Sabtu, 21 September 2013

ASPEK HUKUM KOMUNIKASI KEHUMASAN


ASPEK HUKUM KOMUNIKASI KEHUMASAN
Indonesia yang kini sedang dilanda krisis multidimensional yang berkepanjangan dengan posisi, apakah siap atau tidak memasuki dunia maya atau sering disebut disebut cyberworld dan cyberspace, sebagai akibat kemajuan teknologi informasi camggih (information superhighway) yang merupakan bagian dari sistem komunikasi dan informasi global di abad 21 dalam Millenium III ini tengah menyaksikan suatu fenomena kian meluasnya pengaruh globalisasi di berbagai sektor kehiadupan manusia bi muka bumi. Bahkan seolah-olah sudah tidak ada lagi batasan negara (borderless state) yang sanggup untuk menghindari pengaruh globalisasi yang sudah menjadi kampung global (global village) dengan segala aktivitas dan isinya yang telah menjadi fenomena kesejagatan (globality).
Sekarang ini permasalahan media massa atau media pers bukan lagi sekadar masalah peraturan perundang-undangan dan rambu-rambu etika yang ada (A. Muis, 2001 : 40-41), tetapi berkaitan dengan masalah terpenting yaitu; keberadaan cyberspace dengan globalisasi informasi dan komunikasi sistem terbuka yang tidak lagi memperhatikan batas-batas kekuasaan atau kedaulatan masing-masing negara. Artinya; undang-undang yang dibuat untuk menetralisasi atau membendung pengaruh globalisasi sudah tidak lagi banyak berfungsi, apalagi suatu negara yang belum mempunyai undang-undang cyberlaw (UU Internet),paling tidak memiliki fungsi hukum sebagai “a tool of social engineering” dan kemampuan menciptakan teknologi baru (preventif) untuk mengurangi dampak negatif dari kekuatan daya tembus siaran cyberspace tersebut. Permasalahannya, sumber berita (komunikator) yang mengirim pesan/ informasi atau berita melalui internet (cyberspace) dari negara lain sulit dilacak oleh negara penerimanya.
Beberapa tahun lalu Malaysia telah memiliki cyberlaw untuk mencegah “berita sampah” yang berasal dari internet, namun tetap tidak berfungsi sebagaimana mestinya alias sebagai macan kertas ompong karena tidak diikuti kemajuan teknologi melacak sumber berita melalui cybercommunication untuk menindaknya. Baru negara AS yang memiliki cyberlaw dan memilki kemampuan tekologi untuk keberadaan sumber informasi web-sites (situs internet) anonim (tanpa identitas) dengan mengirim agen FBI. AS juga mampu menindak dan menangkap pelaku kasus “si penyebar virus” komputer yang berasal dari Manila dan Australia pada awal 2000 lalu.
Khususya negara Indonesia yang hanya mengandalkan UU Hukum Pidana, Perdata, Pers, dan UU Konsumen, serta peraturan lain yang kini belum memiliki cyberlaw (UU Internet) akan sulit membendung atau memeberikan sanski pelanggaran di bidang hukum komunikasi. Lain halnya semasa pemerintahan orde baru, pengendalian terhadap fungsi informasi, kontrol sosial, dan pengawasan kegiatan media massa atau media pers lebih banyak menggunakan pendekatan kekuatan politik (kekuasaan),otokratik dan represif dari pada pelaksanaan melalui kekuatan hukum (supreasi hukum).
Pada era pemerintahan reformasi yang demokratik dan menganut sistem politik terbuka Indonesia berhadapan dengan “kebebasan pers” dan konsistensi pelaksanaan HAM sesuai dengan UU No. 40/1999 tentang Pers, tambahan Pasal 28 F UUD 1945 dan seirama dengan pasal 21, Tap XVII/MPR/1999 yang berbunyi sebagai berikut :
“Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Rumusan tersebut menurut A. Muis (2000 : 30) senada dengan Pasal 19 Deklarasi Universal HAM (hak asasi manusia) tentang Freedom of Information (FOI), yaitu Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinion without interference and to seek, recieve and impart information and ideas through any media and regardless frontiers.
Kebebasan memperoleh informasi dan system komunikasi Indonesia sekarang lebih bersfat Universal dan terbuka. Artinya, pemerintah memberikan hak-hak perlindungan bagi penerbitan media pers dan wartawan tertentu dalam menyalurkan informasi atau berita untuk memenuhi “public’s right to know” (hak public untuk mengatahui). Akan tetapi sebaliknya, di era keterbukaan ini banyak pejabat instansi pemerintah atau para eksekutif pihak swasta masih belum siap, dan bahkan melakukan kebijakan menutup akses masyarakat (to kill the information) untuk memperoleh informasi yang dibutuhkannya.
Ketahuan “ketertutupan informasi” tersebut oleh masyarakat secara luas bila terjadi suatu pelanggaran yang mencuat ke permukaan, kemudiandiliput oleh media pers. Hal ini banyak terjadi di bidang eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan hidup, seperti kasus-kasus yang ter-ekspose di berbagai media massa. Misalnya; terjadinya pencemaran lingkungan alam sebagai dampak pembuangan limbah tailingnya oeh PT. Freeport Indonesia di Irian Jaya serta PT Inti Indorayon Utama (IIU) yang diduga telh merusak kawasan danau Toba Samosir. Alasan selama ini adalah untuk menutupi saluran informasi tentang industri yang memiliki resiko dapat merusak lingkungan alam yang cukup parah dan telah merugikan kehidupan masyarakat sekitarnya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Walaupun kini pers  ansional memiliki kebebasan pers (pers liberal) yang lebih besar jika dibandingkan masa sebelumnya, namun tetap mengacu pers bebas yang bertanggung jawab, bukannya menjadi pers yang sangat bebas tetapi “pers kebablasan”. Kebablasan tersebut dapat diberi makna telah melampaui batas kebebasan berkomunikasi dan informasi (berita) wajar dan santun yang mengacu pada nilai budaya komunikasi sesuai dengan Kode Etik, Etika Profesi dan aspek hokum komunikasi yang ada. Seperti diketahui bahwa Kode Etik jurnalistik (KEJ) pada dasarnya menguraikan hal-hal yang menyangkut profesi kewartawanan berikut ini :
§       Kepribadian wartawan Indonesia;
§       Pertanggung jawaban;
§       Cara pemberitaan dan menyatakan pendapat;
§       Hak jawab dan hak sangkal;
§       Sumber berita;
§       Kekuatan kode etik.
Dalam kode etik wartawan tersebut, hal-hal yang bersifat murni adalah kode etik normative yang secara spesifik menyebutkan masalah pertanggung jawaban yang mengandung atau dapat dikaitkan dengan persoalan hokum. Dengan demikian, terdapat pertimbangan patut dan tidak patut untuk memberitakan hal-hal yang menyinggung perasaan kesusilaan, SARA (suku, agama dan ras),mengenai kehormatan nama, atau martabat seseorang.
Oleh karena itu, ketentuan pidana (produk legislative) merupakan pembatasan yang sah terhadap kebebasan pers dan bersifat liminatif. Selain itu, ketentuan pidana ditujukan terhadap mereka yang telah menyalahgunakan kebebasan (abuse of liberty). Dalam perundang-undangan pers nasional atau ketentuan Internasional mengenai batas-batas yang liminatif, terdapat kegiatan pembeitaan pers sebagai berikut :
a.      Penghinaan dalam legislative, yaitu penghinaan biasa dan penghinaan ringan, baik secara material dan formal;
b.      Berita hasutan dan kebohongan;
c.      Blasphemy, yaitu penghinaan terhadap nilai agama;
d.      Pornografi (dalam bentuk tulisan, gambar dan lisan);
e.      Keamanan nasional dan ketertiban umum (National Security and Public Order);
f.        Pernyataan yang menghambat jalannya peradilan (Impede the Fair Administration of justice);
g.      Pernyataan terhadap seseorang atau telah memvonis seseorang bersalah atau yang menjadi urusan pengadilan (trial by the press);
h.      Penghinaan atau pelecehan terhadap pengadilan atau jalannya suatu proses sidang peradilan (comtempt of court).

FALSAFAH HUKUM DAN ETIK
Pakar hukum pers, Prof. Oemar Seno Adji (1991 : 20) dalam bukunya Etika Profesional Hukum mengatakan bahwa menelaah hubungan antara kode Etik dan hokum didasarkan pada latar belakang berbagai aliran, yaitu :
a.      Aliran naturrecht secara tegas tidak mengenal pemisahan antara etik dan hokum. Artinya, dalam prinsip aliran ini, norma-norma etik dan pelaksanaan dalam konsep hukum yang diberlakukan adalah secara tidak terpisah-pisah. Dapat saja terjadi, suatu pelanggaran norma etik akan sama dengan pelanggaran hukum yang berlaku.
b.      Aliran positivisme mengakui adanya pemisahan antara hukum dan etik. Aliran ini lebih mengonsentrasikan perhatian isi dan hukum yang berlaku, yaitu hukum positif dalam pengembangan di bidang hukum konkret yang dibedakan dengan pelaksanaan di bidang Kode Etik untuk kalangan profesional yang telah memiliki kode etik bersifat normatif atau formatif yang telah disepakati bersama. Pengecualiannya ialah hal-hal pelanggaran yang sudah masuk ke kawasan atau prinsip-prinsip hukum yang berlaku (pidana atau perdata).
c.      Aliran samenval mengganggap adanya titik pertemuan dalam Kode etik Profesional dengan bidang hukum tertentu, yaitu adanya kesamaan (samenval). Artinya, diakui adanya aspek-aspek yuridis dalam persoalan etik dan sanski hukum, misalnya; dalam Kode Etik Jurnalistik atau Kode etik periklanan dan Kode Etik Kehumasan, yaitu berawal dari suatu “pelecehan” (gambar karikatur atau gurauan dan humor bermasalah) yang kemudian dapat meningkat menjadi unsur penghinaan yang menyebabkan timbul Delik Pidana, baik berbentuk penghinaan melalui tulisan, visual (gambar), atau secara lisan terhadap nama kohormatan dan martabat seseorang atau lembaga tertentu, termasuk mengenai masalah SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) dan sebagainya.
Selain hal tersebut, pelanggaran Kode Etik Profesi akan langsung dikaitkan dengan hukum yang berlaku sebagai akibat suatu pelanggaran atau perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), menurut Pasal 1365 KUH Perdata, atau delik Pidana dalam Pasal 310 da 311, yaitu masing-masing pelanggaran kehormatan dan menfitnah pihak lain, baik melalui lisan (the law of slander) atau berbentuk tulisan dan gambar (the of libel).

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com