Kamis, 22 Maret 2012

Perempuan dalam Tiga Judul


Tentang Perempuan yang Menjadi Lukisan
Entah dengan apa perempuan itu membawa sekian wangi yang begitu saja menusuk hidungku. Hilangkan sekian juta aroma lain yang jauh lebih dulu kukenal. Mengubahku menjadi lelaki pelupa. Terlupakan banyak hal kecuali namanya saja yang kurapal layaknya mantra.
Entah dengan apa pula perempuan itu membuatku bisa menjadi pelukis. Sedang aku tidak pernah bersentuhan dengan ilmu lukis. Tidak tahu fungsi dari berbagai bentuk garis. Tak terlalu kenal rumusan komposisi warna. Tetapi ia tiba-tiba sudah berubah ujud di ruang kamar imajinasiku, sebagai lukisan yang seakan-akan benar-benar pernah kulukis.
Juga entah dengan apa perempuan itu membuatku menjadi penari. Bersama dengan berbagai nama nama tarian. Sedang ia sendiri lekat utuh menari bersamaku. Ditatapi langit yang menaruh iri karena tak kulirik meski ia menjanjikan lebih  banyak warna. Ditatapi bunga yang menjanjikan lebih banyak aroma. Tetapi tarian ini adalah tarianku bersamanya.

Pada Perempuanku: Dari Jakarta
Ada kegilaan yang terkadang menjadi keindahan. Ketika kegilaan itu menjadi penyatuan jari jemari, penyatuan tatapan, sampai berubah menjadi penyatuan tanpa rumus matematika, soal jumlah bibir dari dua wajah. Juga jumlah rambutmu yang membilas peluhku yang diperas dan mengucur oleh rindu.
Lantas setelah cerita penyatuan itu dibuyarkan pagi yang terlalu cepat datang. Kemudian menyisakan ingin, agar terjadi rotasi pada waktu, pada dimensi, yang tidak sekadar imajinasi, biar semua itu terulang kembali.
Tentang pada ketika jarak yang demikian jauh menjadi dekat. Ketika yang terpisah menjadi menyatu. Juga, ketika keraguan menjadi keyakinan yang lebih keras dari tiang-tiang penyangga gedung pongah di  Jakarta. Sampai dengan ketika bayangan yang hanya sekelebat datang menjadi kehadiran utuh. Tubuhmu di tubuhku. Ruh milikku pada ruh milikmu.

Tentang Janji yang Kutulis di Keningmu
Pada keningmu sudah kutuliskan sekian huruf yang tidak perlu ditafsirkan. Sebab itu bukan medan logika. Bahwa kecupan pertama bukan isyarat untuk tibanya kata akhir. Karena memang aku tidak ingin semua itu berakhir.
Pada keningmu sudah kubasuh dengan tintaku yang berwarna bening yang tidak perlu kau benturkan dengan rasio. Sebab itu bukan wilayah rasio.
Bahwa dalam tanpa jumlah dari kecup itu, seperti itu pula cerita tentang cinta itu tidak kuinginkan untuk terbentur dengan tanda tanya; Bilamana? Kapan? Hingga mana?
Bahkan aku tak tertarik menjumlahkan waktu!

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com