Abu Zahrah, Muhammad. al Imam al Syafi’i Hayatuhu wa ‘Asruhu wa Fikruhu Ara’uhu wa Fiqhuhu, Ceta: I, Terjemah oleh; Abdul Syukr dan Ahmad Rivai Uthman, (Jakarta: Lantera Basritama, 2005)
al Nawawi, Taqrib al Nawawi, Al Nawawi, Taqrib al Nawawi , (Beirut: Daru al Kutub al ‘Amaliah, 1996)
al Sayyuthi, Tadrib al Rawi, (Beirut: Daru al Kutub al ‘Amaliah, 1996)
al Syafi’i, al Risalah, terjemah oleh Masturi Irham dan Asmui Taman, (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2012).
al Syafi’i, al Umm, (Ttp: Baitu al Afkar al Dauliyyah, Tt)
Isma’il, Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadits Nabi (Jakarta: Bulan-Bintang, 2007)
Muda, Ahmad A.K. Kamus Lengkap Bahasa, (Ttp: Reality Publisher, 2006)
Shalah, Ibn. Ulul al Hadits,( Ttp: al Qahirah, Tt)
Thahan, Mahmud. Taisir Mushthalah al Hadits, (Riyadh: Maktabah al Ma’arif, 1977)


[1] . Nama aslinya Muhammad ibn Idris ibn ‘abbad ibn ‘Utsman, ibn Syafi’ ibn Saib ibn ‘Ubaid ibn ‘Abd Yazid, ibn Hasyim ibn al Muthallib ibn Abd Manaf ibn ibn Qushai ibn Kilab ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Lu’iy ibn Ghalib. Lihat al Syafi’i, al Umm, (Ttp: Baitu al Afkar al Dauliyyah, Tt), hlm. 9.
[2].  Muhammad Abu Zahrah, al Imam al Syafi’i Hayatuhu wa ‘Asruhu wa Fikruhu Ara’uhu wa Fiqhuhu, Ceta: I, Terjemah oleh; Abdul Syukr dan Ahmad Rivai Uthman, (Jakarta: Lantera Basritama, 2005), hlm. 23.
[3].  Sebagian kalangan yang melihat perbedaan pendapat mengenai kelahirannya mencoba untuk menggabungkannya. Mereka mengatakan bahwa Imam Syafi’i lahir di Yaman dan tumbuh dewasa di Asqalan dan Gaza. Ibid.
[4] . Ibid.
[5] . Waktu kecilnya al Syafi’i suka melempar panah. Ketika umur enam tahun ia hapal al Qur’an, dan berumur sepuluh tahun ia hapal al Muwathth’. Lihat Muqaddimah al Umm. Hlm. 9
[6] . Ibid, hlm. 27.
[7] . Ibid, hlm. 58.
[8] . Lihat Muqaddimah al Umm. Hlm. 9
[9] . Ibid.
[10] . Ibid.
[11] . Ibid.
[12] . Ini menunjukkan atas penyelesaian secara kompromi.
[13] . Ini menunjukkan atas penyelesaian dengan menggunakan nasikh dan mansukh.
[14] . Ini menunjukkan atas penyelesaian dengan cara tarjih.
[15]. Tulisan ini dikutip dari kitab al Syafi’i, lihat Abu Abdillah Muhammad ibn Idris al Syafi’i, al Umm, (Ttp: Baitu al Afkar al Dauliyyah, Tt), hlm. 1723.
[16]. al Syafi’i mengkompromikan kedua hadits tersebut. Dua hadits itu kelihatan kontradiksi, hadits pertama menyuruh agar terus memerangi orang musyrik sampai ia beriman. Hadits kedua menjelaskan agar terus memerangi orang musyrik itu sampai ia membayar pajak. Jadi letak kontradiksi yang nampak adalah pada sampai beriman dan sampai membayar pajak.  

[17] . Ini adalah terjemah penulis sendiri.
[18] .al Nawawi, yang bermazhab al Syafi’i, telah mengikuti penyelesaian yang disajikan al Syafi’i, dalam kitabnya ia menjelaskan bahwa bentuk kontradiksi hadits itu ada dua. Pertama: yang dapat dikompromikan, maka kedua hadits tersebut harus diamalkan. Jika tidak bisa dikompromikan maka penyelesaiannya harus menggunakan nasakh, dan solusi terakhir menggunakan tarjih. Lihat Al Nawawi, Taqrib al Nawawi , (Beirut: Daru al Kutub al ‘Amaliah, 1996), hlm. 115. Bandingkan dengan: Mahmud Thahan, Taisir Mushthalah al Hadits, (Riyadh: Maktabah al Ma’arif, 1977), hlm. 46-48, bandingkan dengan; Nuruddin ‘Itr, Manhaj al Naqd Fi Ulum al Hadits,Catakan II, (Damsiq: Daru al Fikr, 1979), hlm. 337. Bandingkan dengan; Ibn Shalah, Ulul al Hadits,( Ttp: al Qahirah, Tt), hlm. 284-286.
[19].  Keterangan diatas diketahui dari beberapa hadits yang telah dikompromikan oleh al Syafi’i.
[20] . Lihat al Syafi’i, al Risalah, terjemah oleh Masturi Irham dan Asmui Taman, (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2012), hlm. 198.
[21]. Ibid. hlm. 199-200
[22] . Ia menguatkan argumentasinya dengan hadits  al Qur’an turun tujuh huruf yakni ketika Umar membawa Hisyam kepada Rasulullah tentang Qiraat Hisyam menyalahi yang didengar Umar. Lihat Ibid, hlm. 200-201.
[23]. Naskh secara bahasa mempunyai beberapa arti. berarti “Izalatu al syay’i wai’daamuhu” (menghilangkan sesuatu dan mentiadakannya), yang  berarti “ Naqlu al syay’i” (memindahkan dan menyalin sesuatu), berarti “Tabdil” (penggantian), berarti “Tahwil” (pengalihan). Secara istilah: Sedangkan naskh secara istilah adalah: “ Mengangkat (menghapus) hukum syara’ dengan dalil/khithab syara’ yang lain ”. lihat al Sayyuthi, Tadrib al Rawi, (Beirut: Daru al Kutub al ‘Amaliah, 1996), hlm. 111.
[24] . Dipahami dari kutipan diatas.
[25] . Ini juga dipahami dari kutipan diatas.
[26]. Imam syafi’i pernah ditanya tentang dua hadits mengenai shalat subuh, keduanya kelihatan kontradiksi. Hadits pertama diriwayatkan oleh Ibn ‘Uyainah dari Muhammad ibn al Ajlan, dari Ashim ibn Umar ibn Qatadah, dari Mahmud ibn Labib, dari Rafi ibn Khadij berkata Rasulullah Bersabda: “Kerjakan shalat fajar saat pagi sedikit terang, karena itu lebih besar pahalanya.” Dan hadits kedua juga diriwayatkan dari Ibn ‘Uyainah, dari al Zuhri, dari ‘Urwah dari ‘Aisyah Rasululla bersabda:“ Para wanita shalat subuh bersama Nabi, setelah itu mereka bubar sambil menutupi diri dengan jubah bulu domba mereka, tidak seseorangpun yang mengenal mereka karna suasana masih gelap.” Ketika itu ia ditanya oleh seseorang: “ menurut anda jika ada hadits yang bertentangan, maka boleh berpegang pada salah satunya, dan kami menganggap hadits ini bertentangan dengan hadits ‘Aisyah.” Imam Syafi’i menjawab: “Seandainya hadits Khadij dan ‘Aisyah bertentangan, saya dan anda wajib berpegang pada hadits Aisyah, bukan yang lain. Sebab, pijakan dasar saya dan anda adalah jika ada beberapa hadits yang bertentangan, maka tidak satupun dari hadits-hadits itu yang kita pegang, kecuali ada sebab yang menunjukkan bahwa yang kita pegang lebih kuat daripada yang kita tinggalkan”. Lihat al Syafi’i, al Risalah, terjemah oleh Masturi Irham dan Asmui Taman, (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2012), hlm. 213. 
[27]. Emik penulis terhadap kutipan diatasi; disini kelihatannya al Syafi’i lebih mengutamakan pendekatan makna hadits dengan al Qur’an daripada hadits sahih yang tidak mendekati makna al Qur’an, kendatipun hadits yang sesuai maknanya dengan al Qur’an itu statusnya mungkin rendah—dalam arti masih sahih yang agak rendah atau hasan—daripada hadits yang tidak sesuai maknanya dengan al Qur’an.
[28]Syahid secara bahasa menyaksikan. Secara istilah satu  hadits yang matannya sama dengan hadits lain dan sahabat yang meriwayat hadits tersebut berlainan. Muttabi’ secara bahasa mengikuti, yang mecocoki. Secara istilah adalah hadits yang sanadnya menguatkan sanad hadits lain dari hadits itu juga, dan sahabat yang meriwayatkannya adalah satu. Mahmud Thahan. Taisir Mushthalah al Hadits, (Riyadh: Maktabah al Ma’arif, 1977) hlm. 150
[29]. Dua orang itu secara umum lebih baik dari segi hapalan dan lebih selamat dari kekeliruan daripada hadits ahad, maka hadits yang paling banyak jalur periwayatannya dapat diserupakan dengan hadits yang lebih utama untuk dihapal daripada hadits yang diriwayatkan oleh orang yang kalah senior, konsekuensinya hadits yang dihapal lima orang lebih baik dijadikan pegangan daripada hadits yang diriwayatkan oleh satu orang. al Syafi’i, al Risalah, hlm. 210. 
[30] . Lihat al Syafi’i, al Risalah, hlm. 214.
[31] . Dalam al Risalah dijelaskan: “Salah satu hadits itu lebih mendekati makna kitabullah. Jika dia lebih mendekati makna kitabullah maka terdapat argumen di dalamnya. Lihat al Syafi’i, Ibid.
[32] . Dan ini dapat pula difahami dari katanya: “Kami tidak menemukan hadits-hadits Rasulullah yang bertentangan, kecuali kami dapat menyingkap titik pertentangannya, dalam hal tersebut, kami tidak menemukan hadits yang bertentangan kecuali ada sisi kemungkinan yang membuat hadits-hadits itu tidak bertentangan satu sama lain”. Lihat al Syafi’i, al Risalah, hlm. 135.
[33] . Ini paham dari kata al Syafi’i pada kutipan diatas: Semua ini tidak diterima kecuali pada hadits yang Tsabit.
[34] . Hadits Umar dan Ibn Umar diatas diambil dari al Risalah, lihat al Syafi’i, al Risalah, hlm. 197
[35]. Hadits Ibn ‘Abbas dan Maula ‘Utsman diambil dari al Umm, lihat al Syafi’i, al Umm, hlm. 1724
[36] Hadits diatas diambil dari program safware komputer Lidwa hadis sembilan Imam
[37] HR. Bukhari
[38] HR Muslim
[39] Hadits diatas diambil dari program safware komputer Lidwa hadis sembilan Imam
[40] Hadits diatas diambil dari program safware komputer Lidwa hadis sembilan Imam
[41] Hadits diatas diambil dari program safware komputer Lidwa hadis sembilan Imam
[42]  Beberapa hadits diatas diambil dari program saware komputer Lidwa hadits sembilan Imam.
[43] Lihat Ahmad A.K. Muda, Kamus Lengkap Bahasa, (Ttp: Reality Publisher, 2006) hlm. 443
[44]Lihat Syuhudi Isma’il, Metodologi Penelitian Hadits Nabi (Jakarta: Bulan-Bintang, 2007) hlm. 108
[45] hadits diatas diambil dari program safware komputer Lidwa hadis sembilan Imam
[46] hadits diatas diambil dari program safware komputer Lidwa hadis sembilan Imam
[47] . hadits-hadits diatas diambil dari program safware komputer Lidwa hadis sembilan Imam
[48] Lihat al Syafi’i, al Risalah, hlm. 135.
[49] Mahmud Thahan, Taisir Mushthalah Hadits, hlm. 150

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com